HAWA DINGIN pergantian musim memasuki sela-sela jendela pun pintu dari kafe milik Sena. Kendati alih-alih meringis dan menahan udara dingin, pria tersebut justru tersenyum manis sekali. Sudut bibirnya tertarik sempurna menciptakan patrian indah pun lesung pipit yang dengan begitu percaya dirinya menampakkan eksistensi. Menyapa tiap pengunjung kafenya dengan terlampau ramah. Menawarkan menu dan menuliskan setiap pesanan yang diminta.
Agaknya di malam yang cukup dingin itu, tepatnya menuju akhir bulan Desember. Kafe miliknya semakin ramai lantaran banyak yang singgah untuk hanya menyesap kopi ataupun menikmati waktu bersama yang tersayang. Di jam-jam seperti ini, mayoritas pengunjungnya adalah anak-anak muda. Barangkali mahasiswa yang penat dengan tugas dan tuntutan laporan, memilih berbincang hangat dengan sandingan lezat di antaranya.
Sekali lagi Sena menyisir pandangannya. Melihat dengan jelas bagaimana ekspresi setiap manusia yang duduk manis dengan tawa renyah yang terdengar saling bersahutan, perbincangan santai, atau sekadar duduk di pojokan menikmati waktu sendiri seraya melihat lalu lalang kendaraan di luar sana.
Ah, atmosfir seperti ini memang sangat menyenangkan.
Kehangatan. Kenyamanan. Kebahagiaan.
Agaknya tiga kata tersebut sangat tepat Sena gaungkan untuk kafe yang susah payah ia dirikan dengan hasil kerja kerasnya..
Malam semakin beranjak dan jarum jam tak hentinya bergerak ke kanan. Satu per satu pengunjung sudah pergi dan di sana Sena mulai melihat bahwa jarum jam sudah berada pada pukul 11. Tidak seperti kafe lainnya yang bisa buka sampai larut malam, sejak satu tahun lalu ia memang menutup kafe lebih awal karena seseorang tengah menunggu di rumah.
Seseorang yang kini tengah berusaha ia hubungi dengan hati yang berbunga dan rasa lelah yang seolah menguap pergi.
“Halo?”
Namun, alih-alih mendapati suara gadis tersayangnya, Sena justru mendengar suara berat di ujung sana. Membuatnya mencebik dan berdecak setengah kesal, “Kenapa Mas Aksa yang angkat?” protesnya.
“Kenapa memangnya? Lagian ini sudah malam. Jingga sudah mau tidur. Sedang didongengi Mika di kamar.”
Sena membenarkan. Memejam sebentar demi merutuk kekonyolannya, “Ah, iya. Habisnya rindu.”
Decakan jelas itu tersampaikan di telinga Sena, “Kalau kamu jemput sekarang takutnya nanti Jingga malah nggak nyaman. Tidurnya keganggu,” komentar Aksa.
“Jadi gimana? Tapi kan hampir tiap malam aku titip Jingga sama Mas.”
“Kenapa? Nggak enak kamu?”
“Iya,” balas Sena, “takutnya ganggu mesra-mesra Mas sama Mba Mika.”
Di ujung sana Aksa memutar bola mata kesal, beruntung rona merah samar yang tercetak di kedua pipinya tak terlihat Sena, “Jingga sudah kuanggap anakku sendiri. Kamu nggak usah khawatir. Lagian kan kamu juga bukan tipikal Papa-papa sok sibuk yang susah luangin waktu untuk anaknya.”
Benar juga. Sena tersenyum mendengar penuturan pria yang dua tahun lebih tua darinya itu, “Iya, iya. Jingga anak kita bersama.”
“Nggak usah bilang anak kita segala. Geli!”
“Lho. Iya, kan?” Sena berucap tak paham.
“Kamu ngomong ‘anak kita’ berasa kita itu suami-istri.”
“Astaga, Mas Aksa.” Sena terkekeh tak habis pikir. Punggungnya bahkan menempel pada sandaran kursi dengan kepala menengadah dan tawa yang terdengar memenuhi ruangan, “Pikirannya Mas aja yang ngaco. Lagian―”
Namun, tepat saat suara dentingan pertanda pintu kafenya yang terbuka terdengar, ucapan Sena berhenti sampai di sana. Ia spontan duduk lalu berdiri tegak. Seseorang masuk dan menampilkan sesosok gadis dengan celana jeans dan hoodie merah muda miliknya.
“Maaf, Mba. Kafenya sudah mau tutup.” Sena berucap sopan dengan senyum yang ia sematkan. Sempat di sana ia berucap lirih pada Aksa, “Mas, ku tutup, ya. Mau sekalian beberes juga. Besok aku jemput Jingga.”
Gadis tersebut tampak setengah membelalak. Napasnya terengah dengan dua tangan yang mencengkram tali tas punggung yang ia kenakan. Di sela napas yang memburu itu, helaan napas panjang terdengar jelas.
“Yah, hari ini terakhir diskonnya kan, Mas?”
Sena menatap bingung, lengkap dengan kernyitan dahinya, “Ya?”
“Diskon itu,” gadis tersebut menunjuk papan diskon yang berada di pojok ruangan, “padahal saya pengin banget makan toast hari ini,” ucapnya lesu.
