Deru ombak menyiksa kaki yang kesemutan. Rumah Nenek persis di pinggir pantai; yang malam pekat terdengar ombak saling bersahutan. Mungkin ikan, sedang menikmati nyanyian alam sebagaimana mestinya.
Ada saja alasan Rafky tidak mau pulang ke rumah. Senggama alam liar dan bibir pantai yang ganas, membuatnya terlalu bebas untuk berfantasi. Rafky lima tahun berlari ke bibir pantai sore itu. Matahari bagaikan bongkahan emas yang memancarkan sisa panas bukan pada masa paceklik.
Langkah kaki Rafky sangat cepat. Tergopoh Nenek mengejar dari belakang. Kakinya tersungkur pasir, lalu terjatuh. Rafky sudah sampai ke bibir pantai. Masuk ke laut. Bermain air. Lalu tinggal tangan menggapai-gapai.
Nenek histeris. Suara alam sangat ganas. Abu dan Nyak berlari dari pintu dapur yang tak lagi sempat ditutup. Seekor ayam langsung masuk ke rumah dari sana. Abu berlari sekuat tenaga ke bibir pantai. Sudah tak terlihat tangan Rafky di dalam ombak. Namun itu, Rifky menggapai-gapai dalam diam. Tangannya menarik lengan Rafky yang sudah tidak sadarkan diri. Entah kapan, Rifky sampai ke bibir pantai.
“Abu bilang kau jaga adikmu!” teriak Abu sambil mematah Rafky, menjauh dari ombak yang makin ganas. Abu memberikan pertolongan pertama dalam derai airmata. Nyak histeris tak keruan. Nenek masih berucap doa panjang dalam tangisnya.
Dan, Rifky, terdiam dalam kaku.
***
Tak ada yang lebih cepat selain waktu dalam musibah. Di balik jendela usang, gorden kain lusuh, Rifky lima tahun lebih satu menit dari Rafky, mengintip matahari yang sudah tenggelam. Abu, Nyak dan Nenek masih menenangkan Rafky yang tak berhenti menangis.
Sebentar lalu, Rafky masih bersamanya bermain siapa berani. Luput ditinggal minum segelas air putih karena kerongkongan sangat kering, Rifky melihat Rafky sudah ada di bibir pantai. Segitu cepat angin, badan Rafky lebih dari itu melesat ke bibir pantai. Saat dirinya kejar, tangan Rafky sudah menggapai-gapai.
Saat suara Nenek histeri, itu adalah dirinya yang sedang menarik lengan Rafky dengan sekuat tenaga. Badan yang terbujur kaku. Perasaan yang bersalah. Air mata baru menetes bertepatan dengan azan magrib tiba.
Mungkin, itu memang kesalahannya.
Bintang yang tak datang pada malam itu, mirip dengan suasana hati Rifky sepanjang perjalanan pulang. Rafky yang duduk di sebelahnya masih merengek enggan pulang. Abu menyetir dengan menimpali permintaan putar balik Rafky. Nyak terdiam sambil mengamati Rifky yang sedari tadi tak bicara lagi. Bahkan, Rifky tidak memberi salam kepada Nenek, hanya lesu menunduk masuk ke dalam mobil.
“Abang mau makan apa?” tanya Nyak.
Mulut Rifky akan menjawab, nasi kambing dekat rumah. Tetapi, suara renyah Rafky lebih dahulu, “Nasi goreng mata sapi,”
Abu memutar di persimpangan untuk ke tempat makan itu. Selintas Nyak melihat gurat kecewa di mata Rifky. “Abang mau nasi goreng?”
“Iya, Nyak,” sudah begitu saja.
Pulang ke rumah dalam diam karena Rafky sudah terlelap. Dalam mimpi itu, Rafky terus menyebut laut, pantai, matahari, pasir dan ombak. Waktu yang dibutuhkan lebih cepat, sangatlah lamban. Mata yang ingin segera dipejam, lima menit sampai ke rumah barulah Rifky terlelap di dalam mobil.
***
Esok yang panjang. Hanya ada dalam definisi dan halusinasi Rifky. Sepeda yang baru dibeli bulan lalu masih belum berteman baik dengan mereka berdua. Rafky mendorong sepeda ke teras, bermain-main sebentar di sana. Matanya mengamati sekeliling. Abu sudah ke kantor. Nyak sedang memasak. Rifky tidak ada.
Rafky mendorong pintu pagar dengan perlahan. Kaki kecilnya berjingkrat-jingkrat mengeluarkan sepeda agar tidak ada yang melihat. Sekali pandang, tidak ada siapa-siapa di belakangnya. Rafky menutup pintu pagar kembali dengan cekatan. Sayang menimbulkan bunyi berderit sedikit. Sinyal kuat untuk Rifky mencarinya. Tetapi Rafky, sudah hilang ke kiri atau ke kanan.
Baru lima menit. Tetangga memanggil dengan keras. “Nyak Fatimah, Rafky ditabrak motor!” dengan kerudung longgar yang tersangkut di atas kursi ruang makan, Nyak berlari ke arah suara. Pintu tidak ditutup, kucing tetangga masuk dengan angkuhnya lalu mencuri ikan yang baru saja digoreng. Habis semua dimakan dengan lahap, lalu mengeong sekali dan pulang.
Di pinggir jalan, orang sudah ramai berkerumun. Lima langkah lagi ke depan, adalah papan nama masuk ke kompleks perumahan. Seorang pria muda tersungkur dengan luka di lengan dan celananya sobek. Motor matic sedang diangkat orang-orang dari parit dengan air tidak dalam. Wajah pria itu meringih, mungkin sedang menahan sakit.
“Rafky, Rafky, Rafky,” panggil Nyak sambil menerobos orang berkerumun. Di sana, Rifky sedang meniup luka di lengan Rafky yang sedang menyeringai. Lebam di lutut terlihat jelas. Kaos oblong putih menyisakan debu di bagian depan.
“Abu sudah bilang kau jaga adikmu, Rifky,” Nyak kali itu menepikan perasaan Rifky.
“Abu berulang kali bilang, tugas kau itu jaga adikmu!” geram Abu dengan nada serupa, yang tergopoh pulang kantor lebih cepat. Rifky menunduk. Rafky sedang menawar makan malam di sudut ruangan. Ke cumi-cumi pinggir jalan. Ke ayam goreng cepat saji. Ke sate langganan.
Di menit-menit yang lalu, belum bertemu pintu pagar satu sama lain, lalu berderit, Rifky sudah ada di belakang Rafky. Saat sepeda motor menyenggol sepeda Rafky, Rifky yang terpental beberapa meter ke depan. Namun, Rifky memburu waktu melihat adiknya tertimpa sepeda. Luka tak terlihat memang ada di dirinya. Cuma napas yang tersenggal menahan sesak di ulu hati.
Rifky tidak sakit hati, apalagi kecewa. Sakit itu karena badannya remuk kena batu. Mungkin dadanya akan sesak dalam waktu yang lama.
***