Read More >>"> Call Kinna (BAB 18) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Call Kinna
MENU
About Us  

 

Hari-hari setelahnya Kinna mulai membiasakan diri. Kembalinya dia di kantor,  tidak ada banyak hal berubah. Kinna masih berada di divisi lamanya. Masih duduk di kursinya yang dulu. Hanya saja... dia harus membiasakan diri melihat pemandangan itu setiap pagi...

Thalia yang akan bolak-balik keluar-masuk ruang kerja Kalla. Sambil menenteng entah apa itu— bekal makanan, atau malah laptopnya— lalu menghabiskan waktunya di sana bersama Kalla. Merangkul atau malah memeluk Kalla sepanjang hari, tertawa-tawa bersama seolah kantor ini milik mereka berdua. Kadang Kinna juga tidak sengaja menemui mereka berdua di kantin. Thalia akan memeluk lengan Kalla sepanjang jam lunch dengan mesra. Menimbulkan goda-godaan penuh iri dari seluruh pegawai lainnya.

Bagaimana tidak? Bu Thalia yang sempurna— yang cantik, cerdas, dan berwawasan luas— yang bahkan langsung menduduki jajabatan tinggi saat hari pertama masuknya. Menjadi idola bagi seluruh pegawai. Oh, Bu Thalia dan Pak Kalla yang sangat serasi. Dua sejoli yang sejak beberapa minggu menjadi topik hangat karena mengumbar keromantisan setiap menit di kantor.    

Seperti saat ini, Kinna tidak sengaja melihat Thalia di ruang kantor Kalla. Tengah merangkulkan lengannya ke leher laki-laki itu. Tertawa bersama menatap layar komputer. Entah tengah menonton apa. Sampai suara Thalia terdengar mengagetkannya yang berdiri di balik pintu kaca.

“Siapa di luar?” Kinna hanya memaksakan senyum, membuat Thalia balas tersenyum juga. “Oh, Kinna? Masuk, Ki. Kalla ada, kok.”

Muka Kalla mendadak pucat. Membalas tatapan Kinna penuh luka. Tapi Kinna tetap memasang senyum. “Ma— Mau antar berkas aja sebentar, kok. Maaf ganggu Bu Thalia, ya.”

Thalia tertawa seperti biasa. “Ya ampun, Ki. Udah dibilang nggak usah pake Bu-Bu segala. Aku masih Thalia yang biasanya, kok.”

Kinna nyengir. “Eh, iya maaf, Thal. Soalnya kamu, kan, atasan di sini. Mmm,” tangannya meletakkan tumpukan kertas ke meja Kalla. “Ini dokumen pengajuan gaji, Kal.”

Kalla terdiam nanar. Thalia meliriknya, “Tumben kamu diem. Ini ada Kinna di sini.”

Kalla hanya memaksakan senyum. “Eh, iya, makasih, Ndol?”

“Hmm,” Kinna mengangguk-angguk. “Ya udah, aku duluan, ya, Thal. Mau ke kantin? Laper.”

Thalia mengangguk senang. “Iya, Ki. Kebetulan aku juga mau makan siang. Tapi, di sini aja bareng Kalla. Titip salam buat teman-teman divisimu, ya.”

Lagi. Kinna hanya mengirim senyuman tipisnya. Thalia tetaplah Thalia— yang terlalu baik, dan lembut. Kinna menghela napas panjang. Memilih kembali ke ruang divisinya. Menemui Jelita yang diam-diam sedang menonton youtube di komputernya. Kinna mencubit lengannya gemas.

“Aww— Ki, apaan, sih?! Drakoran bentar nggak boleh apa? Pusing nih nggak balance mulu!” Jelita melepaskan headphone-nya sambil cemberut. “Udahan ke tempat Pak Kaleng?”

Kinna mengedikkan bahu.

Jelita berbisik, “Makin lengket aja, ya, mereka? Si Pak Kaleng ama Bu Thalia!”

“Hmm, I know,” Kinna meringis, “Ya udahlah, biarin aja.”

Jelita bangkit memeluk lengan Kinna. “Ck, bener! Nggak usah pikirin orang gitu! Kantin ayok buruan! Laper! Oy, Roy, ikutan nggak?”

Royhan berlarian sebal menyusul. “Ikutlah! Enak aja gue ditinggal! Jel! Kun!”

Tapi Jelita mendadak malah pindah haluan. Maunya ke kantin, tapi malah turun ke lobby. Kinna pasrah-pasrah saja diajak begitu. Kebetulan depan kantor juga ada foodcourt sendiri. Segala jenis makanan ada. Bahkan... Kinna tersenyum sendu menatap salah satu stand ketoprak di sana. Ketoprak favoritnya dan Jordan.

