Udara malam ini terasa sangat dingin, menusuk sampai ke nadi. Indri terbangun dari tidurnya, hendak buang air kecil. Perempuan itu pun bangkit dari pembaringannya, menatap keluarganya yang tertidur lelap di ruang tamu, sedangkan dirinya dan Zaldin tidur di ruang tengah. Indri membawa satu pelita untuk di bawa ke toilet.
Indri sudah berada di depan pintu toilet, lantas membukanya, masuk. Toilet diterangi dengan pelita.
Plaakk.... Tinggg...
Dari dalam toilet, Indri mendengar suara dari luar, sumbernya seperti dari pintu belakang rumah. Indri berpikir, mungkin itu hanya seekor kucing yang menjatuhkan sesuatu. Perempuan itu pun keluar dari toilet, berjalan mengendap-endap, mengulurkan pelita ke depan, menerangi lebih jelas ke arah depan. Perempuan itu hendak mengecek ke belakang, apakah memang benar-benar kucing.
Meonggg.
Indri mengelus dadanya saat seekor kucing menghampiri dirinya. Kucing itu bermanja-manja di kaki perempuan itu. Namun ia belum sepenuhnya yakin kalau suara tadi itu dari seekor kucing. Ia tetap melangkah ke arah pintu belakang, tak jauh dari tempat ia berdiri dengan seekor kucing. Saat berdiri di ambang pintu belakang, perempuan itu mencoba memegang gagang pintu, mencoba membuka, apakah terkunci.
“Eh, kenapa tidak terkunci?!” Indri keheranan, ia mengecek ambang pintu yang berada dekat dengan gagang pintu. "Astaga, seseorang telah mencungkilnya."
Indri segera berlari menuju ke ruang tengah, hendak membangunkan Zaldin, melaporkan pada suaminya itu, tapi saat dirinya melewati pintu berikutnya menuju ruang tengah, seseorang telah merengkuh tubuhnya dengan erat, tangan orang itu menutup mulut perempuan itu, dan meraih lampu pelita dari tangannya. Indri berusaha melawan, nahas, tenaganya kalah dengan seseorang berbadan kekar yang sedang mengunci semua pergerakannya.
Indri berusaha berteriak meminta tolong kepada yang lain, walaupun mulutnya tertutup telapak tangan yang besar. Ia tetap bisa mengeluarkan suara dari dalam mulut, “Umm, umm, umm….”
“Hei! Lepaskan saja, nanti kita ketahuan!” titah seorang rekan dari penjahat yang menutup mulut Indri.
Indri memutar bola matanya, ia mendengar suara cicitan dari seseorang lainnya. Indri mengira penjahat itu hanya satu orang saja, ternyata mereka berdua. Indri terus berusaha mengeraskan suara dari dalam mulut. “Umm, ummm, ummm.”
“Berisik!!....” Penjahat yang tidak terlihat oleh Indri tiba-tiba melayangkan sebuah belati tepat ke arah perut perempuan itu bagian kiri, darah memuncrat dengan deras.
Akibat tusukan belati di perut Indri bagian kiri, perempuan itu meringis kesakitan, suara dalamnya makin mengeras walaupun mulutnya tertutup rapat. Saat itu juga Zaldin terbangun, lelaki itu tak melihat istrinya tidur di sampingnya.
“Hei! Siapa di sana?!” Zaldin berteriak, segera berlari ke arah dapur. Teriakan Zaldin sontak membuat kedua penjahat terkejut, lantas mereka segera berlari keluar dari rumah. Zaldin lebih dulu tiba di dapur, ia melihat dua orang keluar dari pintu belakang, Zaldin berteriak sekali lagi dengan nada yang lebih keras. “Azfaaarr!!.. Haji Sengkoooo!... Toloongggg!...”. Teriakan kedua kalinya itu membuat semua yang ada di dalam rumah terbangun, lantas mereka segera menyusul Zaldin yang ada di dapur. Zaldin meninggalkan Indri saat melihat Azizah dan yang lain telah tiba di Dapur. Bukannya Zaldin tidak peduli pada Indri, dan memberi pertolongan pertama pada Istrinya itu, namun karena hanya dirinya lah yang melihat kedua penjahat itu lari ke arah mana. Ia segera mengejarnya. Ia percayakan Indri pada Azizah, Nenek Arni dan lainnya. Azfar tidak melihat kondisi Indri saat ini, remaja itu juga ikut mengejar penjahat tersebut.
