Read More >>"> RUMIT (Makassar) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - RUMIT
MENU
About Us  

Satu hari sebelum keberangkatan.

Azfar seperti tidak tega meninggalkan Azizah dan Adirah dengan waktu yang cukup lama, betapa tidak, lelaki itu tiap harinya selalu dekat dengan ibu dan adiknya. Makassar bukan sedekat kota Palu, yang Azfar bisa pulang-balik antara sekolah dan rumah. Namun, jaraknya sangat jauh, ia akan menetap lama—menjadi anak rantau. Kemungkinan satu tahun lebih lamanya Azfar tinggal di sana setelah ia lulus dari SMA nanti.

Sore itu, Azfar packing pakaian yang akan ia bawa ke Makassar, mengisinya ke dalam sebuah tas besar pemberian pamannya, Zaldin. Jika Azfar pergi nanti, maka yang tersisa di rumah tinggal Nenek Arni, Azizah, Adirah, dan Zaldin. Rumah akan mulai sepi, apa lagi beberapa hari yang lalu mereka ditinggal pergi Indri untuk selamanya, atas peristiwa yang menimpa perempuan itu beberapa hari yang lalu. Haji Sengko juga sudah balik ke rumahnya, tidak bermalam di rumah Nenek Arni lagi, karena listrik sudah menyala.

“Ibu tidak apa-apa jika Azfar tinggalkan dengan waktu yang lama?” tanya Azfar, di ruang tengah, di situ juga ada Nenek Arni dan Adirah. Zaldin tak ada di rumah.

Azizah tersenyum, “Azfar, tidak usah khawatirkan ibu, kan masih ada Adirah yang menemani ibu.”

Adirah sebetulnya tidak terima juga dengan kepergian Azfar untuk bersekolah sangat jauh, namun gadis kecil itu selalu diberi pemahaman oleh Azizah dan Azfar, bahwa kepergian Azfar semata-mata untuk menuntut ilmu, dan waktu akan melesat cepat tanpa dirasa, Azfar pasti sudah akan pulang ke rumah. Azfar juga berkata pada Adirah, bahwa jika ia telah pulang nanti, akan membelikan untuk adiknya itu boneka Doraemon. Hal itu membuat hati Adirah sedikit tenang, melepas kepergian kakaknya besok pagi.

“Rasanya seperti berat meninggalkan Ibu, Adirah, dan Nenek.” Azfar menunduk.

Azfar berhenti sejenak mem-packing pakaiannya, di sampingnya ada Adirah yang selalu memeluknya, itu Adirah lakukan karena ia tahu, besok kakaknya akan berangkat. Azfar terus mengusap kepala gadis kecil itu, sesekali mencubit pipinya.

“Azfar, kamu punya niat yang besar kan untuk bersekolah di Makassar?” tanya Azizah.

Azfar mengangguk mantap, namun isi hatinya tetap terasa berat meninggalkan keluarga kecilnya itu. Andai saja keberangkatannya bisa ditunda sepekan lagi, ia pasti akan senang.

“Kalau kamu memang niat, ayo semangat terus, wajahnya jangan sedih seperti itu.” Azizah tersenyum teduh, senyuman yang akan selalu Azfar rindui saat di Makassar nanti. “Kamu ingatkan dengan kisah Imam Syafi'I, yang meninggalkan ibunya seorang diri demi menuntut ilmu?”

