Loading...
Logo TinLit
Read Story - Teman Berbagi
MENU
About Us  

Melihat raut wajah empunya rumah yang sejak tadi ia ketuk, Delta langsung dapat menebak, ia akan kena amukan. Namun, ia tidak ingin menyerah karena yang tadi siang belum selesai.

Indri masih berdiri di ambang pintu sembari melipat tangannya dengan menatap Delta tajam. "Tahu waktu enggak sih, ini udah malam." Indri blak-blakan.

"Ya maaf. Mau ikut aku keluar sebentar atau aku maksa buat masuk ke dalam." Indri semakin memanas mendengar ucapan Delta.

"Kamu tuh ngerti enggak sih, ini udah malam. Jalanan sini tu enggak aman, dan juga enggak mungkin aku ngizinin buat masuk." Seraya menghela nafas kasar, menandakan gadis itu menahan geram.

"Dan kamu tahu juga kan, aku udah nunggu dari tadi di sini, tapi kamu nya enggak mau bukain pintu, jadi bukan salah aku dong. Sebagai tamu aku minta kompensasi waktu," sela Delta mencoba memperjuangakan haknya yang ia anggap disemena-menakan oleh Indri. 

"Kayak enggak ada hari esok aja," sewot Indri.

"Besok? Aku tahu banget, kalau itu cuma alasan untuk menghindar dan jika aku nurut kamu, yang ada besok kamu ngilang entah kemana, kayak tadi sore tuh," sarkas Delta.

"Ya terus, gimana?" Indri masih berharap pria yang mengenakan hoodie mint ini mau enyah begitu saja dari hadapannya.

"Keluar sebentar cari angin, sekalian traktir aku makan. Dari sore tadi aku belum makan, dan enggak bawa dompet." 

Seketika Indri menyimpulkan maksud pria itu sejak tadi. "Ohh, mau minjem duit maksudnya?"

Delta menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Kok jadi minjem duit sih, Ndri. Ya ampun aku bilang kek gitu bukan mau minjem duit, cuma mau kamu tahu aja kalau itu penderitaanku saat ini, jadi ayolah keluar bentar traktir aku." 

Indri mendengkus, seraya masuk kedalam rumahnya yang Delta yakini sebuah langkah menyetujui permintaannya. Lalu tidak lama setelahnya gadis itu kembali dengan mengenakan sweater, membuat hati Delta bersorak ria di dalam sana. Bahkan tak malu-malu ia menyengir tanpa dosa di hadapan Indri.

"Ayo. Mau makan dimana?" Indri lalu berjalan mendahului Delta, tapi tidak berangsur lama karena pria itu segera menyusul, bahkan tidak sungkan menyelipkan tangannya di balik lengan Indri.

"Lepas enggak!" titah Indri. "Kenapa sih harus begitu, jalan biasa aja kan bisa?" 

"Iya iya, jangan marah-marah napa, cepat tua nanti."

Indri melengos ia lelah meladeni sikap Delta yang sungguh membuat risih. "Ayo, cepat! Mau makan dimana, Kamu?" Indri sedikit berteriak saat menyadari pria itu tertinggal di belakangnya.

"Iya iya, tadi kamunya marah aku gandeng," adu Delta.

"Kamu bukan anak kecil, jadi jangan bertingkah kayak anak kecil." 

'Untuk orangnya aku, udah biasa. Enggak kesinggung lagi, coba kalau orang lain, udah dilempar polong kamu, Ndri' Oceh pria itu semasa berada di belakang Indri.

"Apa itu polong? Kacang?" Tidak disangka Indri malah penasaran mendengar ocehan Delta yang sebetulnya bukan untuk diperdengarkan pada Indri. Sementara sang pelaku gelagapan dibuatnya, tapi ia tidak cukup tega untuk berbohong dan membenarkan ucapan Indri.

"Bukan. Masa sih kamu enggak tahu, itu bahasa kampung kita loh. Itu semacam santet gitu." Lantas gadis itu terkejut, Delta pun ikut terkejut melihat ekspresinya. "Apaan sih, biasa aja, kenapa? Kaget aku." Pria itu menggosok-gosok dadanya agak melebay.

"Makan di sini mau nggak?" Mereka hampir tiba di warung pecal lele, yang terlihat agak ramai dengan pemuda. Namun, kepala Delta menggeleng dengan cepat. "Kenapa? Di sini enak kok, aku kadang beli."

"Aku enggak makan lele."

"Menunya enggak cuma lele doang, ada ayam juga."

"Lagi enggak pengin makan ayam, yang lain aja."

"Terus mau makan apa?"

"Ayo ikut aku, nanti kalau udah sampai baru kamu tahu." 

Indri hanya bisa geleng-geleng kepala, seraya mengikuti arus Delta yang menyeretnya agar cepat menuju mobil yang terparkir tidak jauh.

