Read More >>"> RUMIT (Kisah Sang Nabi) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - RUMIT
MENU
About Us  

Mereka bertiga baru pulang dari wisata Air Terjun Loto tepat pukul lima sore. Sebelum mereka start hendak pulang tadi, tiba-tiba langit berubah warna menjadi kelabu, awan mendung menggumpal di angkasa, mereka betiga bergegas pulang, karena hujan akan mulai turun.

Motor berhenti di halaman depan rumah Nenek Arni. Tepat saat mereka tiba, tetes pertama air hujan jatuh ke bumi, lalu disusul jutaan tetes lainnya. Hujan cukup deras, disertai hembusan angin kencang membawa butir-butir hujan hingga sedikit membasahi mereka di bawah tenda terpal. Keluarga itu duduk saling rapat di tengah-tengah tenda, agar tidak basah terkena butir-butir air hujan yang terbawa angin. Terpal yang dijadikan sebagai alas untuk duduk dan berbaring aman dari air yang mengalir di tanah, karena sebelumnya Zaldin dan Azfar sudah membuat aliran air mengelilingi tenda terpal.

“Sepertinya, untuk sementara waktu kita harus masuk ke dalam rumah dulu. Melihat hujan yang semakin deras ini, kita akan basah jika bertahan di tenda,” Zaldin menyarankan.

“Tapi ibu masih khawatir dengan gempa susulan, Zaldin.” Nenek Arni meraba-raba tangannya yang kedinginan.

“Ini sudah hari ke sembilan setelah gempa, Bu, gempa susulan sudah jarang. Setelah hujan berhenti nanti, kita tetap kembali tidur di tenda,” kata Zaldin dengan sorot mata yang meyakinkan bahwa akan baik-baik saja. “Kita semua berkumpul di ruang tamu, jangan ada yang istirahat di ruang mana pun. Aku dan Azfar akan memindahkan kursi-kursi sofa yang ada di ruang tamu ke ruang tengah,” lanjut Zaldin.

Zaldin memang benar, gempa susulan akhir-akhir ini sudah jarang muncul, mungkin karena jarak terjadi gempa berkekuatan 7,4 skala richter itu dengan hari ini sudah jauh, yakni sembilan hari telah berlalu.

Mereka semua yang ada di bawah tenda saling pandang, kemudian mengangguk setuju dengan saran Zaldin. Saran yang memang benar-benar pas di saat hujan deras seperti ini. Daripada basah sedikit demi sedikit di bawah tenda, lebih baik untuk sementara waktu masuk ke dalam rumah.

Mereka pun beranjak dari tenda masuk ke dalam rumah. Zaldin dan Azfar memindahkan semua kursi sofa ke ruang tengah, menyapu debu-debu, membentangkan tikar, lalu mereka semua pun duduk. Langit sudah gelap, pelita mulai dinyalakan.

Dari tetes hujan pertama turun tadi, Azfar mulai khawatir, karena ia tak sempat mengantar Aya pulang ke pengungsian, disebabkan hujan langsung turun deras saat mereka baru sampai di depan rumah. Di balik kekhawatiran Azfar, Aya terlihat biasa-biasa saja, baginya itu suatu hal yang tidak perlu dikhawatirkan, toh siang tadi di pengungsian, ia juga sudah minta izin pada relawan senior, dan diizinkan.

“Tapi Aya, mereka akan terus bertanya-tanya kenapa kamu belum pulang,” kata Azfar pada Aya, suaranya terdengar khawatir.

“Tidak perlu khawatir, Azfar, mereka akan memaklumi kalau aku terjebak hujan di rumah Nenekmu. Mereka pasti berpikir kalau aku akan baik-baik saja, karena siang tadi pergi bersamamu,” balas Aya meyakinkan bahwa akan baik-baik saja, tersenyum.

“Aku juga takut mereka akan memarahimu ketika kamu pulang nanti.”

“Mereka tak akan marah, percayalah padaku.” Aya tersenyum lagi, Azfar yang ada di sampingnya menghembuskan napas perlahan.

Sudah pukul enam tepat, waktu Magrib sudah tiba. Azan salat Magrib tidak terdengar dari Masjid, karena dikalahkan suara gemeletuk hujan di atap seng. Mereka akan melaksanakan salat di ruang tengah, menyisakan Aya dan Zaldin di ruang tamu. Zaldin tak salat lagi. Haji Sengko yang akan menjadi Imam salat, Azfar berdiri di samping kanan orangtua itu. Mereka perempuan yang menjadi makmum berada di belakang. Aya duduk manis, menyimak gerakan salat mereka sampai selesai.