Kondisi Indri sangat mengenaskan, wajahnya pucat, darah dari tusukan terus mengalir dangan deras. Haji Sengko keluar dari rumah Nenek Arni, mengabarkan ke semua tetangga. Semua panik. Beberapa tetangga melapor kepada petugas yang tak jauh dari kompleks mereka. Warga laki-laki, mulai dari remaja, orang dewasa, orang tua, ikut mengejar penjahat.
“WOI! BERHENTI!!,” teriak Zaldin, kedua penjahat itu ada di depannya, cukup jauh. Di belakang Zaldin, disusul Azfar dan warga laki-laki lainnya.
Dari perkomplekan rumah warga, kedua penjahat itu berlari menuju semak-semak belukar, berlari di jalan setapak. Dari awal melakukan pengejaran, kedua penjahat itu sudah mematikan lampu senter mereka, agar jejak meraka hilang dari para warga yang mengejar. Zaldin dan Azfar tidak sempat mengambil senter, tapi mereka berdua tetap bisa melihat dua sosok berlari di depan, dan dibantu indra pendengar, sehingga suara keresek-keresek dari dedaunan dan ranting kering yang dipijak kedua penjahat bisa mereka dengar dan tahu persis di mana kedua penjahat itu berlari. Zaldin berlari secepat mungkin agar tidak kehilangan jejak penjahat itu. Azfar dapat menyusul Zaldin, larinya sangat kencang. Beberapa warga juga tak kalah kencang berlari mengejar penjahat. Sesekali Zaldin dan Azfar berhenti mengambil batu, lalu melempar ke arah penjahat yang berlari di depan mereka.
Melakukan pengejaran di kegelapan malam sangat tidak mudah, itu akan mempermudah kedua penjahat itu untuk menghilangkan jejek. Beruntung beberapa dari warga sempat mengambil senter saat mendengar teriakan adanya 'penjahat' tadi.
Pengejaran semakin jauh, hingga tiba di kaki perbukitan, titik-titik lampu pelita dari rumah-rumah warga tidak nampak lagi. Kedua penjahat itu mulai mendaki bukit. Baru setengah perjalanan mendaki, kedua penjahat itu sudah kelelahan, laju lari mereka mulai berkurang, sehingga jarak Zaldin dan para warga semakin dekat dengan kedua penjahat itu. Sekali lagi Azfar mengambil batu, melempar ke depan, tepat sasaran, satu penjahat meringis kesakitan karena lemparan batu dari Azfar mengenai leher bagian belakangnya. Batu yang Azfar pakai melempar cukup besar, membuat penjahat itu jadi ling-lung saat berlari—larinya mulai memelan. Zaldin sudah berada tepat dibelakang penjahat yang keliatan sudah tak berdaya itu, langsung menendangnya dari belakang, terjatuh. Zaldin langsung menghajarnya habis-habisan, meninju wajah pejahat itu sampai berdarah. Sebagian warga berhenti bersama Zaldin, ikut mengeroyok, sebagian lagi, termasuk Azfar, mengejar penjahat satunya lagi yang meninggalkan temannya yang sudah dikeroyok di belakang. Sebetulnya Azfar juga hendak singgah bersama Zaldin, hanya saja terbesit sedikit rasa kasihan di hatinya melihat penjahat itu di hajar habis-habisan.
Azfar dan beberapa warga terus mengejar, namun mereka kehilangan jejak si penjahat satunya lagi. Penjahat itu berlari ke kiri-ke kanan, sehingga mereka yang mengejar kehilangan jejak. Azfar dan beberapa warga itu kembali dengan tangan kosong. Zaldin semakin emosi saat mengetahui teman si penjahat itu tidak berhasil ditangkap, sehingga ia melampiaskan kemarahannya lagi pada si penjahat yang tertangkap, memukulnya lagi. Beberapa warga juga sudah mulai menahan, karena kondisi si penjahat itu sudah mengenaskan.
