Satu pekan kemudian.
Pagi yang cerah, Azfar, Abimanyu dan Nining sudah berdiri di lobi utama panti dengan barang-barang mereka, menunggu mobil sewaan untuk membawa mereka ke terminal bus. Mereka akan pualng ke Palu dengan bus.
Banyak penduduk panti yang bersedih karena akan melepas kepergian mereka. Tiga remaja itu banyak dikenal oleh penduduk panti. Murid-murid mengaji Azfar tak kalah sedih, belasan murid itu memeluk erat tubuh lelaki itu, mereka akan kehilangan guru kesayangan.
Di panti juga sudah ada Salman, Fiskal, dan Ainun.
Saat mobil jemputan tiba di gerbang panti, enam sahabat itu berpelukan, melepas kepergian sahabat terbaik mereka dari Palu.
“Sampai bertemu di Palu,” kata Ainun pada Azfar.
Azfar mengangguk, tersenyum, mulai melangkah ke mobil, memasukkan barang-barang.
“Akhir bulan Juli kami ke Palu,” kata Fiskal pada ketiga sahabatnya dari Palu.
Satu tahun lebih tinggal di kota Makassar, menciptakan kesan yang luar biasa bagi Azfar, Abimanyu dan Nining. Mereka mendapatkan keluarga baru, teman baru, dan pastinya pengalaman paling berharga.
Sepuluh menit berpamitan pada semua penduduk panti yang berkumpul di lobi utama, juga sahabat-sahabat mereka, kini tiga remaja asal Palu itu masuk ke dalam mobil. Satu dua anak-anak kecil menangis histeris, betapa tidak, Azfar, Abimanyu dan Nining sangat dekat dengan semua anak-anak panti, apa lagi Azfar adalah guru mengaji mereka.
Jendela kaca mobil dibuka penuh, dari dalam, tiga remaja itu melambaikan tangan kepada semua orang-orang yang melepas kepergian mereka. Mobil mulai jalan, meninggal Panti Sosial.
Azfar, Abimanyu dan Nining berharap agar suatu saat nanti bisa berkunjung lagi ke panti itu, tempat mereka menyimpan sejuta kenangan.
Beberapa hari yang lalu, Azfar pergi ke toko boneka, membeli boneka doraemon yang pernah ia janjikan kepada adiknya Adirah di Donggala.
Mobil melesat cepat membelah jalanan kota Makassar. Pandangan Azfar selalu ke luar jendela, menatap kota yang suatu hari nanti akan ia rindukan.
***
Dua hari perjalanan dari Makassar ke Donggala, kini Bus yang mereka tumpangi sudah memasuki kota Donggala—tujuhbelas km lagi baru sampai di desa mereka.
Pukul dua siang, Azfar membangunkan Abimanyu yang tidur di sebelahnya, agar bisa melihat kota Donggala dari jendela. Abimanyu terbangun. Nining juga terbangun saat bus memasuki kota Donggala. Tiga remaja itu terus memerhatikan sepanjang kota Donggala. Abimanyu dan Nining sempat melihat sekolah mereka dulu, saat ini masih dalam proses pembangunan gedung-gedung baru. Saat bus melintasi jalan poros Palu-Donggala, hamparan lautan teluk disebelah kiri jalan sangat indah, terlihat beberapa nelayan sedang duduk di atas perahu yang mengapung, tangan mereka cekatan memakai jaring penangkap ikan.
Azfar, Abimanyu, dan Nining sudah mengabari keluarga mereka di rumah, bahwa bus sudah di kota Donggala, sekitar duapuluh menit lagi akan sampai di desa. Azfar meminjam ponsel Abimanyu untuk menghubungi Zaldin, dan keluarga Nenek Arni sudah menyiapkan makanan-makanan lezat, menyambut seorang keluarga kesayangan mereka yang sudah meninggalkan mereka satu tahun lebih lamanya.