Sepuluh menit berlalu, salat Magrib pun telah selesai. Hujan belum berhenti, derasnya masih sama superti tadi, disertai angin kencang, tenda terpal yang ada di depan rumah bergelombang-gelombang tertiup angin, seperti akan tercabut dari ikatannya. Pintu utama rumah Nenek Arni selalu terbuka, hanya untuk jaga-jaga jika gempa susulan datang tiba-tiba, agar bisa segera berlari keluar.

“Dek Aya, untuk malam ini bermalam di sini saja. Cuaca di luar buruk,” kata Azizah saat duduk di samping Aya.

Nenek Arni yang juga sudah duduk di ruang tamu ikut bersuara, menyambung ucapan Azizah. “Iya, kamu tidak usah pulang, Nak, bermalam di rumah nenek saja.” Nenek Arni tersenyum lembut, walaupun senyum itu tak terlalu nampak karena ruangan hanya diterangi lampu pelita.

Aya bingung akan menjawab apa, gadis itu hanya memandang ke arah Azfar yang juga duduk di dekatnya, remaja lelaki itu masih menggunakan kaos dan sarung yang ia pakai salat tadi. Azfar sebenarnya juga bingung harus berkata apa.

“Ya, Dek Aya, bermalam di sini saja, besok Azfar akan mengantar kamu pulang ke pengungsian,” kata Azizah lagi, tersenyum, sambil mengusap pundak Aya.

Azfar dan Aya saling tatap lagi sejenak, lalu gadis itu mengangguk.

“Horee, malam ini Kak Aya bermalam bersama kita.” Adirah berseru riang, “Nanti Kak Aya tidur dekat Adirah, ya.”

Aya tersenyum lebar, mengangguk.

Kedua telapak tangan Aya saling menggenggam erat, perempuan itu sedikit gugup. “Terima kasih banyak, Bu, Nek, atas tumpangannya.”

Azizah dan Nenek Arni tersenyum.

Azizah bangkit dari duduknya. “Ibu ke dapur dulu, mau masak, untuk makan malam kita.”

“Saya ikut ke dapur, Bu, membantu,” kata Aya lantas ikut berdiri.

“Tidak usah, Nak, biar ibu saja.”

“Tidak apa, Bu.” Aya tersenyum.

“Baiklah. Ayo kita ke dapur.”

Adirah ikut melangkah di belakang, membantu menyiapkan makan malam, walaupun sebenarnya gadis kecil itu tidak mengerjakan apa-apa.

“Adirah, ibu lupa, tolong kamu sampaikan ke Azfar, kompor gas yang ada di luar pindah ke dapur,” kata Azizah.

“Baik, Bu.”

Malam ini, mereka yang ada di dapur hanya memasak mi instan berkuah.

Pintu dapur juga selalu terbuka, ribuan tetes hujan nampak diluar sana. Dalam hati, Aya semakin bertambah senang, karena kedekatannya dengan Ibu Azfar semakin akrab. Ia tak tahu jelas dengan isi hatinya. Entah kenapa, semenjak betemu dan berkenal dengan Azfar, ada sesuatu yang ia rasakan; hatinya seperti berbunga-bunga. Sepertinya Aya memang benar-benar ada rasa, seperti rekan-rekan relawannya yang selalu tekankan bahwa ia memang sudah mempunyai rasa pada Azfar. Bahkan Aya selalu berpikir, jangan-jangan rasa sukanya terhadap Azfar sudah timbul saat pandangan pertama di mobil pick-up enam hari yang lalu?

“Dek Aya, tolong ambilkan ibu cabe di meja itu,” kata Azizah, membuat lamunan Aya buyar. Itu adalah ucapan Azizah yang kedua kalinya, setelah ucapan pertama tak didengar oleh Aya.

“Eh, i-iya, Bu. Ibu menyuruh saya apa tadi?” Aya gelagapan. Sebenarnya ia dengar apa yang katakan oleh Azizah kepadanya, namun ia malah bertanya lagi. “Oh iya, cabe,” lanjut Aya lagi, ia kini menahan malu.

