Loading...
Logo TinLit
Read Story - Call Kinna
MENU
About Us  

Kinna hampir saja menangis saat melihat lagi bayangan Jelita. Setelah sekian lama. Astaga, Kinna bisa gila rasanya hidup tanpa sahabatnya itu. Dan tangisnya merebak juga dalam pelukan Jelita saat menemui perempuan itu lagi.

“Huhu... Je! Kangen!” tangis Kinna tanpa sadar.

Jelita ikut menangis. “Kinnaaa! Gue juga, Ki! Kangeeen, beib! Sumpah, dari mana aja lo ngeselin banget?! Mana gue hubungin, nggak pernah dijaweb! Gue jadi sendirian! Nggak ada partner ngemil dan nggosip! Roy bikin gue emosi mulu! Huhu, Ki, gue beneran kangen banget ama lo!”

Mau tak mau Kinna tersenyum menatap mejanya yang masih rapi. Kosong. Belum ada yang mengisi sama sekali. Senyumnya jadi hambar saat duduk di sana. “Aaa.... Meja gue! I miss so much!”

Dan bolpen-bolpen lucunya juga stick note warna-warni yang dia susun di komputer masih menempel di tempatnya semula. Kinna merindukan semua kerempongannya dulu. Semua tanpa terkecuali. Sebaik-baiknya merantau di ibu kota adalah sebagai wanita karir. Bukan malah berakhir menjadi gelandangan yang mengemis uang.

Royhan berlarian dari pintu. “Hei, Kun! Miss you Kunthiii!”

“Akh! Roy! I miss you too, Roy!” dan meskipun Kinna benci pada suara menyebalkan Royhan yang sok ganteng. Tapi dia merindukan tukang nyinyir satu itu.

Dan semua rekan-rekannya di kantor. Termasuk— Jordan. Kinna sangat merindukan laki-laki itu. Bertemu dengannya tadi di lobby dekat lift adalah luka. Baik baginya atau Jordan. Sekarang, melihatnya mengintip dari luar kaca ruangan semakin membuat hati Kinna remuk redam. Dari sana Jordan hanya tersenyum tipis, lalu segera menyingkir pergi.

Kinna sadar, jaraknya di antara Jordan kini amatlah terbentang jauh.

***

Malamnya Kalla tidak ingat apapun lagi. Dirinya sudah terdampar di lantai disko. Bersama Dipta dan Leon bersamanya. Kalla gila. Benar-benar gila rasanya. Otaknya seperti akan meledak kapan saja. Hidupnya yang bermasalah. Hidupnya yang kacau. Kalla bisa gila. Sangat gila. Mamanya... Kinna... Thalia... Semua menghantuinya terus menerus.

“Argh!” Kalla meremas rambutnya yang terkulai di meja bar, tertawa-tawa berusaha menyambar gelasnya yang entah menggelinding ke mana. Ini mungkin akan jadi gelasnya yang ke-tujuh menenggak wine. Tapi, dia belum puas. Ingin mabuk rasanya sampai terbang ke awan.

“Bro, udahan! Kasian gue liat lo!” ringis sang bartender. “Ada masalah idup apa lo sampe begini?”

Tapi Kalla malah tertawa sambil menyanyi riang mengangkat gelasnya. “Ohh... senangnyaaa dalam hatiii... kalau beristri dua... Ohh seperti duniaaa ana yang punyaaa...”

Sang bartender jadi ketakutan, “wah, malah nyanyi lagi! Nggak waras!”

“Kepada istri tuaaa... kanda sayang padamuuu... Ohhh... kepada istri mudaaa... I say I love youuu—”

Kalau bukan gara-gara si bartender itu menjerit makin kencang, Leon tidak akan berlarian panik. Menemukan sahabatnya dalam kondisi collapse yang sangat menyedihkan. Buru-buru ditinggalkannya lantai disko yang masih berdentang dan Dipta di sana.

Leon berlarian ngeri, “Dip! Dip! Woy! Jangan joget mulu, elah! Temen lo ini stres!”

