Semenjak hari kematian Indri, tiga hari berturut-turut Azfar tidak berkunjung ke pengungsian, karena ia sibuk membantu setiap acara kedukaan. Selama tiga hari itu juga, Azfar tidak membantu relawan-relawan dari Manado, hanya kedua temannya saja yang tak pernah absen di setiap agenda kemanusiaan, siapa lagi kalau bukan Abimanyu dan Nining. Sudah tiga hari juga tak ada lagi agenda membagi-bagikan nasi bungkus—itu memang sudah direncanakan relawan dari Manado sebelum berangkat ke Palu, membagi-bagikan nasi bungkus hanya di awal-awal setelah bencana. Tugas relawan-relawan dari Manado sekarang adalah membantu memasak di dapur umum yang ada di pengungsian, membungkus bahan-bahan pokok untuk dibagi-bagikan ke setiap rumah tangga. Bahan-bahan pokok itu dikirim dari Manado melalui jalur darat, diangkut belasan truk. Juga trauma healing yang mereka lakukan setiap sore hari.
Pukul sebelas, hawa panas matahari menyengat masuk sampai ke dapur umum. Siang ini mereka menyiapkan makanan untuk para pengungsi. Aya bertugas meletakkan pisang di tiap-tiap piring makanan. Abimanyu meletakkan lauk. Sedangakan Nining, tangannya cekatan menyendok nasi ke piring-piring kosong. Seribu lebih piring disediakan. Sebelumnya mereka juga sudah mendata setiap tenda berapa penghuni di dalamnya. Saat tiap piring sudah lengkap dengan nasi dan lauk-lauknya, sebagian relawan yang lain mengantarkan ke tiap-tiap tenda pengungsi.
Aya, relawan berparas cantik, selalu menanyakan kabar Azfar pada teman-teman lelaki itu.
“Kapan Azfar berkunjung ke pengungsian lagi, dan bergabung bersama kita?”
“Paling kalau rumah duka tidak ramai lagi, Azfar akan berkunjung ke sini lagi,” kata Abimanyu. “Rindu, ya? Hahahah.”
“Iya!” balas Aya singkat sambil melotot ke arah Abimanyu. Ia menjawab sejujur-jujurnya.
“Ihiyy, ada yang lagi rindu ni, hihihi,” goda Abimanyu lagi.
Entah kenapa, jika Abimanyu yang menggodanya, Aya selalu sebal, mungkin karena raut wajah lelaki itu ketika menggoda yang ia tidak sukai, seperti raut wajah mengejek.
Aya melempar kulit pisang ke arah Abimanyu, gadis itu terlihat semakin sebal, namun Abimanyu tak henti-henti menggodanya.
“Ets, tidak kena. Hahaha!” Abimanyu menjulurkan lidahnya.
Sekali lagi Aya melempar kulit pisang ke arah Abimanyu, kena. Kulit pisang itu mengenai wajah remaja berkulit gelap itu.
“Hahaha!” Aya tergelak puas saat melihat Abimanyu menatap sinis ke arahnya, sambil memegang kulit pisang hasil lemparan di tangannya.
Berhari-hari tak bertemu dengan Azfar, Aya keliatan tidak bersemangat setiap mengerjakan tugas-tugas relawannya. Berbeda saat ada Azfar, tugas-tugas seberat apapun rela gadis itu kerjakan, asal tiap detik bisa melihat wajah Azfar, ia pasti bersemangat sekali.
Azfar baru berkunjung ke pengungsian setelah lima hari setelah kematian Indri. Saat itu sudah hari ke empatbelas setelah bencana. Suasana jalan poros mulai lancar, puing-puing bangunan rumah penduduk sedikit demi sedikit telah bersih dari tempat awalnya, menyisakan debu-debu mengepul di jalan raya saat truk-truk besar melintas. Hampir tiap hari, puluhan truk-truk besar mengangkut begitu banyak logistik, datang dari segala penjuru di tanah air. Kapal dari pulau-pulau besar berlabuh di dermaga Pantoloan, Kota Palu, mengangkut truk-truk pembawa bantuan dari perut kapal, lalu dibawa ke setiap titik posko yang ada di kota Palu, Sigi dan Donggala. Pesawat-pesawat hercules juga berlalu lalang di udara, membawa logistik.
