Ketia pagi tiba Clarin masih terbaring lelap di kasur. Atlas dari tadi menggedor pintu kamar Clarin namun tak ada jawaban. Irma akhirnya berteriak dari luar kamar Clarin mencoba membangukannya, "Mbak Clarin ayo bangun, sekolah! Mas Atlas suda di depan mbak. Mbak Clarin, ayo bangun! Nanti ditinggal Mas Atlas lho, mbak," ujar Irma mengingatkan Clarin yang masih pulas.
"Bentar lagi Ma, baru jam berapa sekarang. Atlas suruh nunggu bentar deh. Nambah 30 menit lagi ya. Dari rumah ke sekolah kan deket, bentar lagi ya Ma, ntar' bangun beneran kok," balas Clarin malas. Irma berusaha menarik selimut Clarin dan mematikan AC-nya. Lalu Irma Keluar dan mendapati Atlas sudah berada di ruang makan meminum susu dan mengambil sepotong roti.
"Clarin belum mau bangun ya, Ma? Masih di kamar atau udah di toilet mandi?" tanya Atlas pada Irma. Atlas memilih pergi tadi dari kamar Clarin menuju ke ruang makan untuk sarapan.
"Masih di kamar, Mas. Mbak Clarin enggak mau bangun. Katanya masih ngantuk." Atlas menaruh rotinya yang tinggal secuil itu, ia melangkah kembali ke kamar Clarin. Atlas mencoba membuka pintu kamar Clarin yang ternyata tidak terkunci.
"Ampun Cla, kebo banget! Buruan bangun. Jangan sampai aku tinggal kayak kapan hari. Buruan mandi. Habis gitu sarapan, terus berangkat," kata Atlas sedikit kesal dengan kebiasaan buruk Clarin. "Lo selalu gitu ya. Dibangunin masih aja dibawah selimut. Buruan Cla, jangan kayak anak kecil. Atau gue ambil air satu ember, terus gue ...," Clarin yang mendengar itu lekas membuka selimutnya.
"Kenapa sih Tlas, Lo hobi ngancem gue?" ujarnya pada Atlas. Clarin buru-buru bangun dan masuk ke toilet untuk mulai mandi. Atlas mengerutkan keningnya heran. Atlas lalu keluar dari kamar Clarin dan melanjutkan sarapannya tadi. Seusai sarapan Atlas ke kamar Clarin karena ia merasa Clarin terlalu lama di kamar. "Clarin, buruan nanti kita—" Atlas melihat Clarin berbalut seragam sekolah. Rambutnya basah karena habis keramas.
"Iya ngerti. Mending lo tunggu diluar. Enggak etis masuk kamar cewek," ucap Clarin.
"Ya ampun, udah kayak artis papan atas. Ya udah gue tunggu di luar, jangan lama-lama ngacanya, bisa pecah ntar' kacanya," ledek Atlas melihat Clarin mulai memoles diri depan cermin. Atlas keluar dari kamar Clarin.
Clarin melihat jam dinding di kamarnya. Seperti biasa ia segera menguncir rambutnya di bawah. Ia bergegas keluar, menuju ruang tamu. Clarin mengambil selembar roti tawar, dan meminum segelas susu. Sarapan Clarin tiap pagi adalah roti dan segelas susu. Ia sudah terbiasa tidak makan nasi saat pagi hari.
"Maaf ya, lama," kata Clarin menegur Atlas yang melamun di teras depan rumah. "Ini rambut apa ijuk basah, Cla? Ngapain kunciran kalau masih basah. Mending dilepas, titipin ke gue." Atlas lalu melepas kunciran Clarin. "Tlas, lo apa'an sih?! Kembalikan karet rambutnya. Gue kepanasan, buruan Tlas!!" Atlas malah tersenyum nakal dan membawa karet rambut Clarin lari. Clarin dari belakang berusaha mengejar Atlas. Atlas berlari menuju sekolah sambil membawa kuncir rambut Clarin. Clarin mengejar Atlas berlari kencang untuk mendapatkan kuncir rambutnya kembali.
"Ayo lah Tlas, kembalikan. Jangan bercanda mulu. Ntar' lagi bel masuk sekolah. Rambut gue udah kering. Jadi kembalikan sekarang. Gue gerah nih. Rambut gue bisa keringetan kalau enggak diiket. Buruan Tlas, mana?" pinta Clarin yang mulai kewalahan. Clarin masih mengejar Atlas. Bahkan hingga di koridor sekolah pun mereka masih asyik kejar-kejaran.
