Esok harinya setelah kejadian kemarin pagi yang terjadi di desa sebelah.
Hari ini adalah hari ke sembilan setelah bencana, tepatnya 6 Oktober 2018.
Seperti biasa saat pagi hari, Azfar berangkat menuju pengungsian dengan berjalan kaki, menyusuri kompleks rumah penduduk, sesekali melewati jalan setapak. Sesampainya di pengungsian, tepatnya di depan tenda relawan dari Manado, ia sudah mendapti sebuah mobil pick-up terparkir di sana, juga teman-temannya sesama korban dan kenalan barunya relawan dari Manado. Pagi ini mereka akan membagi-bagikan nasi bungkus kepada para korban yang ada di sepanjang jalan poros lagi. Kali ini tujuan mereka ke arah barat lagi, tepatnya jalan menuju kota Donggala, sama seperti hari kemarin.
Subuh tadi, Abimanyu dan Nining ikut membantu relawan-relawan Manado untuk memasak.
Hari ini, katiga remaja korban bencana: Azfar, Abimanyu, dan Nining dipinjamkan rompi relawan lagi, mereka bertiga tentu sangat senang. Abimanyu dan Nining sejak pagi-pagi buta tadi sudah mengenakan rompi relawan, mereka berdua juga sudah sarapan pagi bersama relawan-relawan dari Manado. Azfar baru mengenakan rompi saat Aya memberikan padanya. Azfar menerimanya, tersenyum.
“Apa kabarmu, Aya? Bagaimana dengan sikumu, sudah membaik?” tanya Azfar saat menerima rompi dari tangan Aya.
“Kabarku baik. Luka di sikuku juga sudah mulai kering.” Aya tersenyum, memutar sedikit lengannya, memperlihatkan pada Azfar. Saat ini gadis itu mengenakkan kaos putih lengan pendek di baluti dengan rompi relawan.
“Syukurlah.” Azfar tersenyum.
Aya, setiap ada sosok Azfar di dekatnya, entah kenapa ia selalu terlihat sangat gembira. Abimanyu dan Nining, juga beberapa relawan dari Manado sudah paham dengan gerak-gerik gadis itu setiap ada Azfar bersamanya. Semua rekan-rekan relawannya sudah bisa menyimpulkan bahwa telah timbul rasa suka gadis itu pada Azfar. Sesekali rekan-rekan relawannya selalu menggodainya, bahkan kadangkala juga menggodainya di hadapan Azfar. Azfar hanya menanggapinya dengan senyuman, sedangkan Aya selalu tersipu malu.
Entah kenapa, setelah pertemuan dan perkenalannya dengan Azfar, Aya melihat banyak hal-hal luar biasa pada lelaki itu; akhlaknya baik, tutur katanya lembut, tatapannya teduh, paling banyak senyum. Belum pernah Aya melihat Azfar menampakkan wajah marahnya, hanya ekspresi seperti rasa tidak suka saja, seperti saat menegur Abimanyu saat salah. Azfar juga memiliki wajah yang tampan. Apakah karena semua itu membuat Aya menimbulkan rasa suka? Tapi, apakah Aya memang benar-benar suka pada Azfar? Itukan masih pengamatan dari rekan-rekan relawannya.
“Semoga hal seperti kemarin tidak terjadi lagi hari ini,” kata Nining sambil melap peluh di keningnya.
“Iya, semoga pagi ini berjalan dengan lancar. Aamiin,” sambung Azfar.
Beberapa menit berlalu, kantongan-kantongan plastik besar berisi nasi bungkus sudah diletakkan dengan rapi di atas mobil pick-up, mereka mulai naik satu persatu ke mobil. Dari awal kedatangan di Donggala, Aya, Zahwa, dan Randi memang ditugaskan untuk membagi-bagikan nasi bungkus, juga melakukan trauma healing. Adanya Azfar, Abimanyu, dan Nining sedikit membantu pekerjaan mereka. Lagi pula ketiga relawan baru sekaligus korban bencana itu ikhlas membantu, tak ada paksaan sama sekali, dan itu adalah kemauan mereka. Lagi pula juga, apa yang harus dilakukan kalau tidak bergabung bersama relawan? Paling hanya bosan di dalam tenda pengungsi yang panas dan sempit. Kecuali Azfar, ia tinggal di rumah. Tapi ia juga merasa bosan jika di rumah Neneknya terus.
Pukul delapan, mereka memulai perjalanan. Mobil melintasi jalanan yang hampir sepanjangnya merekah, puing-puing bangunan mengotori kiri kanan jalan. Pagi ini harapan mereka terwujud, tak ada hambatan seperti yang terjadi kemarin pagi. Proses pembagian nasi bungkus untuk para korban berjalan lancar. Pukul sepuluh lewat tigapuluh menit baru selesai tugas mereka. Mobil pun terparkir rapi di depan tenda relawan.
