Ada belasan peserta lomba tilawah, semua sudah berbaris rapi di dalam Masjid. Menuju ke Masjid tadi, Azfar tidak bersamaan dengan ke empat sahabatnya. Ia pergi sendirian. Di dalam masjid juga sudah banyak penonton yang tak sabar lagi menyaksikan suara-suara merdu dari tiap peserta. Di dalam Masjid, Abimanyu, Salman, Ainun dan Nining masih kebingungan dengan Azfar, lelaki itu tiba-tiba berubah.
Satu-persatu nama-nama peserta dipanggil ke depan untuk tampil. Dari tempat duduknya, Azfar sedikit gugup, karena baru ini lagi ia tampil lomba tilawah.
Walau Azfar tak mengajak Abimanyu, Salman, Ainun dan Nining untuk menonton tampilannya, empat sahabatnya itu tetap datang ke Masjid untuk menyaksikan. Dari sudut Masjid, Ainun sejak tadi menanti pandangan Azfar ke arahnya, namun sama sekali belum ada. Gadis itu merasa ada yang aneh pada lelaki itu.
“Tampilan selanjutnya, Ahmad Azfar, dari kelas sebelas IPS dua…..” MC memanggil nama Azfar.
Azfar beranjak berdiri dari duduknya, menuju ke depan, duduk dengan rapi, mengambil mikrofon yang sudah disediakan. Geming sejenak, lelaki itu pun mulai menarik napas pertama, lalu mengeluarkan suara tinggi, panjang, dan merdu. Ayat demi ayat terucap indah dari mulutnya, membuat seluruh penonton, dewan juri, juga seluruh peserta berdecak kagum. Beberapa geleng-geleng kepala saking merdunya.
Ainun menatap kagum seorang lelaki yang sedang tampil di depan sana, matanya tak berkedip sama sekali, telinga ia pasangkan baik-baik demi mendengar lantunan merdu ayat suci yg dibawakan Azfar. Dia pantas mendapat julukan sebagai lelaki idaman, ucap Ainun dalam hati.
Tujuh menit, Azfar telah selesai tampil, ia pun berdiri menuju tempat duduknya semula. Setelah tiga peserta terakhir tampil, lomba tilawah pun selesai. Para peserta sudah lega karena sudah tampil, semua penonton mulai keluar dari dalam Masjid.
Ainun berjalan cepat menghampiri Azfar yang sedang memakai sepatu di tangga Masjid.
“Tampilan yang luar biasa.” Ainun memuji saat sudah duduk di samping Azfar.
“Terima kasih,” balas Azfar datar, dengan sedikit senyuman tipis dari bibirnya.
Usia memakai sepatu, Azfar buru-buru pamit, meninggalkan Ainun di sampingnya. Tentu saja Ainun kesal, karena ditinggal begitu saja tanpa mengobrol sebentar. Sejak jam istirahat tadi, sikap Azfar mulai dingin kepadanya.
“Apakah aku punya salah denganmu?” pekik Ainun pada Azfar yang sudah melangkah beberapa meter.
“Tidak ada.” Azfar melanjutkan langkahnya.
Tak jauh dari Azfar dan Ainun yang dalam suasana berantakan, Abimanyu meneriaki Azfar:
“Azfar....” langkah Azfar terhenti. “Ada apa denganmu? Kenapa tiba-tiba berubah?”
Azfar menoleh ke belakang melihat ke empat sahabatnya. “Aku mau ke kelas,” kata Azfar. Hanya itu yang ia jawab. Lelaki itu berlari-lari kecil menuju kelas, Ainun di belakang tak bisa berkata apa-apa, wajahnya terlihat sedih. Apa salahku? Tanya Ainun dalam hati.
“Ahh, ayo kita hampiri Azfar dikelas, kita harus cari tahu apa yang terjadi padanya,” kata Abimanyu, ia tak terima dengan hubungan persahabatan mereka seperti ini.
Salman, Ainun, dan Nining mengangguk. Mereka berempat pun menuju ke kelas.
Tiba di kelas, mereka dapati Azfar menyilangkan kedua tangannya di atas meja, lalu menidurkan kepalanya di atas tangan.
