Loading...
Logo TinLit
Read Story - RUMIT
MENU
About Us  

Hari ke delapan setelah bencana.

Hari ini berjalan seperti biasa. Di waktu subuh, Azfar, Adirah, dan Haji Sengko melaksanakan salat subuh berjamaah di Masjid. Azizah, Nenek Arni, dan Indri salat di rumah. Zaldin? Yaps, ia tidak salat lagi—terlelap dalam tidurnya. Bukan hanya salat subuh yang sering ia tinggalkan, tapi salat lain pun juga.

Pagi harinya mereka sarapan bersama di halaman depan rumah, di bawah tenda terpal. Sampai hari ini, Haji Sengko masih bergabung dengan keluarga Nenek Arni.

Sesuai perjanjian kemarin sore, pagi ini Azfar akan pergi lagi ke tempat pengungsian. Ia akan bergabung lagi dengan tim relawan dari Manado untuk membagi-bagikan nasi bungkus kepada para korban yang berada di sekitar jalan poros. Setelah sarapan, Azfar pun berangkat dengan berjalan kaki. Sesampainya di tempat pengungsian, seperti biasa, pengungsian itu selalu ramai, orang-orang mulai beraktivitas.

Mata pencaharian orang-orang yang ada di kampung Azfar adalah nelanyan, sebagian lagi bekerja di Tambang Galian C. Namun, tambang-tambang itu saat ini belum beroperasi, karena banyak alat-alat berat punya tambang sedang menangani reruntuhan bangunan. Kapal-kapal tongkang pengangkut pasir yang dari kalimantan belum juga berdatangan. Zaldin, paman Azfar, juga salah satu supir di Tambang Galian C tersebut. Ada beberapa tambang yang ada di sepanjang pesisir pantai Kecamatan Banawa, kabupaten Donggala.

Azfar sudah mendapati Abimanyu dan Nining di depan tenda relawan dari Manado. Di sana juga sudah ada satu mobil pick-up terparkir. Azfar segera bergabung bersama mereka untuk membantu menaikan kantongan-kantongan plastik besar berisi ratusan nasi bungkus. Aya, relawan cantik, berkulit putih, dengan rambut yang terurai rapi, wajahnya terlihat berseri pagi ini saat melihat kedatangan Azfar.

“Aya!” Salah satu relawan senior memanggilnya dari pintu tenda relawan. Aya memenuhi panggilan tersebut.

Tujuan relawan senior memanggil Aya adalah, meminta tolong pada gadis itu untuk memberikan rompi relawan kepada Azfar, Abimanyu dan Nining. Aya terkejut sekaligus senang.

Karena keaktifan Azfar, Abimanyu dan Nining di setiap agenda-agenda kebaikan relawan dari Manado, akhirnya pimpinan relawan itu memberikan rompi untuk tiga remaja korban bencana itu.

Aya berjalan kembali ke arah mobil pick-up, menyerahkan tiga rompi relawan kepada Azfar, Abimanyu, dan Nining. Wajah ketiga remaja itu seketika bertambah gembira. Mereka tak menyangka akan hal itu, bisa mengenakan rompi relawan. Sebuah kebanggan yang amat luar biasa.

Abimanyu membentangkan rompi relawan itu di hadapannya. Wajahnya terlihat sangat gembira. “Wah, ini sebuah kebanggaan luar biasa bagiku, bisa memakai rompi relawan.” Lelaki berkulit legam itu segera mengenakannya.

Azfar dan Nining juga segera mengenakannya. Terlihat sangat keren saat Azfar mengenakan rompi itu. Dan, menurut pandangan Aya, Azfar terlihat semakin ganteng dan menawan. Saat rompi sudah terpasang rapi di badannya, Azfar melihat ke arah bordiran bendera merah putih di dada kiri rompi, sambil menyentuhnya. Lelaki itu tersenyum. Rasa bangga menyeruak ke jiwanya.

“Keren, Azfar,” kata Aya. Gadis itu selalu menatap setiap sudut wajah tampan lelaki itu.

“Kami berdua tidak keren, Aya?” tanya Abimanyu. Nining di samping Abimanyu tak sabar menunggu jawaban Aya. Kenapa hanya Azfar ia katakan 'keren' saat mengenakan rompi?

“Eh?.... Kalian berdua juga keren, hehehe.” Aya gelagapan.

“Cieee...,” goda Nining dengan tatapan curiga pada Aya, membuat Aya tertunduk malu.

Nining, si gadis gempal itu kesusahan me-res rompinya.