Dipta akhirnya menyusul juga. Meski misuh-misuh jogetnya jadi harus stop. “Buset, Yon! Ada apa, nih?!” jeritnya saat melihat Kalla sudah menggerayangi sang bartender, bersiap menciumnya habis-habisan. “Waduuuh, Kal! Turun! Turun!”

“Anjir! Malah nyanyi lagi! Yon, Yon, gimana, nih?!”

Leon masih terus menyeret Kalla turun dari meja bar. “Kal, stres lo! Asli, stres beneran lo udahan! Gue malu, anjir! Udah, balik ayo! Dip, lakuin sesuatu!”

Dipta makin rempong. “Haduu, gue harus ngapain, nih?”

Si bartender jadi marah-marah pada mereka. “Iya, bro, ini temen lu stres! Najis gua masih suci mau dianu dia!”

“Iya, sabar, bro! Gue gampar juga lo, Kal! Asli, dah!” emosi Leon.

Tepat saat itu Niko berlarian dari kerumunan lantai diskotek. Baru datang menyusul, tapi langsung disuguhi pemandangan yang buat geleng-geleng. “Woy, si bambang ini! Mampus, bini lo banyak!”

“Kok malah lo mampusin sih, Nik?” Dipta mana tega.

“Ya, mampus, dah! Mampus! Biar tahu rasa lo! Makan tuh karma, dude!”

“I think yes. This karma doing well!” imbuh Leon.

“Ini juga!” tangis Dipta, berusaha merangkul Kalla, “lo berdua mah! Udah buruan angkut!”  

Kalla balas tertawa di tengah mabuknya. “Oy, Oy, bini gue dua! Asyiiik!” jeritannya melengking ke seluruh penjuru kelab. “Oy, lo semua tahu belum yang di sini?! Bini gue dua, lhoo— hmmhp.”

“Akh!” Niko menjerit saat tangannya digigit Kalla.

“Iri bilang, Nik! Apaan, dah?! Udah sana pergi! Gue mau ke tempat bini-bini gua!” Kalla berteriak lagi.

“Dude, gawat! Stres beneran!” Niko menutup muka secepat kilat. “Mana bikin malu lagi! Sumpah, ya, ini terakhir kali gue ke sini, dah! Malu, dude!”

“Iya, Nik, gue kagak mau ke sini lagi! Udah buruan, cabut!” dorong Leon.

Dan sepanjang jalan Kalla masih tertawa-tawa gila.

“Buahaha...” dan tawa Kalla terus menguar frustasi. “Bagus banget idup gue! Bentar lagi gue nikah ama Thalia! Hihi, padal gue udah nikah ama Kinna!”

Kalla tidak terselamatkan. Jiwa dan raganya. Sudut air matanya mengering. Tapi perlahan mengalir juga ke pipi. Leon menatapnya sambil geleng-geleng. Tidak tega juga. Akhirnya dia pacu mobilnya lagi. Mobil Niko menyusul di belakang.

***

Kinna baru saja selesai dengan kegiatan memasaknya. Dapur rumah barunya dan Kalla masih bagus. Iya, belum dia hancurkan saja. Sebenarnya, Kinna sedikit suka memasak, sih. Kadang melihat dapur yang indah semacam ini—secara naluriah— Kinna akan terpancing memasak juga. Mau bagaimanapun, dirinya tetaplah perempuan yang punya sisi feminis. Dan melihat kulkas barunya penuh oleh bahan-bahan makanan, Kinna semakin tertarik.

Tadinya, sih, dia akan memasak mie goreng lagi. Tapi mengingat sekarang ada Kalla yang wajib dia beri makan juga, akhirnya Kinna mengalah. Malas kalau Kalla terus menceramahinya karena tiap hari—betapa apesnya hidup bersama Kinna— hanya memakan mie goeng instan. Akhirnya pilihan Kinna jatuh pada sekaleng sarden. Hanya butuh satu jam untuk Kinna merampungkan masakannya di atas kompor. Tidak buruk-buruk amat.

Kinna baru akan menyiapkan ke meja saat bunyi ponsel terdengar dari saku.

Mamanya Kaleng calling...

