Azfar baru pulang ke rumah Nenek Arni saat salat Magrib telah selesai—Aya yang mengantarkan ia pulang—gadis itu juga pandai membawa motor. Ternyata hujan di wilayah Banawa, Donggala, tidak deras seperti di wilayah Palu—gerimis saja. Azfar turun dari motor, memegang kantongan plastik berisi barang belanjaan. Aya menancap gas saat selesai berpamitan pada Azfar. Gadis itu masih mengenakkan jas hujan.
Adirah berdecak sambil geleng-geleng kepala saat melihat pakaian Azfar basah kuyup.
“Ibu, coba lihat Kak Azfar, dia kehujanan.”
“Kenapa kalian tidak bertedu?” tanya Azizah pada Azfar.
“Tidak ada tempat berteduh, Bu, makanya hujan diterobos saja, hehehe,” jawab Azfar, jujur.
Azizah menyuruh Azfar agar segera berganti pakaian, Azfar mengangguk. Belum sempat Azfar memberi tahu pada Azizah dan Adirah apa yang ada di kantongan plastik yang ia pegang, lekaki itu meletakkannya saja di hadapan Azizah dan Adirah, karena ia sudah amat kedinginan, ingin segera mengganti pakaian.
“Baju-baju ini punya siapa, Azfar?” Azizah bertanya saat Azfar sudah berganti pakaian. Azizah keheranan, tak mungkin baju-baju itu punya Azfar, ia dapat uang dari mana untuk membelinya?
“Aya yang membelikan untukku, Bu. Padahal aku sudah susah payah menolaknya, tapi dia terus memaksa.” Azfar menjelaskan.
Azizah mengangguk, “Yang penting bukan kamu yang minta dibelikan.”
“Tidak, Bu. Dia juga mentraktirku makan di warung,” tambah Azfar.
“Dia baik sekali. Kapan dia dan teman-temannya pulang ke Manado?” tanya Azizah.
“Besok lusa, Bu.”
“Yah, Kak Aya bakalan pulang.” Adirah terlihat lesu saat mengetahui kabar itu.
***
Hari ke 22 setelah bencana, tepatnya tanggal 19 Oktober 2018.
Pagi yang cerah ini, relawan dari Manado berkemas-kemas barang mereka. Tenda-tenda besar milik mereka mulai dibongkar. Penduduk-penduduk pengungsian mendekat, ikut melepas kepergian pahlawan mereka saat situasi susah, gawat darurat. Relawan dari Manado salah satu relawan yang berjasa di Banawa, Kabupaten donggala, terkhusus kampung Azfar. Relawan dari Manado juga merupakan relawan yang pulang lebih awal. Masih banyak relawan-relawan dari daerah lain belum pulang.
Dari semua relawan dari Manado, hanya Aya saja yang menjadikan Azfar, Abimanyu dan Nining sebagai teman dekatnya selama bertugas di Banawa.
“Azfar, Abi, Nining, aku bersyukur sekali telah dipertemukan dengan kalian bertiga. Hari ini aku akan pulang. Semoga suatu saat nanti kita bisa bertemu lagi,” kata Aya. Raut wajahnya terlihat sedih, ia seperti belum ingin pulang, masih ingin berlama-lama di sini.
Azfar, Abimanyu dan Nining tersenyum, mereka bertiga akan merindukan Aya juga rekan-rekan relawannya. Tiga remaja itu, dan semua korban lainnya sangat berterima kasih kepada para relawan itu karena sudah banyak membantu mereka, juga semua korban lainnya. Para relawan itu juga sudah memberi banyak ilmu dan pengalaman bagi mereka bertiga: pengalaman serunya jadi relawan.
Hari ini, di pengungsian, Azfar juga membawa Adirah, karena gadis kecil itu juga ingin melepas kepergian Aya, seorang relawan yang paling akrab dengannya.
“Aku membelikan gelang untuk kalian bertiga.” Aya merogoh isi tasnya, mengambil empat buah gelang yang ia beli kemarin. Gadis itu pun menyerahkannya kepada Azfar, Abimanyu, dan Nining. Walaupun Azfar yang menemaninya membeli gelang itu kemarin, namun Aya memeberikannya bersamaan dengan Abimanyu dan Nining.
Ketiga remaja korban bencana itu menerima gelang pemberian Aya, lantas segera memakainya.
“Gelangnya bagus.” Abimanyu mengangkat tangannya, melihat-lihat gelang yang ia pakai.
“Paling dua atau tiga hari Abi sudah menghilangkannya,” celetuk Nining.
“Heh, kamu jangan sembarangan, ya!” Abimanyu menatap sinis pada Nining. "Oke, kita buat perjanjian. Di antara kita berempat, siapa yang menghilangkan gelang ini, berarti dia tidak suka dengan pertemanan ini,” sambung Abimanyu serius.
“Mmm.... Boleh juga. Siapa takut!” Azfar setuju dengan ide perjanjian itu.
“Setuju,” kata Aya dan Nining bersamaan.
Keempat remaja itu tersenyum lalu tertawa bersama.
Aya mengambil ponselnya dari saku celana, dipakai untuk berfoto-foto. Beberapa foto mereka berempat tersimpan cantik di galeri. Sampai kapan pun Aya tidak akan menghapusnya. Aya juga memotret tangan mereka berempat yang memakai gelang yang sama.
Tak hanya berfoto-foto, Aya juga merobek kertas dari bukunya, menulis nomor teleponnya yang bisa dihubungi suatu hari nanti, juga nama akun media sosialnya. Gadis itu menyerahkannya pada Azfar, Abimanyu, dan Nining.
“Kalau nanti ponsel kalian udah ada, kita bisa saling menghubungi.” Aya tersenyum.
Adirah juga mendapatkan hadiah dari Aya. Hadiah yang tidak berkepanjangan: sebauh coklat silverquen dua batang.
Adirah menerimanya, tersenyum bahagia, “Terima kasih, Kak Aya.”
“Sama-sama Adirah. Semoga suatu hari nanti kita bisa bertemu lagi.” Aya mencubit pipi Adirah yang imut.
Satu truk besar dan tiga mobil pick-up milik relawan Manado sudah bersiap-siap akan berangkat, beberapa relawan sudah naik ke mobil, lalu disusul Aya. Melihat perpisahan antara Azfar dan Aya, sontak rekan-rekan relawan gadis itu menggodanya dengan nada suara yang kuat.
“Ciee, bakalan LDR,” goda salah satu relawan senior saat Aya naik ke atas mobil. Sontak godaan itu disambut teriakan godaan lainnya. Aya tidak berkutik di atas mobil, ia hanya tersenyum malu, pipinya bersemu merah. Azfar juga menahan malu saat mendengar godaan dari rekan-rekan relawan Aya.
Di pengungsian itu, Azfar, Adirah, Abimanyu, Nining dan para penduduk pengungsian melambai-lambaikan tangan saat mobil-mobil relawan berjalan maju, meninggalkan pengungsian. Mereka semua melepas kepergian para relawan itu, sosok-sosok pahlawan di kala mereka sedih dan susah
“Ciee, LDR,” goda Abimanyu pada Azfar.
“Kami tidak pacaran!” sergah Azfar.
“Tapi sudah seperti orang pacaran!” Abimanyu tak mau mengalah.
Di atas mobi relawan, tetes pertama air mata Aya jatuh ke pipi, ia sangat bahagia sekali karena sudah menjadi relawan, banyak membantu korban, juga bertemu dengan orang-orang baik yang ia temui selama menjadi relawan. Hal paling bahagia yang Aya rasakan adalah telah dipertemukan dengan Azfar. Eh?