Azizah hanya geleng-geleng kepala, tersenyum lebar, “Apa yang sedang kamu pikirkan?”

“Tidak, Bu, hehehe.” Aya menyerahkan keranjang kecil berisi cabe pada Azizah, ia masih menahan malu.

Hujan yang tadinya deras, seketika berubah menjadi gerimis, saat itu juga makan malam sudah dihidangkan di ruang tamu. Malam itu, kelurga kecil Nenek Arni, ditemani Haji Sengko dan Aya, menikmati makan malam, kuah mi instan yang lezat dan hangat sangat pas di saat cuaca dingin begini. Rasanya seperti sedang berada di zaman dulu, di mana listrik tidak ada, penerangan hanya menggunakan pelita, rintik hujan bergemeletuk di atap seng.

“Maaf ya, Dek Aya, hanya ada mi instan.” Azizah membuka percakapan saat menyendok nasi ke piring.

Aya menggeleng. “Tidak apa, Bu. Ini sudah lebih dari cukup.”

Saat makan, hanya suara Adirah terus yang terdengar, gadis kecil itu banyak berbicara pada Aya, ia juga memberi tahu pada Aya bahwa menjelang tidur nanti, akan mendengar cerita dari Azfar. Gadis kecil itu juga melapor bahwa ia hampir tiap malam mendengar cerita dari Azfar, ia sangat menyukainya. Aya sesekali menanggapi omongan dari gadis kecil itu, lebih banyak mengangguk karena mulut fokus mengunyah.

“Kalau lagi makan jangan bicara, Adirah,” tegur Azfar.

“Iya, iya. Nanti kita cerita-cerita ya, Kak,” kata Adirah pada Aya.

“Iya, Adirah.”

Usai makan malam, piring kotor dipindahkan ke dapur, Azizah berencana akan mencucinya sekarang, agar besok pagi tidak nampak lagi piring-piring kotor yang menggunung. Aya juga ikut ke dapur, menemani mencuci piring. Gadis itu paham: jika sedang menginap di rumah orang, jangan hanya tahu menikmati, tapi juga harus ikut membantu. Sebenarnya Azizah juga tidak keberatan jika Aya tidak membantu, namun Aya tetap saja merasa tidak enakkan.

Saat mencuci piring telah usai, mereka duduk-duduk sambil bercakap sejenak, lalu salat Isya di ruang tengah. Setelah salat, tak ada lagi aktivitas yang mereka lakukan selain istirahat. Azfar, Adirah, dan Aya duduk di sudut ruang tamu, saling berhadapan, melingkar, mereka bertiga mengambil satu pelita, diletakkan di tengah-tengah. Mereka bertiga akan memulai cerita. Azfar tak ingin hanya dirinya saja yang bercerita, Aya juga harus. Aya menggeleng, ia tak tahu akan bercerita apa.

“Terserah saja, Aya. Cerita masa kecil juga boleh,” celetuk Azfar.

“Mmm, nanti saja kita lihat. Siapa tahu saat kamu bercerita, Adirah sudah terlelap tidur,” Aya cekikikan.

“Adirah akan menahan kantuk demi mendengar cerita dari Kak Aya,” balas Adirah, gadis kecil itu membuat senyumnya semanis dan seimut mungkin, di pipi kanan-kirinya tercipta kendis, gigi susunya nampak berderetan rapi.

Aya gemes melihat Adirah, sampai-sampai perempuan itu mencubit pipi gadis kecil itu, “Baiklah, Adirah cantik.”

Sebagai pengantar tidur, mereka bertiga terlebih dahulu bercerita-cerita, Haji Sengko kali ini tidak ikut bergabung, karena orang tua itu sedang asyik berbincang-bincang dengan Nenek Arni, Azizah, Zaldin, dan Indri. Topik perbincangan mereka berat-berat. Maklum saja, namanya juga orang tua.