Tante Donna menelponnya? Jujur, Kinna jadi deg-degan sekali. Setelah mengingat apa yang Kalla lakukan bersamanya. Kabur-kaburan tidak jelas. Tanpa memberi kabar Donna dan keluarga. Sambil menggigit bibir cemas, Kinna memberanikan diri mengangkat.

Suara Donna langsung membanjir penuh kelegaan. “Akhirnya kamu angkat juga, Ki! Maaf, ya, Tante telpon malem-malem! Tante itu kebingungan dari kemarin, loh? Kamu sekarang di mana, sih, tinggalnya? Tadi Tante ke kosmu, katanya kamu udah pindah?”

“Ki—Kinna....” Ya Tuhan, bagaimana ini? Kinna menggigit bibirnya. “Kinna sekarang... udah pindah, Tan...”

“Iya, sayang, pindah di mana? Tante mau ketemu, dong. Kemarin Tante nggak sempet ngobrol sama kamu. Apalagi sama Rumi! Tante, kan, mau kenalan!”

“Anu... itu...” Kinna memijati keningnya. “Besok aja gimana, Tante? Kinna ke rumah aja bawa Rumi, ya?”

“Loh... Tante itu, kan, mau lihat kos baru kamu.”

Tepat saat itu suara deru mobil terdengar. Kinna menggigit bibir mengintip ke arah luar. Ternyata benar suara maserati milik Kalla mulai parkir. Kinna jadi semakin panik. Cengkramannya pada ponsel mulai gemetaran.

Dari seberang suara Dona ikut memburu. “Eh, Ki, Kalla lagi bareng kamu nggak, ya?! Tante bingung dari kemarin dia nggak pulang! Tolong bilang, ya! Thalia bingung nyariin ini, Ki!”

“Eh... Oh... Gitu, Tan?”

“Iya, Ki! Thalia dari kemarin nungguin! Mau ngajak fitting baju pengantin! Tapi Kalla nggak tahu, deh, kemana! Dari kemarin susah dihubungin! Kamu tolong bilangan dia, ya, biar dateng jemput Thalia besok! Kalau kamu yang bilang, Kalla mah nurut! Susah banget kalau Tante yang bilangin! Mangkir terus!”

Kinna hanya memaksakan senyum. Meski genggaman tangannya pada ponsel hampir mengendur tak berdaya. Tangisnya nyaris meluncur meski dia tahan sekuat tenaga. “Ba... baju pengantin, Tan? Mak— maksudnya....”

“Iya, Ki, nikahannya Kalla sama Thalia, kan, mau dimajuin bulan depan.”

Dan meski hatinya sesak, Kinna tetap melanjutkan hingga obrolan terakhir. Sampai Donna memutus panggilan. Kinna bisa ambruk kapan saja kalau tidak ingat suara klakson itu terus menggila dari luar. Akhirnya Kinna membanting ponselnya.

“Apaan, sih?! Sabar!” dan berlari ke muka pintu, menemukan Kalla berjalan sempoyongan dalam rangkulan Niko dan Leon. “Ya ampun, ini ada apa, sih?! Kaaal!” jeritnya saat menyadari Kalla mabuk berat.

Niko menahan emosi,  memindahkan rangkulan Kalla ke pundak Kinna. “Ini, nih, suami lo! Udah sana urusin! Pusing gue! Pusing! Pala gue mau pecah! Bikin malu aja kerjaannya!”

Dipta ikut mengangguk, Udah nggak waras soalnya!”

Kinna ingin menangis rasanya, menangkup pipi Kalla yang dingin. Tapi laki-laki di hadapannya itu malah nyaris ambruk. Tidak bertenaga sama sekali. “Kaaal! Kal! Are you crazy?! Get up, shit!”

Mau tak mau Kinna hanya membalas pelukan kencang Kalla di tubuhnya. Kalla hampir saja jatuh dalam kondisi yang mengenaskan. Akhirnya Niko membawanya ke kamar dan melemparkannya ke sana. Tapi Kalla tetap tertawa-tawa dalam mabuknya. Hampir gila dimakan kebodohan sendiri.

