Read More >>"> Cinta si Kembar Ganteng (Bagian 1 – waktu bertunangan) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Cinta si Kembar Ganteng
MENU 0
About Us  

Terlalu sulit untuk menjalani apa yang tidak biasa!

Pemuda dengan rahang lebar itu menarik koper 15 inci dengan sedikit lesu. Meski, beberapa menit lalu ia bersenang-senang, ia belum bisa menerima keputusannya sendiri adalah tepat. Pikirannya telah kalut sejak berangkat dari rumah. Ia tidak puas dengan jawaban yang diberikan kepada Abu dan Nyak. Koper warna cokelat tua itu tersandung dengan koper lain yang berdiri tegak sendirian. Ia lantas meminta maaf sambil menundukkan kepala kepada pemilik koper tersebut. Senyum dari wajahnya entah bermakna apa. Seolah, ia ingin bercermin di dinding kaca sebelum masuk ke ruang check-in.

Ia – juga – harus menyegerakan pendalaman karakter agar tidak ketahuan.

Seperti di depan Abu dan Nyak.

Petugas bandara mondar-mandir, sibuk juga di sisi X-Ray dengan beberapa catatan pada calon penumpang yang dianggap membawa benda keras. Ia berhadapan dengan beberapa orang yang dikenal, ingin membalas senyum dalam tidak ingin menarik otot pipi menanjak ke sisi mata kanan. Senyum yang mungkin serupa, atau malah senyumnya sendiri yang berbeda dari pemilik senyum itu sendiri. Ia menyibukkan diri dengan membuka smartphone, sekonyong-konyong sedang mengecek e-ticket untuk diperlihatkan kepada petugas check-in.

Deretan orang mematung di jalur sebelah kanannya. Dalam diam yang tiada tahu apa di benak mereka, ia sadar bahwa mereka di sana ingin segera mendapatkan boarding pass. Deretan dirinya mengantre, hanya tinggal dua kepala lagi yang tak berselang menit telah meninggalkan wanita berkerudung biru yang sibuk di depan komputer.

Sebenarnya, ia telah check-in online enam jam yang lalu. Waktu yang ia sesali karena tersisa beberapa seat paling ujung di ekor dan dekat sayap. Dengan tangan kurang bergairah ia menyerahkan smartphone dan KTP kepada petugas check-in. Semenit berlalu dalam ketukan di atas keyboard.

“Ada bagasi, Bapak?” tanya petugas check-in seolah cuek tetapi memang demikian, kondisi di mana petugas itu konsentrasi pada layar komputer agar tidak salah mencetak boarding pass.

“Nggak ada,” jawabnya.

Petugas check-in itu berdiri, “Bapak Teuku Rifky Kurniawan, seat Bapak 40A, kita boading pukul 10:10 ya, Pak!” lalu menyerahkan boarding pass dan smartphone kembali kepada Teuku Rifky – yang sebenarnya sedang berada di ruangan lain waktu itu. Teuku Rafky Kurniawan yang berdiri tegap di sana menyunggingkan senyum miliknya sendiri, yang tak akan bisa dibedakan oleh petugas bandara itu.

Pemuda dengan tinggi 180 cm, berbadan atletis, penggemar AC Milan, dan tentu saja hampir tiap malam di lapangan futsal itu, menarik langkah ke lantai 2. Eskalator di sebelah kiri rusak, ia harus naik eskalator sebelah kanan, ke arah keberangkatan internasional sebelum memutar balik arah ke ruang tunggu keberangkatan domestik.  

Jika tidak karena tak ingin, mungkin. Ah, sudahlah.

Teuku Rafky tidak mau mengulang janji. Ia berbenah di pagi buta karena mengingat pekerjaan yang hendak diselesaikan di kantor, menggantikan abangnya sebagai arsitek dalam sesaat. Abangnya Teuku Rifky, sebenarnya sedang merancang bangunan yang mungkin, nantinya akan berdiri di bibir pantai Lampuuk, Aceh Besar. Tetapi, lihatlah apa yang ia lakukan.

Teuku Rafky menyungging senyum tak pasti. Ia sudah memegang boarding pass. Dan, ini bukan kali pertama ia merepotkan Teuku Rifky yang tak pernah mengeluh saat ia merajuk. Bukan pula kali kedua ia harus menerima pekerjaan sampingan, bukan juga kali ketiga ia menentukan jalan demikian. Namun, berkali-kali, malah lebih dari hitungan sepuluh jari, ia yang sanggup mencatatnya, ia dipermainkan oleh waktu.

Mungkin juga kebohongan di alam bawah sadarnya.  

“Bang, tolong…, tiada cara lain!” dua wajah serupa, dua suara yang hampir sama, berhadap-hadapan. Di penutup malam yang terasa begitu lamban sekali.

Pemilik mata memelas itu memiliki bahu yang sedikit runcing dibandingkan dengan pemilik mata teduh yang tak melepas pandangannnya dari tablet 10 inci. Itu adalah dirinya.