Biasanya, jika bercerita-cerita dengan Adirah, Azfar selalu bercerita tentang sejarah. Remaja lelaki itu sangat suka mempelajari sejarah. Semua sejarah ia sukai, mulai dari sejarah keislaman, keindonesiaan, bahkan sejarah-sejarah dunia lainnya. Sebelum bencana, saat di sekolah, Azfar sangat menanti-nanti pelajaran sejarah, ia sangat bersemangat jika berbicara tentang sejarah. Azfar suka belajar sejarah bukan hanya dari guru-guru saja, tapi ia juga suka belajar sejarah dari buku-buku yang dibacanya. Sebelum bencana juga, Azfar hampir menamatkan buku Sirah Nabawiah, kisah perjalanan Nabi Muhammad SAW dari beliau lahir sampai kembali ke hariban Ilahi. Sayangnya, belum sempat Azfar tamatkan, buku itu sudah hanyut terbawa tsunami. Dan, sedikit informasi, Azfar setiap bercerita pada Adirah, ia selalu mengambil sejarah bertemakan keislaman. Namun saat ini, ia bukan hanya berhadapan dengan Adirah, Aya juga ada bersama mereka, seorang gadis beragama Nasrani.

Tidak mungkin bercerita tentang keislaman, batin Azfar.

“Kak, adirah ingin mendengar kisah perang Badar.” Adirah mulai bersuara, memberi saran tema cerita malam ini.

Azfar menelan ludah kasar, sedikit terkejut dengan permintaan Adirah. Ia memaklumi permintaan adiknya itu, karena usianya masih terbilang dini, belum mengetahui kalau di dunia ini, khususnya Indonesia memiliki beberapa agama yang dianut umat manusia. Gadis kecil itu juga belum tahu jika Aya seorang Nasrani. Malah, saat hendak salat Magrib tadi, sempat gadis kecil itu bertanya sambil berbisik di telinga Azfar: “Kenapa Kak Aya tidak salat?”. Azfar menanggapinya dengan senyuman, dan memberi peringatan pada adiknya itu agar jangan bertanya seperti itu pada Aya langsung. Azfar berjanji, setelah Aya kembali ke pengungsian nanti, ia akan menjelaskan tentang beberapa agama yang ada di muka bumi ini pada Adirah.

“Yahh... kenapa hanya diam, Kak?" Adriah menggoyang-goyang tangan Azfar karena kelamaan menunggu.

“Eh, iya, iya, Adirah.” Lamunan Azfar membuyar. “Nanti lain kali saja cerita tentang perang Badar ya, Adirah, kita ganti cerita yang lain.”

Bukan Adirah yang bertanya, tapi malah Aya, “Kenapa?”

“Iya, kenapa, Kak?”  sambung Adirah.

Azfar mendekatkan kepalanya ke kepala Aya, berbisik: “Kisah itu tentang peperangan yang dipimpinan Nabi Muhammad. Nabi Agung umat Muslim.”

Adirah mengamati tingkah kedua remaja itu.

Aya mengangguk-angguk paham, kembali berbisik kepada Azfar: “Tapi, apa salahnya jika kamu ceritakan? Aku juga tidak keberatan. Aku juga suka mendengarkan sejarah, bertema apapun itu.”

Azfar menghembuskan napas perlahan. Ia akan menceritakannya. Sejarah itu telah Azfar baca di buku Sirah Nabawiah, karangan Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri. Buku itu mendapatkan penghargaan juara 1 Lomba Penulisan Sejarah Islam antar dunia dan buku itu telah menjadi best seller.

Azfar menatap Adirah dan Aya, tersenyum. Bibir lelaki itu telihat sedikit bergoyang, ada sebuah kalimat yang ia ucapkan, walaupun tidak terdengar sedikit pun oleh kedua gadis yang ada di hadapannya. “Bismillahirrahmanirrahim.”

“Saat Nabi Muhammad SAW telah diangkat menjadi Rasul, beliau diperintahkan oleh Allah agar menyebarkan agama Islam ke semua umat. Penyebaran Islam pertama kali beliau lakukan secara sembunyi-sembunyi. Yang pertama beliau perkenalkan dengan Islam adalah keluarga-keluarga terdekat, dan sahabat-sahabat karib beliau, seperti istri beliau: Khadijah binti Khuwailid, pembantu beliau: Zaid bin Haritsah, anak paman beliau: Ali bin Abu Thalib, dan sahabat karib beliau: Abu Bakar Ash-Shiddiq. Mereka ini masuk Islam pada hari pertama dimulainya dakwah, sehingga mereka dijuluki As-Sabiqunal-Awwalun (yang terdahulu dan yang pertama-tama masuk Islam).”