“Azfar,” panggil Abimanyu saat sudah duduk di sampingnya. Salman, Ainun dan Nining berdiri mengelilingi Azfar.
Sebelumnya mata Azfar terpejam, namun saat sadar akan kehadiran sahabat-sahabatnya, ia membuka mata, manatap Abimanyu yang sudah duduk di sampingnya. Azfar semakin di lema dengan posisinya saat ini.
“Kamu kenapa? Kalau ada masalah, cerita ke kami,” kata Abimanyu lembut.
“Ya, Azfar. Kami sahabatmu, tidak ada salahnya jika kamu menceritakan pada kami,” sambung Salman. Ainun dan Nining mengangguk sepakat.
Azfar menegakkan badannya, menatap satu persatu sahabat-sahabatnya. Terakhir Azfar menatap Ainun, raut wajah gadis itu terlihat sedih. Sepertinya Azfar harus mengatakan yang sebenarnya, agar di antara mereka tidak saling menyalahkan, apa lagi sampai membenci.
“Aku hanya ingin menjauhi Ainun.” Suara Azfar pelan, seketika membuat mereka berempat terkejut, terbelalak bola mata mereka.
“Alasannya?” Nining bertanya tegas, seperti tak terima dengan keputusan Azfar. Di samping Nining, mata Ainun sudah berkaca-kaca.
“Aku akan menceritakan semuanya, tapi kalian harus berjanji padaku untuk tidak berbuat satu hal setelah aku menceritakannya,” kata Azfar.
Mereka berempat mengangguk, menyetujui.
“Fiskal memberi aku dua pilihan—.”
“Fiskal?!” Abimanyu memotong ucapan Azfar, ia terkejut saat mendengar nama Fiskal disebut.
“Dengar dulu, Abi,” kata Azfar. “Jika aku menjauhi Ainun, maka dia akan berhenti menggangguku. Tapi jika aku masih tetap dekat dengan Ainun, dia akan terus mengangguku.... Aku mohon, jangan sampai kalian mendatangi Fiskal, apa lagi sampai memukulnya! Ingat, kalian sudah berjanji.”
Abimanyu mendengus kasar, tangannya mengepal, rasanya ia ingin segera berlari mencari Fiskal, dan menghajarnya. Salman pun sama, tapi mereka tak mungkin berbuat demikian, karena mereka sudah bejanji.
“Memang benar dugaanku, sikapmu seperti ini pada Ainun pasti gara-gara Fiskal,” kata Abimanyu.
Lima remaja itu termangu, memikirkan masalah tersebut, mencari jalan keluarnya. Bagaimana mungkin mereka tak kumpul bersama-sama lagi.
Azfar membuka tasnya, mengeluarkan tiga novel yang ia pinjam dari Ainun—novel trilogi karangan Ahmad Fuadi. Belum genap satu bulan Azfar meminjam, ia telah menamatkan novel edisi pertama berjudul: Negeri 5 Menara, edisi dua dan tiga belum ia baca, namun sudah harus ia kembalikan pada Ainun.
“Ini novel kamu, terima kasih karena sudah meminjamkan untukku. Ceritanya keren.” Azfar menyerahkan tiga buah novel ke tangan Ainun.
“Tapi edisi dua dan tiga beium selesai kamu baca. Tamatkan semua dulu.” Ainun menggeleng, wajahnya sedih.
Apakah Azfar benar-benar ingin menjauhinya sampai-sampai harus mengembalikan novel miliknya padahal belum selesai dibaca?
“Rasanya tidak baik jika aku tetap membacanya namun kamu kaujauhi. Ambil, Ainun. Jika suatu hari nanti keadaan sudah membaik, aku akan meminjamnya lagi,” kata Azfar. Ainun pasrah dan mengambilnya.
Abimanyu, Salman, dan Nining menghembuskan napas, tak bisa berkata apa-apa lagi.
