Seusai menunggu selama beberapa menit, sebuah toast lengkap dengan satu gelas jus sirsak terhidang di hadapannya. Untuk sesaat, Ara mengerutkan dahi dan terang-terangan menunjukkan ekspresi heran. Berbanding terbalik dengan Sena yang tengah mematri senyum manis nan hangat di hadapannya.
“Ada apa?” tanya Sena kala sudah bisa membaca ekspresi wajah Ara.
“Emm,” Ara menggaruk tengkuknya canggung, “harusnya tadi saya bilang kalau dibungkus saja.”
“Oh, kalau mau bungkus nanti saya bungkuskan―”
“Nggak usah, Mas,” Ara cepat-cepat memotong. Dua tangannya melambai spontan dengan badan yang tegak sempurna, “Ini saja sudah cukup. Saya habiskan.”
Melihat ekspresi Ara yang terlihat bersalah, Sena kembali memasang senyumnya, “Serius nggak apa-apa?” tanyanya memastikan.
“Justru saya yang tanya. Apa nggak kenapa-kenapa saya nunda waktunya Mas untuk pulang?”
Sena melirik jam yang tertempel sempurna di dinding kafenya. Setelah itu ia menggeleng. Memperlihatkan kembali lesung pipit yang Ara tebak sangat mudah terlihat kendati pria tersebut hanya menarik sudut bibirnya sedikit.
Suara dering ponsel milik Sena terdengar. Pria tersebut mengambil gawai di kantung celananya. Sebelum kembali memasang senyum terakhir pada Ara, “Makan saja. Santai. Saya bisa sambilan ngerjain yang lain,” katanya yang kemudian berlalu dan berbicara dengan si penelepon.
Ara tersenyum tipis dan mengangguk. Bunyi di perutnya sudah terdengar jelas dan makanan yang terhidang di hadapannya jelas sekali sangat menggugah selera. Sudah sejak lama ia ingin memakan toast dari kafe yang beberapa waktu lalu direkomendasikan Juniar, sahabatnya. Ara yang saat itu bermodalkan makan gratis karena anak sultan itu yang membelikannya. Selepasnya, Ara jelas ketagihan. Namun harus tetap ditahan olehnya lantaran harga yang tidak terlalu bersahabat dengan jumlah uang di dompetnya.
“Bibi kenapa baru ngabarin sekarang? Saya nggak punya waktu untuk cari pengasuh lain.”
Ara mengalihkan perhatiannya. Dengan dua tangan yang menggenggam toast miliknya dan pipi yang menggembung berisi kunyahannya sejak tadi. Suara Sena yang terdengar cukup jelas sampai telinganya. Pria tersebut kini tengah duduk di meja kasir. Barangkali sembari menghitung pemasukan hari ini.
Kendati lelaki itu tampak mengambil jeda sembari memijat pelipis dan alis yang menyatu sempurna.
“Kalau cuma jemput Jingga atau antar dia ke sekolah mungkin masih bisa. Tapi kalau saya lagi kerja, gimana? Bibi tau sendiri dari siang sampai malam saya sibuk ngurus kafe.”
Jeda sesaat barangkali Ara mendengar si penelepon tengah bicara. Sejujurnya, Ara sedang tidak ingin mencuri dengar urusan orang. Namun salahkan Sena yang mengambil posisi menelepon tak jauh darinya. Atau barangkali saja lelaki tersebut tidak sadar nada suaranya yang meninggi dan presensi Ara di sana.
“Bibi nggak punya rekomendasi orang lain? Supaya saya nggak perlu capek-capek cari pengasuh pengganti untuk Jingga.”
Sebentar, pengasuh pengganti?
“Atau ada kontak siapa gitu? Susah sekali cari pekerja yang bagus akhir-akhir ini. Bibi sendiri tau saya pemilih. Saya juga nggak enak terus-terusan nitipin Jingga sama Mas Aksa.”
Baiklah, sepertinya Ara harus mendengarkan pembicaraan ini lebih lanjut. Ia tidak mau tertinggal informasi penting seperti ini.
“Oke, kalau gitu gaji Bibi, saya transfer saja malam ini. Makasih, ya sudah mau bantu saya ngurus Jingga selama ini. Semoga keadaan anaknya lekas membaik.”
Selesai sampai di sana, kala Sena sudah mematikan sambungan telepon tersebut, Ara langsung kembali memokuskan diri dengan makanan miliknya yang sudah habis. Meraih minuman dan menyesap rasa manis bercampur dingin itu untuk memanjakan tenggorokannya.
Di hadapannya, Sena tampak kembali mamasang senyum. Setelah menyelesaikan pekerjaannya di meja kasir, lelaki tersebut berjalan mendekati Ara.
“Sudah selesai makannya?”
“Makannya sudah. Minum yang belum,” jawab Ara.