Kasus penjarahan ada di mana-mana, membuat para petugas harus semakin ketat lagi menjaga keamanan. Truk-truk bermuatan logistik untuk para korban kini sudah dikawal dengan ketat oleh para petugas. Polisi Militer juga turut andil dalam pengawalan, alhasil tak ada lagi aksi anarkis seperti yang terjadi kemarin pagi.
Di pagi menjelang siang itu, Azfar belum langsung pulang ke rumah Nenek Arni, ia masih ingin berlama-lama bersama teman-temannya, bercakap-cakap, hingga salat Zuhur tiba. Azfar, Abimanyu, Nining, juga relawan-relawan dari Manado yang Muslim melaksanakan salat Zuhur di masjid darurat yang juga dibangun di lapangan sepak bola itu, bersampingan dengan dapur umur berukuran besar. Masjid darurat itu tidak memiliki dinding-dinding sebagai penutup, hanya atap raksasa saja, sehingga dari luar, nampak orang-orang yang sedang salat. Beberapa relawan Muslim dari luar negeri juga ikut salat berjamaah. Aya menunggu di bawah pepohonan rindang yang ada di samping lapangan, terlihat olehnya kaum Muslimin sedang salat. Ia mengamati setiap gerakan-gerakan jamaah yang dipimpin oleh seorang imam yang ada di depan. Pandangan Aya terfokus pada satu orang makmum; siapa lagi kalau bukan Azfar.
Usai salat Zuhur, remaja-remaja itu berkumpul kembali.
“Perutku sudah lapar. Bagaimana kalau kita makan bersama di tribun lagi?” Abimanyu menyarankan.
Mereka semua mengangguk setuju, Randi juga ikut bergabung.
Siang itu, sambil menyantap makan siang, mereka membahas tentang sekolah. Bagaimana dengan sekolah Azfar, Abimanyu, dan Nining nanti, sedangkan hampir semua sekolah yang ada di kota Palu, Sigi, dan Donggala sudah tidak layak pakai? Apakah mereka harus menunggu proses renovasi lagi?
“Kami juga masih bingung,” kata Azfar di sela-sela kunyahan yang ada di mulutnya. “Tapi aku yakin, pemerintah akan segera menangani hal ini, boleh jadi mereka akan membangun sekolah-sekolah darurat.”
“Dalam kondisi saat ini, aku tidak terlalu fokus memikirkan tentang sekolah. Menurutku lebih seru seperti ini; makan, tidur, bergabung bersama relawan.” Abimanyu terkekeh ringan, nampak butir-butir nasi di dalam mulutnya.
Nining menggeleng tidak sependapat dengan Abimanyu, “Tapi kita akan ketinggalan pelajaran, Abi.”
“Ya, itu sangat benar Nining, kita akan ketinggalan pelajaran. Aku juga memilih ingin agar sekolah segera dibuka,” sambung Azfar.
Mereka kembali fokus pada makanan masing-masing. Beberapa menit berlalu, makanan mereka telah tandas dari pembungkusnya.
Randi duluan berpamitan menuju tenda relawan, istirahat. Zahwa memanggil Aya agar juga kembali ke tenda, tapi Aya hanya berkata: “duluan saja, Zahwa.”
Zahwa juga sudah menyusul Randi menuju tenda relawan. Sebelum Azfar berpamitan untuk pulang ke rumah Nenek Arni, Aya bertanya padanya: “Apakah aku boleh berkunjung ke rumah Nenekmu?”
“Eh? Kenapa, kenapa?” Azfar bertanya kembali, siapa tahu ia salah dengar.
Lidah Aya kelu sejenak, gadis itu tertunduk, malu-malu mengatakannya kembali. “Mmm.... Aku boleh berkunjung ke rumah Nenekmu? Ingin melihat keadaan di sana.”
Azfar tertegun. Benar, ia tidak salah dengar.
“Pulang nanti bagaimana?” Azfar pun bertanya.
“Aku siap pulang sendiri.” Aya mengangguk semangat, tersenyum.
Azfar merasa telah salah bertanya. Kenapa ia harus bertanya seperti itu? Apakah ia tidak bersedia mengantar Aya pulang kembali ke pengungsian? Apakah ia tega melihat Aya berjalan pulang seorang diri?
Azfar terdiam sejenak, berpikir. “Baiklah, kamu boleh ikut denganku.”
“Yess!” Aya berseru riang, tersenyum lebar.
“Maaf, tadi aku sudah salah bertanya. Ketika pulang, aku akan mengantarmu kembali ke pengungsian.”
“Tidak salah, Azfar. Juga tidak perlu mengantarku pulang. Kan nanti aku akan hapal jalannya kalau sudah melewatinya.” Aya tersenyum lembut.