Tak lama kemudian, Clarin menabrak seseorang, "Auw!" keluh Clarin sakit. Bekal Clarin jatuh. Laki-laki itu memungutnya dan memberikannya pada Clarin. "Maaf, enggak sengaja," ucap laki-laki itu lembut. Clarin kaget mendengar suara cowok ini mirip dengan Atlas. Clarin memerhatikan wajah cowok itu lekat-lekat. Sepertinya ia anak baru yang kemarin sempat bertanya soal ruang kelasnya itu. Clarin memutar-mutar otaknya. Atlas, masa iya dia punya kembaran. Dan parahnya Clarin tidak tahu menahu soal kembaran Atlas. Atlas juga tidak cerita padanya. Cowok itu beranjak dari Clarin dan pergi begitu saja. "Lo saudara kembarnya Atlas?" tanya Clarin pada cowok di depannya. Cowok itu diam dan mengernyitkan dahi. Ia memandang Clarin dengan tatapan heran.
"Hei, gue ngomong sama lo! Apa lo kembarannya Atlas? Suara lo mirip banget sama Atlas," semprot Clarin yang mulai tak sabar dengan sikap pria itu yang diam saja. Lelaki itu menjauh dari Clarin dan berjalan cepat. Clarin berlari kecil menyusul cowok di depannya itu. Namun, tiba-tiba Clarin berhenti berlari. Dadanya mulai sakit. Ia bersandar pada pilar tembok dan memegangi dadanya. Lagi-lagi kambuh, sudah lama dadanya tidak sakit seperti ini. Clarin duduk di bangku depan UKS. Sedang laki-laki yang dimaksud saudara kembar Atlas sudah jauh di depannya.
"Lihat Clarin enggak?" tanya Atlas pada teman di sampingnya.
"Tadi ada di dekat UKS. Coba cek aja," kata temannya.
"Thanks ...," Atlas mulai khawatir. Jam segini harusnya ia sudah balik ke kelas. Atlas segera berlari ke UKS. Berharap ia menemukan Clarin di sana. Tidak biasanya Clarin pergi tanpa pamit. Apalagi bentar lagi ada pelajaran Matematika. Enggak mungkin rasanya kalau Clarin udah kerja pe-er dari Bu Yesi. Mestinya sekarang mereka ngetrek bersama di kelas. Beberapa menit kemudian, Atlas melihat Clarin duduk lesu di bangku memegangi dadanya di depan ruang UKS. Atlas berlari cepat ke Clarin, "Cla, lo kenapa, sakit?"
"Enggak apa-apa," jawab Clarin setengah menahan sakit. Ia masih memegangi dadanya. "Cla, kita ke UKS yuk," tawar Atlas pada Clarin. Clarin menggeleng. Ia menolak walaupun sebenarnya ia sangat kesakitan.
"Cla, ke UKS aja. Nanti gue izinkan ke Bu Yesi."
"Gue enggak apa-apa. Cuman capek aja. Kita ke kelas aja. Belum ngetrek pe-ernya Bu Yesi juga kan," ucap Clarin lemah.
"Ya udah, ayo ke kelas." Atlas membantu Clarin berdiri. Mereka akhirnya bejalan menuju kelas. Tanpa mereka sadari cowok yang Clarin kira kembaran Atlas, memerhatikan mereka dari jauh.
"Niko, sedang apa kamu di sini?" tegur Pak Sandy Niko buru-buru menoleh ke belakang, "Oh, pagi Pak!" sapa Niko hangat sembari menyodorkan tangannya memberi salam pada Pak Sandy. "Saya nyasar Pak. Kelas 11 IPA-1 di mana Pak?" tanya Niko yang berpura-pura tidak tahu soal kelasnya.
"Mari saya antar." Pak Sandy mengantar Niko ke kelasnya. Selama ia menyusuri lorong sekolah, semua cewek beralih memandangnya. Bagaimana tidak, Niko yang saat itu mengenakan seragam nasional dengan tinggi 165 cm, memakai jaket plus tas ransel super kece dan sepatu snikersnya, benar-benar mencuri perhatian para cewek yang ada di lorong.
"Sepertinya hari pertamamu menarik banyak wanita-wanita di sekolah ini," ujar Pak Sandy berusaha mengakrabkan diri pada Niko. Niko bergidik dan memandang Pak Sandy setengah tak percaya. 'Orang ini agak menyeramkan,' batinnya.
"Terimakasih, Pak," ucap Niko saat sampai di depan kelasnya.
"Iya, selamat bergabung dengan kami!!"