Duapuluh menit, bus berhenti dengan mulus di satu titik, yakni di depan rumah Kepala Desa. Azfar, Abimanyu dan Nining loncat turun dari Bus. Pak Kades menyambut mereka dengan ramah, menyiapkan mobilnya, mengantar tiga remaja itu ke rumah masing-masing. Azfar pulang ke rumah Nenek Arni. Abimanyu dan Nining diantar ke Huntara—lokasi dulu tenda pengungsian berdrii—di lapangan sepak bola, orang tua mereka masih tinggal di Huntara. Ibu Azfar, Azizah, juga mendapatkan jatah Huntara, namun Nenek Arni meminta ia agar menginap di rumah saja, agar rumah terlihat ceria dengan kehadirannya dan juga anaknya, Adirah. Jika tak ada Azizah dan Adirah di rumah, tinggal Zaldin dan Nenek Arni saja di rumah.
Mobil avanza merah Pak Kades memasuki lorong menuju rumah Nenek Arni, tujuh menit, mobil terparkir rapi di halaman depan rumah. Tak ada lagi tenda darurat berdiri di depan rumah itu. Bencana sudah jauh berlalu, para korban bencana mulai beraktivitas seperti biasanya, namun kejadian itu masih saja membekas di dalam hati.
Azizah, Adirah, Zaldin, dan Nenek Arni sudah berdiri anggun di depan rumah, tersenyum saat melihat Azfar keluar dari mobil. Adirah, si gedis kecil yang kini usianya sudah tujuh tahun, berlari ke arah Azfar, segera memeluk erat sang Kakak yang setiap hari ia rindukan. Azfar duduk bersimpuh, memeluk Adirah. Gadis kecil itu masih terlihat menggemaskan dan lucu.
“Adirah sangat rindu dengan Kakak,” kata Adirah yang masih memeluk erat tubuh Azfar.
“Kakak juga rindu Adirah.” Pelukan dilepas, Azfar mencubit pipi gadis kecil itu.
Pak Kades harus segera pergi, karena di dalam mobilnya masih ada Abimanyu dan Nining. Azfar menyalami tangan Pak Kades, mengucapkan terima kasih. Dari dalam mobil, Abimanyu dan Nining melambaikan tangan pada keluarga Azfar. Mobil meninggalkan rumah Nenek Arni.
Azfar mencium tangan Azizah, dan memeluknya. Azizah terlihat sangat gembira, ia juga sangat rindu pada anaknya itu, dan hari ini akhirnya bisa bertemu lagi.
“Sekolah di Makassar seru, Nak?” Azizah bertanya.
Azfar mengangguk ceria, tersenyum. Lelaki itu kini mencium tangan Nenek Arni dan Zaldin, lalu mereka semua masuk ke dalam rumah.
“Adirah, tutup dulu mata kamu,” titah Azfar. Lelaki itu meraih tas besarnya, mengeluarkan boneka doraemon yang pernah ia janjikan pada Adirah, “Sekarang buka matanya.”
Seketika Adirah bersorak gembira melihat pemberian boneka doraemon yang Azfar belikan untuknya.
“Kakak benar-benar membelikan Adirah boneka doraemon. Terima kasih, Kak.” Sekali lagi, Adirah memeluk erat sang Kakak. Azfar mengelus lembut kepala gadis kecil itu.
***
Kebiasaan Azfar berbisnis di Makassar tetap berlanjut sampai sekarang, lelaki itu menjual Kentang Arab kepada orang-orang di kampungnya. Untuk jalangkote, ia menjualnya di kedai ibunya, Azizah. Azizah kembali menjual Nasi kuning. Tempat jualan nasi kuning Azizah sekarang berada di depan rumah Nenek Arni. Azizah mendapatkan modal punjualan nasi kuning yaitu dari uang yang sering Azfar transferkan untuknya saat putranya itu masih berada di Makassar.
***
Akhir bulan Juli, sesuai perjanjian saat di Makassar, Salman, Fiskal dan Ainun hari ini akan tiba di Palu. Azfar, Abimanyu dan Nining sudah menunggu di terminal bus menyambut kedatangan tiga sahabat mereka dari Makassar. Cukup lama tiga remaja itu menunggu di terminal, hingga akhirnya bus itu pun tiba di terminal. Saat bus yang dinanti-nanti telah tiba, Azfar, Abimanyu dan Nining langsung berlari menghampiri sahabat-sahabat mereka yang baru saja turun daro bus, dan mereka langsung berpelukan, melepas rindu yang beberapa minggu tidak bertemu.