“Ehem, baper lihatin ketoprak!”  Jelita menggoda. Tapi jadi serius, “Eh, Ki, Jordan kenapa, sih, sekarang beda banget? Sejak lo balik dari Sukabumi, dia jadi anteng banget. Kenapa, ya? Padahal harusnya, kan, seneng kalian ketemu lagi.”

Hanya gelengan putus asa yang diberikan Kinna. Ah, mendadak dia jadi ingin ketoprak. Kinna meraba perutnya yang tiba-tiba bergejolak. Ketoprak favoritnya dan Jordan. How yummy. Mendadak Kinna menginginkannya.

“Je, gue kok jadi pengen ketoprak, ya?”

“Tuh, kan! Baper! Ya udah, gue bakso. Lo, Roy?”

Royhan nyengir. “Ketoprak aja gue! Biar si Kunthi nggak baper sendiri!” ejeknya yang langsung dibalas cemberut Kinna. Tapi tawa mereka stop saat Royhan menyadari. “Lah, panjang umur! Oy, Jor, Her!”

Kinna tersentak menemukan Jordan ternyata di sana juga. Tepat di pintu masuk bersama Heru. Senyuman Jordan langsung pudar. Tergantikan rindu yang menjalar. Kinna hanya bisa tersenyum tipis.

“Hey, yo, kanca-kanca! Kita bertemu! Eits, ada Mbak Kinna, nih, Jor!” Heru menggoda.

“Eh, si lamtur! Kagak bilang di sini!” Royhan menoyor Heru.

Jelita nyengir menyeret Kinna. “Wih, kebetulan banget, nih! Ada yang kangenin lo, Jor!”

Kinna melotot sebal. Jordan tersenyum tipis. Diam-diam Kinna merindukan senyuman fresh Jordan yang menenangkan itu. Jadilah, saat mereka duduk berhadapan, Kinna jadi salah tingkah. Jelita benar, Jordan memang agak berbeda sekarang. Jadi lebih pendiam. Meski tetap tersenyum padanya.

“Masih doyan ketoprak?”

Hanya itu yang diucapkan Jordan. Tapi membuat Kinna tertawa geli. “Iyalah, masih! Kenapa nggak, Jor?”

“Oh...” Jordan meringis. Buru-buru menyambar piring ketopraknya ketika pesanan mereka datang. “Mm, happy lunch, Ki,” bisiknya.

Kinna menatap Jordan yang makan cepat. Seolah menghindarinya. Kinna tahu itu. Untuk apa Jordan masih berbaik hati pada perempuan tidak tahu diri yang sudah menolaknya? Jauh-jauh menyusulnya ke Sukabumi hanya demi sebuah penolakan. Seharusnya Kinna sadar itu. Diliriknya Jordan sendu.

“Happy lunch, Jor,” Kinna ikut berbisik sebelum melahap ketopraknya sendiri.

Tapi manusia-manusia resek di sekitarnya tidak mau ketinggalan. Malah memanas-manasi posisinya yang sudah sulit.

“Icikiwir!” nyinyir Heru. “Enak Jor makan sambil liatin doi?”

“Enak dong! Masak nggak?” sahut Royhan. “Udahlah, Kun, lirik si Jordan aja! Ngapain nyari yang nggak ada! Iye, nggak?!”

“Betul! Gue setuju!” Jelita emosi sendiri.

Baik dirinya maupun Jordan hanya tersenyum-senyum hambar. Kinna memilih tidak ingin menanggapinya. Jadi, diraupnya satu-dua sendok ketoprak besar-besar sampai dia tersedak sendiri. Jordan buru-buru meraihkan es tehnya.

“Are you okay?”

“Hmmh, yesh!” Kinna nyaris tersedak. Tapi bukan itu masalahnya. Sekarang perutnya bergejolak. Rasanya masam. Seperti Kinna ingin mengeluarkan sesuatu dari sana. Segera dibekapnya mulut. “Hmmph!”

Jelita menatap panik. “Eh, are you okay, Ki?!” tanpa sadar digeplaknya Royhan, “makanya kalau ada orang makan, jangan usil! Keselek, kan!”

Royhan melotot. “Kok gue? Si Lamtur Heru, tuh!”

Kinna menggeleng. Tapi sesuatu di perutnya semakin mendesak. Jadi, didorongnya kursi kuat-kuat sambil terus membekap mulut. “Mmh, gue kamar mandi dulu! Kalian lanjut aja!”