Niko segera masuk ke kelas. Ia memilih bangku paling depan. Hari itu juga ia mulai bersekolah di sekolah yang dibangun oleh ibunya. Mendadak ia memikirkan Clarin, gadis yang ia jumpai tadi. Gadis itu sedikit berantakan. Seragamnya tidak rapi. Rambutnya dikuncir tinggi ke atas. Penampilannya persis preman lepas. Yang membuat ia heran, kenapa cewek tadi menyebut-nyebut Atlas. Mungkin gadis itu tahu soal Atlas, kembarannya. Mungkin sudah saatnya ia menuntaskan balas dendam yang tertunda. Selama dua tahun ia berhenti mencari kembarannya. Terlebih ketika ibunya telah meninggal. Ia pikir percuma mencari kembarannya. Toh belum tentu kembarannya itu tahu bila ia masih memiliki saudara kembar. Terlebih mereka pisah sejak bayi. Tapi sudah waktunya bertemu dengan Atlas. Niko ingin memberi tahu Atlas sekaligus membalaskan dendam ibunya. Paling tidak kembarannya itu harus merasakan apa yang dirasakannya. Setidaknya Atlas harus tahu jika ibu mereka telah meninggal. Karena alasan inilah ia bersekolah di sini. Ibunya yang memberitahu keberadaan Atlas di sekolah ini. Ia harap semua rencananya berjalan dnegan baik.
"Niko silahkan memperkenalkan dirimu," kata Bu Wina.
Niko berdiri dan maju ke depan kelas. Ia memperkenalkan diri. Pada saat yang sama Clarin lewat di depan kelasnya. Ia sempat menoleh ke kelas IPA. "Udah enggak apa-apa, gue bisa jalan sendiri, Tlas. Gue ke toilet bentar ya. Lo masuk duluan aja."
"Yakin nih, gue tinggal? Gue temenin ya."
"Enggak perlu. Gue bisa sendiri. Udah agak mendingan."
"Ya udah. Buruan ya, ntar' enggak bisa ngetrek pe-er lagi."
"Iya," balas Clarin. Ia tidak pergi ke toilet melainkan mengamati Niko dari luar kelas IPA-1. 'Benar itu tadi kembarannya Atlas. Ngapain dia di kelas IPA-1?' batin Clarin. Clarin mendekatkan ke bilik pintu IPA-1.
"Namaku Nikolaus Jimmy Fasse. Umur 17 tahun, anak tunggal, tinggal di Jl. Cempaka Asri 17 B-1. Hobi main basket, main alat musik."
"Alat musik apa?" tanya Pak Anang.
"Organ dan piano Pak."
Clarin masih memerhatikan Niko baik-baik. Gaya berdirinya persis seperti Atlas. Cara ngomongnya juga sama, cuman lebih berat suara orang ini. Hidung juga sama mancungnya dengan Atlas. Mereka sama-sama memiliki kadar kegantengan tersendiri. Dibanding Atlas, dia masih lebih tinggi beberapa senti. Senyumnya juga nyerempet mirip. Hanya saja wajah mereka berbeda. Clarin masih memerhatikan Niko dengan cermat. Niko yang merasa diamati menoleh keluar. Dan saat itulah Niko melihat Clarin di depan kelasnya.
"Gawat," ujar Clarin seraya berlari kabur dari depan kelas Niko. Ia hampir lupa untuk ngetrek pe-er Bu Yesi. Sesampainya di kelas Clarin segera mengeluarkan pe-ernya dan mulai melakukan adat istiadat seorang murid, ngetrek. "Tlas, udah selesai belum? Kalau udah pinjem ya."
"Siiipp ...! Bentar lagi kok," ucap Atlas pada Clarin. Atlas berbalik ke belakang dan menyodorkan buku pe-ernya. Clarin menyambarnya dengan cepat. Ia buru-buru mengambil pulpen lalu mengerjakannya.
Belum lama Clarin menyalin, Bu Yesi telah masuk kelas. Clarin buru-buru mnyelesaikan pe-ernya. Dengan segala kekuatan turbo yang ia miliki, Clarin berhasil menyelesaikannya. Untung saja ia selesai tepat waktu.
"Sekarang kita bahas pe-ernya. Yang tidak mengerjakan silakan berdiri di depan kelas," kata Bu Yesi santai. Bu Yesi berkeliling dan melihat satu demi satu pekerjaan para murid. Dan saat berada di tempat Clarin, Bu Yesi mengangguk-anggukkan kepala. "Bagus, sudah mulai rajin sekarang," ucap Bu Yesi sekaligus menyindir Clarin. Clarin hanya tersenyum simpul, mendengar sindiran Bu Yesi. Ya, paling tidak ia memiliki usaha untuk menyelesaikan pe-ernya. Terlepas dari betul atau salah jawabannya.
"Boni, Clarin, Atlas, dan Tyas, maju ke depan. Kerjakan pe-ernya di papan," perintah BuYesi. Clarin bernafas panjang. Meskipun ia sudah mengerjakan pe-er, ia tetap tidak lepas dari pertunjukkan di depan kelas mengerjakan pe-er bersama. Dan seperti biasa hari itu Clarin harus menjadi tontonan karena tiap anak yang diminta mengerjakan di papan tidak boleh membawa buku pe-er lalu menyalinnya di papan. Itu sama dengan memaksa Clarin untuk berpikir. Berpikir matematis. Hal yang susah dilakukan oleh murid yang terbiasa ngetrek.
*