“SIAPA NAMA TEMANMU, HAH?! KALIAN ORANG MANA?!” pekik Zaldin, wajahnya merah padam, tubuhnya ditahan beberapa warga.
Ditilik dari wajah penjahat itu, ia bukan asli kampung sini, wajahnya asing di mata para warga. Saat diinterogasi, ternyata pejahat itu adalah narapidana yang dilepaskan saat terjadi gempa.
Padahal dua hari yang lalu keluarga Nenek Arni mendengar berita aksi pencurian di salah satu rumah warga yang ada di kampung sebelah, dan malam ini, kejadian itu menimpa keluarga itu. Harta benda memang tidak sempat penjahat bawa lari, namun menimbulkan korban. Entah bagaimana nasib Indri sekarang.
Kembali ke rumah Nenek Arni. Indri dalam keadaan sekarat. Sepuluh menit sesudah tragedi penikaman tadi, ambulans tiba di lorong menuju rumah Nenek Arni. Indri ditopang beberapa warga menuju mobil ambulans dengan tergopoh-gopoh. Mobil ambulans menuju rumah sakit yang ada di kota Donggala. Yang menemani Indri ke rumah sakit adalah Nenek Arni dan Azizah, sedangkan yang tertinggal di rumah adalah Adirah, Aya, dan Haji Sengko, juga banyak warga yang berkumpul di pelataran rumah Nenek Arni.
Saat mobil ambulans sudah berangkat ke rumah sakit dengan kecepatan yang tak usah ditanyakan lagi, Zaldin, Azfar, dan warga laki-laki tiba di rumah Nenek Arni dengan membawa pelaku kejahatan dan pembunuhan. Pelaku tersebut sudah babak belur dihajar warga, apa lagi Zaldin, bukan main setiap pukulan yang ia layangkan ke wajah pelaku, sampai-sampai kedua kelopak mata pelaku itu bengkak, menutupi bola mata. Pelaku kejahatan itu telah diserahkan ke Polisi, kedua tangannya dibergol, lalu dibawa ke Polres Kabupaten Donggala. Zaldin juga segera berangkat menuju rumah sakit seorang diri, menggunakan motornya dengan kecepatan penuh. Jalan raya sepi, sekarang sudah pukul satu dini hari.
“Kak Azfar baik-baik saja?” Adirah bertanya, wajahnya panik. Aya pun tak kalah panik.
Azfar mengangguk, menyeka peluh di wajahnya, napasnya tersengal-sengal, lelaki itu seperti tak menyangka hal mengerikan ini terjadi pada keluarganya.
Aya hanya geming sejak tadi. Sejak tadi kepalanya penuh dengan tanda tanya. Bagaimana mungkin, saat semua orang sedang dalam keadaan krisis karena bencana, tapi masih ada sekelompok orang-orang jahat yang mencuri dan menyakiti para korban?
Sungguh malang nasib keluarga Nenek Arni. Di tengah-tengah kesedihan karena beberapa hari yang lalu bencana menimpa, ditambah lagi dengan peristiwa yang menimpa Indri.
Warga-warga yang berkumpul di halaman rumah Nenek Arni, berbincang-bincang, membahas peristiwa yang barusan terjadi. Di sana juga ada TNI dan Polri. Atas kejadian itu, semua warga bertambah panik, mereka berharap agar proses patroli di setiap titik dilakukan secara ketat lagi, agar para narapidana tidak mendapatkan kesempatan lagi untuk melakukan aksi kejahatan mereka.
“Kak, ayo tidur, sepertinya Kakak kecapekan.” Adirah kasihan melihat Azfar karena tadi juga ikut dalam pengajaran. Gadis kecil itu juga khawatir dengan keberadaan Kakaknya sejak tadi. Saat melihat Indri terbaring lemah tadi, Adirah juga menangis.
“Kakak tidak bisa tidur. Adirah tidur saja, nanti kakak jaga di sini,” balas Azfar, mereka saat ini duduk di bawah tenda di halaman. Hujan sudah berhenti, menyisakan tanah basah dan becek. “Aya, kamu juga tidur saja, pagi masih lama.”