***  

“It’s already morning, Kal. Get up!”

Kinna bangkit dari posisi tidurannya. Membiarkan Kalla bangkit juga. Mau tak mau menatap muka kacaunya lagi. Kinna melihatnya secara langsung. Muka pesakitan Kalla yang menyedihkan. Bibir yang kering dan pucat. Juga bau alkohol yang masih terasa. Lebih mirip zombie daripada manusia.

Kinna mendudukkan diri. Menarik selimut yang dipakainya. “Morning. You got better?”

Kalla memeluk dirinya sendiri. Memilih meringkuk di pojokan kamar. Dia terus-terusan menyakiti Kinna selama ini.

“Gue bikinin sarapan dulu, ya?” Kinna baru akan bangkit saat Kalla memeluknya sekuat tenaga. “Kal,” kekehnya. “Apaan, sih? Ih...”

Im sorry, Im just a fool.”

“Ah, gue tahu!” tawa Kinna berusaha mengalihkan. “Lo harus siap-siap, Kal! Cause this is weekend! You should—”

Sebelah alis Kalla terangkat. Akhirnya tersenyum juga. Mendudukkan Kinna di pangkuannya gemas. “Iya, tahu, ini weekend. Kode keras banget istri gue ini. Mau ngapain, sih, emang? Jalan? Ngajak nonton?”

“No! Lebih seru, dong!” Kinna nyengir ceria. Tanpa peduli selimutnya yang melorot karena Kalla kembali membenamkan diri mencari kehangatan.

“Iya, terus mau apa, hmm?” Kalla mendongak. “Eh, ke Ancol aja, yuk. Kangen yang pasar malem di Sukabumi itu, yang.”

Kinna menggeleng.

“Terus?” Kalla mendesak, “yang jelas dong! Mau jalan ke mana? Kalau nggak, bobok aja lagi. Pelukin seharian.”

“Mau fitting baju pengantin.”

Kalla baru akan tertawa saat sadar tatapan aneh Kinna.

“Maksudnya, lo sama Thalia yang fitting. Udah sana ganti baju, gih. Tante Donna udah nunggu, Kal!”

Detik itulah amarah Kalla mencuat lagi. Kinna langsung merasakan tubuhnya terbanting dari pangkuan Kalla. Dan tangan Kalla menghempasnya kasar. Mau tak mau Kinna menggigit bibir, menahan tangisnya.

“Sakiiit, Kal!”

Kalla menggeleng frustasi. “Gue udah bilang, gua nggak mau! Gue nggak bakal dateng! Gue bakal di sini terus sama lo!”

“No!” isak Kinna, “you should go! No mather what! Thalia nungguin lo! Udah sana cepet!”

“Sekali gue bilang, nggak! Ya, nggak!” teriakan Kalla menggema. Bersama dirinya yang bergerak mundur. Meraih selimutnya lagi dan meringkuk di pojokan ranjang.

Kinna ingin menangis rasanya melihat Kalla yang hampir gila. Frustrasi tak berkesudahan sejak semalam. Hatinya terluka melihat pemandangan itu. Tapi, Kinna tidak bisa diam saja. Akhirnya maju menarik Kalla. Menyeretnya paksa sekuat tenaga.

Please, kasihan Thalia! Jangan kayak gini, Kal!”

“Lo nggak kasihan sama gue?” raung Kalla lagi, “lo nggak kasihan sama diri lo sendiri?”

Kinna hanya tersenyum. “Let’s go! Sana, gih, buruan!” dan didorongnya lagi punggung Kalla.

Kalla menepis kasar. “Dan dengan lo bilang gitu, artinya—” suaranya melirih putus asa.

Tapi Kinna malah tertawa. “Iya, Kal! Loh, emang lo sama Thalia bakalan nikah, kan? Kalian juga udah tunangan. Apa lagi—”

“Forget it!” Kalla mengangkat jemarinya, menunjukkan cincin pernikahan mereka di Sukabumi, “we already married, don’t you?!”