Badan terasa capek, Ainun segera menuju ke rumah orangtuanya, cukup jauh dari terminal. Orang tua gadis itu tak bisa menjemput di terminal bus, karena ada meeting penting di kantor yayasannya, gadis itu terpaksa menumpangi taksi online menuju rumah orangtuanya. Salman dan Fiskal langsung mencari kos-kosan kosong di dekat kampus mereka nanti, Azfar dan Abimanyu membantu mereka mencari kos.
“Kalau nanti sudah aktif kuliah, aku satu kos dengan kalian berdua, boleh?” Abimanyu bertanya pada Salman dan Fiskal saat dalam pencarian kos-kosan.
“Boleh sekali. Berempat dengan Azfar juga boleh,” kata Fiskal.
“Sepertinya aku nanti akan pulang-balik dari rumah ke kampus,” kata Azfar.
“Ya ampun, jarak desa kita dengan kampus jauh, Azfar. Duapulu kilometer,” kata Abimanyu.
“Tidak masalah. Itu kebiasaanku saat masih di bangku SMA sebelum bencana. Kalau sudah setiap hari menaklukkan perjalanan jauh, tidak terasa lagi jauhnya.” Azfar menyeringai.
Enam sahabat itu jadi lebih sering bertemu saat tiga remaja dari Makassar itu sudah berada di Palu, malah mereka seringkali berkunjung ke UNTAD, kampus mereka nanti. Pertengahan bulan Agustus nanti adalah kegiatan PKKMB, dan mereka sudah menyiapkan apa saja yang akan diperlukan saat PKKMB.
***
Satu pekan setelah kedatangan tiga remaja dari Makassar, Azfar akhirnya membeli ponsel baru, ia membeli dari uang tabungannya.
Minggu pagi di halaman depan rumah Nenek Arni, Azfar dan Adirah sedang duduk santai, menjaga jualan ibu mereka. Tiba-tiba ponsel Azfar berdering, lelaki itu melihat layar, ada nama Ainun, segera menerima panggilan tersebut.
“Assalamualaikum.” Suara Ainun terdengar dari seberang telepon.
“Waalaikumusalam. Ada apa, Ainun?”
“Mmm.... Aku boleh berkunjung ke rumah kamu?”
Azfar menatap Adirah di sebelahnya, gadis kecil itu mendengar suara Ainun dari ponsel.
“Boleh. Kapan?” Azfar bertanya.
“Nanti sore, boleh?”
Terbelalak mata Azfar, ia pikir besok atau besok lusa, ternyata sore nanti. Di samping Azfar, Adirah jadi kepo, ingin tahu siapa yang sedang berbicara dengan kakaknya. Azfar menempelkan telunjuknya ke bibir Adirah, bilang jangan berisik.
“Azfar, boleh apa tidak?” Sekali lagi Ainun bertanya. Pertanyaan pertama tadi belum sempat menjawabnya, karena Adirah mengganggunya.
“Eh, iya, iya, boleh, Ainun, boleh, hehehe.” Azfar tergugu.
“Sherlock sekarang,” pinta Ainun.
“Iya, nanti telepon mati baru aku sherlock.”
“Oke. Sudah dulu ya, aku lanjut bersih-bersih rumah. Dahh. Assalamualaikum….”
“Tunggu dulu.” Azfar menahan Ainun agar jangan dulu mematikan telepon.
“Kenapa?”
“Abi dan Nining diajak?”
“Nanti sore aku Cuma mau ketemu kamu.”
Azfar nyengir lebar mendengar ucapan Ainun, “Baiklah, aku tunggu.”
Geming sejenak, lalu Ainun mengucapkan tiga kata, “I love you.”
Lagi-lagi terbelalak mata Azfar, ia cepat-cepat menutup loudspeaker ponselnya, agar Adirah tidak mendengarnya.
“Azfar, kenapa tidak dibalas?” Ainun berseru jengkel di seberang telepon.