Tak ingin lagi Azfar menanggapi, yang pasti ia harus mengantar gadis itu saat pulang ke pengungsian nanti.
Di sela-sela percakapan Azfar dan Aya, Abimanyu dan Nining saling kode-kodean mata.
“Ehem, ehem. Sepertinya ada yang mulai dekat.” Abimanyu menggoda.
Azfar tidak menanggapinya, ia malah bertanya: “Abi, Nining, kalian berdua mau ikut ke rumah nenekku?”
Abimanyu dan Nining menggeleng, mereka berdua memiliki jawaban yang sama: tak bisa ikut karena badan pegal, kelelahan setelah membagi-bagikan nasi bungkus pagi tadi.
Sebelum Azfar dan Aya meninggalkan pengungsian, mereka berdua pergi ke tenda relawan dari Manado, tujuannya untuk meminta izin bahwa Aya akan berkunjung ke rumah Nenek Azfar. Aya meminta izin pada relawan senior, dan relawan senior itu mengizinkannya ikut bersama Azfar.
Aya berani izin untuk pergi ke rumah Nenek Azfar, karena sore nanti mereka tidak punya aktivitas lagi, hanya relawan-relawan senior saja yang masih bertugas di sekitaran bekas terjangan tsunami, membantu para petugas untuk terus mencari korban yang belum juga ditemukan, dan membantu di posko-posko bantuan, karena setiap harinya, truk-truk dari provinsi lain datang silih berganti membawa begitu banyak bantuan.
Sore nanti, di pengungsian hanya ada pelatihan untuk menyelamatkan diri dari gempa bumi jika terjebak di dalam ruangan. Aya dan relawan-relawan yang sepantaran dengannya tidak ahli di bidang itu. Relawan-relawan dari Manado berkolaborasi dengan relawan-relawan dari daerah lain untuk melakukan pelatihan.
Azfar dan Aya mulai berjalan meninggalkan pengungsian. Baru beberapa meter berjalan kaki, Abimanyu yang hendak masuk ke dalam tendanya melihat mereka berdua sedang berjalan bersisian lantas berteriak dengan suara melengking: “Azfar, jaga Aya baik-baik, ya!” Usai berteriak, Abimanyu tertawa lebar.
Azfar dan Aya menoleh, lalu mereka berdua bersitatap dan seketika tersenyum lebar bersama.
“Mari, Aya,” kata Azfar, dan mereka pun lanjut melangkah.
“Sebenarnya, sedikit jauh rumah nenekku dari sini,” kata Azfar. “Semoga kamu tidak mengeluh berjalan kaki,”
Apa? Mengeluh? Aku tidak akan mengeluh jika berada di dekatmu, Azfar. Justru aku ingin rumah nenekmu lebih jauh lagi dari sini, agar bisa berlama-lama dengamu, kata Aya dalam hati sambil tersenyum-senyum. Untung saja Azfar tidak melihatnya senyum-senyum sendiri seperti itu.
Kedua remaja itu berjalan, sambil bercakap-cakap. Di antara mereka berdua, tak ada sedikitpun rasa canggung sama sekali. Mereka berdua cocok, selalu terlihat aktif berbicara jika bertemu, seperti dua orang yang sudah lama saling kenal. Aya yang memiliki sifat periang, dan Azfar sosok lelaki yang suka mendengarkan, membuat suasana di antara mereka berdua hidup.
”Assalamualaikum,” sapa Azfar pada keluarganya yang tengah berkumpul di halaman rumah. Keluarga kecil itu menjawab salam tersebut tapi dengan memasang wajah keheranan, betapa tidak, Azfar membawa seorang gadis yang seumuran dengannya, yang sama sekali tidak dikenali oleh Azizah, Nenek Arni dan Indri, namun Adirah dan Haji Sengko sudah mengenal gadis yang dibawa Azfar tersebut.
“Kak Aya?” Adirah berseru riang saat melihat kehadiran Aya.
“Ini Aya, kenalanku dari Manado. Dia seorang relawan.” Azfar segera memperkenalkan Aya pada keluarganya yang belum mengenal gadis itu.
Azizah, Nenek Arni, dan Indri mengangguk, mempersilahkan Aya ikut duduk bergabung bersama mereka. Aya mengucapkan 'terimakasih', tersenyum, lalu duduk.
Adirah langsung menghampiri Aya, ikut duduk di sampingnya.
“Adirah sangat senang Kak Aya berkunjung ke sini,” Gadis kecil itu memegang lengan Aya. “Ibu, Nenek, tante Indri, ini Kak Aya, yang pernah adirah ceritakan. Dia yang mengajari adirah menggambar saat di pengungsian.”
Azizah, Nenek Arni, dan Indri mengangguk lagi, tersenyum.
“Kalian berdua sudah makan siang?” tanya Azizah pada Azfar dan Aya.