“Bisa di res, Nining?” tanya Abimanyu saat melihat Nining mengenakan rompi itu, seakan-akan itu pertanyaan untuk meledek gadis gempal itu.

“Bisa!” Nining memicingkan mata pada Abimanyu.

Azfar dan Aya tertawa.

Keempat remaja itu lanjut menaikkan kantongan berisi nasi bungkus ke mobil pick-up.

Setelah semuanya sudah siap, mobil pun segera pergi meninggalkan pengungsian. Kali ini, tujuan mereka ke arah barat, jalan menuju kota Donggala. Berenam lagi mereka di belakang mobil pick-up, dua di antaranya Randi dan Zahwa.

Mobil berjalan lambat di jalan poros. Jalanan banyak yang rusak. Puing-puing bangunan masih menumpuk di bekas tempat berdirinya masing-masing saat belum terjadi bencana. Keenam remaja itu sambil bercakap-cakap di atas mobil pick-up. Matahari pagi menyambar wajah mereka, angin berembus kencang, membawa aroma asin dari air laut. Sesekali pandangan mereka ke kiri-kanan yang penuh dengan duka. Terlihat beberapa warga berdiri di atas puing-puing bangunan, mencari sesuatu yang masih berharga. Para warga juga sering menemukan uang yang berserakan, lantas mengambilnya. Siapa yang menemukan uang, atau barang berharga lainnya, mereka tak perlu lagi bertanya itu milik siapa, karena semua juga membutuhkannya

Di atas mobil pick-up itu, remaja-remaja itu bercakap-cakap, sesekali tertawa bersama. Azfar, Abimanyu, dan Nining, bagi mereka bertiga, bencana ini bukan sekedar duka semata, melainkan dari bencana ini juga adalah kesempatan mereka bertiga belajar dan mendapatkan pengalaman baru; menjadi relawan, membantu korban bencana lainnya, juga mereka merasakan, ternyata menolong sesama itu sangatlah indah.

Di tengah-tengah keseruan mereka, ketika mobil pick-up yang mereka tumpangi sudah memasuki desa sebelah, di depan sana, sekitar duapuluh meter dari hadapan mobil mereka, ramai warga sedang berkumpul. Mereka yang ada di atas mobil penasaran. Apa yang sedang terjadi di depan sana? Mobil pick-up itu terus mendekat ke kerumunan orang-orang yang sedang berkumpul. Di sana juga terparkir beberapa truk besar pengangkut logistik.

“TURUN!” titah salah satu warga kepada supir truk bermuatan logistik tersebut, nadanya sedikit mengancam.

Ada yang aneh dari warga yang sedang berkumpul itu. Azfar dan teman-teman relawan lainnya makin penasaran. Ada yang membuat mereka terkejut; para warga yang berkumpul itu, sebagian dari mereka ada yang naik ke truk, entah apa yang mereka lakukan. Yang lebih mengejutkan lagi, beberapa dari warga membawa senjata tajam di tangan mereka.

“TURUN!” titah warga itu lagi, wajah mereka mengerikan.

Ada empat truk terparkir di pinggir jalan itu, semua supirnya turun dari mobil. Raut wajah para supir itu ketakutan, wajah mereka pucat.

“Apa yang sedang terjadi?” Aya bertanya kepada rekan-rekan relawannya.

“Itu sekelompok warga yang melakukan penjarahan terhadap truk-truk yang membawa bantuan!” kata relawan senior yang bertugas mengendarai mobil pick-up yang Azfar dan teman-temannya tumpangi.

“Eh, astaga!” Nining menggigit jarinya ketika melihat salah satu warga meletakkan sebuah parang ke leher salah satu supir.

Sudah beberapa hari bencana itu berlalu, baru kali ini Azfar dan rekan-rekan relawannya menyaksikan aksi penjarahan terhadap truk-truk yang membawa logistik untuk para korban. Mereka semua tegang saat melihat aksi anarkis dari sekelompok warga itu.

Sebenarnya, penjarahan seperti ini sudah terjadi di mana-mana. Di kota Palu lebih banyak terjadi. Mereka bukan hanya menjarah truk-truk pembawa logistik, tapi juga toko-toko besar, seperti supermarket, mall, dll. Banyak para korban bencana yang sudah seperti zombie saat ini, karena kesulitan mendapatkan bahan makanan, juga pakaian.

Empat supir truk beserta rekan-rekannya tidak berdaya, karena jumlah mereka yang sedikit, sedangkan warga yang menjarah itu jumlah mereka sangat banyak, apa lagi para warga itu memegang senjata tajam di tangan mereka.