Sena mengangguk paham. Sembari itu, ia menarik sebuah kursi untuk duduk di hadapan Ara yang tentunya membawa ekspresi heran dari si gadis.
“Kamu nggak dicariin pulang semalam ini?” Sena membawa topik untuk dijadikan pembicaraan.
Ara terkesiap, memainkan sedotan hitam, gadis tersebut mengulum bibir sebelum menjawab, “Saya tinggal sendirian, Mas. Sebenarnya tadi sama teman. Cuman dia lagi pergi beli sesuatu dulu.”
Sena melirik jam di kafenya, “Lama banget temenmu balik.”
“Ada urusan katanya.”
Sena memilih mengangguk tak mau mengulik lebih dalam. Di tatapnya Ara yang menatap sekeliling dengan sorot polosnya. Kedua mata bulat itu sesekali mengerjap membuat Sena tersenyum geli dalam hati. Ekspresi gadis tersebut sudah tidak separah tadi. Barangkali karena sudah terjejal makanan yang memenuhi perutnya. Sedangkan Sena sendiri tak tahu apa yang membuat dia tiba-tiba saja tertarik untuk mengambil kursi dan duduk di hadapan si gadis bernama Ara. Padahal, bisa saja Sena memilih bersantai sembari menonton beberapa video youtube seperti biasa ia menikmati waktu senggang.
Tapi sesekali memiliki teman bicara bukan hal yang buruk, bukan?
“Umm, Mas Sena?”
Sena menoleh. Ara memanggilnya dan gadis tersebut menggigit bibir bawah. Jemarinya saling memilin gelisah. Ia tampak gugup.
“Ya, Ara?”
“Saya nggak bermaksud untuk nguping sih tadinya,” ucap Ara tiba-tiba.
“Lalu?” Sena bertanya, dua tangannya terlipat depan dada.
“Saya dengar ... Mas Sena lagi butuhin pengasuh, ya?”
Sena menilik sesaat. Sebelum ia akhirnya mengangguk dan berkata, “Pengasuh anak saya sejak tiga hari yang lalu izin karena anaknya sakit. Terus tiba-tiba tadi minta ngundurin diri. Katanya, mau fokus ngurus anaknya. Jadi, saya bingung harus cari pengasuh lagi. Kenapa? Kamu ada rekomendasi?”
Ara menggeleng, “Nggak ada sih,” sahutnya, “cuma ... kalau Mas Sena mau, saya bisa kok jadi pengasuh anaknya Mas.”
Ara menundukkan kepalanya dalam dengan suara yang semakin lirih dan justru terdengar seperti cicitan. Sudah merasa melakukan tindak kejahatan besar dan tengah diadili detik itu juga. Padahal ia tidak melakukan apapun. Barangkali saja, postur tubuh tegap Sena dan aura mendominasi dalam diri pria tersebut membuat Ara sedikit canggung dan takut-takut salah bicara.
Sedang Sena yang tengah mencerna keadaan justru tersenyum geli. Ia melihat ekspresi Ara yang tampak polos dan lucu di hadapannya. Sebuah tawa ia lepaskan dan itu cukup membuat atensi Ara kembali mengarah dan mendongak menatapnya heran.
“Kenapa, Mas? Mas ragu, ya? Atau mau perlu saya buat CV? Saya sudah sering ngurus anak kecil, kok. Dari dulu saya sudah ngurusin adik-adik saja,” ujar Ara meyakinkan.
Sesaat di sana, Sena tentunya tidak langsung asal menerima penawaran Ara. Kendati dalam hati ingin sekali mengiyakan lantaran tak enak hati membiarkan anaknya menumpang di rumah Aksa sejak tiga hari yang lalu. Terutama Sena termasuk orang yang sangat pemilih.
Pria tersebut memperhatikan tampilan Ara dari atas hingga bawah. Mencoba menerka berapa kira-kira harga pakaian yang dikenakan oleh si gadis tersebut. Pun sebuah jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya serta tas punggung yang tergeletak di kursi samping Ara.
“Kamu nggak kelihatan seperti butuh uang, Ara. Kenapa tiba-tiba ngajuin diri jadi pengasuh?”
Ara mengangguk sadar saat pertanyaan yang ia duga ini tertuju padanya. Terutama saat melihat lirikan mata Sena di barang-barang yang ia pakai.
“Saya memang nggak kelihatan butuh uang. Setiap bulan selalu dikirimin orang tua. Tapi itu uang untuk kebutuhan saja, Mas. Saya juga mau uang untuk beli hal-hal yang saya mau,” akunya.
“Seperti?”
“Novel-novel kesukaan saya, sama beli jatah skin care yang sudah mau habis.”