“Sudah, Bu. Tadi kami makan di pengungsian, sisa nasi bungkus yang kami bagi-bagikan ke orang-orang,” jawab Azfar.
Walaupun Azfar dan Aya sudah makan siang, tapi Azizah tetap ingin ke dapur darurat, hendak menyiapkan sesuatu. Azizah tau dengan adab itu: jika ada tamu yang datang ke rumah, mesti dijamu.
“Ibu ke dapur dulu sebentar, membuat pisang goreng dan teh hangat.” Azizah bangkit dari duduknya, menuju dapur darurat.
“Tidak usah repot-repot, Bu.” Aya merasa kalau dirinya telah merepotkan keluarga Azfar.
Azizah menggeleng, “Sama sekali tidak merepotkan, Nak.”
“Aku bantu, Bu." Adirah juga ikut berdiri, ingin membantu Azizah di dapur.
Aya tetap merasa tidak enakkan. Ia merasa kehadirannya hanya merepotkan keluarga Azfar. Sepertinya ia juga harus membantu di dapur. “Saya juga ingin bantu membuat, Bu.”
“Tidak usah, Nak, biar ibu saja yang menyiapkan semuanya.” Azizah tersenyum lembut.
“Tidak apa, Bu, biar lebih seru lagi," kata Adirah. Tanpa menunggu Azizah berbicara lagi, Adirah segera meraih tangan Aya, mengajaknya ke dapur. “Ayo, Kak Aya, kita ke dapur.”
Azizah kembali tersenyum lembut melihat tingkah putrinya, ia tidak bisa melarang Aya lagi untuk membantu di dapur, karena Adirah sudah mengajaknya ke dapur.
Mereka pun menuju dapur darurat, hendak menggoreng pisang dan menyiapkan teh hangat. Azfar juga ikut ke dapur. Yang tersisa di halaman depan rumah ada Nenek Arni, Haji Sengko dan Indri. Mereka kembali bercakap-cakap.
Di dapur, Aya dan Adirah bertugas mengupas kulit pisang, sedangkan Azizah menyiapkan bumbu terigunya. Azfar hanya menonton mereka, duduk bersama Adirah dan Aya.
“Kak Aya pintar menggoreng pisang?” Adirah bertanya, tangannya sibuk mengupas kulit pisang.
Aya mengangguk, tersenyum manis, “Aku juga hobi memasak.”
“Oh ya?” Adirah menatap Aya. “Sama seperti Kak Azfar, dia juga suka memasak. Biasanya, Kak Azfar sering memasak nasi goreng. Rasanya enak sekali.”
Aya menoleh ke arah Azfar, tersenyum. Entah kenapa, jantung gadis itu berdebar tak karuan, rasa senang memenuhi hatinya. Hari ini ia bisa berkunjung ke sini dan bertemu dengan keluarga Azfar.
Usai mengupas kulit pisang, Aya memberikannya pada Azizah yang duduk di dekat kompor. Azizah mencelupkan pisang-pisang itu ke dalam bumbu terigu. Saat minyak sudah panas, Azizah pun mulai menggoreng. Adirah dan Aya menonton proses penggorengan.
Saat ini keluarga Azfar memasak menggunakan kompor gas, tapi itu tidak akan bertahan lama. Jika gas sudah habis, maka keluarga itu akan memasak menggunakan kayu bakar, karena di mana-mana hampir belum ada yang menjual gas LPG, karena pangkalan-pangkalan gas yang ada di kota Palu, Sigi dan Donggala belum beroperasi.
“Azfar, daripada kamu tidak punya kerja, lebih baik panaskan air, buat teh.” Azizah menoleh ke arah putranya itu yang dari tadi hanya diam.
Azfar berdiri, mengambil belanga, diisinya dengan air bersih, lalu dipanaskan.
Suasana di dapur itu sangat seru. Keluarga Azfar juga menyambut kedatangan Aya dengan penuh kehangatan, semua lemah-lembut padanya. Dalam proses penggorengan, Azizah mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan yang terlintas di kepalanya pada Aya. Bertanya kapan tiba di Palu, umurnya berapa, bagaimana dengan sekolahnya. Aya menjawab setiap pertanyaan itu. Dapur darurat dipenuhi dengan bincang-bincang hangat, sesekali mereka tertawa bersama.
“Bu, pisang goreng ini apakah dimakan dengan sambal tomat?” tanya Aya pada Azizah.
“Oh iya, hampir lupa. Iya, sambelnya harus ada. Bagi kami orang-orang di sini, pisang goreng tidak bisa dipisahkan dengan sambel tomat. Apakah di Manado juga seperti itu, Nak?”
Aya mengangguk semangat, "Sama, Bu, di Manado juga seperti itu. Malah ekstra pedasnya sangat tinggi.”