Saat kedatangan Azfar ke pengungsian, lelaki itu mendapati teman-temannya sedang bersiap-siap untuk berangkat, entah kemana. Azfar mendekat ke arah mobil pick-up, sontak membuat Aya terkejut sekaligus bahagia kegirangan saat melihat kehadirannya.
“Ini mau ke mana?” tanya Azfar.
“Ke markas TNI Angkatan Laut, ada kapal dari Surabaya berlabuh di sana, membawa banyak bantuan, dan kita ditugasi untuk mengambil sebagian bantuan untuk masyarakat di pengungsian ini.” Abimanyu menjelaskan.
Saking banyaknya kapal berlabuh di pelabuhan Pantoloan, akhirnya kapal pembawa logistik dari Surabaya hanya bisa berlabuh di dermaga milik TNI Angkatan Laut. Dermaga itu tak jauh dari pengungsian, sekitar tujuh kilometer, namun sudah memasuki wilayah Palu, sedangkan pengungsian ini masih berada di wilayah Kabupaten Donggala.
“Kamu tunggu di sini, aku ambilkan rompi untukmu,” kata Aya pada Azfar, ia berlari-lari kecil masuk ke dalam tenda, meminta satu rompi lagi.
Saat Azfar menerima rompi dari tangan Aya, sontak teriakan godaan di setiap mulut para relawan yang melihatnya. Sudah banyak yang mengetahui kalau mereka dekat, padahal dekatnya hanya sebatas teman saja. Aya hanya bisa menunduk, tersipu malu. Jika saja saat itu tidak ramai, Aya mungkin sudah mamukul Abimanyu, karena lelaki itu paling keras seruan godaannya. Azfar hanya bisa tersenyum lembut, berusaha terlihat biasa saja, padahal hatinya juga menahan malu.
Hari ke duapiluh setelah bencana. Hampir selesai tugas para relawan dari Manado membantu korban bencana di Kecamatan Banawa. Dua hari lagi mereka akan kembali ke kampung halaman mereka, Manado.
Pagi itu, Azfar dan para relawan sedang duduk-duduk santai di bawah pohon yang ada di pinggir lapangan, tak jauh dari tenda milik relawan Manado. Mereka baru istirahat setelah membagi-bagikan sarapan pagi ke semua penduduk pengungsian.
“Azfar, ada sesuatu yang mau aku bilang ke kamu.” Aya yang duduk di samping Azfar, berkata pelan pada lelaki itu, agar tak ada yang mendengarnya.
“Apa itu, Aya?” tanya Azfar.
“Ck, malah asyik ngobrol berdua,” tegur Abimanyu, rupanya ia mendengar percakapan kedua temannya itu.
“Diam!” sergah Aya, menatap sinis ke arah Abimanyu.
“Hehehe, ampun. Lanjutkan obrolan romantis kalian.” Abimanyu tertawa.
Karena tak ingin didengar oleh yang lain apa yang akan ia katakan pada Azfar, akhirnya Aya mengajak Azfar menjauh dari rekan-rekan relawannya sebentar.
“Syutt, Abi, Abi," panggil Nining pelan, bola matanya ke arah Azfar dan Aya yang sedang berjalan menjauh. Abimanyu mendekatkan kepalanya pada Nining.
“Sepertinya Aya akan menembak Azfar.” Nining menyeringai, menutup mulutnya.
Abimanyu tertawa mendengar celetukan Nining.
“Aya, Aya. Sudah tahu akan LDR, masih saja mau menembak,” kata Abimanyu.
“Heh, cinta itu tidak mengenal jarak! Walau jauh di mata, asal dekat di hati,” timpal Nining.
Kembali ke Azfar dan Aya, kedua remaja itu berteduh di tribun dari sinar matahari.
“Ada apa, Aya? Keliatannya penting sekali sampai-sampai tidak boleh di dengar sama yang lain.” Azfar kebingungan.
“Nanti sore kamu mau temani aku ke Palu?” tanya Aya, langsung pada intinya.
“Ada perlu apa ke Palu?”
“Ada yang mau aku beli, sekalian jalan-jalan, hehehe.”
“Pakai motor siapa?”
“Motor bapak-bapak yang punya tenda nomor 102. Pagi-pagi buta tadi aku sudah menyewanya. Bapak itu baik. Katanya, BBM-nya saja diisi full.” Aya tersenyum manis.
Rencana pergi ke kota Palu itu sudah Aya rencanakan jauh-jauh hari, bahkan gadis itu menyewa motor sebelum mengatakan pada Azfar.