Dan Kinna tidak peduli pada suara Jelita di belakangnya. Kesetanan Kinna berlari menuju kamar mandi memuntahkan cairan beningnya di sana. Tubuhnya lemas mendadak. Diliriknya kaca wastafel yang menampilkan muka kusutnya. Kinna ingin menangis rasanya. Jarang-jarang dia mengalami mual begini. Toh, mana mungkin dia keracunan makanan. Kinna kebal makan apa saja. Tapi mual-mual begini? Ada apa?

Jemarinya menarik beberapa lembar tisu dan membersihkan bibir basahnya. Tapi baru beberapa detik, Kinna membungkuk lagi. Memuntahkan isi perutnya. No, what wrong with me? Dirabanya kening. Agak panas. Mungkin Kinna memang demam. Hiburnya pada diri sendiri. Setelah meraup wajah pucatnya, Kinna berlarian keluar. Nyaris menubruk Jordan yang menatap cemas. Ternyata menyusulnya.

Kinna jadi lebih pucat lagi. “Jor—” pedihnya.

“Why?!” tanya Jordan panik. “Lagi sakit? Atau... ada yang salah sama ketopraknya? Maybe, you can eat another menu or—”

“No!” potong Kinna cepat, melihat Jordan semakin khawatir. Oh, Jordan masih menjadi yang terbaik. Tidak suka melihatnya kesakitan. “Im okay, Jor. Im full of tank. Kayaknya gue mesti balik lagi ke atas nyelesain kerjaan.”

***

Sore hari Kinna memasuki pekarangan rumah. Menemukan maserati milik Kalla sudah terparkir rapi di sana. Dan Kalla asyik tiduran di sofa. Kinna menutup pintu rumah perlahan. Mengamati tidur tenang laki-laki itu yang polos. Tanpa sadar Kinna tersenyum. Kinna kangen Kalla yang kekanakan begini. Kalla yang tidak temperamental. Kalla yang punya ketenangan. Perlahan disentuhnya lembut pipi Kalla sebelum beranjak menuju dapur.

“Lo udah pulang?”

Kinna menoleh sebentar. Ternyata Kalla ikut terbangun juga. Sekarang menyusulnya menuju dapur. Kinna mengirimkan cengiran. Sibuk mengeluarkan barang belanjaan dari supermarket.

“Hmm, udah bangun lo?”

Kalla mengangguk sekilas. Meringis sebentar, “gue nggak lihat lo tadi di kantor, yang.”

Kinna terdiam. Iyalah, bagaimana Kalla mau melihatnya kalau di kantor Thalia berada selama dua puluh empat jam di dekat suaminya itu. Menempel seperti amplop dan perangko.

Kalla menghembuskan napas hampa. Mulai menyenderkan tubuh jangkungnya ke kulkas. Sesekali memandang tubuh Kinna dari belakang. Asyik memotong-motong tomat. “Gue bingung banget, Ndol. Gue pusing,” lirihnya sedih.

Kinna menghentikan kegiatannya memotong. Melirik sebentar pada Kalla yang ingin menangis. Lagi. Seperti malam-malam biasa. Terus mengeluh kepalanya ingin pecah karena beban pikirannya. Padahal Kinna berusaha santai saja. Tidak masalah. Kinna toh tahu pada akhirnya Kalla akan menjadi milik Thalia. Seperti yang telah digariskan.

Kinna saja slow. Kenapa Kalla malah stres sendiri?

“Im sorry... Im... Ki,” Kalla menyugar rambutnya frustrasi, “gue baru ngumpulin keberanian buat ngomong. Tapi, nggak semudah itu.”

Kinna tertawa remeh. Masih sibuk dengan kegiatan memotongnya. “Slow, Kal. I talked you before,” senyumnya mengembang, “If you’ll be Thalia’s? Dan please, jangan bilang apa-apa ke Tante Donna. Apapun itu. Gue nggak mau... Tante Donna benci gue. Karena cuma Tante satu-satunya Mama gue—

Karena Kalla hampir gila rasanya. Di kantor, Thalia akan terus menempelinya seperti lem. Jadi, dia tidak punya waktu untuk menemui Kinna. Pulang ke rumah pun, kadang Kalla tidak sesering dulu menemui Kinna. Donna akan terus merengek. Memaksanya melakukan ini-itu untuk persiapan pernikahan. Dan yang paling penting, Kalla tidak enak hati pada keluarga Thalia. Kalla tidak bisa membatalkannya tiba-tiba. Kalla takut. Meski di satu sisi membiarkannya terus berlanjut, dan berpura-pura tidak terjadi apapun, justru memperkeruh semuanya.