“Iya, tapi, kan... nikahan kita mainan...” Kinna memaksakan tawa disela tangisnya yang hampir turun, “kita kan dari dulu emang suka main-main nggak jelas, Kal. Ya udahlah, lupain aja.”

“What the—” Kalla menahan makiannya, “Apa lo masih mikir gue lagi main-main? Wow, Kinnanthi! Lo benar-benar—”

Sekarang Kalla tahu, adalah hal mustahil bagi dua orang lawan jenis yang bersahabat bertahun-tahun lamanya tanpa ada cinta di dalamnya. Bahwa lambat laun perasaan itu muncul juga. Kinna adalah candu di hidupnya— yang apabila dia tidak hisap, dia tidak akan bisa hidup lagi.

Tapi Kinna masih memaksakan tawa. “We’re bestfriend, right?! Mungkin Tuhan emang takdirin kita jadi sahabat aja, Kal.”

***

Setengah jam kemudian mereka sudah berada di jalan. Weekend yang lumayan bagus, pikir Kinna. Langit cerah, jalanan sedikit lengang, dan udara lumayan jernih. Oh, meski kenyataannya mendung di hatinya. Dan Kinna tidak bisa menahannya lagi. Air matanya siap meluncur kapan saja. Bersama cerahnya mentari yang menerpa di atas langit.

Hari ini dia pergi mengantar suami yang dicintainya melakukan fitting baju pengantin. Tapi bukan menjadi mempelainya lagi. Bukan untuk dirinya. Untuk menjadi suami perempuan lain.

Sepanjang jalan sepi. Baik dirinya maupun Kalla tidak berniat bicara apapun. Hanya lantunan musik yang terdengar sendu menyayat hati. Diam-diam Kinna menertawai diri sendiri menyadari ulah Kalla yang sengaja memutar-mutar jalan. Padahal jalan sepi lengang begini. Tapi mereka tak sampai-sampai juga ke butik langganan keluarga Thalia itu. Sengaja, eh?

“The time is out!” bisik Kinna menahan kesal, “what are you doing, Kal? Just go!”

“Oke, lo yang nyuruh,” Kalla menjawab hambar.

Mau tak mau sengaja membanting setir agar laju. Hingga kemudian beberapa menit kemudian maserati kebanggaan Kalla itu kini menembus salah satu Royal Boutique ternama di Jakarta. Kinna menahan napas saat menyadari jazz merah Thalia terparkir di sana.

Oh, Tuhan. Tidak. Kinna ingin menangis saja. Meski pada akhirnya membanting pintu turun. Memberi kode pada Kalla yang masih ogah-ogahan. “Please, Kal...” lirihnya tak sabaran. “Gemes banget gue, lama-lama gue lempar juga lo!”

Donna muncul dari balik pintu kaca. Senyumnya langsung sumringah dari sana. Segera dihampirinya Kalla dan Kinna. Menahan tangisnya, Kinna hanya bisa tersenyum saat Donna datang dengan riang.

“Tuh, kan, apa Tante bilang! Kalau kamu yang nyuruh pasti mau!” Donna nyengir mengacak rambut Kalla yang lupa disisir. Tapi tetap ganteng. Meski mukanya kusut sekalipun, “Manja banget, sih, Kal! Masak apa-apa harus sama Kinna? Kasihan, kan, Kinna jadi repot! Emang kerjaan Kinna cuma ngurusin kamu, hmm?” gemasnya.

Kalla hanya tetap memasang wajah datar dan malas.

“Heh, ditanyain juga!”  Donna makin gemas pada anaknya yang sulit ditebak itu. Mau tak mau diliriknya Kinna penuh sesal, “Maaf, ya, Ki, Tante repotin kamu terus! Habisnya ini, nih, nggak jelas kelakuannya! Udah mau nikah juga masih kayak gini. Maunya apa, sih?”

Kinna hanya memaksakan senyum. “Iya, nggak apa-apa, Tan. Lagian Kinna lagi pengen jalan-jalan juga, kok.”