Azfar mengangguk lagi, ia ingat sekali dengan kisah itu. Kisah itu juga pernah ia ceritakan pada Adirah. Kisahnya: Imam Syafi'i meninggalkan Ibunya dengan waktu yang lama dan jarak yang sangat jauh, demi menuntut Ilmu. Ibu Imam Syafi'i berkata kepada putranya itu: “Pergilah menuntut ilmu, nanti kamu dan ibu bertemu di akhirat saja.” Kurang lebih ucapan ibu Imam Syafi'i seperti itu. Ibu Imam Syafi'i berkata seperti itu, bukan berarti karena tak ingin bertemu lagi, atau tak sayang lagi dengan putranya, namun ibunya ingin agar putranya itu selalu haus akan ilmu, menuntut ilmu kepada banyak guru, menginginkan agar putranya itu menjadi seorang ulama. Jika seorang anak menjadi anak yang sholeh/sholehah, maka besar kemungkinan anak itu akan menolong orang tuanya dari siksa neraka dan memasukkan orang tuanya ke dalam surga. Pun sebaliknya, jika seorang anak saat di dunia selalu meninggalkan perintah-perintah Allah, melakukan segala yang dilarang-Nya, orang tua seorang anak itulah nanti yang akan dimintai pertanggungjawaban diakhirat kelak. Seorang anak adalah penentu di mana orang tuanya akan ditempati nanti, apakah surga atau neraka. Itu sebabnya Ibu Imam Syafi'i memperlakukan Imam Syafi'i seperti itu: mengajari untuk selalu haus akan ilmu. Namun, ilmu yang Imam Syafi'i cari adalah ilmu agama, sedangkan Azfar hanyalah mencari ilmu di sebuah sekolah swasta, tidak fokus ke ilmu agama. Tapi hal itu tidak mengapa, Azizah hanya ingin Azfar menjadi anak yang baik.

“Walaupun bukan sekolah agama yang kamu masuki, setidaknya apa yang telah diajari dan diperintahkan dalam agama, kamu harus laksanakan, dan yang dilarang kamu harus jauhi. Dan semangatlah terus dalam menuntut ilmu, doa ibu selalu menyertaimu.” Azizah tak henti-hentinya menasehati.

Seketika Azfar langsung mendekap hangat tubuh Azizah, disusul oleh Adirah. Mereka bertiga berpelukan, tersenyum bersama. Nenek Arni menatap keluarga kecil itu, tersenyum bangga.

“Nenek tidak dipeluk?” kata Azizah saat pelukan dari kedua anaknya cukup lama.

Azfar melepas dekapannya dari Azizah, pindah ke Nenek Arni. Azfar mendekap tubuh orang tua sepuh itu, disusul lagi oleh Adirah. Mereka tersenyum bersama.

 

***

 

Pukul tujuh pagi, Azfar, Abimanyu dan Nining berkumpul di pengungsian. Saat mendengar keberangkatan ketiga remaja itu, Bapak Kepala Desa (Kades) telah berjanji akan mengantar mereka bertiga ke pelabuhan Pantoloan dengan mobilnya.

Azfar, Azizah, Adirah, dan Nenek Arni berjalan kaki menuju pengungsian, Azfar menggandeng tas besar di tangan kirinya. Adirah selalu berjalan bersisian dengannya, gadis kecil itu akan berpisah cukup lama dengan kakak tersayangnya. Di perjalanan, sesekali penduduk bertanya kepada mereka hendak kemana, dan selalu Nenek Arni yang menjawabnya, bilang bahwa sedang mengantar cucunya ke pengungsian, melepas kepergian sang cucu yang akan bersekolah di Makassar.

Di pengungsian, sudah ada Abimanyu dan Nining yang juga sudah siap dengan tas besar mereka, keluarga mereka juga keluar dari tenda—melepas kepergian. Mereka tinggal menunggu mobil Pak Kades datang, lalu segera berangkat ke pelabuhan Pantoloan. Sambil menunggu mobil Pak Kades datang, keluarga dari ketiga remaja itu bercakap-cakap, sesekali menasehati anak mereka masing-masing yang akan berangkat ke Makassar.

Sepuluh menit menunggu, mobil avanza merah Pak Kades masuk dari gerbang lapangan sepak bola, memarkirkannya di dekat tenda petugas keamanan.

“Oh, jadi ini wajah-wajah anak-anak mudaku yang akan berangkat ke Makassar.” Pak Kades manggut-manggut dengan rasa bangga.