“Tiga tahun lamanya dakwah secara sembunyi-sembunyi, hingga terbentuk sekelompok orang Mukmin yang senantiasa menguatkan hubungan persaudaraan. Kemudian turun wahyu yang mengharuskan Nabi SAW untuk berdakwah secara terang-terangan di semua kalangan orang-orang Arab. Saat itu orang-orang kafir Quraisy banyak yang menolak mentah-mentah ajakan beliau terhadap Islam, hanya orang-orang pilihan Allah saja seketika itu mengikuti beliau dan masuk Islam. Dulu orang-orang kafir Quraisy bukan hanya menolak seruan beliau kepada Islam, tapi juga mencaci, mengejek, mengolok-olok, bahkan sampai menyiksa Nabi SAW dan orang-orang Mukmin.”

“Waktu terus berjalan, hingga mulai bertambah banyak pengikut Nabi SAW. Orang-orang kafir Quraisy semakin geram. Pernah suatu ketika, Nabi SAW sedang sujud di dekat Kakbah, Abu Jahal beserta rekan-rekannya membuat sebuah tantangan: siapa yang berani meletakkan kotoran onta ke punggung Muhammad? tanya Abu Jahal pada rekan-rekannya. Salah satu dari mereka berdiri, lalu meletakkan kotoran onta ke pundak Nabi SAW. Sungguh dendam mereka pada Nabi SAW.”

“Ada juga kisah dari sahabat Nabi SAW, yakni Bilal bin Rabbah. Saat sahabat Nabi itu menyatakan dirinya telah masuk Islam, majikannya menyiksanya dengan cara membaringkannya di bawah terik matahari yang begitu panas, di atas pasir yang gersang, lalu dada sahabat Nabi itu ditindihkan batu besar. Bilal diancam, jika ia tetap berada di agama Muhammad, maka ia akan terus-terusan disiksa. Namun Bilal adalah sahabat Nabi yang sangat kokoh imannya, sehingga ia rela disiksa terus-menerus dari pada harus keluar dari Islam, hingga Akhirnya sahabat Nabi bernama Abu Bakar membeli Bilal dari majikannya, dan Bilal pun hidup tenang dengan orang-orang Muslim lainnya.”

“Dakwah terus berjalan, walaupun Nabi SAW dan para pengikutnya selalu mendapatkan cacian, hinaan, ejekan, bahkan siksaan. Melihat orang-orang Mukmin semakin tidak aman berada di tengah-tengah orang-orang kafir Quraisy, akhirnya Nabi SAW mendapatkan perintah dari Allah agar hijrah, atau pindah dari Makkah ke Madinah.”

“Dalam perjalanan hijrah ke Madinah, orang-orang Mukmin tidak bergerombol melakukan perjalanan, tetapi berpisah-pisah, bahkan harus sembunyi-sembunyi, karena jika sampai ketahuan oleh orang-orang kafir Quraisy, mereka akan mencegah perjalanan orang-orang Mukmin, karena orang-orang kafir Quraisy khawatir, Islam akan menyebar semakin luas di tanah Arab. Saat itu, Rasulullah SAW, ditemani sahabat beliau, Abu Bakar, berjalan mengendap-endap di malam hari. Nabi SAW lah yang paling diincar orang-orang kafir Quraisy. Jika mereka mendapatkan beliau, maka akan dibunuh. Saat Nabi SAW dan Abu Bakar hijrah dengan perjalanan yang sangat jauh, suatu ketika beliau dan Abu Bakar singgah di sebuah gua. Saat hendak masuk, Abu Bakar mencegah Nabi SAW, lalu berkata: “Biarkan aku yang duluan masuk, Wahai Rasulullah. Jika ada sesuatu yang membahayakan di dalam sana, akulah yang akan tertimpa, bukan engkau.”. Gua ternyata aman. Saat Nabi SAW dan Abu Bakar sudah masuk ke dalam gua, beliau kelelahan, dan baring dengan paha Abu Bakar sebagai tumpuan kepala beliau. Saat beliau sudah terlelap dalam tidurnya, seekor hewan berbisa menggigit kaki Abu Bakar. Sahabat Nabi itu merasakan sakit yang bukan main perihnya, tapi ia tak tega membangunkan sang Nabi yang sedang tertidur dengan pahanya sebagai tumpuan kepala beliau. Rasa sakit terus menyerang sampai ke seluruh tubuh Abu Bakar, sampai-sampai tetes air mata Abu Bakar jatuh tepat ke wajah Nabi SAW. Nabi SAW terbangun dan bertanya pada sahabatnya itu apa yang sedang terjadi padanya, Abu Bakar menjawab bahwa kakinya sedang digigit hewan berbisa, Nabi SAW langsung meludah ke bekas gigitan hewan itu, dan seketika itu juga bekas gigitan hewan di kaki Abu Bakar langsung sembuh.”

