Satu bulan setelah bencana.
Genap sudah satu bulan bencana berlalu, kini daerah-daerah yang terdampak parah sudah mulai pulih kembali. Puing-puing bangunan hampir telah dibersihkan semua, berubah menjadi lahan kosong. Listrik juga sudah menyala. Warga Palu, Sigi dan Donggala, saat pertama kali menyalakan televisi, masih banyak stasiun televisi yang menyiarkan tentang bencana di kota mereka. Jaringan internet juga sudah pulih, semua orang berulang-ulang kali menonton video saat bencana terjadi, yang sempat terekam kamera. Beberapa keluarga mulai merenovasi rumah-rumah mereka. Hanya sekolah saja yang belum beroperasi hingga saat ini.
Pada hari-hari mulai pulih itu, Azfar tetap berkunjung ke pengungsian, bertemu dengan teman-temannya. Ada yang kurang ia rasakan, yakni ketidakhadiran Aya dan rekan-rekan relawannya, begitu pun dengan Abimanyu dan Nining, mereka merindukan relawan-relawan itu.
Saat ini para korban yang rumahnya rata dengan tanah, masih tinggal di tanda-tanda pengungsian. Kabarnya, dalam waktu dekat ini, tenda-tenda pengungsi yang berdiri di lapangan sepak bola itu akan dibongkar, digantikan dengan bangunan Hunian Sementara (Huntara).
Dalam perjalanan menuju pengungsian, Azfar tertarik dengan sebuah poster yang ditempel di tiang listrik, ia membacanya.
“Para pelajar Kota Palu, Sigi dan Donggala mendapatkan biaya sekolah gratis di luar provinsi?” gumam Azfar, ia makin tertarik.
Ada banyak poster-poster itu ditempel di mana-mana; di tiang listrik, pohon, juga di dinding-dinding bekas rumah penduduk yang masih berdiri, namun tak ditinggali lagi. Azfar mencabut satu poster itu, membawanya ke pengungsian, ingin memperlihatkannya kepada dua teman baiknya, Abimanyu dan Nining.
Pagi itu, Azfar, Abimanyu dan Nining duduk-duduk di tribun lapangan.
“Wah, ini berita bagus. Kesempatan buat kita keluar provinsi, naik pesawat, yuhuuu!” Abimanyu berseru riang. “Kalian berdua bagaimana? Kalau aku ingin sekali ikut program ini.”
Azfar dan Nining mengangguk setuju.
“Aku juga mau, tapi belum tahu dengan Ibuku, apakah Ibuku akan mengizinkannya,” balas Azfar.
“Kalau begitu, bagaimana kita laporkan dulu ke orang tua kita masing-masing dulu? Semoga diizinkan.” Abimanyu berseru lagi, ia sangat senang dan bersemangat.
Ketiga remaja itu kembali ke tempat tinggal masing-masing, mereka berjanji akan bertemu di tribun lagi sore nanti, membawa kabar dari orang tua masing-masing. Abimanyu dan Nining kembali ke tenda masing-masing, dan Azfar ke rumah Nenek Arni.
Sampai di rumah, Azfar memperlihatkan poster itu kepada Azizah, memberikan waktu kepada sang Ibu untuk membacanya.
“Memangnya kamu mau sekolah di luar provinsi?” Azizah bertanya saat selesai membaca poster itu.
Azfar mengangguk semangat, tersenyum lebar. “Ibu mengizinkanku?”
Azizah tersenyum lembut, “Jika itu adalah kemauan kamu, dan kamu punya niat untuk menuntut ilmu, ibu izinkan.”
“Sungguh, Bu?” Azfar bertanya lagi, memastikan, apakah ibunya benar-benar mengizinkan, kali ini dengan nada yang gembira.
Azizah mengangguk, mengusap kepala putranya itu dengan penuh kasih sayang.
“Yesss! Alhamdulillah.” Azfar berseru lagi. “Bukan hanya Aku, Bu. Abimanyu dan Nining juga. Semoga mereka berdua juga diizinkan orangtua mereka.”