“Abang tidak bisa kali ini, Raf,” Teuku Rifky tidak memalingkan wajahnya, ia akan melihat dirinya yang lain dalam rapuh dengan kulit lebih halus, mata bening yang mampu menghipnotis, warna kulit yang lebih terang darinya, dan juga potongan rambut yang serupa.

“Bang, kali ini saja, sekali lagi,” telapak tangan lembut itu memegang paha Teuku Rifky yang keras bagai batu.

“Abang harus menyelesaikan proyek ini besok,”

“Abang masih bisa menundanya, tolonglah…,”

“Tapi, abang harus siapkan besok,”

“Aku hubungi bos abang ya?”

Teuku Rifky akhirnya memalingkan wajah pada rona serupa yang memerah di depannya.

Itu adalah dirinya.

Ia tahu, suara itu nanti akan mengibuli suasana menjadi runyam.

“Abang nggak bisa, Raf,”

“Abang pasti bisa!”

Teuku Rifky menelusuri isi hati adiknya. Entah kenapa, meskipun ia selalu tegar, senyum yang terkadang jutek dan cuek, ia tak bisa berpaling dari raut tampan adiknya. Ia selalu melihat Teuku Rafky adalah dirinya sendiri.

Meski, berulangkali ia menepis, pesona Teuku Rafky tidak bisa mengelabui perasaannya sendiri. Tak cuma rasa sakit yang mereka derita bersama, rasa ngilu yang entah karena apa juga akan menjadi petaka fisik dan batin mereka bergejolak kian resah.

Teuku Rafky menyunggingkan senyum pada boading pass yang dipegangnya. Tak ada yang mungkin ditolak Teuku Rifky. Walaupun di luar adalah badai dengan salju berbongkah, Teuku Rifky akan menjaga adiknya, ia yakin sekali itu. Hanya beberapa detik saja jarak usia mereka, selebihnya adalah satu kesatuan yang menyeru kepada perih atau bahagia bersama.

Teuku Rafky ingin segera naik ke pesawat dan menidurkan resah di hatinya. Tak mungkin. Ia terus berpikir keras. Mana mungkin. Ika Rizkya Keumala tak akan bisa membedakan Teuku Rafky dengan Teuku Rifky. Ia sendiri yang mengubah cara bicara, gaya berpakaian, menukar smartphone, mobil dirinya, bahkan dompet sekalipun. Ia sekarang tak lain adalah Teuku Rifky Kurniawan, seperti yang tercetak dalam boarding pass itu.

Apa yang kau lakukan saat mulai melakukan sesuatu, tapi kacau-balau; mungkin, kau tengah patah hati, butuh penawar segala rupa untuk menghapus segala!

Teuku Rafky tak bisa tidur sampai pesawat landing.

***

Mungkin waktu akan membuat karma serupa. Batin Teuku Rifky Kurniawan di dalam ruangan putih dengan orang bercakap-cakap bahagia. Bagian mana yang ia dustakan sehingga harus berada di depan wanita yang sama sekali tidak ia kenali. Lalu, ia mesti berpura-pura bersuara lebih ceria, memakai parfum yang sangat sensitif dengan penciumannya, dan juga menerima pesan dari orang lain dalam bahasa begitu mesra.

Abu dan Nyak duduk di sana. Mereka begitu lega dengan hari ini. Ia memengkur bukan karena malu. Ia takut menaikkan wajah, kalau-kalau ada yang mengenali dirinya. Pada saat itu, ia merasa telah berdosa jutaan kali kepada Abu dan Nyak yang tidak mampu membedakan anaknya. Dada yang bidang tentu serupa. Alis yang tebal juga sama. Namun, rahang mereka berbeda jika sedang berdiri berdekatan.

Teuku Rifky ingin berteriak meminta tolong. Bungkusan kuning di depannya memberi isyarat untuk diam saja. Emas yang dibawa akan menjadi tanda ikatan dua manusia akan menjadi nyata dalam seketika.

Ia berujar, itu bukan hubungannya. Ia mendekap pilu, itu bukan untuk dirinya.

Rafky, ini tidak bisa main-main!

Dan, ia telah main-main dengan ikatan suci. Ia yang tidak mampu menolak permintaan adiknya, sejak dulu. Teuku Rafky mudah bersenang-senang tetapi sulit mengambil keputusan saat risau tiba.

Keluarga besar telah bertemu. Ia benar-benar terasing dan tidak bisa mengenali siapapun di dalam sana, kecuali lukanya. Mungkin saat itu, Teuku Rafky telah berada di dalam pesawat dan tertidur pulas di sana.

Keumala tampak cantik sekali. Ia berujar dalam hati soal selera adiknya yang tak main-main. Meski menunduk, Keumala tetap saja memancarkan aura dari dalam dirinya yang sesekali melirik ke Teuku Rifky.

Ini bukan Rafky!