Sena barangkali hendak menolak. Memohon maaf dengan teramat sangat lantaran ia memang harus segera pulang kali ini. Namun belum sempat ia berucap, gadis tersebut kembali mengambil kesempatan bicaranya.
“Hari ini saya baru saja selesai ujian. Niatnya mau kasih reward untuk diri sendiri. Tapi kayaknya gagal deh. Ya sudah.”
Menunduk dengan gumaman yang sudah jelas terdengar di suasana sepi seperti ini, Sena dapat melihat ekspresi kecewa yang tampak jelas di sana dan bahu yang merosot sempurna. Untuk terakhir kalinya, Sena memerhatikan penampilan si gadis remaja itu dari atas hingga bawah.
Terlampau sederhana.
Bagaimana hoodie berwarna merah muda itu tampak serasi dengan sepatu kets warna serupa, kaki yang dibalut celana jeans, rambut yang dikumpulkan seluruhnya menjadi satu ikatan, kacamata yang menghias wajahnya. Namun di sana, Sena bisa melihat jelas bagaimana kantung mata yang terlihat cukup kentara kendati samar karena kacamata berbingkai hitamnya.
“Kamu semester berapa?” Sena bertanya, dua tangannya terlipat depan dada.
Gadis di hadapannya menatap polos, “Delapan.”
“Lagi skripsian, dong?”
Gadis tersebut mengangguk lagi.
Sena menghela napas. Padahal ia sudah berniat membersihkan kafenya selepas ini. Bahkan pekerja paruh waktunya sudah pulang dan menyisakan dirinya sendiri di sana.
Namun melihat wajah dengan gurat-gurat lelah yang tercetak jelas tanpa polesan riasan di hadapannya, Sena seolah mengulang kembali saat-saat di mana dia dulu berkuliah dan merasakan lelahnya perjuangan selama empat tahun itu. Apalagi ketika menduduki semester akhir yang mana segala tumpah darah penghabisan benar-benar ditumpahkan di sana.
Sena jelas paham benar perasaan gadis tersebut. Serta seluruh kelelahan yang dulunya sempat ia rasakan. Jadi-
“Ya, sudah. Nggak apa-apa, Mas. Lagi nggak beruntung berarti saya hari ini.”
“Tunggu―duduk saja dulu. Saya buatkan toast untuk kamu.”
-Sena tentunya tak akan tega membiarkan gadis tersebut pergi dengan ekspresi kecewa yang cukup besar di sana.
Oke, barangkali ini asumsikan saja sebagai perasaan prihatin dan iba. Hitung-hitung berbuat baik akan mendapat pahala, bukan?
“Eh? Serius, Mas? Nanti malah ngerepotin lagi.”
Gadis tersebut tentunya bertanya dengan ekspresi lugu dan nada yang sungkan. Namun di sana, Sena menggeleng dan kembali menampilkan lesung pipitnya. Cukup membuat perasaan lega pada si gadis lantaran setelahnya Sena justru menggeleng dengan tangan yang terkibas bebas seolah menganggap itu bukanlah masalah besar.
“Serius. Kamu mau minum apa?”
“Uhm, makan saja, deh.”
“Nggak usah malu. Mau minum apa?” tanya Sena sekali lagi.
“Jus sirsak saja. Ada?”
Menimang sebentar untuk mengingat persediaan kulkasnya, beberapa saat setelah itu Sena mengangguk yakin, “Ada. Tunggu sebentar, ya.”
Gadis tersebut tersenyum senang. Ekspresinya berubah total dan ia lekas mencari tempat duduk di salah satu kursi di tengah ruangan. Tas yang tadi digendongnya telah berpindah di kursi sampingnya. Mata yang menilik setiap sudut ruangan, dua tangan yang ia jadikan tumpuan di kursi serta sepasang tungkai yang diluruskan dan digerakkan bergantian. Di sana, Sena menarik sudut simpul. Tersenyum melihat ekspresi kelewat polos sekalipun ia tahu gadis tersebut tidaklah semuda yang ia kira.
Untuk ukuran mahasiswa semester 8, ia sudah cukup dewasa dan Sena pikir gadis tersebut hanya lelah dan bertindak semaunya untuk membuatnya bahagia.
Kendati sebuah rasa penasaran mulai terbesit di dalam benaknya. Membawa tungkai Sena yang baru berjalan tiga langkah terhenti dan kembali berbalik menghampiri gadis di hadapannya yang mendongak dengan sorot mata penuh tanda tanya.
“Nama saya Sena,” ucap Sena sesaat sebelum pura-pura berjalan lalu dan membalikkan tanda bertuliskan ‘Open’ di pintu kafenya. Diam-diam menebak barangkali itu yang menyebabkan gadis asing tersebut nekat masuk kendati suasana kafe sudah cukup sepi tanpa ada seseorang pun di sana. “Nama kamu siapa?” tanyanya lagi.
Gadis tersebut tersenyum simpul. Menampilkan lesung pipit seperti milik Sena yang agaknya hanya terdapat di salah satu pipi sebelah kirinya saja, “Ara. Nama saya Ara.”