Adirah dan Aya terus fokus mendengar, mata mereka berdua sama sekali tidak berkedip.

Aya berdecak kagum, “Sungguh, itu adalah definisi sahabat terbaik. Belum pernah aku temukan kisah nyata seperti kisah yang satu ini.”

Azfar tersenyum, “Bagaimana, apakah aku teruskan lagi ceritanya? Kalian berdua masih sanggup mendengarnya?”

Adirah dan Aya mengangguk dengan semangat, mata mereka berdua juga belum mengantuk, begitu juga dengan si pencerita, Azfar.

“jSingkat cerita, saat Nabi SAW dan para pengikutnya telah tiba di Madinah, mereka langsung bergotongroyong membangun Masjid. Nabi SAW juga mengakrabkan orang-orang Muhajirin dan Anshar—.”

“Siapa mereka-mereka itu?” tanya Aya yang belum tahu orang-orang Muhajirin dan Anshar.

“Orang-orang Muhajirin adalah orang-orang Makkah yang hijrah bersama Nabi SAW. Sedangkan orang-orang Anshar adalah penduduk asli Madinah.”

Aya mengangguk.

“Ternyata orang-orang Madinah kebanyakan berlemah lembut terhadap Nabi SAW, kebanyakan dari mereka patuh dan tunduk terhadap apa yang beliauserukan, sehingga makin bertambah orang-orang yang masuk Islam. Kabar itu pun telah sampai ke telinga-telinga orang-orang kafir Quraisy, mereka pun berencana akan menyerang Madinah, bahkan mereka terus-terusan menyiksa orang-orang Mukmin yang masih ada di Makkah; yang tidak sempat hijrah mengikuti Nabi SAW ke Madinah. Saat keberadaan orang-orang Muslim dalam masa-masa sulit, turun perintah perang dari Allah untuk memerangi mereka yang selalu berbuat aniaya terhadap orang-orang Muslim.”

“Suatu hari, Rasulullah SAW mengadakan persiapan untuk keluar dari Madinah beserta tigaratus lebih pasukan Muslimin, tujuannya untuk menghadang kafilah dagang Quraisy yang dipimpin Abu Sufyan dari arah Syam hendak pulang ke Makkah dengan membawa harta yang berlimpah. Tujuan penghadangan kafilah dagang Quraisy itu adalah untuk memperlihatkan kepada orang-orang Quraisy kalau orang-orang Muslim tidak lemah. Rencana orang-orang Muslim akan mencegah kafilah dagang Quraisy itu, terdengar sampai ke Abu Sufyan dan rombongan kafilahnya, akhirnya Abu Sufyan mengutus salah seorang dari mereka, memberi tahu pada orang-orang Quraisy yang ada di Makkah untuk menolong kafilah dagang tersebut. Seribu tigaratus pasukan Quraisy bergerak ke arah Badar.”

“Kafilah dagang Quraisy itu pun lolos dari pasukan Muslimin, karena mereka berbeda jalur. Walaupun pasukan Quraisy yang berjumlah seribu tigaratus prajurit sudah mendengar selamatnya Kafilah dagang tersebut, pasukan itu tetap bersikeras untuk berperang dengan pasukan Muslimin.”

“Apakah tigaratus lebih pasukan Muslimin melawan seribu tigaratus pasukan Quraisy?” Aya bertanya, ia semakin semangat mendengarnya. Sedangkan Adirah yang ada di sampingnya sudah diserang kantuk, gadis kecil itu meletakkan kepalanya di paha Aya. Cerita masih berlanjut, Adirah masih membuka matanya, mendengar setiap ucapan dari Azfar, berusaha untuk tidak tertidur. Aya mengusap-usap kepala gadis kecil itu.

Azfar mengangguk, “Iya. tigaratus lawan seribu tigaratus.”

“Pertempuran yang tidak seimbang," kata Aya, ia semakin penasaran apa yang akan terjadi. Pasukan mana yang akan menang? Jika di pikir secara logika, pasukan terbanyaklah yang akan menang.

Azfar melanjutkan lagi ceritanya.