Kalla merasa mentalnya sedang diuji. Kalla benar-benar akan gila mungkin saja. Pulang menemui Kinna pun, Kalla membawa semua dosanya. Rasa bersalahnya. Jadi, mereka kebanyakan diam. Meski kadang Kalla ingin terus memeluknya sepanjang tidur. Berkata mudah, tapi melakukannya susah.

 “Lo bikin apa, sih?” gumam Kalla pada akhirnya, memilih mengganti topik pembicaraan. Daripada mereka harus diam-diaman tanpa kejelasan lagi seperti kemarin-kemarin.

“Yang...” bisiknya lagi, perlahan memeluk Kinna dalam dekapannya. Kalla baru sadar, tubuh mungil Kinna sangatlah pas untuk di peluknya. Seperti mereka saling diciptakan untuk mengisi. Dirinya yang tinggi jangkung, berkulit kecoklatan eksotis, dan memiliki wajah nakal, disandingkan dengan tubuh mungil Kinna, yang pendek namun sangat imut. Seperti anak kecil yang polos nan menggemaskan. Bayangkan jika bahkan Kalla harus benar-benar menunduk saat memeluknya.

“Eh...” pekikan Kalla terjeda, meremas-remas gemas badan Kinna yang tenggelam di tubuhnya. Tanpa sadar terkekeh geli, “Gemukan, yang? Kok makin kayak squishy, sih? Gemes.”

Kinna mematung. Pisaunya terangkat ke udara. Siap menusukkannya ke pipi Kalla. “Bilang apa lo?”

Kalla nyengir. Tahu kalau dia kadang bicara sesukanya tanpa disaring. Membuat Kinna kerap terluka. Tapi, entah kenapa, ini perubahan yang malah dia suka. Bukan mengejek seperti dulu.

“Lo makin gendat,” bisik Kalla semakin tertawa mencubiti pipi bakpau Kinna yang mirip squishy. “Nih, gue cubitin! Tak! Shoot!” dan pipi itu lagi-lagi memantul.

“Apaan, sih?!”

“No, this is so cute! Look,” Kalla mencubiti pipinya lagi. Makin gemas. Bahkan turun meremas pinggangnya. “Ini juga. My Cendol mengembang.”

Tapi bukan itu masalahnya. Kinna malah ingin menangis mendengar kejujuran Kalla. Tidak. Dia tidak marah. Hanya saja... semakin menambah list suatu fakta yang tidak ingin Kinna dapatkan.

No! Gue nggak gendut! Nggak!” marahnya.

Kalla terkekeh. “Galak banget My Cendol! Iya, deh, nggak! Nggak! Kurus banget kayak papan!” hiburnya, lalu merebut pisau dari tangan Kinna. “Sini, gue potongin! Mau bikin apa, sih, sebenernya?”

“Emang bisa?” sindir Kinna melihat Kalla yang mau sok-sokan bekerja di dapur.

Kalla balas menyindir. “Ya, emang lo juga bisa?!” kemudian tawanya menguar menyadari sesuatu, “Kita emang nggak ditakdirin mainan dapur, deh, yang, ck! Nggak ada bakat! Udah bener, kita tiap hari makan mie doang!”

Kinna nyengir. Meski itu benar juga. Mungkin itulah alasan kenapa mereka lebih cocok jadi partner dalam main tali tambang, ketimbang partner berumah tangga. Sekarang Kinna tahu itu. Jadi, kapanpun, dia akan siap melepaskan Kalla. Kalla berhak bahagia bersama perempuan yang bisa memberinya kehidupan berumah tangga yang layak.

Dan pekikan emosi Kalla muncul saat tomat yang dipotongnya malah meloncat seperti bola. Turun menggelinding ke lantai. “Ah, shit! Heh, tomat! Balik lo!”

Mau tak mau Kinna tertawa masam. Berjongkok meraih tomat itu di lantai bawah. Ouch, pinggulnya mudah sakit belakangan ini. Encok atau entah apapun itu. Dirinya yang aktif jadi sulit bergerak karena kadang-kadang pegal dan linu mendadak. Kinna jadi benci pada dirinya sendiri.

Akhirnya dilemparkan kembali tomat itu ke depan Kalla. “That’s why we can’t together.”

 Sontak Kalla menghentikan gerakan pisaunya lagi. “We?”

“You and me, Kal,” kekeh Kinna gemas, “ya karena kita kayak pinang dibelah dua. Mirip banget,” tawanya sok melucu, “Tante Donna juga sering bilang, kalau gue ini kembaran lo.”