Jawaban itu terlampau polos tentu saja. Mengingat bagaimana Sena sempat berpikir bahwa gadis di hadapannya ini sedang benar-benar membutuhkan uang. Terlilit hutang barangkali, sampai membuatnya tampak bersikeras untuk melamar pekerjaan dengan gaji yang tidak terlalu banyak menurut Sena. Terutama saat melihat barang-barang yang dikenakan Ara, Sena menebak gadis tersebut berasal dari keluarga yang lumayan berkecukupan.
“Waktu itu saya sudah jadi guru privat untuk beberapa anak, Mas. Tapi sudah selesai karena masa kontrak kerja saya habis. Jadi, sekarang saya nganggur lagi.”
“Kan kamu masih fokus skripsian. Lagian masih kuliah juga, kalau sudah wisuda dan nggak dapat kerja, baru boleh bilang nganggur.”
“Yah, Mas Sena. Nggak keterima nih saya jadinya?”
“Bukan gitu, Ara,” Sena menegakkan badannya. Menumpukan dua tangan di atas meja sebelum menjawab santai, “Saya orangnya pemilih. Kita baru saja ketemu. Apalagi rupa-rupamu meragukan sekali untuk sering kontakan sama anak kecil. Asal kamu tahu saja anak saya orangnya pendiam. Jadi, saya harap pengasuh yang ngurus anak saya nanti sedikit lebih cakap dan peka.”
Ara mengangguk paham, lagipula apa yang bisa dilihat Sena dari gadis yang tengah beranjak dewasa sepertinya?
“Mas Sena nggak mau ngadain semacam magang dulu, begitu?”
Sena tertawa kecil, “Kamu pikir kantor, pakai acara magang segala.”
“Seminggu, deh,” ujar Ara memulai negosiasi, “seminggu Mas Sena lihat kinerja saya. Kalau sudah bagus, saya diterima. Kalau kerja saya jelek, nanti saya bisa dilepas. Gimana?”
Sena menghela napasnya, “Sebenarnya kenapa kamu kekeuh banget pengin kerja sama saya, sih?”
Ara tampak luar biasa polos menanggapi ucapan macam itu. Ia hanya mengangkat bahu seraya menjawab, “Saya lagi pengin beli novel. Novelnya series, dan kalau mau beli semua serinya cukup mahal. Uang saya nggak cukup. Saya jujur lho, Mas. Nggak mau sok-sok memelas sekalipun saya butuh uang,” ucapnya ringan.
Menjeda beberapa saat untuk kembali mempertimbangkan keputusannya, hening menyapa dan hanya berisi jarum jam yang terus bergerak menunjuk nyaris pukul dua belas. Kalau saja Sena tidak mengingat yang di hadapannya adalah perempuan, lelaki tersebut tidak akan susah payah memutar otaknya dalam kondisi lelah seperti ini.
“Ya, sudah,” ucapnya mengalah. Ara tak bisa menahan senyum lebarnya detik itu juga.
Mereka bertukar nomor ponsel untuk sesaat sampai akhirnya Sena berkata, “Besok siang temui saja di kafe. Saya bakalan jelasin lengkapnya sama kamu. Nanti saya hubungi jam berapa tepatnya. Singkatnya, kamu hanya perlu jagain Jingga dari siang sampai malam.”
Oh, jadi namanya Jingga.
“Kalau pagi?”
“Kalau pagi, Jingga sama saya. Siang sampai malam saya harus kerja. Jadinya, saya hanya perlu pengasuh di jangka waktu itu saja.”
Ara hanya bisa mengangguk mengerti. Sebelum ponsel yang ada di atas meja berbunyi dan sebuah pesan masuk. Jemputan yang sejak tadi ditunggunya sudah ada di depan dan itu tanda baginya untuk segera pulang.
“Ya, sudah. Saya pulang dulu ya, Mas Sena. Besok saya ke sini. Makasih banyak sudah terima tawaran saya. Dan ... makasih juga untuk makanannya.” Ara lalu mengeluarkan beberapa lembar uang untuk membayar makanan miliknya.
Sena turut bangkit dan tak menghilangkan patrian senyum di wajahnya, “Iya, hati-hati, Ara. Sudah malam.” Mengintip sekilas dari dalam kafenya, Sena melihat seorang pemuda tengah menunggu seraya duduk di atas motornya.
Ara hanya mengangguk dan melambai ringan sebelum benar-benar menghampiri Juniar yang tengah menunggu dan sudah waktunya mereka pulang. Sena masih melihat kepergiannya sampai mereka sudah benar-benar keluar dari kafe tersebut.
Kendati di waktu yang cukup singkat itu, terutama mengingat kembali perkataan Sena beberapa saat lalu. Sebuah tanya kembali menghampiri Ara, sekalipun ia masih punya perasaan untuk tidak mengulik urusan orang lain lebih dalam.
Kemana kepergian ibu kandung Jingga?