“Wah, itu lebih bagus lagi jika mereka juga mau, biar kalian bisa sama-sama terus.... Eh, tapi tunggu dulu, kalian bertiga akan memilih sekolah di mana?”
Azfar belum tahu soal itu, mereka bertiga belum membicarakannya.
“Saran ibu, kalian bertiga pilih sekolah yang sama, biar bisa sama-sama, walaupun nanti tidak sekelas.”
Azfar setuju dengan saran itu, ia akan menyampaikannya kepada Abimanyu dan Nining.
Sore harinya, tiga remaja itu berkumpul lagi di tribun. Kabar baik, Abimanyu dan Nining juga diizinkan oleh orangtua mereka. Orangtua mereka juga menyarankan agar mereka memilih sekolah yang sama.
“Iya, kita pilih sekolah yang sama, karena jika tidak, ibuku tidak akan mengizinkannya,” kata Nining.
“Bukan cuma kemauan orangtua kita agar kita memilih sekolah yang sama, tapi juga keinginan kita, bukan?” sambung Azfar, bertanya.
Abimanyu dan Nining mengangguk, mereka juga ingin memilih sekolah yang sama.
“Terus sekolah di mana?” tanya Abimanyu.
“Saranku, kita ke provinsi yang dekat saja. Makassar, bagaimana?” Azfar berkata mantap.
“Ide bagus. Aku setuju.” Nining berseru gembira, Abimanyu pun juga.
“Sekolah apa, ya?” tanya Abimanyu lagi.
“Soal itu aku belum tahu,” balas Azfar.
“Bagaimana kalau kita pinjam HP salah satu petugas. Kita cari tahu satu persatu sekolah-sekolah yang ada di Makassar, setelah itu kita tentukan ingin sekolah apa.” Nining memberikan ide brilian.
Azfar dan Abimanyu setuju, mereka bergegas turun dari tribun, menuju tenda milik petugas. Dari raut wajah mereka, terlihat sangat gembira.
Petugas meminjamkan ponsel pada mereka, ketiga remaja itu membuka google dan youtube, mencari sekolah-sekolah menengah atas yang ada di Makassar. Sepuluh menit berkutat di hadapan ponsel, menimang-nimang sekolah yang ingin mereka pilih, akhirnya ketiga remaja itu sudah menetukan pilihannya. Masing-masing sepakat. Sekolah yang mereka pilih adalah salah satu sekolah swasta, yakni SMA Sultan Alauddin yang ada di kota Makassar. Ketiga remaja itu pamit pergi dari tenda petugas, berterima kasih.
Di poster, syarat untuk keberangkatan ke provinsi tujuan adalah dengan mendatangi kantor Dinas Pendidikan, membawa berkas-berkas yang diminta. Para pendaftar 'sekolah gratis' juga diperkenankan agar meminta izin kepada kepala sekolah asal mereka masing-masing. Proses untuk memberangkatkan pelajar yang ingin bersekolah gratis di luar provinsi mulai dari tanggal 1 hingga 7 November.
Hari melesat dengan cepat, tanpa mereka sadari sekarang sudah tanggal 1 November. Berkas-berkas akan mereka antar hari ini ke kantor Dinas Pendidikan Kabupaten Donggala.
Ketiga remaja itu dilayani dengan ramah di kantor Dinas Pendidikan. Salah satu pegawai yang membantu keberangkatan mereka memberi tahu bahwa hari Senin, 5 November mereka akan berangkat ke Makassar. Namun, ada yang membuat Abimanyu sedikit kecewa saat mendengar penuturan dari pegawai itu.
“Berkas-berkas kalian akan segera kami urus, dan besok kalian datang ke sini lagi, mengambil tiket kapal pelni kalian,” demikian penuturan pegawai tersebut.
“Yaah, aku kira kita bakalan naik pesawat,” Abimanyu berkata lesu, terdengar oleh pegawai yang menguruskan keberangkatan mereka.
“Hei, tidak boleh seperti itu, Abi. Bersyukur, setidaknya kita bisa berangkat,” tegur Azfar.
“Hehehe, iya, naik kapal, Dik, bukan pesawat.” Pegawai itu tersenyum lebar pada mereka.