Azizah mengangguk setuju. Orang-orang Sulawesi memang dikenal dengan makanannya yang serba pedas, apa lagi Manado.
Aya melihat cobek batu di atas meja, mengambilnya, lantas segera menyiapkan bahan-bahan untuk sambel tomat. Gadis itu juga tahu cara membuatnya.
“Kamu yang akan membuat sambel tomatnya, Nak?” Azizah bertanya saat melihat Aya mengambil cobek batu.
“Iya, Bu.”
“Level pedasnya jangan terlalu tinggi, kasian orang-orang tua kita yang ada di depan,” kata Azizah, bergurau, membuat Aya tertawa kecil.
“Baik, Tante.” Aya tersenyum lebar.
Lima belas menit berlalu, pisang goreng dan teh hangat sudah disajikan di atas terpal di halaman depan rumah. Bagi mereka, makan beramai-ramai seperti ini membuat makanan jadi lebih lezat lagi.
“Umm, sambelnya sangat enak. Pedas-asin-manisnya pas,” kata Haji Sengko saat gigitan pertama masuk ke mulutnya. Yang lain juga ikut memuji sambel tomat itu.
“Aya yang membuatnya.” Azizah memberitahu, tersenyum.
Aya sedikit menunduk, gadis itu tersipu malu.
Siang yang menyenangkan: menikmati pisang goreng sambel tomat, ditemani teh hangat, semilir angin siang yang sejuk, walaupun di luar tenda matahari menyengat sangat panas. Di halaman depan rumah itu mereka bercakap-cakap apa saja yang terlintas di kepala, sesekali tertawa bersama. Adirah yang selalu membuat kelucuan di antara mereka. Bagi Aya, hari ini adalah momen yang sangat berharga, ia tak akan pernah melupakannya. Rasanya dirinya ingin berlama-lama di rumah ini. Sesekali Aya bersitatap dengan Azfar, yang selalu membuat jantungnya kembang-kempis. Rasa senang membanjiri hatinya. Tatapan teduh dari Azfar kepadanya, seakan membuat dirinya ingin melayang. Ia sangat berterima kasih pada Tuhan, karena takdir bertemu dengan lelaki bernama Azfar adalah takdir yang begitu indah. Namun, ada satu hal yang membuatnya sedikit tidak bersemangat saat memikirkan hal itu; bahwasanya, pertemuannya dengan Azfar tidak akan berselang lama. Beberapa hari lagi ia akan kembali ke tempat asalnya, Manado.
Matahari sedikit demi sedikit bergeser ke ufuk barat, terik panasnya mulai menurun. Waktu salat Ashar tak lama lagi. Azfar dan Haji Sengko bersiap-siap menuju Masjid. Adirah kali ini tidak akan ikut salat di Masjid, karena tak ingin meninggalkan Aya di rumah.
Azfar dan Haji Sengko pun berangkat menuju Masjid. Dari toa Masjid sudah terdengar suara lantunan azan dikumandangkan, sangat merdu. Keluarga yang ada di halaman rumah itu terdiam sejenak hingga seruan azan selesai dikumandangkan. Aya tentu mengamati momen itu dengan saksama, dan sedikit bingung, betapa tidak, sebelum azan dikumandangkan, percakapan Azizah, Nenek Arni, dan Indri lancar-lancar saja. Adirah juga banyak berbicara dengannya saat sebelum azan dikumandangkan. Namun, saat azan sudah dikumandangkan, seketika semua terdiam. Ada apa? Aya bertanya-tanya dalam hati.
“Kak Aya, ayo kita salat.”
Aya tertegun atas ajakan Adirah, tapi ia juga memakluminya, karena Adirah masih gadis kecil, dan mungkin belum mengetahui kalau ia non Muslim. Aya hanya berkata:
Kakak tidak salat, Adirah.
“Loh, kenapa, Kak?” tanya Adirah.
“Eh, kan azan sudah selesai berkumandang, bukannya segera berwudhu?.... Adirah segeralah berwudhu, kakak tunggu di sini.” Aya berusaha mengalihkan percakapan. Adirah pun mengangguk, dan segera mengambil air wudhu.
Sepuluh menit, mereka yang ada di rumah pun telah selesai menunaikan salat. Mereka menggulung kerudung masing-masing lalu menggantungkannya di dalam rumah, lantas segera keluar, tidak berani berlama-lama di dalam. Beberapa menit setelahnya, Azfar dan Haji Sengko juga sudah tiba di rumah.