 Kalla tertawa dingin. “Terus?”

“Kok terus?” kekeh Kinna, “Ya... Ya udah, kita emang kayak gini.”

“Gini gimana?” Kalla makin jutek.

“Ya gini... gue nggak bisa masak. Gue nggak keibuan. Mana emosian mulu, nggak sabaran, tukang marah-marah. Anak lo nggak bakalan sehat kalau hidup sama gue. Makan bakal mie terus tiap hari, Kal. Ntar penyakitan. Lo juga bakal bosen makan mie.”

Kalla membanting pisau, “Who say that?! You?! Okay, say again! Say!” marahnya. “Bilang aja, lo nggak mau pertahanin pernikahan kita di Sukabumi!”

Kinna hanya menunduk memainkan kotak bawang di tangannya. “Im just...”

“Bilang! Ayo bilang, Kinnanthi!” marahnya lagi. Kalla capek karena harus terus berdebat dengan Kinna. Bertengkar tanpa henti menyakiti dirinya sendiri. Akhirnya dia lepaskan cincin di jemari tangannya, “Lihat ini, Kinnanthi! Gue bahkan udah nggak pernah pake cincin tunangan gue sama Thalia! Gue pake cincin nikahan kita!”

Kinna terdiam menahan air matanya.

Kalla meraih telenan di ujung meja penuh emosi. “Lo nggak bisa masak? Iya, gue juga! Oke! Kita belajar! Apanya yang salah?! Biar gue yang masak kalau lo nggak mau!”

“Salahnya...”

“Salahnya apa?!”

“Lo milik Thalia,” lirih Kinna bodoh.

“But, I’m yours. Everynight I spent with you!” Kalla menertawakan diri sendiri. “And what do you think, all of this is?”

Kinna masih terdiam. Kalla tertawa lagi. “But, yes, gue emang berengsek. And if you know... Gue takut... gue takut harus bilang gimana ke Thalia. Thalia terlalu baik. Keluarganya juga. Dan gue ngerasa jahat, gue berdosa. It’s too hurt for them. And you too—” matanya melirik Kinna penuh luka.

Meski Kalla sangat tahu itu. Semua orang terluka. Semua orang telah dia kecewakan. Tapi, Kalla belum menemukan jalan keluar. Untuk menemui jalan keluar. Sampai dia berhasil mengalahkan semua ketakutannya sendiri. Menghapus kasar matanya yang berkabur, Kalla jadi sadar sekarang dia sudah mulai mengupasi bawang merah. Sialan, pantas dia hampir menangis sejak tadi.

Akhirnya melirik Kinna yang masih terus mematung di sampingnya. Kalla merebut kantong belanjaan lain yang masih berada di tangan Kinna.

“Biar gue yang masak hari ini. Masak apa, yang?”

Kinna tidak menjawab. Tapi Kalla menemukan beberapa kotak ikan tongkol mentah dari kantong. Oh, jadi itu pasti tongkol balado. Kalla mengambil chopper dari almari dapur. Bermaksud menghancurkan bawang dan tomat.

“Gue chopping bumbunya kali, ya? Biar cepet,” Kalla kembali melirik Kinna, “lo buka tongkolnya, yang. Biar cepet jadi. Gue udah laper.”

Kinna mengerucut sebal. Sebenarnya tadi yang mau masak siapa, sih? Ini kenapa Kalla jadi sok berkuasa pada dapurnya. Tapi meski begitu, Kinna menurut juga. Baru akan mengeluarkan beberapa kotak tongkol dari sana. Tapi buru-buru dibekapnya mulut. Amis sekali bau tongkol itu. Kinna benar-benar tidak tahan.

“No!” pekiknya.

Kalla meringis melihat Kinna melempar tongkol itu. “Why?”

Kinna menggeleng. Masih terus menutup mulutnya sambil menggeleng frustrasi. “No, please... Amis banget!

Kalla meringis, mencoba mendekatkan kotak-kotak tongkol dari anyaman itu. “Apaan, sih? Nggak bau apa-apa ini! Bau apanya?!”

Tangis Kinna hampir keluar. “Itu bau! Amis! Gue nggak suka! Jauhin, please!”

Kenapa lo beli kalau nggak suka?”

“Hmmph,” panik Kinna menyumpal mulut, siap berlari saat Kalla menahan, “Please, buang tongkolnya, Kal! Please, gue nggak tahan! Minggir

Dan yang tidak Kalla sangka, Kinna malah muntah tiba-tiba di kaosnya. Kalla ingin menjerit panik, tapi Kinna malah menangis.