Sekelompok warga itu, seenaknya dan rasa gembira menurunkan bantuan. Beberapa dari warga itu ada yang memikul karung beras. Azfar dan teman-temannya hanya menatap dengan penuh rasa kasihan. Kenapa mereka harus melakukan hal seperti itu? Padahal desa mereka tidak terlalu parah rusaknya karena sedikit jauh dari bibir pantai. Masih banyak para korban yang membutuhkan bantuan itu!

Belum banyak bantuan yang sekelompok warga itu turunkan, ternyata salah satu TNI yang melihat aksi anarkis itu langsung menghubungi rekan-rekannya yang ada di desa Azfar, di sana adalah titik terbesar mereka membangun posko, karena kampung yang ditinggali Azfar cukup parah rusaknya. Beberapa menit kemudian, datanglah dua truk TNI yang mengangkut puluhan personilnya.

Pang.

Suara tembakan terdengar di udara. Semua orang memegang kepalanya, menunduk. Sekelompok warga yang melakukan penjarahan seketika terhenti mengambil bantuan-bantuan di atas truk.

“Kenapa mereka melepaskan tembakannya? Kita juga adalah korban! Kita butuh bantuan-bantuan ini!” seru salah satu warga, membangkitkan semangat rekan-rekan penjarahannya.

Sekelompok warga itu bergerak kembali, tak peduli dengan kedatangan puluhan TNI. Puluhan TNI itu mulai menahan sekelompok warga, juga ada TNI yang naik ke truk, menghentikan warga yang menurunkan bantuan. Sekelompok warga yang melihat temannya sedang dihadang oleh TNI untuk menurunkan bantuan, seketika ikut merapat ke truk. Jumlah mereka mulai bertambah. Saat itulah terjadi saling dorong antar warga dan TNI. Jumlah warga yang anarkis itu memang banyak, tapi mereka tetap tidak mampu melawan kekuatan para TNI yang melingkari truk-truk bantuan.

Satu-dua warga mulai melemparkan batu, membuat para TNI berhamburan, menunduk, melindungi diri mereka dari lemparan batu.

Suasana makin ricuh. Azfar dan rekan-rekan relawannya berlarian menjauhi lokasi tersebut, karena ditakutkan akan terkena lemparan batu. Mereka terpisah.

“Aya!” teriak Azfar saat melihat tubuh Aya terjatuh karena ditabrak salah satu warga. Azfar langsung meraih tangan gadis itu, kemudian berlari sejauh mungkin. Lemparan batu melayang-layang di atas kepala mereka.

Para TNI mulai mundur. Sepertinya mereka kalah jumlah. Tak lama kemudian, datang lagi dua truk petugas: semua adalah truk milik Polisi. Polisi membawa alat-alat lengkap, yang memang dibutuhkan saat terjadi aksi-aksi anarkis seperti itu. Gas air mata mulai ditembakkan ke tengah-tengah warga. Asap mengepul di mana-mana. Sekelompok warga mulai mundur, sambil mengucek mata yang terasa sangat pedih karena terkena asap dari gas air mata. Mata mereka merah-merah.

Azfar terus berlari sejauh mungkin bersama Aya. Kedua remaja itu terpisah dari rekan-rekannya, entah rekan-rekan mereka lari kemana.

“Kamu tidak apa-apa, Aya?” Azfar terengah-engah, bertanya pada Aya. Mereka berdua berhenti di samping salah satu rumah penduduk. Di halaman depan rumah itu berdiri sebuah tenda dari terpal, tapi tak ada orang yang sedang duduk di sana. Tempat itu sudah cukup aman dari aksi anarkis sekelompok warga.

Aya mengangguk. Gadis itu mengenakan kaos putih lengan panjang. Sebelah kanan lengan kaosnya robek, titik merah darah terlihat di lengan bajunya—sikunya terluka karena terjatuh tadi.

“Sini aku lap darah itu.” Azfar meraih tangan Aya, lalu menarik kaos bagian bawahnya, dipakai untuk melap darah yang mengalir dari siku gadis itu.

“Pelan-pelan, Azfar, jangan sampai terkena lukanya.” Aya meringis kesakitan, napasnya terengah-engah.

Terdengar suara kedua remaja itu dari dalam rumah penduduk. Penghuni rumah itu keluar, mengecek siapa yang ada di samping rumahnya.

Seorang perempuan yang usianya barang empatpuluhan keluar dari rumah, bertanya pada dua remaja yang sedang panik itu.