Sore ini, tak ada aktivitas yang mereka lakukan kecuali hanya duduk-duduk di hamparan terpal—dibawah tenda. Semua pekerjaan rumah sudah selesai mereka kerjakan bersama. Terasa membosankan jika hanya duduk-duduk saja di rumah. Azfar bertanya pada Aya jam berapa ia akan pulang ke pengungsian. Gadis itu melirik arloji di lengan kirinya—pukul empat sore, ia belum ingin segera pulang, katanya nanti pukul lima saja. Sebenarnya, Azfar tidak masalah jika di rumah itu hanya duduk-duduk santai sambil bercakap-cakap, tapi ia memikirkan Aya, karena seperti lain rasanya jika tamu usia remaja sepertinya hanya ikut duduk-duduk bersama orang-orang tua. Akhirnya Azfar berpikir sejenak. Tiba-tiba terlintas di kepalanya sebuah destinasi wisata air terjun yang terletak di desa sebelah.
“Bagaimana kalau kita ke air terjun?” Azfar memberikan ide, tanpa di dengar oleh orang-orang tuanya.
Aya dan Adirah seketika mendelik, lalu mengangguk-angguk setuju.
“Lokasinya jauh dari sini, Azfar?” tanya Aya.
Sebetulnya, Aya juga tak mengapa jika hanya duduk-duduk santai di halaman rumah bersama Azfar dan keluarganya, Azfar saja yang merasa tidak enakkan dengan tamu jauhnya dari Manado itu.
“Mmm... cukup jauh. Tapi jalannya bagus. Sepanjang jalan sampai ke air terjun sudah diaspal,” jawab Azfar.
Aya manggut-manggut.
“Kesana harus naik motor. Kalau jalan kaki, bisa-bisa saat kita pulang langit sudah gelap.... Yaah, aku baru ingat. Sepertinya motor omku BBM-nya sudah hampir habis. Mau beli BBM tapi belum ada yang menjual."
Aya geming, ia tidak tau harus berkomentar apa.
Ya sudah, di rumah saja. Tidak masalah bila tak jadi ke air terjun, asal terus bersamamu, kata Aya dalam hati, sambil tersenyum-senyum.
“Kita akan tetap ke air terjun, Kak, pake motor Om Zaldin. Tadi pagi Adirah lihat Om Zaldin mengisi bensin dengan full ke tangki motornya. Katanya tadi pagi ada pembagian BMM,” kata Adirah dengan penuh semangat, gadis kecil itu yakin, pasti pamannya itu akan meminjamkan motornya.
“Oh ya? Baiklah, kalau begitu aku coba pinjam motor dengan Om Zaldin dulu.”
Azfar segera menghampiri Zaldin yang sedang duduk santai seorang diri di samping rumah sambil merokok.
“Om,” Azfar menegur Zaldin, sedikit malu-malu.
“Iya?” Zaldin menoleh pada Azfar yang sudah duduk di sampingnya.
“Aku boleh pinjam motornya sebentar?” Azfar sedikit gugup berbicara. Hubungan Azfar dan Pamannya itu selalu canggung, jarang mereka berbicara panjang lebar.
“Kemana? Kalau jauh-jauh, om tidak izinkan. BBM susah dicari.”
“Air terjun, Om,” Azfar tersenyum merekah, nampak deretan giginya yang rapi.
Lokasi air terjun dan rumah Nenek Arni tak begitu jauh.
Zaldin merogoh saku celananya, mengeluarkan kunci motor, lalu memberikannya pada Azfar.
Zaldin sudah meminjamkan motornya untuk mereka pakai ke air terjun, Azfar tinggal meminta izin lagi pada Azizah. Azfar yakin, Ibunya pasti akan mengizinkan.
“Azfar, mungkin kita tidak usah ke air terjun, aku takut ibumu akan marah dan tidak mengizinkan kita,” kata Aya, khawatir.
“Jangan takut, ibuku pasti mengizinkannya. Dia baik. Iya kan, Adirah?”
Adirah mengangguk setuju, “Tidak usah khawatir, Kak Aya, ibu kami baik, lemah lembut, hihihi.” Adirah terkekeh.
Mereka bertiga pun menghampiri Azizah yang tengah bercakap-cakap dengan Nenek Arni dan Haji Sengko. Mereka bertiga ikut duduk dengan orang-orang tua mereka. Azfar dan Adirah senyum-senyum. Azizah sudah paham, jika kedua anaknya senyum-senyum tidak jelas seperti itu, pasti ada sesuatu yang diinginkan.
“Ada apa?” Azizah bertanya duluan sebelum kedua anaknya berbicara.
“Kami ingin ke air terjun, Bu. Apakah ibu izinkan?” Azfar sedikit menunduk, malu-malu.
“Kalau jalan kaki, ibu tidak izinkan,” kata Azizah.
“Ini kunci motor, Bu. Om Zaldin meminjamkan motor pada kami.” Adirah berseru dengan semangat, memperlihatkan kunci motor pada Azizah yang ia gantung di jemarinya. Tadi ia sempat mengambil kunci motor dari tangan Azfar.
Azizah hanya geleng-geleng kepala, ia yakin, yang paling bersemangat ke air terjun adalah putri bungsunya itu.