“Dari kubu pasukan kafir Quraisy, mereka sudah mengira-ngira bahwa mereka pasti menang, karena melihat jumlah pasukan Muslimin yang sedikit, kalah jumlah dengan mereka. Dari kubu pasukan Muslimin, komandan tertinggi adalah Rasulullah SAW. Beliau berdoa kepada Allah: "Ya Allah, jika pasukan ini hancur pada hari ini, tentu Engkau tidak akan disembah lagi.". Kurang lebih doa beliau seperti itu. Saat kedua kubu telah berkecamuk di medan perang, pasukan Muslimin sedikit pun tidak gentar dengan jumlah pasukan musuh yang lebih banyak dari mereka, karena Rasulullah SAW telah membangkitkan semangat mereka dengan menjanjikan: siapa yang berperang pada hari ini, dengan sabar, mengharap keridhaan Allah, maju terus pantang mundur, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga yang luasnya seperti langit dan bumi.”

“Saat perang sedang berkecamuk, Allah menurunkan bala bantuan dari langit—”

Aya memotong sebentar cerita dari Azfar, gadis itu terheran-heran. “Bantuan dari langit?”

“Iya. Bantuan dari langit itu adalah para Malaikat. Malaikat yang tidak diketahui jumlahnya turun dari langit, membantu pasukan Muslimin. Salah satu pasukan Muslimin berkata, bahwa ia melihat ada kepala orang musyrik terkulai, entah siapa yang membabatnya. Ada pula tangan orang musyrik yang terputus, entah siapa yang membabatnya. Kejadian tersebut hampir sama dengan penuturan dari Abu Dawud Al-Mazini, ia salah satu dari pasukan Muslimin. Ia sempat mengejar salah seorang musyrikin untuk menebasnya, tiba-tiba kepala orang musyrik itu sudah tertebas sebelum pedang Abu Dawud menebasnya. Malaikat lah yang melakukan itu semua.”

Kantuk Adirah hilang karena cerita semakin seru. Ia dan Aya geleng-geleng kepala, lagi-lagi kedua gadis itu berdecak kagum. Sungguh, baru kali ini kudengar kisah seperti ini, batin Aya.

“Dengan bantuan malaikat itu, dan semangat pasukan Muslimin tidak pernah kendor di kancah peperangan, mereka pun berhasil mengalahkan orang-orang kafir Quraisy. Pasukan Muslimin membawa banyak harta rampasan dan tawanan….”

Azfar telah menyelesaikan ceritanya, namun masih terbesit di hatinya rasa tidak enakkan pada Aya. Jika bukan karena permintaan Adirah, apa lagi Aya hanya setuju dengan permintaan itu, Azfar tidak akan menceritakannya. Namun, Aya malah terlihat suka mendengar cerita itu dari awal sampai akhir. Dari awal cerita dimulai, tatapan Aya tak sedikit pun berpaling dari wajah tampan milik Azfar, yang dapat membuat hatinya seperti sedang berada di taman bunga. Ia suka dengan cara Azfar berbicara, lembut dan enak didengar.

Setengah jam berlalu tak terasa. Adirah tidak bisa membuktikan ucapannya, ia sudah tenggelam di alam mimpinya sebelum Aya bercerita, maka Aya batal bercerita, mereka pun mulai beristirahat. Hujan di luar sudah reda, malam ini mereka akan tetap tidur di dalam rumah, karena terpal yang dipakai untuk pengalas basah dan becek.