Adirah dan Aya mulai berbaring, sedangkan Azfar duduk di dekat mereka, lelaki itu khawatir dengan keberadaan Indri, semoga tidak terjadi apa-apa pada perempuan yang sangat dicintai Zaldin itu.
Beberapa warga wanita, anak-anak, kembali ke rumah masing-masing, sedangkan warga laki-laki usia remaja, dewasa, orang tua, malam ini berjaga-jaga, meronda sampai pagi. Semua warga juga mulai menambah pengunci buatan di setiap pintu rumah, agar tidak mudah untuk dibuka orang jahat.
Malam mulai tenggelam, tak terasa sudah pukul tiga dini hari. Adirah dan Aya sudah tertidur pulas. Azfar matanya melek, lelaki itu juga harus tetap berjaga-jaga, dan sambil menunggu kabar dari rumah sakit. Haji Sengko masih bercakap-cakap dengan beberapa tetangga.
***
Di Rumah Sakit.
Nenek Arni, Azizah, dan Zaldin, menunggu di luar ruangan, sedangkan Indri terbaring lemah di ruangan UGD. Perempuan itu sedang ditangani oleh Dokter.
Lama menunggu proses penanganan Indri, akhirnya seorang Dokter keluar menghampiri keluarga. “Apakah ada keluarga dari Ibu Indri?”
“Kami bertiga keluarganya, dan saya suaminya. Apa yang terjadi pada Istri saya, Dok? Dia baik-baik saja, kan?” kata Zaldin, air matanya menetes ke pipi.
“Sebelumnya, saya ingin mengatakan, bahwa tusukan belati di perut Ibu Indri sangat dalam, hingga membuat ususnya bocor.” Dokter menghembuskan napas kasar. Sang Dokter menatap Zaldin dengan raut wajah serius, Zaldin pun membalas tatapan itu dengan penuh harapan agar istrinya baik-baik saja. “…. Mohon maaf, kami tidak bisa menyelamatkan nyawa istri Anda.”
Sontak Nenek Arni menutup mulut, menangis sejadinya; suara tangisannya menggema di lorong rumah sakit. Azizah mengusap-usap bahu Nenek Arni, ia juga terisak. Nenek Arni sangat bersedih atas kepergian Indri, seorang menantu yang sangat ia sayangi, yang selalu ada bersamanya setiap saat. Menantu yang lemah lembut, yang sudah menganggap Nenek Arni seperti orang tuanya sendiri.
“Tidak! Ini tidak mungkin!” pekik Zaldin. Butir-butir air mata mulai deras jatuh dari kelopak matanya. Lelaki itu membuka pintu, berjalan cepat menuju ranjang stretcher istrinya, ia dapati sang istri sudah tertutupi dengan kain. Zaldin membuka kain penutup itu, ia tatap sang istri yang sudah terbaring kaku, wajahnya pucat.
Nenek Arni dan Azizah juga ikut masuk. Kali ini tangis Nenek Arni semakin keras, hingga Azizah berusaha menenangkannya. Orang tua sepuh itu hampir saja pingsan, ia seperti tak mampu menerima takdir kematian menantu kesayangannya itu. Azizah menyerahkan segelas air putih pada Nenek Arni, orang tua itu pun meminumnya, lalu terisak lagi. Air mata Nenek itu tak bisa lagi dibendung, semua telah tumpah-ruah.
Zaldin tak kalah sedih, lelaki itu memeluk tubuh kaku istrinya, air matanya membasahi bantal kepala mayat Indri. Zaldin merasa bersalah, menyesal. Kalau saja ia terbangun saat Indri pergi ke toilet, ia pasti akan menemaninya. Zaldin juga sudah menghajar si pelaku, tapi rasa pembalasan belum terpenuhi. Pelaku memang sudah babak-belur, tapi nyawa istrinya melayang, tak bisa lagi kembali. Rasanyanya Zaldin ingin membunuh langsung si pelaku itu, juga temannya yang bisa meloloskan diri. Namun, tidak ada lagi kesempatan untuk membalas rasa dendam itu, karena si pelaku yang ia hajar tadi sudah tentu dimasukkan ke rumah tahanan. Dan, pelaku yang berhasil lolos, Zaldin tak mengenal wajahnya. Ia hanya bisa bersabar menerima apa yang telah terjadi, menelan dalam-dalam takdir yang telah Allah tetapkan.