***
Hari-hari berlalu. Jalan keluar belum mereka temukan, Azfar dan Ainun terpaksa masih saling menjauhi. Persahabatan mereka juga menjadi canggung. Kebersamaan, Kejailan, cenda-tawa, telah sirna pada persahabatan itu. Abimanyu, Salman dan Nining selalu lengkap bila berkumpul, namun jika ada Azfar bersama mereka bertiga, sudah tentu tak ada Ainun, sebaliknya, Ainun ada, Azfar yang tak ada. Fiskal merasa puas dengan perkembangan perbuatannya, hari-harinya selalu bahagia karena ia punya kesempatan untuk mendekati Ainun. Tapi tidak bagi Ainun, gadis itu malah benci dengan Fiskal.
“Ainun, ayo kita ke kantin, aku yang traktir,” ajak Fiskal suatu kali.
“Aku tidak mau. Dengar ya! Aku juga akan menjauhi orang yang membuat hubunganku dengan Azfar menjadi rusak,” kata Ainun tegas.
“Azfar lagi, Azfar lagi. Apa yang sebenarnya kamu suka dari dia? Dia itu hanya anak penjual jalangkote, miskin!” Fiskal memutar bola mata malas.
“Jangan mengatakan Azfar seperti itu! Dasar manusia tak punya hati! Apakah kamu tidak tahu rasa sakitnya bila dikatai seperti itu?!” Suara Ainun meninggi. “Aku sudah mencintai Azfar lebih dari seorang sahabat! Bagaimana pun usahamu membuat hubungan kami menjadi renggang, rasa cintaku pada Azfar tidak akan pernah hilang walau sekeping!!”
Ucapan Ainun membuat Fiskal terbungkam, hatinya bagai digores silet tajam. Ainun meninggalkan Fiskal yang berdiri tak berdaya.
Fiskal memang berhasil membuat Azfar menjauhi Ainun, namun ulahnya itu berdampak juga padanya; Ainun menjauhi dirinya juga.
***
Pembelajaran mulai aktif lagi setelah satu minggu lebih full dengan lomba-lomba. Di hari ulang tahun sekolah kemarin, pengumuman juara setiap lomba diumumkan. Rejeki Azfar, ia mendapatkan juara 1 lomba tilawah. Saat menerima hadiah di atas panggung, semua temannya, wali kelas, berfoto bersama dengannya. Saat itu Ainun ingin sekali berfoto hanya berdua dengan Asfar, namun tak bisa. Fiskal memang benar-benar mengacaukan segalanya.
Hari-hari berikutnya melesat begitu cepat.
Fiskal sepertinya akan pasrah dengan perjuangannya selama ini untuk mendapatkan hati Ainun, sebab, Ainun ibarat sebuah magnet yang menarik erat seorang Azfar ke hatinya. Walau dirasa perjuangannya sia-sia untuk mendapatkan hati Ainun, Fiskal akan tetap cemburu bila Ainun masih dekat dengan Azfar.
Di sekolah, Fiskal selalu memantau Azfar tanpa sepengetahuan lelaki itu.
Suatu hari di taman samping Masjid, Azfar sedang duduk-duduk santai seorang diri, mulai menikmati makan siangnya. Dari jauh, Fiskal sedang duduk di gerombolan beberapa siswa, padahal siswa-siswa itu bukan temannya, ia berpura-pura bergabung di sana, hanya untuk memantau Azfar. Usaha Fiskal memang berhasil menjauhkan dua orang sahabat baik, namun lelaki itu tetap saja terus memantau setiap gerak-gerik Azfar, ia berpikir, boleh jadi Azfar dan Ainun ketemu diam-diam.
Saat Azfar mulai membuka penutup tuperware-nya, seorang ibu-ibu melintas di belakang Azfar. Baju Ibu itu lusuh, ia menggendong anaknya dengan lilitan kain sarung di dadanya—anaknya kira-kira berusia dua tahun. Di belakang Ibu itu juga ada sebuah keranjang, dan di tangan kanannya memegang besi melengkung untuk dia gunakan mengambil sampah-sampah botol plastik, gelas plastik, dan sampah-sampah yang bisa dijual lainnya.
Azfar merasakan kehadiran Ibu itu di belakangnya, menoleh, ia itu menatap iba pada Ibu tersebut. Azfar menghampiri Ibu itu.