Azfar, Abimanyu dan Nining tersenyum.

Pak Kades mengeluarkan dompet dari saku celananya, mengeluarkan uang sebanyak enamratus ribu, diberikannya kepada Azfar, Abimanyu, dan Nining—masing-masing sama duaratus ribu. Ketiga remaja itu menerimanya, menyalami tangan Pak Kades lalu bilang 'terima kasih'.

Azfar, Abimanyu dan Nining memasukkan tas-tas mereka di jok belakang mobil, lalu naik ke mobil. Kaca jendela mobil dibuka, ketiga remaja itu melambai-lambaikan tangan kepada keluarga mereka saat mobil Pak Kades mulai meninggalkan pengungsian.

“Kak, nanti telepon-teleponan, ya!” teriak Adirah saat mobil mulai jalan.

“Siap, Adirah. Jaga Ibu baik-baik ya, anak pintar.” Azfar melambaikan tangan, tersenyum.

Semalam, Azfar sudah mencatat nomor pamannya, Zaldin, agar suatu hari nanti bisa ia hubungi, entah pakai ponsel siapa, tapi Azfar yakin, di sana nanti pasti bakalan ada yang meminjamkan padanya.

Satu jam perjalanan menuju pelabuhan, mobil Pak Kades pun tiba. Nampak dari jendela mobil, kapal-kapal besar berlabuh di sana, termasuk kapal yang akan ditumpangi Azfar, Abimanyu, dan Nining.

Mereka keluar dari mobil, bercakap-cakap sebentar, juga sedikit wejangan dari Pak Kades, kemudian Pak Kades pun pamit purgi. Azfar, Abimanyu dan Nining mengangguk, tersenyum. Mereka bertiga sangat berterima kasih banyak kepada Pak Kades, karena sudah mengantarkan mereka, juga memberikan uang.

Tiga puluh menit lagi, kapal akan siap berangkat menuju tujuannya, Makassar. Azfar, Abimanyu dan Nining segera naik ke atas kapal, menyerahkan tiket mereka kepada kelasi yang bertugas mengecek tiket tiap penumpang. Ternyata di atas kapal itu, bukan hanya korban pelajar yang hendak menempuh pendidikan di luar provinsi saja, namun lebih banyak korban yang bertujuan meninggalkan kota Palu untuk sementara waktu, karena mereka tak mempunyai tempat tinggal lagi, walaupun sebenarnya masih ada tenda pengungsian, apalagi Hunian Sementara akan segera dibangun. Bukan hanya soal tempat tinggal, namun juga mereka ingin bertemu dengan keluarga-keluarga yang ada di luar Sulawesi Tengah.

Azfar, Abimanyu dan Nining sekabin dalam kapal itu. Perjalanan akan mereka tempuh selama tiga hari.

“Ini pertama kalinya aku menjadi anak rantau,” kata Nining sambil menatap dermaga yang mulai menjauh. Azfar dan Abimanyu ada di kiri kanannya, mereka bertiga berdiri di dek kapal.

Azfar mengembuskan napas perlahan, “Aku juga.”

Bukan hanya Azfar dan Nining yang baru kali ini menjadi anak rantau, Abimanyu pun juga. Lelaki berkulit legam itu membiarkan wajahnya diterpa angin laut, rambut jarumnya berayun-ayun dihembus angin.

“Ini akan menjadi pengalaman yang sangat luar biasa bagi kita bertiga,” kata Abimanyu, si lelaki berkulit legam, berambut jarum.

Dermaga yang tadinya nampak oleh mata, kini telah hilang. Kapal sudah keluar dari perairan teluk Palu, kini tak nampak lagi pegunungan di kiri-kanan, yang ada hanya lautan lepas. Ketiga remaja itu berjalan menuju kabin mereka, hendak beristirahat.

“Nanti aku akan mengambil jurusan IPS, seperti jurusanku saat di SMA Sis Al-Jufrie dulu.” Azfar kembali membuka percakapan di antara mereka bertiga, sambil berjalan menuju kabin.