Kali ini Indri memilih pasrah saja, sementara pria di sampingnya mulai menjalankan mobil.

"Aku masih penasaran." Delta bersuara saat ia sudah bergabung dijalanan bersama kendaraan lain.

"Aku enggak mau jawab." Indri tahu arah pembicaraan pria itu.

"Ya udah kita keliling-keliling aja sampai kamu mau jawab."

Lantas Indri langsung melirik Delta dengan mata yang tidak melotot, namun mampu membuat Delta jadi berpaling dan kembali fokus pada jalanan. 

"Jangan macem-macem, Ta." Suara Indri sama sekali tidak terdengar seperti biasanya yang terdengar jutek, tapi kali lebih datar dan lebih menyeramkan.

"Makanya nurut, aku enggak nyuruh kamu ngapa-ngapain cuma cerita." Delta pun tidak mau menyia-nyiakan effortnya dari sore tadi.

"Kamu mau dengar apa sih, Ta? Enggak ada yang menarik dari cerita ku."

"Ya sebagai teman aku pikir, aku harus tahu itu meski katamu enggak menarik. Aku cuma penasaran kenapa sih kamu enggak mau pulang kampung. Emosional banget kamu pas ditanyain itu."

Indri memghirup nafas dalam-dalam lalu ia hemmbuskan perlahan, " aku juga bingung mau cerita apa, yang jelas untuk saat ini aku enggak mau pulang."

"Ya, aku tahu, tapi kenapa? Kasi alasan gitu loh, Ndri."

"Aku bisa pergi ke Jakarta itu karena aku kabur, Ta."

Delta tentu kaget, dan bersedia menanyakan hal lainnya, tapi lebih dulu dipotong Indri. "Banyak hal yang ingin aku hindari di sana. Sudah bertahun-tahun pula aku di sini tanpa ada yang tahu selain mama."

"Kamu kaburnya karena?" Delta tidak mau tahu hanya setengah-setengah. Saat Indri sudah berniat membukanya maka ia harus menyakan segalanya hingga tuntas.

"Aku sulit mau menjelaskannya dan juga agak males, nanti kamu bilangnya aku malah alasan."

"Lah kok gitu? Enggak, Ndri. Janji deh, aku enggak bakal ngasi penilaian buat kamu, karena aku juga enggak berhak buat itu. Jadi ayo cerita."

Gadis itu menimbang cukup lama, hingga akhirnya berani membuka mulut. "Aku enggak betah tinggal sama bibiku. Banyak aturan yang buat aku enggak nyaman."

"Tante Rosmalina, kah?" Delta pernah mendengar cerita dari tantenya juga tentang Rosmalina yang merupakan bibi yang dimaksud Indri.

Anggukan kecil dari gadis itu menandakan yang dikatakan Delta benar. "Selama ini, tuh aku selalu menahan diri buat enggak nekat, tapi saat sudah semakin dewasa aku rasanya udah enggak tahan lagi. Aku pikir ini tentang kehidupan yang bukan semata-mata hanya ingin kebebasan, tapi tentang bagaimana caranya nyaman menjalani kehidupan dengan rasa tenang, aman dan tidak dikejar deadline yang seolah itu adalah patokan kesuksesan aku." Indri berhenti sejenak seraya menghela nafas. "Aku pikir dengan mengikuti semua aturan bibiku, aku bisa sukses dan bahagia seperti yang selalu diucapkannya, tapi nyatanya beberapa tahun, hidupku rasanya malah tertekan dan aku seperti terjebak di dalam penjara yang aku tahu pintu keluarnya, namun aku lebih memilih menetap di dalamnya hanya karena menunggu dan berharap apa yang dijanjikan bibiku akan benar-benar nyata dalam kehidupannku. Dulu tuh aku benar-benar berpegangan erat pada satu tali yang aku benar-benar berharap tali itu akan menolongku. Tali itu bibiku, Ta"

Delta menepikan mobilnya karena ia rasa lebih baik ia fokus mendengarkan cerita Indri lebih dulu. 

"Aku berharap besar pada bibiku karena memang aku rasa enggak ada orang lain yang dapat membantuku."

"Lalu orang tuamu, Ndri?" Delta masih terus penasaran.

"Orang tuaku bercerai."

"Kamu enggak ikut salah satunya?"

"Aku ikut papa, tapi papa malah menitipkanku pada nenek yang tinggal bersama bibi. Sebenarnya aku tahu sejak awal sifat bibiku memang enggak cocok denganku, tapi demi apapun aku enggak punya pilihan lain." 

"Kamu enggak berpikir buat ikut ibumu?"

"Dulu tuh keadaannya aku agak kurang mengerti, Ta, ikut mama tuh enggak pernah ada dalam pilihan lebih tepatnya papa enggak ngizinin aku buat milih itu. Mungkin karena mama bukan orang yang berpendidikan tinggi." Lalu Indri seperti teringat sesuatu di tengah-tengah ceritanya. "Kamu, kok berhenti? Memangnya enggak jadi, mau makan?" Gadis itu menyorot curiga.