“Baiklah, aku akan temani. Nanti siang aku pulang ke rumah dulu. Jam empat sore baru aku ke sini lagi.” Azfar menyetujui permintaan Aya.
“Terima kasih, Azfaaar,” kata Aya genit.
Sore hari yang cerah, matahari menyiram wajah Azfar saat berjalan kaki menuju pengungsian. Azfar kali ini terlihat semakin mempesona; kulit putih langsatnya yang bersih, rambut lebat lurus dikucir ke kanan. Wajahnya dihiasi alis tebal nan rapi. Bola mata hitam yang cantik, bibir tipis merah jambu. Sesekali remaja itu tersenyum manis kepada orang-orang yang dilaluinya. Outfit Azfar juga terlihat bagus, ia mengenakan kaos putih polos lengan pendek, dengan celana panjang bahan berwana beige (coklat muda). Kaos dan celana itu ia masih meminjamnya pada pamannya, Zaldin. Jangan terkejut! Itu hal yang lumrah, rumahnya rata dengan tanah, semua pakaiannya hanyut dibawa tsunami. Sedikit informasi; dulu sebelum bencana, Azfar selalu terlihat rapi saat di sekolah, begitu pun di rumah.
Saat berumur tujuhbelas tahun, Azfar mulai membiasakan diri memakai celana panjang. Walaupun hanya sebentar saja keluar dari rumah, ia tetap memakai celana panjang, alasannya karena supaya menutup aurat. Aurat seorang laki-laki dari pusar hingga ke lutut.
Dengan tampilan begitu mempesona sore ini, sudah tentu membuat Aya semakin terpana padanya. Saat Azfar tiba di hadapannya, gadis itu memandang Azfar dengan tatapan berbinar, detak jantungnya berdebar tak karuan.
“Kenapa senyum-senyum?” Azfar bertanya saat melihat Aya seperti orang kerasukan.
“Ganteng!” kata Aya, lalu kemudian menunduk, menahan malu.
Aya, apa yang barusan kau ucapkan? batin Aya, seperti menyalahkan dirinya sendiri.
“Mm... terima kasih, Aya.” Pipi Azfar bersemu merah. “Oh iya, kamu diizinkan, kan, pergi ke Palu?” Azfar segera mengalihkan pembicaraan karena tak ingin tenggelam di samudra baper-baperan.
“Iya, Azfar,” balas Aya sambil tersenyum. Selalu terukir senyuman manis di wajahnya.
“Kalau senyum-senyum tidak jelas seperti ini terus, bisa-bisa kita batal berangkat karena langit akan gelap,” celetuk Azfar.
“Senyumku jelas, kok. Kamu saja yang tidak tahu apa sebabnya,” timpal Aya, matanya sedikit melotot. Jika ditilik lebih jauh, semakin akrab dengan Azfar, Aya semakin bawel di hadapan lelaki itu.
Azfar terkekeh ringan, “Ayo kita berangkat.”
Ih, kenapa tidak ditanya apa sebabnya aku senyum-senyum tidak jelas? Padahalkan aku mau jawab kalau aku senyum-senyum tidak jelas karena melihat ketampananmu, lagi-lagi Aya membatin, namun sedikit kesal dalam hati.
Sore ini, Aya juga terlihat sangat cantik. Kulitnya putih bersih, bulu mata melentik elok, hidung sedikit mancung, bibir tipis berwarna merah jambu tanpa sentuhan gincu, rambut hitam halus terurai panjang sedikit melewati bahu. Aya mengenakan pakaian casual; atasan kaos abu-abu, dibaluti dengan sweater cardigan berwarna putih susu. Kaosnya ia masukkan kendalam celana. Untuk bawahan; celananya senada dengan warna atasan. Gadis itu memakai sepatu sneaker putih.
Motor yang Azfar kendarai membelah jalanan. Laju motor pelan, karena itu adalah permintaan Aya, katanya ingin menikmati perjalanan. Menikmati perjalanan atau berlama-lama dekat dengan Azfar? Ups.
Perjalanan cukup jauh. Jauh kampung Azfar dengan kota Palu tujuhbelas kilometer. Saat mengendarai motor, Azfar teringat saat sebelum bencana, tiap hari ia harus pulang-balik dari rumah ke sekolah.