“Iya, ibu izinkan,” kata Azizah.
“Horee!” seru Adirah, diikuti dengan senyuman Azfar dan Aya.
“Hati-hati di jalan,” kata Azizah lagi.
“Baik, Bu. Kami pergi dulu,” kata Azfar seraya mencium tangan Azizah, yang kemudian diikuti oleh Adirah dan Aya.
Sebelum balik kanan, Aya menunduk sedikit, pertanda sopan. “Kami pergi dulu, Tante.”
Azizah membalasnya dengan senyuman hangat.
“Horee, ke air terjun,” Adirah berloncat-koncat kegirangan menuju arah motor yang terparkir.
Azfar langsung menstater motor. Adirah naik ke jok belakang, memeluk Azfar, lalu disusul Aya yang duduk di belakang Adirah. Azfar langsung menancap gas. Hanya beberapa meter saja melintasi jalan poros, kemudian motor memasuki sebuah lorong—tinggal terus-terus saja sampai tiba di ujung lorong, maka akan tiba di air terjun.
Jalan menuju air terjun sedikit menanjak. Azfar, Adirah, dan Aya bercakap-cakap di atas motor sambil menikmati pemandangan gunung-gunung hijau yang indah di kiri-kanan jalan. Belum ada perumahan penduduk di tengah-tengah perjalanan masuk lorong menuju air terjun. Rumah penduduk baru ada ketika sudah memasuki kawasan air terjun. Sesekali Aya memerhatikan punggung Azfar yang ada di depannya, lagi-lagi hatinya diselimuti rasa bahagia.
Beberapa menit berlalu, setelah melewati semak-semak belukar di kiri kanan jalan, mereka pun sampai di perkampungan penduduk. Di depan sana sudah nampak air terjun jatuh dengan deras.
“Wah, lihat di sana, air terjunnya sudah nampak.” Aya menunjuk air terjun.
“Dari sini saja sudah keren, apa lagi di dekat kaki air terjunnya,” kata Azfar.
Motor terus jalan hingga sampai di gerbang masuk wisata air terjun. Tertulis di sebuah papan yang ada di samping gerbang: PERORANG Rp. 2.000. Azfar turun dari motornya, hendak pergi membayar uang masuk pada penjaga yang ada di pos. Ada dua remaja laki-laki duduk di sana.
“Kami bertiga, berarti semuanya enam ribu ya, Kak?” Azfar bertanya pada kedua remaja tersebut.
“Untuk saat ini gratis, Kak, karena masih dalam suasana bencana,” kata salah satu remaja itu sambil tersenyum. Satu remaja lagi mengangkat bambu yang menutup jalan masuk.
“Oh, begitu ya, Kak. Terima kasih banyak,” kata Azfar sambil tersenyum, lalu kembali ke motor.
Motor pun masuk ke dalam kawasan wisata. Azfar memarkirkan motor di tempat parkiran yang sudah disediakan. Dari tempat parkiran itu sudah terdengar suara air terjun yang jatuh ke bawah, udara sejuk khas pegunungan menyejukkan kulit mereka.
“Ayo,” ajak Azfar pada Adirah dan Aya untuk berjalan lebih dekat lagi ke air terjun.
Mereka bertiga menyebrangi air sungai—tidak dalam, air hanya setinggi betis. Mereka mencari-cari batu agar bisa dipijak. Azfar memegang erat tangan Adirah, agar tidak terpeleset. Batu-batu sangat licin.
Ingin rasanya tanganku digandeng Azfar seperti dia menggandeng tangan Adirah, kata Aya dalam hati saat melihat Azfar dan Adirah bergandengan tangan menyebrangi sungai.
Aya terlihat sulit menyebrangi sungai, batu-batu sangat licin. Adirah sudah berhasil menyebrang karena dibantu oleh Azfar. Melihat Aya yang kesusahan, Azfar menghampiri gadis itu, hendak membantu. Baru saja tiba di dekat Aya, tiba-tiba gadis itu terpeleset hingga membuat tubuhnya hampir terjatuh ke belakang, beruntung Azfar segera meraih tangannya.
“Hampir saja.” Azfar tertawa kecil sambil menatap Aya. Aya hanya tersenyum malu. Ucapannya di benak tadi akhirnya terwujud. Jantung gadis itu kembali berdebar begitu cepat, darahnya mendesir kencang di tubuh. Hatinya begitu bahagia.
Adirah mulai paham soal dunia perasaan, gadis kecil itu menggoda dua remaja yang ada di hadapannya. “Cieee….”
Aliran sungai sudah mereka sebrangi, saatnya melewati jalan setapak menuju air terjun. Setelah sampai, mata mereka dimanjakan dengan indahnya air terjun setinggi sepuluh meter. Percikan dari air terjun yang terbawa angin mengenai wajah mereka. Aya ketika sudah berhadapan langsung dengan air terjun, gadis itu membentangkan tangannya, ingin merasakan lebih nikmat indahnya air terjun dan suasana pegunungan yang sejuk.