Donna tertawa menyindir Kalla yang masih jutek. “Ntar juga kalau Kinna nikah, Kinna juga sibuk. Nggak bakal ngurusin kamu lagi. Iya, kan, sayang? Nanti suaminya Kinna cemburu kalau kamu apa-apa lari ke Kinna. Haduuh, gemes, deh, Mama itu!”

Mau tak mau Kinna tersenyum lagi. “Iya, Tan! Tahu, tuh, si Kalla!”

Donna merangkul Kinna. “Yuk, kita sambil lihat-lihat kebaya juga, Ki. Siapa tahu bisa jadi referensi kalau kamu nikah juga, kan? Bisa disiapin dari sekarang. Nanti sekalian kita jadi Tim juri, oke?”

Lagi-lagi Kinna hanya bisa tersenyum. Akhirnya berjalan terseret-seret dalam dekapan Donna. Sesekali mendongak melirik Kalla yang balas menatap tajam. Kinna buru-buru menunduk. Sampai langkah kaki anggun dari heels terdengar mendekat. Thalia melangkah keluar dari pintu kaca dengan senyum merekah. Tapi baru beberapa detik, senyumnya meluntur. Kinna langsung tahu tatapan Thalia tertuju padanya.

“Memangnya harus datang bersama Kinna?” meski Thalia buru-buru meralat dengan senyuman, Kinna tetap tertohok. “Maksudku, kamu, kan, bisa berangkat sendiri, Kal. Apa harus Kinna mengantar juga ke sini? Kasihan Kinna jadi kerepotan. Benar, kan, Tante?”

Kalla baru akan menjawab, tapi Kinna menyambar. “Anu... Thal, gue cuma nebeng bentar. Ini— ini mau balik, kok!”

“Nggak! Kinna bakal di sini sampe fitting-nya selesai!” potong Kalla cepat.

Sedikit membuat Thalia tersentak kaget. Tapi, lagi-lagi tetap memasang senyuman tipis. Gaya andalannya yang khas. “Sure, ayo masuk. Perancang langganan mamaku sudah menunggu, Kal,” katanya lembut.

Kinna tidak pernah merasa semenyedihkan ini sebelumnya. Saat melangkah memasuki pintu butik yang mewah itu. Langkahnya tersentil. Berat tapi terpaksa masuk. Dan ratusan kebaya berhiaskan kristal swarovski menyambutnya. Kebaya-kebaya untuk mempelai wanita tersusun cantik dalam deretan almari kaca. Bersama beskap putih pasangan untuk mempelai pria. Diam-diam Kinna tersenyum sendu.

Oh, mungkin dia pernah menikah. Pernah memakainya juga bersama Kalla. Satu bulan lalu atau lebih. Tapi hatinya menjerit. Meski berulang kali Kinna menolaknya. Matanya tetap panas dan basah. Ki, lo nggak boleh. Nggak! Kinna memaki dalam hati. Dan hatinya tetap teriris pedih.

Aku mau kamu nikahin aku, Kal. Secara sah di mata hukum dan agama. Di depan Tante Donna, di depan semua orang. Tapi kenyataan menamparnya. Kinna berada di sini. Melihat Kalla dan Thalia melakukan fitting. Untuk pernikahan yang dimimpikannya. Pernikahan yang sebenarnya bersama laki-laki itu. Kinna menginginkannya juga.

Tapi, siapa dirinya. Tanpa sadar pandangannya kabur. Hanya bisa meraba permukaan lembut rancangan kebaya mahal di depannya. Pasti ini sangat mahal. Berbeda dengan  yang dipakainya di Sukabumi dulu.

“Eh, Ki, Ki, lihat deh, ini bagus, tahu! Coba besok kamu kalau mau nikah, ke butik ini juga!” Donna menyenggol lengannya. “Sayang? Kinna, sayang? Tante, kan, lagi ngomong. Kok kamu malah ngelamun?”

Kinna buru-buru menyambar matanya, menghapus kasar basah di sana. “Eh, i— iya, Tan...”

“Loh, kamu nangis, Ki?” Kinna kelabakan, tapi Donna malah tersenyum menenangkan. “Kamu pasti terharu, ya, kembaran kamu mau nikah? Ih, sama. Tante juga terharu banget lihat Kalla mau nikah. Akhirnya, ya, Ki. Sini peluk dulu.”