Kedua remaja itu menikmati perjalanan sore, sesekali bercakap-cakap. Kadang percakapan tidak nyambung, karena ucapan dari mulut dikalahkan suara angin—lain ditanya lain dijawab. Di kiri-kanan jalan, mata mereka dimanjakan dengan hamparan lautan teluk dan pegunungan nan hijau. Sebelum bencana, saat mengendarai motor, Azfar melihat rumah-rumah penduduk di kiri-kanan jalan, kini rumah-rumah itu tak ada lagi, karena tersapu ombak tsunami.
“Kamu mau beli apa, Aya?” tanya Azfar memecah keheningan di antara mereka berdua, suara lelaki itu sedikit keras, berusaha mengalahkan suara hembusan angin.
“Apaaa?” Aya memajukan kepalanya dekat pundak Azfar. Ia tak mendengarnya.
“Kamu mau beli apa?”
“Iya, hehehe.”
Azfar terkikik geli saat mendengar balasan Aya. Suaranya kurang keras atau pendengaran Aya yang kurang bagus.
“Kamu mau beli apaaa?!” tanya Azfar sekali lagi, volume suaranya ia naikkan lagi.
“Oh. Hahaha.” Aya tertawa sambil menahan malu. “Bawa saja aku ke toko pakaian.”
Saat ini sudah ada beberapa toko yang buka—mulai berjualan kembali. Kota Palu, Sigi dan Donggala mulai pulih.
Motor terus melaju dengan kecepatan empatpuluh kilometer perjam. Keheningan kembali menyelimuti mereka berdua. Aya merasa bosan memandang lautan terus, gadis itu mencoba memutar spion yang tujuannya ingin memantul bayang wajah Azfar. Gadis itu maju sampai tubuhnya dan Azfar bersentuhan, berusaha memegang spion sebelah kiri, mengatur posisinya.
“Eh, apa yang kamu lakukan? Nanti kita jatuh?!” Azfar tak tahu apa maksud Aya.
Aya tidak menjawab, kini gadis itu berhasil merubah posisi spion yang sekarang pantulannya memperlihatkan wajah lelaki itu. Azfar melongok ke spion, yang ia lihat juga adalah wajah Aya.
“Nah, begini kan bagus.” Aya tersenyum.
“Bagus apanya?”
“Aku bosan memandang lautan. Ingin memandang wajahmu lagi,” jawab Aya, tersenyum bahagia.
“Nanti juga akan bosan memandang wajahku,” celetuk Azfar.
“Tidak akan. Sampai kapan pun itu, tidak akan!” kata Aya tak main-main.
Tak ada lagi yang Azfar ucapkan, ia hanya menatap wajah gadis itu dari spion, lalu tersenyum.
Setengah jam perjalanan, Azfar dan Aya pun tiba di sebuah toko pakaian. Aya mendekat ke arah banyaknya sweater hoodie dipajang. Hoodie polos dengan warna yang beragam.
“Oh, mau beli hoodie.” Azfar menggut-manggut
“Kamu suka yang mana Azfar?” Aya bertanya.
“Maksud kamu?” Azfar bertanya balik, tak mengerti.
“Aku ingin membelikan untukmu.”
Azfar menggeleng cepat, "Tidak perlu, Aya!”
“Aku mohon kamu menerimanya, ini sebagai hadiah dariku untuk kamu, sekaligus juga untuk kenang-kenangan.” Aya menoleh ke arah Azfar, tatapannya penuh harap.
Azfar menghembuskan napas pelan. “Aku kira tadi cuma menemanimu saja, ternyata tujuanmu ingin membelikan aku hoodie.”
“Kalau aku bilang dari awal tujuannya ingin membelikanmu hoodie, kamu pasti akan menolaknya, makanya nanti sampai di sini baru aku bilang.... Please, aku mohon, terima,” kata Aya, sejenak mereka berdua bersitatap, nampak oleh Azfar dari sorot mata Aya bahwa gadis itu memang ikhlas membelikannya. “Besok lusa aku akan pulang ke Manado, entah kapan lagi kita akan bertemu,” sambung Aya, meyakinkan bahwa hadiah itu memang sebagai kenang-kenangan.
Azfar adalah tipikal orang yang tidak suka merepotkan orang lain. Aya membelikan hoodie untuknya hari ini, dan itu membuat Azfar merasa telah merepotkan gadis itu. Kalau bukan karena Aya memohon-mohon padannya, apa lagi dari tatapan penuh harap Aya agar ia tidak menolaknya, ia akan tetap menolaknya. Sejujurnya Azfar tidak ingin mendapatkan hadiah semacam itu, yang harganya bukan main mahalnya.