Air terjun itu masih terjaga kealamiannya; terlihat bersih, tak ada sampah sama sekali. Azfar sudah sering mengunjungi tempat ini bersama teman-temannya, tapi kali ini rasanya berbeda, karena yang bersamanya adalah adiknya dan kenalanan barunya: seorang relawan dari Manado, berparas cantik pula.
Azfar melangkah maju sedikit lagi mendekati kaki air terjun, menuju kolam yang tercipta di bawahnya. Azfar mengambil air, di tampung di telapak tangannya, lalu ia membasuh wajahnya. Sangat segar. Aya meniru, membasuh wajahnya juga, tetes air jatuh di dagunya.
“Air terjunnya sangat indah,” Aya mendongak ke atas, menatap pangkal air terjun. “Terimakasih.”
Azfar menoleh ke arah Aya. “Terimakasih buat?”
Aya juga menoleh ke arah Azfar, mereka bersitatap. “Karena sudah membawaku ke tempat ini.”
Azfar tersenyum lembut. “Santai saja.”
Dari sebelah kanan Azfar dan Aya, Adirah menebas-nebas air dari kolam, menyiram sang Kakak dan Aya. Kedua remaja itu tak mau kalah, mereka membalas gadis kecil itu dengan siraman yang tak kalah banyak. Gadis kecil itu kalah, berlari menjauh, ia menyeka wajahnya yang basah.
“Aaa, tidak adil, masa' dua lawan satu!” Adirah menggerutu, membuat Azfar dan Aya tertawa.
Aya beranjak dari duduk jongkoknya, menuju sebuah batu, lalu duduk. Gadis itu merogoh tas selempangnya, meraih sebuah buku diary dan pulpen, hendak menuliskan sesuatu. Azfar melihatnya, langsung ikut duduk di samping gadis itu. Adirah juga ikut duduk bersama kedua remaja itu, sehingga Aya diapit oleh dua kakak-adik.
“Kamu hendak menulis apa?” tanya Azfar.
“Pengalaman yang sangat berharga hari ini.” Aya tersenyum, tatapannya ke arah buku diary miliknya.
“Berharga?” Azfar tak mengerti.
“Iya, berharga. Bagiku, momen saat ini sangat berharga; jalan-jalan ke air terjun, bersama kamu dan Adirah.... Oh iya, apa nama air terjun ini?”
“Air Terjun Loto," jawab Azfar sambil menatap ke arah Aya.
Nama air terjun itu adalah Air Terjun Loto. Di namakan seperti itu, karena lokasi air terjun tersebut berada di dusun bernama Loto.
Aya membuka halaman kosong. Pertama ia menulis hari dan tanggal hari ini di bagian paling atas kertas.
Minggu, 6 Oktober 2018, di Air Terjun Loto.
Hari yang sangat menyenangkan, berada di sebuah air terjun yang masih terjaga kealamiannya; indah dipandang, hawa pengunungan yang khas, airnya segar. Yang membuatku sangat gembira lagi, karena ditemani oleh dua kakak-adik, Azfar dan Adirah. Mereka berdua baik, ramah, ceria. Sejak bertemu dengan mereka berdua, aku merasa nyaman berada di sisi mereka. Aku ingin menganggap mereka seperti keluargaku sendiri. Terima kasih, Tuhan, sudah mempertemukan aku dengan mereka.
Demikian tulisan yang Aya buat.
“Wah, namaku ada di buku Kak Aya.” Adirah menutup mulutnya dengan telapak tangannya, terkikik, bangga karena namanya ditulis di buku diary milik Aya.
“Iya, dengan begitu, kalian akan selalu kuingat.” Aya bergantian menatap Azfar dan Adirah yang duduk di kiri-kanannya, tersenyum lebar.
Azfar sudah membaca sampai habis apa yang baru saja ditulis Aya.
“Sekarang kita adalah keluarga.... keluarga tak sedarah, hihi,” kata Azfar sambil menatap pangkal air terjun, wajahnya ia biarkan diterpa percikan air terjun yang dibawa oleh angin.
“Aku sangat bersyukur telah bertemu denganmu, juga rekan-rekan relawanmu lainnya. Aku banyak belajar dari kalian: bagaimana rasanya menjadi relawan, menolong sesama yang lebih membutuhkan. Aku juga berterima kasih pada Tuhan, karena kita telah dipertemukan melalui peristiwa yang menyedihkan ini,” kata Azfar lagi.
Aya menatap Azfar lagi dengan tatapan yang kagum. Kini dua remaja itu sedang berterima kasih pada Tuhan mereka masing-masing.