***
Rumah Nenek Arni.
Sayup-sayup murottal ayat-ayat alquran merdu terdengar di telinga, waktu subuh tak lama lagi tiba. Subuh ini Azfar dan Haji Sengko tidak salat di Masjid, karena tak ada yang menjaga Adirah dan Aya tidur di halaman rumah. Azfar sudah berkali-kali membangunkan Adirah, namun tak kunjung bangung, sepertinya ia sangat mengantuk, karena tengah malam tadi terbangun. Saat azan di Masjid telah selesai dikumandan, Azfar dan Haji Sengko mulai melaksanakan salat.
Di sujud terakhir, Azfar berdoa cukup lama, mendoakan keselamatan bagi Indri. Tepat saat selesai salat, berdoa mengangkat tangan, tiba-tiba terdengar sirine dari mobil ambulans, lembut dan pelan, itu bukan pertanda gawat darurat. Tapi.... Saat mendengar sirine dari ambulans itu, Azfar berpikir yang tidak-tidak. Apakah itu kabar duka?
Buru-buru dalam berdoa, Azfar bangkit dari duduknya, meninggalkan Haji Sengko, Adirah, dan Aya di bawah tenda terpal, remaja lelaki itu segera berlari tergopoh-gopoh ke arah ambulans yang tidak terlalu jauh dari Rumah Nenek Arni. Mobil tak bisa diparkir di halaman rumah Nenek Arni, karena tak ada jalan—rumah itu masuk di lorong-lorong kecil. Sesampainya Azfar di sana, ia sudah temukan ramainya warga berkumpul. Azfar terkejut saat melihat Nenek Arni dirangkul dua orang warga, orang tua sepuh itu seperti tak mampu berjalan, matanya sedikit bengkak, seperti orang yang menangis terlalu lama. Dan memang benar, sejak tadi Nenek Arni tak bisa berhenti menangis. Ada yang membuat Azfar lebih terkejut lagi: tubuh seorang mayat diletakkan di tandu, dan di pikul beberapa warga—dibawa ke rumah Nenek Arni. Azfar menghampiri Azizah, ibunya itu langsung memeluknya, berkata lirih di dekat telinganya, bilang bahwa Indri telah meninggal dunia. Butir pertama air mata Azfar jatuh ke pipi. Kini pikiran tidak baik Azfar tadi memang benar-benar nyata.
Adirah dan Aya terbangun saat mendengar keramaian sedang berada di keliling mereka. Saat mengetahui bahwa Indri telah meninggal dunia, Adirah seketika menangis. Aya juga terlihat sedih, air matanya jatuh ke pipi.
Kenapa hal menyedihkan ini terjadi saat aku menginap di sini, Aya membatin, ia menatap iba jasad Indri terbaring kaku ditutupi kain.
Fajar mulai timbul di kaki langit bagian timur, pertanda sang surya akan segera memperlihatkan keindahannya, sinarnya akan menyambar rumah duka. Pukul sembilan pagi nanti jasad Indri akan dimakamkan.
“Aku turut berduka, Azfar.” Aya membuka percakapan antara mereka berdua yang sejak tadi hanya diam.
Azfar mengangguk, tersenyum. “Kalau sudah ingin pulang, bilang ya. Aku akan temani kamu pulang.”
Aya menggeleng. “Tidah perlu, Azfar, aku bisa pulang sendiri. Aku juga hapal jalannya.”
“Aku akan tetap menemanimu pulang, Aya,” balas Azfar.
“Baiklah.” Aya tediam sejenak, lalu berkata lagi: “Aku ingin pulang sekarang. Tak baik juga jika berlama-lama di sini. Kamu juga pasti sibuk.”
“Tak masalah sebenarnya jika kamu masih ingin berlama-lama di sini, tapi aku juga khawatir kamu akan dimarah rekan-rekan relawanmu karena terlalu lama di sini.”
“Itu juga tak masalah. Tak usah khawatir, mereka akan memaklumi.”
“Baiklah… bagaimana, mau pulang sekarang atau masih ingin di sini?” tanya Azfar pelan.