Sekali lagi Azfar menghembuskan napas pelan, “Terima kasih, Aya.”
“Sama-sama, Azfar. Oke, kamu suka yang mana?”
“Bagaimana kalau kamu yang memilihkan untukku?” balas Azfar, tersenyum lembut.
“Serius? Kalau nanti kamu tidak suka bagaimana?”
“Aku pasti suka.”
“Baiklah.... Mmm..., bagaimana kalau yang ini? Kamu suka?” Aya mengambil hoodie polos warna beige, (Beige digambarkan sebagai warna coklat yang sangat muda dengan campuran sedikit warna kuning dan abu-abu).
“Bagus, aku suka.” Azfar mengangguk.
Aya membawa hoodie pilihannya, yang juga Azfar suka. Setelah mendapatkan hoodie pilihan, Azfar mengira Aya akan menuju ke kasir untuk membayar, tapi gadis itu menuju ke tempat kaos-kaos polos kece. Azfar hanya mengekornya di belakang.
“Please, jangan menolak lagi. Silakan pilih kaos yang kamu suka!” titah Aya penuh harap.
“Ayaa,” panggil Azfar lembut. Sejujurnya ia tak mau lagi, hoodie ini sudah lebih dari cukup baginya.
“Please! jangan tolak lagi,” kata Aya.
Ya ampun, Azfar bahkan tidak tega menatap mata Aya penuh harap itu. Berkali-kali Azfar menolak, tapi gadis itu terus mendesak. Jujur saja, bagi Azfar, lebih baik memilih puluhan baju bantuan di pengungsian, daripada memilih baju yang jelas-jelas bukan ia yang membayarnya, namun dibelikan. Rasanya Azfar ingin cepat-cepat keluar dari toko ini.
“Baiklah, kamu saja yang pilihkan.” Azfar pasrah.
Mungkin sudah sering kita mendengar istilah: Lain dimulut, lain di hati. Jika mengira bahwa Azfar: di mulut saja menolak pemberian Aya, padahal dihatinya menerima dengan senang hati. Sungguh itu dugaan yang fatal! Mulut dan hati Azfar sama saja: sama-sama menolak pemberian tersebut.
“Eh, kenapa tiga lembar, Aya?” Azfar terkejut saat melihat Aya yang sudah menggenggam tiga kaos.
“Sudah banyak tanya. Ayo!” Aya bergegas menuju kasir untuk membayar semuanya, ia tak memedulikan omelan Azfar yang terus menolak.
Azfar berdiri di belakang Aya yang sedang bertransaksi. Azfar tiba-tiba terkejut saat mendengar nominal belanjaan: “limaratus enampuluh ribu?” gumam Azfar.
Sedikit informasi, Aya adalah orang yang kaya, kedua orangtuanya punya bisnis besar di Manado, makanya gadis itu tak segan-segan membelikan Azfar hoodie dan beberapa kaos, dengan pengeluaran uang sebesar itu.
Saat keluar dari toko, Azfar terus mengomel pada Aya.
“Aya, kamu belikan hoodie saja, aku sudah sangat bersyukur. Tiga koas ini untuk kamu sa—."
“Kamu itu ternyata cerewet juga, ya,” Aya memotong omelan Azfar. “Aku ikhlas, Azfar. Mohon diterima.”
Azfar geming sejenak, “Hmm.... Terima kasih banyak, Aya. Kamu baik sekali.”
“Sama-sama, Cerewet.” Aya menyeringai lebar. Hatinya begitu senang hari ini.
Mendengar sebutan 'Cerewet' untuknya, Azfar terkekeh. Ia sebenarnya bukan orang yang cerewet, tapi jika persoalan seperti ini, ia akan banyak bicara, karena tidak sesuai dengan keinginannya. Azfar tidak suka merepotkan orang lain.
Setelah selesai berbelanja di toko pakaian, selanjutnya Azfar dan Aya mencari penjual gelang. Aya akan membeli empat gelang, satu untuknya, tiganya lagi untuk Azfar, Abimanyu, dan Nining. Tiga remaja yang menjadi korban bencana itu, adalah orang yang paling dekat dengan Aya sejak pertama kali mereka berkenalan.
Kedua remaja itu sudah menemukan penjual gelang, Aya langsung membeli empat pasang gelang berwarna coklat gelap, terbuat dari bahan kayu koka.