“Ada adikku di samping,” kata Azfar pelan, bola matanya tertuju ada Adirah, wajah gadis itu menyelidik.
Telepon pun dimatikan. Adirah menggoda kakaknya, ia mendengar ucapan 'i love you’ tadi. Gadis kecil itu sudah paham tentang itu.
“Tadi itu siapa, Kak?” Adirah bertanya, menyelidik.
“Teman kakak.” jawab Azfar.
“Teman atau pacar? Teman masa' ada kata-kata ‘i love you’?”
“Kamu mau nonton youtube, Adirah? Kita putar video pendek anak-anak sholeh-sholehah.” Azfar mengalihkan pembicaraan.
“Jawab dulu, tadi itu siapa?” Adirah tetap ingin tahu.
“Teman kakak, Adirah. Namanya Ainun. Adirah mau bermain dengan Kak Ainun nanti sore?”
Mata Adirah tetap dengan tatapan menyelidik, “Mau, mau. Nanti sekalian Adirah tanya saja, Kak Ainun siapanya Kakak.”
Buru-buru Azfar menyalakan kembali ponselnya, mengetik pesan, dikirimkan ke Ainun:
Kalau nanti adikku tanya kamu itu siapaku, jawab saja, ‘teman’, ya.
***
Ainun tiba di rumah Nenek Arni setelah beberapa menit lalu pusing dengan google maps yang menunjukkan arah. Motor Ainun terparkir rapi di halaman depan rumah Nenek Arni. Azfar sudah berdiri di ambang pintu depan, Adirah juga sudah berdiri di samping lelaki itu, masih dengan ekspresi menyelidik.
“Asalamualaikum,” Ainun memberi salam saat sudah di depan pintu.
“Waalaikumussalam.” Azfar dan Adirah menjawab salam bersamaan, lantas Azfar menyilakan Ainun masuk, duduk di sofa ruang tamu.
“Aku ke dapur sebentar,” izin Azfar pada Ainun, "Adirah, temani Kak Ainun di sini."
Adirah mengangguk, lantas segera bertanya pada Ainun saat Azfar menuju dapur, “Kak Ainun siapanya Kak Azfar?”
“Temannya,” jawab Ainun. Itu adalah jawaban yang diinginkan Azfar.
Adirah mengangguk sekilas, namun hatinya tetap masih tidak percaya.
Sepersekian menit, Ainun dan Adirah bercakap-cakap. Tak lama kemudian, Azfar kembali ke ruang tamu, membawa dua gelas sirup dingin, juga kue kering.
“Maaf, hanya ada ini,” kata Azfar, meletakkan nampan berisi sirup dan kue kering.
“Itu sudah lebih dari cukup. Justru aku yang seharusnya minta maaf, karena sudah merepotkan, “ kata Ainun malu-malu.
Azfar menggeleng, “Tidak merepotkan sama sekali.”
“Sirup untuk adirah mana?” Adirah protes, tidak terima karena sirup hanya dua gelas.
Azfar menghembuskan napas, “Kakak tidak minum sirup, Adirah, gelas yang satu itu untuk kamu.”
“Oh. Terima kasih, Pacarnya Kak Ainun,” balas Adirah enteng, membuat Azfar memelotot ke arahnya. Di samping Adirah, Ainun hanya tertawa.
Sesaat kemudian, Azizah menghampiri tamu Azfar di ruang tamu. Sebelum kedatangan Ainun, Azfar sudah memberitahu pada Azizah bahwa ada tamunya dari Makassar berkunjung ke rumah.
“Bu, ini pacarannya Kak Azfar.” Adirah berseru saat Azizah sudah duduk di kursi sofa. Lagi-lagi Azfar memelototi Adirah, gadis kecil itu hanya tertawa mengejek.
Lama mereka bercakap-cakap. Kehangatan tercipta di ruang tamu, Azizah benyak berbicara pada Ainun, namun Ainun masih malu-malu. Dalam keadaan saling berbagi cerita.