“Sama, aku juga,” balas Abimanyu. Abimanyu juga dari jurusan IPS.

“Ambil IPA saja, Abi, kamu pasti akan menyukainya,” saran Nining sambil menyeringai.

“Kamu mau aku jadi stres, terus gila karena banyaknya rumus-rumus yang dipelajari di jurusan IPA? Aku benci hitung-hitungan.” Abimanyu tidak tertarik. “Kamu saja yang masuk ke jurusan IPS,” tambahnya.

“Apa kerennya masuk di jurusan IPS?” tanya Nining.

“Pokoknya keren. Jarang belajar hitung-hitungan, murid-muridnya terlihat santai, bahkan di mana-mana, jurusan IPS itu jarang masuk, aku sangat menyukai hal itu. Azfar, di sekolahmu dulu juga seperti itu?”

“Iya. Bahkan anak IPS lebih banyak berbuat kasus di sekolah. Sering dipanggil ke kantor, orang tua murid disurati.... Tapi aku berusaha untuk tidak ikut-ikutan dengan mereka. Maksudnya, aku tetap berteman dengan mereka, tapi tidak mengikuti kenakalan mereka.” Azfar tersenyum lebar. “Status boleh anak IPS, namun perilaku dan otak mesti anak IPA, heheh,” tambahnya.

Nining bertepuk tangan, sepakat dengan ucapan Azfar.

“Dulu waktu di sekolah aku sering panjat tembok, bolos,” Abimanyu terkekeh.

“Kalau di sekolah baru nanti, kebiasaan seperti itu dihilangkan, karena kita hanya pendatang, jangan buat malu nama daerah kita.” Azfar berkata serius.

“Yaps, itu sangat betul Azfar. Dengar itu, Abi! Huu!” Nining memberikan jempol pada Azfar, lalu menoleh ke Abimanyu, memberikan ekspresi jeleknya pada lelaki itu.

“Stress!” pungkas Abimanyu sebal, membuat Nining tergelak. Mereka berdua tak pernah akur, selalu bertengkar, namun sesungguhnya itu hanya candaan saja.

Sebelum bencana, Azfar berbeda sekolah dengan Abimanyu dan Nining. Saat di kampung pun, mereka tidak sedekat saat ini. Kini Azfar memiliki teman terdekat baru, yang selalu membuatnya terhibur karena kekonyolan dua teman barunya itu. Kedekatan Abimanyu dan Nining dengan Azfar juga, membuat mereka berdua berubah. Berubah dalam arti menjadi lebih baik lagi, seperti sedang berada di atas kapal ini, setiap tiba waktu salat, Azfar selalu mengajak Abimanyu dan Nining salat, dan ajakan itu selalu mereka penuhi.

“Abi, ayo bangun, kita salat dulu.” Azfar menepuk-nepuk bahu Abimanyu. Sudah memasuki waktu salat subuh.

Tidak ada respon, Abimanyu sulit sekali dibangunkan.

Azfar juga membangunkan Nining, hanya dua sampai tiga kali panggilan, Nining segera terbangun.

Mereka akan salat subuh berjamaah di mushola yang ada di lantai dua kapal.

“Abi belum bangun?” tanya Nining.

Azfar menggeleng, “Dia sulit dibangunkan.”

“Aku coba bangunkan.” Nining berjalan menuju toilet kabin, mengambil se-gayung air.

“Untuk apa?” tanya Azfar.

“Lihat saja.”

Nining membasahi tangannya, memincratkan air ke wajah Abimanyu, refleks lelaki itu langsung terbangun, dikiranya percikan air itu berasal dari langit, setelah sadar ternyata mereka berada di dalam kabin, dan melihat gayung berisi air di tangan Nining, membuatnya sedikit marah.

“Ada apa? Kenapa menyiram wajahku?” Abimanyu menyeka butir air diwajahnya.