“Anak muda! Apa yang sedang terjadi pada kalian berdua?”

Azfar dan Aya menoleh ke arah perempuan pemilik rumah itu.

“Di sana ada kericuhan antara warga dan para petugas, Bu.” Azfar yang menjawab. “Kami berdua adalah relawan. Tadi, saat di lokasi kericuhan, teman saya ini terjatuh karena ditabrak salah satu warga yang berlari.”

Perempuan itu mengangguk.

“Lenganmu berdarah, Nak. Mari, ibu obati,” ajak Ibu itu kepada Azfar dan Aya untuk duduk di sebuah kursi yang ada di halaman depan rumahnya.

Azfar dan Aya mengangguk, mengikuti langkah Ibu itu dari belakang.

Ibu itu pun membawakan kapas dan obat. Ia juga juga yang mengurus luka di siku Aya. Sambil mengobati, Ibu itu terus bertanya-tanya kepada kedua remaja itu. dan Azfar yang paling banyak menjawab.

Di desa itu, ternyata tidak semua warga yang ikut dalam aksi penjarahan. Sebagian dari mereka sadar, kalau itu bukan cara yang tepat untuk mendapatkan bantuan. Ibu itu salah satu warga yang sadar kalau aksi penjarahan itu bukanlah hal yang baik. Ia sadar, bahwa yang lebih pantas pertama kali mendapatkan bantuan adalah penduduk yang sangat parah tertimpa bencana.

Siku Aya sudah mulai membaik. Lengan baju gadis itu masih tergulung sampai ke atas siku. Kedua remaja itu pun berpamitan pergi kepada Ibu yang sudah menolong mereka berdua. Tujuan mereka sekarang adalah lokasi terjadinya kericuhan tadi, karena di sana mobil relawan mereka.

Lokasi terjadi kericuhan sudah mulai tenang, para TNI dan Polri telah mengambil alih empat truk yang dijarah tadi. Kejadian yang barusan terjadi, membuat satu-dua petugas terluka karena terkena lemparan batu.

Abimanyu, Nining, Randi, Zahwa, dan dua relawan senior tiba duluan di mobil mereka, sementara Azfar dan Aya belum kembali. Mereka yang duluan tiba di lokasi terjadinya kericuhan tadi mencari-cari di mana keberadaan Azfar dan Aya. Abimanyu mencoba mencari keberadaan dua temannya itu, sementara yang lain menunggu di mobil.

Beberapa saat kemudian, Azfar dan Aya terlihat berjalan mendekati mobil relawan mereka.

“Lenganmu kenapa, Aya?” tanya relawan senior ketika dua remaja itu sudah tiba di hadapan mereka.

“Luka, Kak. Tadi saya terjatuh saat aksi saling dorong antar warga dan petugas,” jawab Aya.

Relawan senior yang bertanya itu menghela napas, “Tidak apa, asalkan tidak terjadi hal yang lebih buruk padamu.”

“Abi di mana?” tanya Azfar kepada rekan-rekan relawannya.

Nining memukul jidatnya, “Hadeh, kalian berdua datang, dan Abi pergi mencari kelian.”

“Kita tunggu Abi datang dulu, setelah itu kembali ke pengungsian,” kata relawan senior.

“Bagaimana dengan nasi-nasi bungkus ini, Kak?” tanya Randi.

“Nanti kita bagikan saja ke orang-orang yang ada di pengungsian,” jawab relawan senior.

Ketika Abimanyu sudah tiba di lokasi terjadi kericuhan tadi, ia sudah mendapati orang yang sedang ia cari-cari.

“Aku cari kemana-mana ternyata kalian berdua sudah ada di sini,” kata Abimanyu, sambil naik ke atas mobil pick-up.

Mobil itu pun putar balik, menuju pengungsian.