Sore itu, setelah cukup lama bercakap-cakap dengan keluarga Azfar di rumah, Azfar mengajak Ainun untuk pergi ke pantai, tak jauh dari rumah Nenek Arni. Sebelum pergi, Ainun memberikan oleh-oleh berupa roti dan kue-kue kering yang ia beli di supermarket tadi untuk Azfar dan keluarga di rumah, Ainun juga membeli coklat batang untuk Adirah, gadis kecil itu sangat menyukainya.
“Adirah ikut,” pinta Adirah.
“Tidak usah, Adirah, kamu di rumah saja,” balas Azfar.
Adirah tetap menggeleng, “Tidak mau, adirah mau ikut ke pantai.”
“Kalian pergi ke pantai mananya?” Azizah bertanya pada Azfar.
“Di dermaga, Bu,” jawab Azfar.
“Tidak usah ikut Adirah, Azfar dan Ainun ke dermaga. Tidak ada anak kecil di sana, apa lagi kalau kamu jatuh dari dermaga, tidak tau berenang, bahaya!” Azizah tidak mengizinkan.
Adirah tak bisa berbuat apa-apa lagi jika Ibunya tidak mengizinkan, gadis kecil itu hanya merajuk di sudut kursi sofa.
Azfar dan Ainun pamit pada Azizah. Sekali lagi Azizah berterima kasih pada Ainun karena sudah memberikannya oleh-oleh. Ainun mengangguk, mencium tangan Azizah, lantas pergi meninggalkan rumah menuju pantai. Azfar mengendarai motor, membonceng Ainun. Motor melintasi perkampungan warga. Tujuh menit, motor sudah sampai di pinggir pantai, Azfar dan Ainun berjalan menuju dermaga.
Setelah melewati masa-masa sulit saat bencana, kampung Azfar sedikit demi sedikit pulih, pembangunan mulai dilakukan di mana-mana, termasuk dermaga yang mereka kunjungi sore ini, sebuah dermaga kayu, berbentuk huruf T. Dermaga itu dipakai untuk tempat bersandar perahu-perahu kecil, sesekali anak-anak kecil, hingga remaja berenang di sana, lompat dari atas dermaga.
Azfar dan Ainun berjalan hingga ke ujung dermaga, menatap perairan teluk Palu. Di depan sana, nampak indah pegunungan yang ada di seberang, menara-menara tinggi juga terlihat. Air laut bersih dan jernih, hingga nampak terumbu karang dari atas dermaga.
“Aku mulai menulis Novel.” Azfar melapor pada Ainun.
“Oh ya? Sudah ada alur ceritanya?” Ainun bertanya.
“Sudah. Aku juga sudah menemukan endingnya. Banyak ide-ide baru masuk ke kepalaku, dan aku langsung mencatatnya, lalu mulai menulis. Masih mengetik di HP, soalnya belum punya laptop,” Azfar nyengir.
“Wah, keren sekali.” Ainun tersenyum bangga, “Tidak jadi masalah jika masih mengetik cerita di HP. Nanti kalau sudah selesai diketik naskahnya, unggah ke Wattpad, kalau pembacanya sudah banyak, baru kirim ke penerbit. Atau kamu langsung mengirimnya ke penerbit tanpa mengunggahnya ke Wattpad.”
“Sepertinya akan aku unggah ke Wattpad dulu, siapa tahu pembacanya banyak, bisa diterbitkan, apa lagi sampai best seller.” Lagi-lagi Azfar nyengir.
“Aamiin.”
Angin laut menerpa wajah kedua remaja itu, matahari sudah berada di kaki langit bagian barat, sedikit lagi akan tenggelam. Sesekali kedua remaja itu bersitatap, tersenyum bersama. Kebahagiaan menyeruak ke dalam hati mereka masing-masing. Mereka akan lebih sering ketemu, karena jarak mereka dekat, apa lagi kuliah di kampus yang sama.
Hari-hari berikutnya, bukan hanya Ainun yang sering berkunjung ke Donggala, bertemu Azfar dan dua sahabatnya—Abimanyu dan Nining, Salman dan Fiskal juga sering datang. Azfar menepati janjinya, membawa Ainun, Salman dan Fiskal ke pantai-pantai indah dan terkenal di Donggala. Enam sahabat itu sering berkumpul.