“Kal, Kal, Im sorry...”

Kalla menahan tubuh Kinna. Ikut panik sendiri menyadari tubuh Kinna mulai lemas, “Are you okay? Ndol, why?! What’s wrong with you?” dan dirabanya kening Kinna yang hangat. “Ck, you got fever!”

Kinna masih ingin menangis. Iya, gue sakit, Kal. Atau malah gue... gue... Ditatapnya muka panik Kalla. Tidak peduli kaosnya yang mulai menguarkan bau tak sedap. Bekas muntahan Kinna. Tanpa aba-aba digendongnya Kinna ke kamar. Kinna hanya pasrah memeluk Kalla.

I’m afraid, Kal, jeritnya dalam hati.

Tapi Kalla sibuk memasang termometer. Kinna menggigit bibirnya lagi. Bukan, bodoh. Bukan alat itu yang dia butuhkan sekarang... Kinna hanya ingin menangis. Kinna tidak bisa mengatakannya. Setelah menyelimuti tubuh mungilnya, Kalla bangkit.

“Lo butuh paracetamol,” bisiknya sambil menarik termometer dari badan Kinna, “tiga puluh sembilan. Yang, kenapa? Kok panas gini badannya? Gue beli obat dulu, ya?”  

***   

Siang hari sepulang dari kantor Kalla segera mengganti setelan kemejanya menggunakan boxer dan kaos santai. Lalu melangkah menghampiri Kinna sambil meraba keningnya. Kemarin Kinna baru saja demam. Sekarang sudah agak mendingan Kalla jadi lega.

“No!” pekik Kinna sebal, “don’t touch!”

“Udah nggak panas, kan? Hmm,” dan dipelukinya pinggang ramping Kinna membuat Kalla gemas. “My Cendol, beneran deh, lo gendutan. Tapi nggak apa-apa. Lucu. Gemes. Like a squishy I wanna squeeze.

“Enak aja kalau ngomong!”

Kalla berdecak menatap kaca di depan mereka. “Kenapa, ya?”

“Apa?”

“Manusia itu baru sadar kalau semua udah terlambat...”

Mau tak mau Kinna meringis, “Kalau nggak gitu, ya, nggak bakal ada yang namanya penyesalan, lah, Pak Kalla! Adanya pendaftaran! Udah, nggak usah nanya yang udah jelas jawabannya!”

“Iya, ya?” ringis Kalla, perlahan menarik Kinna dalam dekapannya, mendudukkannya di pangkuan. “My Cendol?”

“Hmm?” dengus Kinna marah.

“Ih, galak banget My Cendol!” Kalla menusuki pipi Kinna gemas. “It’s my squishy. I don’t want other man touch my squishy!”

“Bauu! Badan lo bau, Kal! Keringet lo! Argh! Jauh-jauh dari gue!”

 Kalla nyengir. Malah sengaja dia pamerkan ke Kinna. Ketiaknya kalau perlu. Sialnya langsung membuat Kinna membekap menahan mual.

“Please! Please!”

Kalla menatap bodoh saat Kinna tiba-tiba mendorongnya. Berlari menuju wastafel dan muntah-muntah. Kalla menyusul. “Apaan, sih?! Gitu amat sama keringet gue! Biasanya lo ciumin juga nggak apa-apa!”

Kinna terisak. “Please... Please... jangan deket-deket! Bikin mual!”

Mau tak mau Kalla menyeret Kinna, meraba keningnya lagi. “My Cendol, you okay? Dari kemarin sakit mulu? Why?”

Kinna menggeleng lemas.

Tapi Kalla malah bangkit, mengangkut ceret dari kompor, dan membuat segelas susu coklat. Lalu kembali lagi ke kamar menyusul Kinna.

“Minum ini dulu biar anget.”

Tentu saja Kinna senang menerima perhatian-perhatian kecil dari Kalla. Karena aslinya Kalla itu sangatlah cuek. Mana melakukan hal remeh begini. Tapi sekarang dia sedikit lebih romantis. Mau tak mau Kinna menahan harunya, meneguk susu itu.

“Akh—”

Kalla tersentak mendengar jeritan Kinna, “Why? Ndol?”

“Punggung gue!” Kinna baru sadar pinggulnya nyeri lagi, “sakit! Akh! Jangan pegang-pegang bisa?!” amuknya.

“Where? Mana yang sakit, sih?” Kalla meraba lembut punggung Kinna, “Sini? Sini?”