“Pulang sekarang saja.”
“Baiklah. Mari kita minta izin sama Ibuku dulu.” Dua remaja itu pun menghampiri Azizah.
Azfar pun mengantar Aya pulang ke pengungsian. Ia berharap agar Aya tidak dimarahi oleh rekan-rekan relawannya karena tidak meminta izin bermalam di rumah Neneknya, karena kemarin siang gadis itu hanya memberi tahu bahwa ia akan pulang sore.
Azfar hanya mengantar Aya sampai di pinggir lapangan, setelah itu ia pulang.
“Terima kasih banyak sudah mengantarku pulang. Terima kasih juga atas hari kemarin yang menyenangkan, walaupun malamnya—”
“Sama-sama, Aya.” Azfar memotong ucapan Aya.
Azfar pun berpamitan pada Aya.
“Hati-hati di jalan,” kata Aya.
“Iya. Kamu juga, semangat beraktivitas hari ini, ya.”” Azfar pun balik kanan, mulai meninggalkan Aya. Gadis itu menatap lelaki itu hingga hilang dari kejauhan, sambil memegang dada kirinya, merasakan detak jantung yang berdebar cepat. Rasa senang menyeruak di dalam hatinya, karena berjam-jam ia habiskan waktunya bersama Azfar. Namun rasa gembira itu seketika membuyar saat mengingat apa yang terjadi semalam, dan subuh tadi mendengar kematian Indri.
Aya menyunggingkan senyuman manis dari bibir tipisnya, tangannya masih merasakan detak jantung di dadanya. “Azfar, aku menyukaimu...,” gumam Aya.
Pagi-pagi buta, Aya tiba di tenda relawannya. Relawan senior geleng-geleng kepala saat melihat kehadirannya, walaupun sebenarnya mereka tidak khawatir, karena tahu bahwa Aya ikut bersama Azfar ke rumah nenek lelaki itu, dan sore hujan lebat, makanya gadis itu tidak sempat pulang. Aya bukannya di marahi, ia malah digoda-godai dan diledeki teman-teman relawannya.
“Ciee, ada yang menghabiskan harinya bersama sang pangerannya ni,” goda salah satu relawan senior.
Aya berjalan berdentum-dentum masuk ke tenda, wajahnya terlihat kesal, padahal hatinya berbunga-bunga, ingin terus digoda-godai seperti itu. Gadis itu salah tingkah saat duduk di dalam tenda, tersenyum malu, pipinya seketika berubah merah merona.
Rekan-rekan relawan Aya sejenak berhenti menggoda-godainya, kini gadis itu mulai bercerita pada rekan-rekan relawannya apa yang terjadi semalam di rumah Nenek Azfar. Belasan pasang mata mendengarnya dengan saksama, sesekali terkejut, juga sedih. Aya juga tak sengaja menceritakan perjalanannya ke air terjun bersama Azfar menaiki motor. Lagi-lagi ia digodai, tenda dipenuhi gelak tawa. Entah kenapa, karena sering digoda-godai, sepertinya Aya malah suka, itu hanya membuat dirinya selalu terbayang-bayang dengan wajah Azfar.
Berita aksi pencurian semalam, dan kematian Indri sudah sampai ke setiap telinga para pengungsi, itu adalah topik hangat mereka pagi ini. Saat bertemu dengan Abimanyu dan Nining dipengungsian, Aya memberi tahu kepada mereka berdua bahwa dirinya ada di rumah Nenek Arni saat aksi pencurian itu. Apakah pamer karena berjam-jam bersama Azfar dan keluarganya, atau sekeder memberi tahu saja?
“Wow, belum lama kenal sudah main-main ke rumah saja,” celetuk Abimanyu.
Kali ini Aya tidak sebal dikatai seperti itu, dan ternyata ia melapor hal itu pada Abianyu dan Nining memang karena ia sengaja, tujuannya agar ia digoda-godai lagi.
“Hati-hati terlanjur sayang, Aya, bisa-bisa nanti kalian LDR, hahaha.” Nining terkikik geli.
Aya tersenyum lebar, pipinya memerah, namun sedikit sedih. Nining memang benar, tidak lama lagi ia akan berpisah jauh dengan Azfar.