Setengah jam lamanya mereka berbelanja, Azfar tak ingin langsung pulang, ia berniat ingin mengunjungi sekolahnya, juga lokasi di mana ia terbawa lumpur bergerak, atau di kenal dengan Likuifaksi.
Sesampainya di sekolah, Azfar menatap lamat-lamat bangunan sekolahnya yang sebagian gedung sudah rata tanah, sebagian lagi masih berdiri, namun tetap tidak layak lagi untuk dioperasikan, karena banyak dinding-dindingnya yang retak parah.
Selanjutnya menuju lokasi ke dua, yakni tempat Azfar terbawa lumpur dan menyaksikan secara jelas penduduk yang tertelan kubangan lumpur berjalan. Lokasi seluas 180 hektare itu, dulunya adalah kompleks perumahan warga, toko-toko, warung, gedung-gedung berlantai dua hingga lima. Namun, sekarang menjadi kubangan tanah-tanah tinggi yang dulunya adalah lumpur. Tak jauh dari kubangan tanah itu, sebuah kuburan massal seluas lapangan sepak bola ada di sana.
“Bencana yang dahsyat.... Aku tidak menyangka tragedi itu terjadi di daerah kami.” Azfar lamat-lamat memandang ke arah kubangan tanah, berusaha memutar kembali memori 28 September yang menimpa dirinya dan semua penduduk di tempat ini.
“Sungguh sebuah keajaiban, seseorang yang selamat dari fenomena likuifaksi itu, salah satunya kamu,” kata Aya.
Azfar tersenyum, bersyukur karena Tuhan masih memberinya kesempatan untuk hidup.
“Mungkin motorku ada di dalam kubangan tanah itu.”
“Oh ya? Coba kita cari,” kata Aya, bergurau.
Azfar menatap Aya dari kaki hingga kepala, “Ini kamu kan, Aya? Kamu tidak sedang kerasukan, kan?” Azfar membalas gurauan Aya. Ucapan Azfar itu bermaksud bahwa motornya pasti sudah rusak parah di dalam tanah sana, dan tidak mungkin menggalih tanah itu lagi untuk mencarinya.
Aya hanya terpingkal, sampai gadis itu refleks mendorong badan Azfar. Kini mereka berdua tertawa bersama. Sikap canggung mereka saat pertama kali bertemu, kini mulai hangat. Sikap Aya yang selalu terlihat ceria, dan Azfar yang mudah bergaul dengan orang-orang, ditambah sikap lemah lembutnya dan sedikit sentuhan humornya, membuat hubungan mereka berdua semakin akrab. Aya dengan Abimanyu dan Nining juga sangat akrab, tapi Azfar yang lebih spesial baginya. Eh?
“Ayo kita pulang,” ajak Azfar. Sudah pukul setengah enam.
“Tunggu dulu. Bagaimana kalau kita cari makan dulu, juga minum-minuman dingin. Aku haus,” Aya menyarankan.
“Terserah kamu saja, Aya, aku mengikut saja.”
“Dih, kayak cewek, bilang ‘terserah’,” celetuk Aya.
“Aku cuma ditraktir, Aya, makanya bilang 'terserah' hehe.”
“Santai saja. Ya sudah, ayo!”
Azfar tahu di mana ia harus membawa Aya untuk pergi cari makan, salah satu warung yang sering ia singgahi dulu sebelum bencana, tapi ia juga berpikir, apakah warung itu sudah buka.
Sepuluh menit dalam perjalanan, mereka pun tiba di tempat tujuan. Ternyata warung itu sudah buka, tapi jualannya belum lengkap. Azfar dan Aya memesan dua porsi nasi goreng dan es kelapa muda.
Langit sore tidak menampakkan jingganya, melainkan hanya gumpalan awan pekat. Sepertinya akan turun hujan. Usai makan, kedua remaja itu segera pulang. Azfar bergegas, karena rencana ia ingin mengejar waktu salat Magrib di rumah.
Motor melaju membelah jalanan kota. Setelah mulai menjauh dari pusat kota, kiri-kanan jalan kini hanya semak-semak belukar, hanya ada satu-dua rumah dilewati. Di tengah perjalanan, tetes air hujan mulai turun mengenai kulit mereka, cukup deras.
“Azfar, hujannya mulai deras,” kata Aya. “Berhenti dulu, nanti kita basah kuyup, juga barang belanjaan ini.”