“Iya! Iya! Akh! Be careful—”

“Kaki lo angkat sini.” Karena Kinna tidak bereaksi juga, Kalla menarik sendiri kaki Kinna ke atas pangkuannya. “Biasanya kalau pegel nyampe kaki,” tapi gerakan tangan Kalla terhenti menyadari sesuatu, meraba lembut kaki Kinna, “Seriusan...”

“Apaan?” Kinna jadi takut menyadari muka horor Kalla. “Ih, apaan, sih?! Jangan nakutin gue lo!” cubitnya kesal.

“Cendol, kaki lo bengkak?” ringis Kalla menekan-nekannya.

Kinna menahan napas. “Nggak! Nggak! Apaan, sih?”

Muka Kalla makin cemas, semakin menekan-nekan kaki Kinna. “Iya, ini seriusan! Ada apa, sih? Lo sakit? Bilang, gue panggilin dokter!”

Tentu Kinna menggeleng kesal. “No way, udah sana pergi! Biasanya juga nggak pulang! Ngapain ke sini?!”

Kalla jadi marah. Mau tak mau menahan Kinna dalam dekapannya. “Kalau gue bisa pulang tiap hari, gue bakal pulang tiap hari, Ki!”

Kinna terdiam menatap Kalla yang hampir menangis. Hal yang jarang dilakukan oleh seorang Sakalla.

“That’s why... kalau gue bisa menyadari semua lebih cepat?” Kalla ingin menangis saat mengatakan kejujurannya. “Andai aja, gue tahu lebih cepet kalau cuma lo yang gue butuhin di dunia ini. Semua nggak bakal terjadi, Ndol. Kita nggak bakal hidup rumit kayak gini.”

Kinna mematung menahan tangis. “Nggak usah dibahas.”

Tapi Kalla malah memperjelas. “Kalau gue sadar sama perasaan gue lebih cepet,” senyumnya hambar. “Mungkin bakal ada cerita lain, kan? Cerita yang jauh lebih indah tentang kita. Ketimbang nikah diam-diam dan bohongin orang-orang? Mama, Thalia—”

Saat itulah Kinna perlahan menangis lagi. “Iya, lo bener... lo emang goblok... Udah, nggak usah diterusin kegoblokan lo yang nggak berfaedah ini! Gue capek, Kal! Harus ikut nanggung semua dosa-dosa lo! Dosa— dosa kita!” ralatnya.

Kalla hanya tersenyum mengangguk-angguk. Kalau ada cerita berbeda adalah... mereka dalam versi kisah cinta yang lain. Bukan embel-embel friendzone bodoh ini. Mungkin... mungkin... jika Kalla menyadari rasa cintanya lebih cepat. Semua tidak akan terjadi. Mungkin... ceritanya jadi berbeda.

Mereka akan bersahabat dekat dari jaman SMP. Lalu menyadari perasaan masing-masing di bangku SMA. Kemudian memutuskan berpacaran. Berpacaran yang sehat dan positif. Dari SMA hingga kuliah. Donna akan menerima Kinna perlahan sebagai pacarnya, dan bukan sahabatnya. Hubungan mereka awet dan terus terjaga. Sampai berkarir dan matang. Memutuskan untuk menikah seperti orang dewasa pada umumnya. Lalu menjalani hubungan cinta sekaligus berumah tangga yang normal. Kisah cinta yang patut dibanggakan kepada generasi penerus mereka.

Tapi yang terjadi malah sebaliknya...

Nyatanya mereka di sini, terjebak friendzone mengerikan selama bertahun-tahun.

“I wanna sleep, gue pusing banget, Kal.”

Kalla hanya mengangguk, menggendong Kinna ke tempat tidur. Setelahnya Kalla ke balkon merokok dan mulai menangis. Lama-lama dia akan depresi. Nyawanya mati perlahan dimakan kegilaan. Kalla tidak ingat saat dia memutuskan memejamkan mata di luar.

***

Kinna melangkah memasuki ruang divisi dan menemukan keberisikan di sana. Entah apa itu. Jelita sudah mulai heboh bersama rekan-rekan lainnya. Kinna melangkah tanpa minat. Perlahan bergabung membuat Jelita langsung tersentak kaget dan membatu.

“Eh, Ki—” senggol Jelita, “pucet banget muka lo.”

Kinna memaksakan senyum. “Mmm, nggak apa-apa, kok.”

Hanya hembusan napas panjang yang diberikan Kinna. Segera dialihkannya. “Mmm, ini kenapa pada rame, sih? Ada apa?”

Royhan angkat bicara. “Eh, Kun, besok ada acara ke Bromo ikutan, nggak?”

Kinna mengedip bingung. Melirik Jelita meminta penjelasan. “Eh, emang iya, Je? Ada acara apaan, tuh?”