“Ibu, boleh kita duduk sebentar?” Azfar berbicara dengan hati-hati, badannya sedikit ia bungkukkan, pertanda sopan.
Ibu itu mengangguk, lalu duduk di kursi beton taman, Azfar juga duduk di sampingnya.
“Ibu sudah sarapan?” Azfar bertanya pelan, menatap Ibu itu.
Ibu itu menggeleng samar, ia menatap anaknya yang tertidur pulas di gendongannya.
“Saya punya makanan, Bu, tapi saya sudah kenyang. Ibu mau?” Azfar menatap Ibu itu penuh haru, bibirnya mengukir senyuman ikhlas memberi.
Ibu itu balas menatap Azfar, mengangguk. Azfar menyodorkan tuperware pada Ibu itu, dan diterima sang Ibu dengan senyum bahagianya.
“Azfar memberikan makanannya pada Ibu itu?” gumam Fiskal. Tatapannya tidak pernah lepas dari momen haru jauh di sana.
Tak hanya nasi goreng itu, Azfar juga merogoh isi tasnya, mengambil dua bungkus Kentang Arab jualannya.
“Ini kentang arab, Bu, rasanya sangat lezat, pas juga sebagai makanan pendamping nasi goreng." Azfar menyodorkannya pada Ibu itu. Ibu itu kembali tersenyum, menerima pemberian Azfar. Setelah itu, buru-buru Azfar memasukkan tangannya ke saku celana, menarik selembar uang senilai dua puluh ribu. Azfar meraih tangan Ibu itu, memberikannya secara tertutup. “Maaf, Bu, tidak banyak.”
Ibu itu menatap bangga pada Azfar, “Terima kasih banyak, Nak. Kamu anak yang baik.”
Azfar tersenyum bahagia karena melihat wajah Ibu itu mengukir senyuman.
Ibu itu hendak pamit pada Azfar, namun ia bingung bagaimana dengan tuperware milik Azfar, sedangkan ia tidak ingin makan di area sekolah.
“Tempat makanan itu juga untuk ibu saja,” kata Azfar lembut.
“Terima kasih banyak, Nak, semoga Allah membalas segala kebaikanmu.” Ibu itu berlalu pergi, Azfar ikut berdiri dari duduknya, melepas kepergian Ibu, sampai Ibu itu jauh, lelaki itu kembali duduk.
Walaupun tak mendengar percakapan Azfar dan Ibu itu, Fiskal mengetahui apa yang Azfar lakukan pada Ibu itu. Selama ini Fiskal salah!
“Inilah definisi kaya sebenarnya,” gumam Fiskal lagi sambil terus menatap Azfar. “Aku baru sadar, kaya itu tidak dilihat dari banyaknya harta yang dimiliki, namun seberapa besar diri memberi kepada yang lebih membutuhkan.”
Sayup-sayup angin iman merasuk ke tubuh Fiskal, datang menyejukkan hati yang sebelumnya sangat panas. Akhlak seorang Azfar dapat menyentuh hatinya yang kotor, yang penuh dengan rasa dendam.
Fiskal terus mengamati momen indah di kejauhan sana hingga Ibu itu pergi meninggalkan Azfar.
Melihat Azfar yang kembali duduk seorang diri sambil membaca buku, Fiskal berinisiatif untuk membelikan lelaki itu makanan, tapi ia malu memberikannya langsung pada Azfar, karena banyaknya kesalahannya pada lelaki itu. Akhirnya Fiskal memanggil salah seorang adik kelas, menyuruhnya membeli sebungkus nasi di kantin. Adik kelas itu juga mendapatkan upah dari Fiskal. Tujuh menit, adik kelas itu kembali dengan membawa sebungkus nasi diisi di kantongan plastik. Fiskal menyuruh adik kelas itu untuk memberikannya pada Azfar yang duduk di sana, dengan berpesan tidak memberi tahu nasi bungkus itu dari siapa.
“Terima kasih, Ya Allah,” gumam Azfar saat menerima nasi bungkus itu.
Sungguh Allah Maha Baik, membalas segala kebaikan hambanya yang beramal dengan ikhlas.