Azfar berhenti di bawah sebuah pohon, membuka bagasi motor, hendak memasukkan barang belanjaan.
“Eh, ada jas hujan!” kata Azfar. Tak disangka, ternyata di dalam bagasi motor itu ada jas hujan, namun hanya satu. Azfar mengambil jas hujan itu. “Pakai ini, biar kamu tidak basah.”
“Kamu bagaimana?”
“Kamu lebih penting. Pakai saja.”
Aya mengangguk, lantas mengenakan jas hujan. Tak ada tempat mereka berteduh, mau tak mau harus menlanjutkan perjalanan.
“Kamu basah, Azfar.” Aya tidak tega melihat pakaian Azfar sudah mulai basah keseluruhan. Motor terus melaju.
“Tidak apa.” Azfar menggeleng, sesekali menyeka air hujan yang menggenangi kelopak matanya. Ia tidak membawa alat elektronik, jadi tak perlu ada yang dirisaukan karena basah. “Tas kamu aman? Air hujan tembus ke pakaian kamu?”
“Aman.” Aya melipat kedua tangannya di dada, kedinginan.
Sebelum bencana, dalam perjalanan di saat hujan seperti ini, biasanya Azfar akan berteduh di pondok-pondok kecil yang tersedia di pinggir jalan, atau di teras-teras rumah penduduk, namun segala tempat berteduh itu telah disapu bersih ombak tsunami.
Dari kejauhan mereka melihat sebuah pondok kecil, laju motor Azfar kurangi. Sepertinya pondok kecil itu baru dibikin beberapa hari yang lalu. Rencananya mereka ingin berteduh di sana. Saat berhenti tepat di depan pondok, rupanya pondok itu sudah dipenuhi para pengendara, Azfar dan Aya perlu berpikir dua kali untuk singgah.
“Aduh, pondok itu sudah penuh. Bagaimana ini, Aya, apakah hujannya kita terobos lagi sampai dapat tempat berteduh?” tanya Azfar.
“Aku tidak masalah jika diterobos, karena aku pakai jas hujan. Tapi, bagaimana dengan kamu? kamu sudah basah kuyup begini.” Aya menepuk-nepuk belakang Azfar.
“Kamu tidak perlu khawatir denganku, asal kamu tidak basah dan baik-baik saja.”
Akhirnya Azfar menancap gas lagi dengan laju, pakaiannya sudah basah kuyup. Perjalanan masih jauh. Satu-dua pondok kecil mereka lewati lagi, namun semuanya telah penuh. Kurangnya tempat berteduh, sepertinya mereka berdua tetap akan menerobos derasnya hujan sampai ke rumah dan pengungsian.
Aya mulai menggigil kedinginan, giginya bergemeletuk kencang. Azfar lebih kedinginan lagi, badannya terasa kaku, namun tidak terlalu ia tampakkan, karena pasti Aya akan khawatir dengan keadaannya.
“Azfar, aku kedinginan.” Perlahan tangan Aya melingkar ke perut Azfar, lalu mendekap tubuh lelaki itu dengan erat.
Azfar melongok ke bawah sejenak, melihat kedua tangan Aya yang sudah saling bertemu, bercekak dengan erat.
Azfar kembali fokus menatap ke depan, sedangkan Aya dengan nyamannya mendekap tubuh lelaki itu dengan erat; seketika rasa dinginnya mulai reda, kini kehangatan mulai ia rasakan, walaupun hujan dengan deras menyiram mereka. Aya bisa merasakan detak jantungnya dan Azfar berdetak bersamaan. Ini kali pertamanya Aya sangat dekat dengan Azfar. Rasanya Aya ingin agar waktu berhenti sejenak, agar ia bisa berlama-lama mendekap tubuh lelaki yang sudah ia cintai itu.
Azfar adalah seorang remaja yang tidak pernah meninggalkan kewajiban salat lima waktu, memiliki akhlak yang baik, lemah lembut ke semua orang, namun kali ini, ia sedang melanggar apa yang dilarang oleh agamanya: bersentuhan dengan lawan jenis yang bukan mahram sangat dilarang dalam agama Islam. Hal yang lumrah bagi setiap manusia, yang terkadang iman naik, kadang turun. Azfar bukan malaikat yang tak pernah berbuat dosa, ia juga bukan seorang nabi yang imannya selalu naik. Ia hanyalah manusia biasa, yang tak luput dari salah dan dosa.