Maklum, masalah hidup Kinna sedang banyak. Jadi mana sempat sih dia mengikuti breaking news  yang ada di kantor. Beuh, kalau dulu, sih, dia maju terdepan untuk urusan tubir. Sekarang? Boro-boro! Hidupnya sendirilah yang perlu ditubirkan. Ketimbang menubir hidup orang lain.

Royhan yang mengambil alih, “Refreshing. Usulnya Bu Thalia. Divisi kita sama sebelah wajib ikut.”

Kinna tercekat, “O—Oh, Bu Thalia, ya?”

“Iya, ikutan yuk, Ki! Pasti seru!”

***

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Khalisya (Matahari Sejati)
2525      856     3     
Romance
Reyfan itu cuek, tapi nggak sedingin kayak cowok-cowok wattpad Khalisya itu hangat, tapi ia juga teduh Bagaimana jika kedua karakter itu disatukan..?? Bisakah menjadi satu kesatuan yang saling melengkapi..?? Semuanya akan terjawab disini. Ketika dua hati saling berjuang, menerobos lorong perbedaan. Mempertaruhkan hati fan perasaan untuk menemukan matahari sejati yang sesungguhnya &...
Kenangan Hujan
491      364     0     
Short Story
kisah perjuangan cinta Sandra dengan Andi
FLOW in YOU (Just Play the Song...!)
3105      841     2     
Romance
Allexa Haruna memutuskan untuk tidak mengikuti kompetisi piano tahun ini. Alasan utamanya adalah, ia tak lagi memiliki kepercayaan diri untuk mengikuti kompetisi. Selain itu ia tak ingin Mama dan kakaknya selalu khawatir karenanya. Keputusan itu justru membuatnya dipertemukan dengan banyak orang. Okka bersama band-nya, Four, yang terdiri dari Misca, Okka, dan Reza. Saat Misca, sahabat dekat A...
Sweet Equivalent [18+]
3471      994     0     
Romance
When a 19 years old girl adopts a 10 years old boy Its was hard in beginning but no matter how Veronica insist that boy must be in her side cause she thought he deserve a chance for a better live Time flies and the boy turn into a man Fact about his truly indentitiy bring another confilct New path of their life change before they realize it Reading Guide This novel does not follow the rule o...
Kisah Kita
1899      665     0     
Romance
Kisah antara tiga sahabat yang berbagi kenangan, baik saat suka maupun duka. Dan kisah romantis sepasang kekasih satu SMA bahkan satu kelas.
Dua Puluh Dua
410      219     2     
Short Story
Kehidupan Rion berubah total di umurnya yang ke dua puluh dua. Dia mulai bisa melihat hal-hal yang mengerikan. Kehadiran Krea di hidupnya membuat Rion jauh lebih baik. Tapi Rion harus menyelesaikan misi agar dirinya selamat.
Meja Makan dan Piring Kaca
51092      7714     53     
Inspirational
Keluarga adalah mereka yang selalu ada untukmu di saat suka dan duka. Sedarah atau tidak sedarah, serupa atau tidak serupa. Keluarga pasti akan melebur di satu meja makan dalam kehangatan yang disebut kebersamaan.
HABLUR
4494      1374     2     
Romance
Almarhum Mama selalu bilang, "Yang membedakan permata dengan batu lain adalah tingkat tekanan yang mengubahnya." Ruby Andalusia. Coba tanyakan nama itu ke penghuni sekolah. Dijamin tidak ada yang mengenal, kecuali yang pernah sekelas. Gadis ini tidak terkenal di sekolah. Ia ikut KIR, tetapi hanya anggota biasa. Ia berusaha belajar keras, tetapi nilainya sekadar cukup untuk ber...
Bukan kepribadian ganda
8840      1699     5     
Romance
Saat seseorang berada di titik terendah dalam hidupnya, mengasingkan bukan cara yang tepat untuk bertindak. Maka, duduklah disampingnya, tepuklah pelan bahunya, usaplah dengan lembut pugunggungnya saat dalam pelukan, meski hanya sekejap saja. Kau akan terkenang dalam hidupnya. (70 % TRUE STORY, 30 % FIKSI)
The One
281      183     1     
Romance
Kata Dani, Kiandra Ariani itu alergi lihat orang pacaran. Kata Theo, gadis kurus berkulit putih itu alergi cinta. Namun, faktanya, Kiandra hanya orang waras. Orang waras, ialah mereka yang menganggap cinta sebagai alergen yang sudah semestinya dijauhi. Itu prinsip hidup Kiandra Ariani.