Tetapi, waktu benar-benar bisa ditipu. Saat Nyak menyarungkan cincin ke jari manis Keumala, semuanya seolah telah usai. Dua keluarga telah disatukan. Rona bahagia menggelora di mana-mana. Bahkan, piring pun berdendang tak sebagaimana mestinya yang selalu kasar dan lupa diri.

Teuku Rifky lesu dalam pilu. Ia bersalah pada Abu dan Nyak yang bahagia. Namun, ia tak bisa marah kepada Teuku Rafky.

***

How do you feel about this chapter?

1 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Ayugesa: Kekuatan Perempuan Bukan Hanya Kecantikannya
7348      2220     204     
Romance
Nama adalah doa Terkadang ia meminta pembelajaran seumur hidup untuk mengabulkannya Seperti yang dialami Ayugesa Ada dua fase besar dalam kehidupannya menjadi Ayu dan menjadi Gesa Saat ia ingin dipanggil dengan nama Gesa untuk menonjolkan ketangguhannya justru hariharinya lebih banyak dipengaruhi oleh keayuannya Ketika mulai menapaki jalan sebagai Ayu Ayugesa justru terus ditempa untuk membu...
Cinta di Sepertiga Malam Terakhir
5646      1429     1     
Romance
Seorang wanita berdarah Sunda memiliki wajah yang memikat siapapun yang melihatnya. Ia harus menerima banyak kenyataan yang mau tak mau harus diterimanya. Mulai dari pesantren, pengorbanan, dan lain hal tak terduga lainnya. Banyak pria yang datang melamarnya, namun semuanya ditolak. Bukan karena ia penyuka sesama jenis! Tetapi karena ia sedang menunggu orang yang namanya sudah terlukis indah diha...
Hei, Mr. Cold!
320      261     0     
Romance
"Kau harus menikah denganku karena aku sudah menidurimu!" Dalam semalam dunia Karra berubah! Wanita yang terkenal di dunia bisnis karena kesuksesannya itu tak percaya dengan apa yang dilakukannya dalam semalam. Alexanderrusli Dulton, pimpinan mafia yang terkenal dengan bisnis gelap dan juga beberapa perusahaan ternama itu jelas-jelas menjebaknya! Lelaki yang semalam menerima penolakan ata...
She Is Mine
327      213     0     
Romance
"Dengerin ya, lo bukan pacar gue tapi lo milik gue Shalsa Senja Arunika." Tatapan Feren makin membuat Shalsa takut. "Feren please...," pinta Shalsa. "Apa sayang?" suara Feren menurun, tapi malah membuat Shalsa bergidik ketakutan. "Jauhin wajah kamu," ucapnya. Shalsa menutup kedua matanya, takut harus menatap mata tajam milik Feren. "Lo pe...
Konstelasi
819      419     1     
Fantasy
Aku takut hanya pada dua hal. Kehidupan dan Kematian.
Dosa Pelangi
613      358     1     
Short Story
"Kita bisa menjadi pelangi di jalan-jalan sempit dan terpencil. Tetapi rumah, sekolah, kantor, dan tempat ibadah hanya mengerti dua warna dan kita telah ditakdirkan untuk menjadi salah satunya."
Senja Belum Berlalu
3775      1358     5     
Romance
Kehidupan seorang yang bernama Nita, yang dikatakan penyandang difabel tidak juga, namun untuk dikatakan sempurna, dia memang tidak sempurna. Nita yang akhirnya mampu mengendalikan dirinya, sayangnya ia tak mampu mengendalikan nasibnya, sejatinya nasib bisa diubah. Dan takdir yang ia terima sejatinya juga bisa diubah, namun sayangnya Nita tidak berupaya keras meminta untuk diubah. Ia menyesal...
love is poem
232      135     3     
Romance
Di semesta ini yang membuat bahagia itu hanya bunda, dan Artala launa, sama kaki ini bisa memijak di atas gunung. ~ ketika kamu mencintai seseorang dengan perasaan yang sungguh Cintamu akan abadi.
SWEET BLOOD
0      0     0     
Fantasy
Ketika mendengar kata 'manis', apa yang kau pikirkan? "Menghirup aromanya." Lalu, ketika mendengar kata 'darah yang manis', apa yang kau pikirkan? "Menikmati rasanya." Dan ketika melihat seseorang yang memiliki 'bau darah yang manis', apa yang kau pikirkan? "Mendekatinya dan menghisap darahnya."
STORY ABOUT THREE BOYS AND A MAN
13527      2728     34     
Romance
Kehidupan Perkasa Bagus Hartawan, atau biasa disapa Bagus, kadang tidak sesuai dengan namanya. Cintanya dikhianati oleh gadis yang dikejar sampai ke Osaka, Jepang. Belum lagi, dia punya orang tua yang super konyol. Papinya. Dia adalah manusia paling happy sedunia, sekaligus paling tidak masuk akal. Bagus adalah anak pertama, tentu saja dia menjadi panutan bagi kedua adiknya- Anggun dan Faiz. Pan...