"Sebenarnya itu cuma alasan sih, Ndri. Aku tuh udah kenyang, sengaja makan banyak tadi sore karena siap-siap mau ngadepin kamu. Lalu ini dompetku." Pria itu mengeluarkan dompetnya dari saku celana dan mengacungkannya ke udara. "Sorry! Curang dikit, enggak apa-apalah." Setelah melihat wajah Indri yang kembali tidak bersahabat.

"Kamu tuh emang enggak bisa dipercaya, ya."

Bersambung...

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Benang Merah, Cangkir Kopi, dan Setangan Leher
246      200     0     
Romance
Pernahkah kamu membaca sebuah kisah di mana seorang dosen merangkap menjadi dokter? Atau kisah dua orang sahabat yang saling cinta namun ternyata mereka berdua ialah adik kakak? Bosankah kalian dengan kisah seperti itu? Mungkin di awal, kalian akan merasa bahwa kisah ini sama seprti yang telah disebutkan di atas. Tapi maaf, banyak perbedaan yang terdapat di dalamnya. Hanin dan Salwa, dua ma...
Dia yang Terlewatkan
371      251     1     
Short Story
Ini tentang dia dan rasanya yang terlewat begitu saja. Tentang masa lalunya. Dan, dia adalah Haura.
(L)OVERTONE
2224      774     1     
Romance
Sang Dewa Gitar--Arga--tidak mau lagi memainkan ritme indah serta alunan melodi gitarnya yang terkenal membuat setiap pendengarnya melayang-layang. Ia menganggap alunan melodinya sebagai nada kutukan yang telah menyebabkan orang yang dicintainya meregang nyawa. Sampai suatu ketika, Melani hadir untuk mengembalikan feel pada permainan gitar Arga. Dapatkah Melani meluluhkan hati Arga sampai lela...
Kare To Kanojo
5926      1624     1     
Romance
Moza tidak pernah menyangka hidupnya akan berubah setelah menginjak Negara Matahari ini. Bertemu dengan banyak orang, membuatnya mulai mau berpikir lebih dewasa dan menerima keadaan. Perbedaan budaya dan bahasa menjadi tantangan tersendiri bagi Moza. Apalagi dia harus dihadapkan dengan perselisihan antara teman sebangsa, dan juga cinta yang tiba-tiba bersemayam di hatinya. DI tengah-tengah perjua...
Frasa Berasa
63882      7076     91     
Romance
Apakah mencintai harus menjadi pesakit? Apakah mencintai harus menjadi gila? Jika iya, maka akan kulakukan semua demi Hartowardojo. Aku seorang gadis yang lahir dan dibesarkan di Batavia. Kekasih hatiku Hartowardojo pergi ke Borneo tahun 1942 karena idealismenya yang bahkan aku tidak mengerti. Apakah aku harus menyusulnya ke Borneo selepas berbulan-bulan kau di sana? Hartowardojo, kau bah...
Si Neng: Cahaya Gema
146      129     0     
Romance
Neng ialah seorang perempuan sederhana dengan semua hal yang tidak bisa dibanggakan harus bertemu dengan sosok Gema, teman satu kelasnya yang memiliki kehidupan yang sempurna. Mereka bersama walau dengan segala arah yang berbeda, mampu kah Gema menerima Neng dengan segala kemalangannya ? dan mampu kah Neng membuka hatinya untuk dapat percaya bahwa ia pantas bagi sosok Gema ? ini bukan hanya sede...
Game of Dream
1370      760     4     
Science Fiction
Reina membuat sebuah permainan yang akhirnya dijual secara publik oleh perusahaannya. permainan itupun laku di pasaran sehingga dibuatlah sebuah turnamen besar dengan ratusan player yang ikut di dalamnya. Namun, sesuatu terjadi ketika turnamen itu berlangsung...
Pahitnya Beda Faith
455      325     1     
Short Story
Aku belum pernah jatuh cinta. Lalu, aku berdo\'a. Kemudian do\'aku dijawab. Namun, kami beda keyakinan. Apa yang harus aku lakukan?
Beloved Symphony | Excetra
1177      518     0     
Romance
Lautan melintang tiada tuturkan kerasnya karang menghadang.
Into The Sky
441      282     0     
Romance
Thalia Adiswara Soeharisman (Thalia) tidak mempercayai cinta. Namun, demi mempertahankan rumah di Pantai Indah, Thalia harus menerima syarat menikahi Cakrawala Langit Candra (Langit). Meski selamanya dia tidak akan pernah siap mengulang luka yang sama. Langit, yang merasa hidup sebatang kara di dunia. Bertemu Thalia, membawanya pada harapan baru. Langit menginginkan keluarga yang sesungguhnya....