“Salat subuh,” Nining menjawab singkat. Ia sadar, caranya seperti itu memang membuat Abimanyu jengkel, namun ia sudah terbiasa jail pada lelaki itu—sudah tahu sifat lelaki itu seperti apa. Nining yakin, Abimanyu tidak akan berlarut-larut dalam amarahnya.

“Kan bisa digoyang-goyang saja badanku.” Abimanyu manatap sinis.

“Tadi Azfar sudah lakukan, tapi tidak mempan, ya sudah, aku siram saja muka kamu.” Nining menyeringai.

Azfar hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan Nining, namun cara itu sangat efektif untuk membangunkan Abimanyu yang sulit dibangunkan.

Tiga hari berada di atas kapal, Azfar berhasil membuat Abimanyu dan Nining terbiasa untuk melaksanakan salat. Salat lima waktu tidak pernah mereka tinggalkan.

Sore hari di atas kapal. Mereka bertiga dapat informasi bahwa kapal akan segera berlabuh di dermaga Makassar. Mereka bertiga keluar dari kabin, berdiri di dek kapal, dan menatap ke arah dermaga yang jaraknya sudah dekat.

Tiga puluh menit, kapal telah tersandar rapi di dermaga. Beberapa kelasi kapal menurunkan tali, petugas dermaga meraihnya, lantas mengikatnya dengan erat di beton-beton dermaga.

Saat turun dari kapal, Azfar, Abimanyu dan Nining memerhatikan betapa ramainya kota Makassar, lebih padat dari kota Palu. Sebuah truk TNI tiba di dermaga, menjemput semua orang-orang dari daerah berduka. Azfar, Abimanyu dan Nining segera naik. Bagi mereka seorang pelajar yang telah terdaftar sebagai pelajar penerima ‘sekolah gratis’, akan dibawa ke Panti Sosial, mereka akan tinggal di sana.

Mereka yang mendapatkan bantuan sekolah gratis akan mendapatkan bantuan dari pemerintah, berupa uang sebesar Rp.800.000 bagi tiap pelajar—akan diterima tiap bulannya. Itu sebabnya Azfar, Abimanyu dan Nining tidak berpikir dua kali lagi untuk merantau ke Makassar, karena semua biaya hidup ditanggung.

Jarak dermaga dan Panti Sosial tidak begitu jauh. Lima belas menit perjalanan, mereka pun telah tiba. Di hadapan mereka berdiri bangunan berlantai dua, dengan dinding hijau. Pengurus panti menyambut para pelajar itu dengan ramah, mempersilakan mereka masuk, mengajak jalan-jalan keliling Panti.

Di Panti Sosial, gedung pria dan wanita dipisahkan. Azfar ditempatkan sekamar dengan Abimanyu, sedangkan Nining sekamar dengan pelajar perempuan dari Palu juga, namun perempuan itu memilih sekolah yang berbeda dengan mereka.

Tak hanya bantuan Rp.800.000 perbulan mereka dapatkan, pembayaran Panti Sosial juag ditanggung oleh pemerintah.

 