Tags: twm23

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Si 'Pemain' Basket
4915      1306     1     
Romance
Sejak pertama bertemu, Marvin sudah menyukai Dira yang ternyata adalah adik kelasnya. Perempuan mungil itu kemudian terus didekati oleh Marvin yang dia kenal sebagai 'playboy' di sekolahnya. Karena alasan itu, Dira mencoba untuk menjauhi Marvin. Namun sayang, kedua adik kembarnya malah membuat perempuan itu semakin dekat dengan Marvin. Apakah Marvin dapat memiliki Dira walau perempuan itu tau ...
I'm not the main character afterall!
1342      699     0     
Fantasy
Setelah terlahir kembali ke kota Feurst, Anna sama sekali tidak memiliki ingatan kehidupannya yang lama. Dia selama ini hanya didampingi Yinni, asisten dewa. Setelah Yinni berkata Anna bukanlah tokoh utama dalam cerita novel "Fanatizing you", Anna mencoba bersenang-senang dengan hidupnya tanpa memikirkan masalah apa-apa. Masalah muncul ketika kedua tokoh utama sering sekali terlibat dengan diri...
Campus Love Story
8312      1901     1     
Romance
Dua anak remaja, yang tiap hari bertengkar tanpa alasan hingga dipanggil sebagai pasangan drama. Awal sebab Henan yang mempermasalahkan cara Gina makan bubur ayam, beranjak menjadi lebih sering bertemu karena boneka koleksi kesukaannya yang hilang ada pada gadis itu. Berangkat ke kampus bersama sebagai bentuk terima kasih, malah merambat menjadi ingin menjalin kasih. Lantas, semulus apa perjal...
Cinta Semi
2429      1000     2     
Romance
Ketika sahabat baik Deon menyarankannya berpacaran, Deon menolak mentah-mentah. Ada hal yang lebih penting daripada pacaran. Karena itulah dia belajar terus-menerus tanpa kenal lelah mengejar impiannya untuk menjadi seorang dokter. Sebuah ambisi yang tidak banyak orang tahu. Namun takdir berkata lain. Seorang gadis yang selalu tidur di perpustakaan menarik perhatiannya. Gadis misterius serta peny...
Listen To My HeartBeat
580      351     1     
True Story
Perlahan kaki ku melangkah dilorong-lorong rumah sakit yang sunyi, hingga aku menuju ruangan ICU yang asing. Satu persatu ku lihat pasien dengan banyaknya alat yang terpasang. Semua tertidur pulas, hanya ada suara tik..tik..tik yang berasal dari mesin ventilator. Mata ku tertuju pada pasien bayi berkisar 7-10 bulan, ia tak berdaya yang dipandangi oleh sang ayah. Yap.. pasien-pasien yang baru saja...
KataKu Dalam Hati Season 1
5736      1503     0     
Romance
Terkadang dalam hidup memang tidak dapat di prediksi, bahkan perasaan yang begitu nyata. Bagaikan permainan yang hanya dilakukan untuk kesenangan sesaat dan berakhir dengan tidak bisa melupakan semua itu pada satu pihak. Namun entah mengapa dalam hal permainan ini aku merasa benar-benar kalah telak dengan keadaan, bahkan aku menyimpannya secara diam-diam dan berakhir dengan aku sendirian, berjuan...
Kani's World
1784      787     0     
Inspirational
Perjalanan cinta dan impian seorang perempuan dari desa yang bernama Kani. Seperti halnya kebanyakan orang alami, jatuh bangun dihadapinya. Saat kisah asmaranya harus teredam, Kani dituntut melanjutkan mimpi yang sempat diabaikannya. Akankah takdir baik menghampirinya? Entah cita-cita atau cinta.
KILLOVE
4464      1398     0     
Action
Karena hutang yang menumpuk dari mendiang ayahnya dan demi kehidupan ibu dan adik perempuannya, ia rela menjadi mainan dari seorang mafia gila. 2 tahun yang telah ia lewati bagai neraka baginya, satu-satunya harapan ia untuk terus hidup adalah keluarganya. Berpikir bahwa ibu dan adiknya selamat dan menjalani hidup dengan baik dan bahagia, hanya menemukan bahwa selama ini semua penderitaannya l...
Our Different Way
5298      2047     0     
Romance
Novel ini mengisahkan tokoh utama bernama Haira, seorang siswa SMA berusia tujuh belas tahun yang baru saja rujuk kembali dengan pacarnya, Gian. Mereka berdua tentu senang karena bisa kembali merajut kasih setelah tidak pernah bertemu lebih dari setahun akibat putus. Namun, di tengah hubungan yang sedang hangat-hangatnya, mereka diterpa oleh permasalahan pelik yang tidak pernah mereka bayangk...
Manuskrip Tanda Tanya
5455      1686     1     
Romance
Setelah berhasil menerbitkan karya terbaru dari Bara Adiguna yang melejit di pasaran, Katya merasa dirinya berada di atas angin; kebanggaan tersendiri yang mampu membawa kesuksesan seorang pengarang melalui karya yang diasuh sedemikian rupa agar menjadi sempurna. Sayangnya, rasa gembira itu mendadak berubah menjadi serba salah ketika Bu Maya menugaskan Katya untuk mengurus tulisan pengarang t...