Tags: twm23

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Metamorf
103      83     0     
Romance
Menjadi anak tunggal dari seorang chef terkenal, tidak lantas membuat Indra hidup bahagia. Hal tersebut justru membuat orang-orang membandingkan kemampuannya dengan sang ayah. Apalagi dengan adanya seorang sepupu yang kemampuan memasaknya di atas Indra, pemuda berusia 18 tahun itu dituntut harus sempurna. Pada kesempatan terakhir sebelum lulus sekolah, Indra dan kelompoknya mengikuti lomba mas...
KILLOVE
3536      1174     0     
Action
Karena hutang yang menumpuk dari mendiang ayahnya dan demi kehidupan ibu dan adik perempuannya, ia rela menjadi mainan dari seorang mafia gila. 2 tahun yang telah ia lewati bagai neraka baginya, satu-satunya harapan ia untuk terus hidup adalah keluarganya. Berpikir bahwa ibu dan adiknya selamat dan menjalani hidup dengan baik dan bahagia, hanya menemukan bahwa selama ini semua penderitaannya l...
Susahnya Jadi Badboy Tanggung
4125      1559     1     
Inspirational
Katanya anak bungsu itu selalu menemukan surga di rumahnya. Menjadi kesayangan, bisa bertingkah manja pada seluruh keluarga. Semua bisa berkata begitu karena kebanyakan anak bungsu adalah yang tersayang. Namun, tidak begitu dengan Darma Satya Renanda si bungsu dari tiga bersaudara ini harus berupaya lebih keras. Ia bahkan bertingkah semaunya untuk mendapat perhatian yang diinginkannya. Ap...
Aku Biru dan Kamu Abu
593      340     2     
Romance
Pertemuanku dengan Abu seperti takdir. Kehadiran lelaki bersifat hangat itu benar-benar memberikan pengaruh yang besar dalam hidupku. Dia adalah teman curhat yang baik. Dia juga suka sekali membuat pipiku bersemu merah. Namun, kenapa aku tidak boleh mencintainya? Bukannya Abu juga mencintai Biru?
Kungfu boy
2426      942     2     
Action
Kepalanya sudah pusing penglihatannya sudah kabur, keringat sudah bercampur dengan merahnya darah. Dirinya tetap bertahan, dia harus menyelamatkan Kamalia, seniornya di tempat kungfu sekaligus teman sekelasnya di sekolah. "Lemah !" Musuh sudah mulai menyoraki Lee sembari melipat tangannya di dada dengan sombong. Lee sudah sampai di sini, apabila dirinya tidak bisa bertahan maka, dirinya a...
The Last tears
617      359     0     
Romance
Berita kematian Rama di group whatsap alumni SMP 3 membuka semua masa lalu dari Tania. Laki- laki yang pernah di cintainya, namun laki- laki yang juga membawa derai air mata di sepanjang hidupnya.. Tania dan Rama adalah sepasang kekasih yang tidak pernah terpisahkan sejak mereka di bangku SMP. Namun kehidupan mengubahkan mereka, ketika Tania di nyatakan hamil dan Rama pindah sekolah bahkan...
Bee And Friends
2235      966     1     
Fantasy
Bee, seorang cewek pendiam, cupu, dan kuper. Di kehidupannya, ia kerap diejek oleh saudara-saudaranya. Walau kerap diejek, tetapi ia memiliki dunianya sendiri. Di dunianya, ia suka sekali menulis. Nyatanya, dikala ia sendiri, ia mempunyai seseorang yang dianggap sebagai "Teman Khayalan". Sesosok karakter ciptaannya yang ditulisnya. Teman Khayalannya itulah ia kerap curhat dan mereka kerap meneman...
Denganmu Berbeda
7966      2339     1     
Romance
Harapan Varen saat ini dan selamanya adalah mendapatkan Lana—gadis dingin berperingai unik nan amat spesial baginya. Hanya saja, mendapatkan Lana tak semudah mengatakan cinta; terlebih gadis itu memiliki ‘pendamping setia’ yang tak lain tak bukan merupakan Candra. Namun meski harus menciptakan tiga ratus ribu candi, ataupun membuat perahu dan sepuluh telaga dengan jaminan akan mendapat hati...
Into The Sky
380      240     0     
Romance
Thalia Adiswara Soeharisman (Thalia) tidak mempercayai cinta. Namun, demi mempertahankan rumah di Pantai Indah, Thalia harus menerima syarat menikahi Cakrawala Langit Candra (Langit). Meski selamanya dia tidak akan pernah siap mengulang luka yang sama. Langit, yang merasa hidup sebatang kara di dunia. Bertemu Thalia, membawanya pada harapan baru. Langit menginginkan keluarga yang sesungguhnya....
Bus dan Bekal
2234      1052     6     
Romance
Posisi Satria sebagai seorang siswa sudah berkali-kali berada di ambang batas. Cowok itu sudah hampir dikeluarkan beberapa kali karena sering bolos kelas dan lain-lain. Mentari selalu mencegah hal itu terjadi. Berusaha untuk membuat Satria tetap berada di kelas, mendorongnya untuk tetap belajar, dan melakukan hal lain yang sudah sepatutnya seorang siswa lakukan. Namun, Mentari lebih sering ga...