Kinna mengangguk, menarima rangkulan Donna. “Iya, Tante. Seneng banget.”

“Makanya kamu buruan nikah juga, ya? Biar nyusul Kalla, ya, sayang,” hibur Donna, “Tante udah nggak sabar. Nanti pokoknya Tante yang bakal jadi ketua panitia di acara nikahan kamu, ya?”

“Ih, Tante bisa aja, deh. Masih lama juga. Jodohnya lagian siapa?” meski dalam hati Kinna berteriak. Ingin menangis juga. Tante, tapi Kinna udah nikah sama Kalla, Tan. Kalla itu suami Kinna, Tan. Tapi, meski dunia ini roboh sekalipun, Kinna tetap tidak akan mengucapkannya.

“Heh, dengerin Tante!” Donna menangkup gemas pipi Kinna. “Kamu itu cantik, Ki. Mana imut, gemesin lagi. Baik hatinya. Kamu pasti bakal dapat cowok yang baik. Percaya, deh, sama Tante. Nggak boleh ngomong gitu lagi, ya?”  

Kinna tersenyum mengelus tangan Donna. “Iya, Tante. Makasih, ya. Tante itu udah kayak Mama Kinna sendiri.”

Donna nyengir. “Iyalah, Tante itu Mama kamu. Kamu, kan, kembarannya Kalla. Eh—” senyumnya melebar, “Tante punya ide! Apa nanti biar Kalla yang cariin kamu jodoh? Temennya Kalla, kan, banyak.”

“Ih, Tante, apaan sih? Nggak perlu, ah!”

Kinna hanya tersenyum sendu. Untuk apa jika yang Kinna inginkan hanya Kalla seorang? Dan matanya kini mendapati Kalla di sudut ruangan. Tepat di depan ruang ganti kaca, sudah lengkap memakai pakaian jawanya yang berlapis beskap putih. Tampak gagah dan tampan seperti biasa. Membuat Kinna merasa deja vu, coba mengingat satu bulan lalu. Saat peristiwa pernikahan mereka di Sukabumi. Here we are, Kalla akan melakukannya lagi. Dengan Thalia tentu saja. Dan, ah, Thalia sangat mempesona di sampingnya. Seperti seorang princess kerajaan— yang tampil anggun menggunakan kebaya putihnya yang berkilauan. Mereka terlalu sempurna. Seperti sepasang kaca berlian yang mahal, dan Kinna tidak ingin merusaknya.

Lama Kinna melamun sampai sadar Kalla membalas tatapannya dari jauh. Mau tak mau membuat Kinna mengalihkan matanya. Mengubur semua air matanya dalam-dalam saat Donna menarik mendekat.

“Gimana, Tante?” tanya Thalia sambil memutar-mutar tubuhnya di depan cermin.

“You’re so beautiful, sayang! Nggak usah tanya! Betul, kan, Kal?” Tapi yang ditanya malah menatap Kinna lurus-lurus. Tajam menghujam membuat Donna tertawa sendiri. “Kalla gimana, Ki? Ganteng, kan? Cocok ya udahan Thalia sama Kalla.”

Dan meski Kinna tidak bisa henti membalas tatapan Kalla yang menancap penuh kesakitan. Senyumnya tetap terukir. Perlahan merapikan beskap Kalla yang sedikit terlipat. Menyentuh pundak laki-laki jangkung itu lembut.

“So handsome. And you look so beautiful, Thal. Hehe... Cocok banget. Kalian bakal jadi pengantin paling uwuu di pelaminan,” kekeh Kinna riang, “Ya, kan, Tante?!”

“Bener banget, Ki! Tante setuju banget sama kamu!”

Kalla hanya tertawa hambar menatap Kinna. “Hmm. That’s right, ya.

Kinna tahu dia ingin menangis saat itu juga. “Yes... Yes, of course.”