Tags: twm23

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
LUKA TANPA ASA
6206      1867     11     
Romance
Hana Asuka mengalami kekerasan dan pembulian yang dilakukan oleh ayah serta teman-temannya di sekolah. Memiliki kehidupan baru di Indonesia membuatnya memiliki mimpi yang baru juga disana. Apalagi kini ia memiliki ayah baru dan kakak tiri yang membuatnya semakin bahagia. Namun kehadirannya tidak dianggap oleh Haru Einstein, saudara tirinya. Untuk mewujudkan mimpinya, Hana berusaha beradaptasi di ...
Manuskrip Tanda Tanya
4177      1401     1     
Romance
Setelah berhasil menerbitkan karya terbaru dari Bara Adiguna yang melejit di pasaran, Katya merasa dirinya berada di atas angin; kebanggaan tersendiri yang mampu membawa kesuksesan seorang pengarang melalui karya yang diasuh sedemikian rupa agar menjadi sempurna. Sayangnya, rasa gembira itu mendadak berubah menjadi serba salah ketika Bu Maya menugaskan Katya untuk mengurus tulisan pengarang t...
Ada Cinta Dalam Sepotong Kue
5092      1672     1     
Inspirational
Ada begitu banyak hal yang seharusnya tidak terjadi kalau saja Nana tidak membuka kotak pandora sialan itu. Mungkin dia akan terus hidup bahagia berdua saja dengan Bundanya tercinta. Mungkin dia akan bekerja di toko roti impian bersama chef pastri idolanya. Dan mungkin, dia akan berakhir di pelaminan dengan pujaan yang diam-diam dia kagumi? Semua hanya mungkin! Masalahnya, semua sudah terlamba...
Kani's World
1275      601     0     
Inspirational
Perjalanan cinta dan impian seorang perempuan dari desa yang bernama Kani. Seperti halnya kebanyakan orang alami, jatuh bangun dihadapinya. Saat kisah asmaranya harus teredam, Kani dituntut melanjutkan mimpi yang sempat diabaikannya. Akankah takdir baik menghampirinya? Entah cita-cita atau cinta.
KataKu Dalam Hati Season 1
4117      1193     0     
Romance
Terkadang dalam hidup memang tidak dapat di prediksi, bahkan perasaan yang begitu nyata. Bagaikan permainan yang hanya dilakukan untuk kesenangan sesaat dan berakhir dengan tidak bisa melupakan semua itu pada satu pihak. Namun entah mengapa dalam hal permainan ini aku merasa benar-benar kalah telak dengan keadaan, bahkan aku menyimpannya secara diam-diam dan berakhir dengan aku sendirian, berjuan...
Aku Benci Hujan
5239      1488     1     
Romance
“Sebuah novel tentang scleroderma, salah satu penyakit autoimun yang menyerang lebih banyak perempuan ketimbang laki-laki.” Penyakit yang dialami Kanaya bukan hanya mengubah fisiknya, tetapi juga hati dan pikirannya, serta pandangan orang-orang di sekitarnya. Dia dijauhi teman-temannya karena merasa jijik dan takut tertular. Dia kehilangan cinta pertamanya karena tak cantik lagi. Dia harus...
Titip Salam
3022      1218     15     
Romance
Apa kamu pernah mendapat ucapan titip salam dari temanmu untuk teman lainnya? Kalau pernah, nasibmu hampir sama seperti Javitri. Mahasiswi Jurusan Teknik Elektro yang merasa salah jurusan karena sebenarnya jurusan itu adalah pilihan sang papa. Javitri yang mudah bergaul dengan orang di sekelilingnya, membuat dia sering kerepotan karena mendapat banyak titipan untuk teman kosnya. Masalahnya, m...
Love Al Nerd || hiatus
103      79     0     
Short Story
Yang aku rasakan ke kamu itu sayang + cinta
Cinta Semi
1718      763     2     
Romance
Ketika sahabat baik Deon menyarankannya berpacaran, Deon menolak mentah-mentah. Ada hal yang lebih penting daripada pacaran. Karena itulah dia belajar terus-menerus tanpa kenal lelah mengejar impiannya untuk menjadi seorang dokter. Sebuah ambisi yang tidak banyak orang tahu. Namun takdir berkata lain. Seorang gadis yang selalu tidur di perpustakaan menarik perhatiannya. Gadis misterius serta peny...
THE YOUTH CRIME
3561      1097     0     
Action
Remaja, fase peralihan dari anak-anak menuju dewasa dengan dua ciri khusus, agresif dan kompetitif. Seperti halnya musim peralihan yang kerap menghantui bumi dengan cuaca buruk tak menentu, remaja juga demikian. Semakin majunya teknologi dan informasi, semakin terbelakang pula logika manusia jika tak mampu mengambil langkah tegas, 'berubah.' Aksi kenakalan telah menjadi magnet ketertarika...