***

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Memorabillia: Setsu Naku Naru
7242      1923     5     
Romance
Seorang laki-laki yang kehilangan dirinya sendiri dan seorang perempuan yang tengah berjuang melawan depresi, mereka menapaki kembali kenangan di masa lalu yang penuh penyesalan untuk menyembuhkan diri masing-masing.
When I Found You
3226      1077     3     
Romance
"Jika ada makhluk yang bertolak belakang dan kontras dengan laki-laki, itulah perempuan. Jika ada makhluk yang sanggup menaklukan hati hanya dengan sebuah senyuman, itulah perempuan." Andra Samudra sudah meyakinkan dirinya tidak akan pernah tertarik dengan Caitlin Zhefania, Perempuan yang sangat menyebalkan bahkan di saat mereka belum saling mengenal. Namun ketidak tertarikan anta...
Antic Girl
144      120     1     
Romance
-Semua yang melekat di dirinya, antic- "Sial!" Gadis itu berlalu begitu saja, tanpa peduli dengan pria di hadapannya yang tampak kesal. "Lo lebih milih benda berkarat ini, daripada kencan dengan gue?" tanya pria itu sekali lagi, membuat langkah kaki perempuan dihadapannya terhenti. "Benda antik, bukan benda berkarat. Satu lagi, benda ini jauh lebih bernilai daripada dirimu!" Wa...
Vandersil : Pembalasan Yang Tertunda
393      289     1     
Short Story
Ketika cinta telah membutakan seseorang hingga hatinya telah tertutup oleh kegelapan dan kebencian. Hanya karena ia tidak bisa mengikhlaskan seseorang yang amat ia sayangi, tetapi orang itu tidak membalas seperti yang diharapkannya, dan menganggapnya sebatas sahabat. Kehadiran orang baru di pertemanan mereka membuat dirinya berubah. Hingga mautlah yang memutuskan, akan seperti apa akhirnya. Ap...
Heaven's Song
324      213     0     
Short Story
Kisah ini dideikasikan untuk : Orang-orang yang tanpa pamrih mendoakan dan mengharapkan yang terbaik. Memberi dukungan dengan ikhlas dan tulus. Terimakasih. Terimakasih karena kalian bersedia menunjukkan bahwa kasih tidak mengenal rentang waktu dan dimensi, Terimakasih juga karena kalian menunjukkan doa yang penuh kerendahan hati dan keikhlasan adalah hal yang terindah bagiNya.
ONE SIDED LOVE
1536      681     10     
Romance
Pernah gak sih ngalamin yang namanya cinta bertepuk sebelah tangan?? Gue, FADESA AIRA SALMA, pernah!. Sering malah! iih pediih!, pedih banget rasanya!. Di saat gue seneng banget ngeliat cowok yang gue suka, tapi di sisi lain dianya biasa aja!. Saat gue baperan sama perlakuannya ke gue, dianya malah begitu juga ke cewek lain. Ya mungkin emang guenya aja yang baper! Tapi, ya ampun!, ini mah b...
Just For You
6305      2053     1     
Romance
Terima kasih karena kamu sudah membuat hidupku menjadi lebih berarti. (Revaldo) *** Mendapatkan hal yang kita inginkan memang tidak semudah membalik telapak tangan, mungkin itu yang dirasakan Valdo saat ingin mendapatkan hati seorang gadis cantik bernama Vero. Namun karena sesuatu membuatnya harus merelakan apa yang selama ini dia usahakan dan berhasil dia dapatkan dengan tidak mudah. karen...
mutiara hati
762      330     1     
Short Story
sosok ibu
Venus & Mars
3623      1312     9     
Romance
Siapa yang tidak ingin menjumpai keagungan kuil Parthenon dan meneliti satu persatu koleksi di museum arkeolog nasional, Athena? Siapa yang tidak ingin menikmati sunset indah di Little Venice atau melihat ceremony pergantian Guard Evzones di Syntagma Square? Ada banyak cerita dibalik jejak kaki di jalanan kota Athena, ada banyak kisah yang harus di temukan dari balik puing-puing reruntuhan...
Anne\'s Daffodil
1101      422     3     
Romance
A glimpse of her heart.