Read More >>"> Call Kinna (BAB 11) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Call Kinna
MENU
About Us  

“What happened to you, baby?”

Tangisan Jelita adalah hal yang pertama didapat Kinna keesokan harinya. Selebaran amplop berlogo telah dilayangkan ke mejanya pagi ini. Telah dibubuhi tanda tangan dan cap basah. Kinna tidak perlu membukanya untuk tahu apa isi di dalamnya— yang menyatakan bahwa dia telah di-PHK dari perusahaan yang menghidupinya beberapa tahun terakhir ini. TB Grup yang dia cintai. Kinna bangga pernah menjadi bagian di sini.

Dan tangisan Jelita mengencang dalam pelukan Kinna. “Ki, what happened? Tell me, please!”

Kinna hanya memaksakan senyuman. “Nggak apa-apa, Je. Gue tahu, gue bakal dikeluarin hari ini.”

Gue nggak mau!” tangis Jelita lagi, “terus temen gue di ruangan ini siapa kalau bukan lo?! Ki, please, ini bohong, kan?”

“Jangan gitu, Je. Masih ada Roy, kok, di sini. Iya, kan, Roy?”

Royhan tentu memasang wajah tak kalah kusut. Meski sok tegar akhirnya mewek juga. “Kun! Siapa yang nyuruh lo pergi, ha?! Sini bilang ke gue! Biar gue hajar tuh orang! Siapa?!”

Mau tak mau Kinna tertawa masam. “Gue keluar karena emang kemauan gue sendiri, kok. Hihi. Santai. Kalian yang rukun, ya.”

“Jordan udah didepak, sekarang lo juga dipecat,” tawa Jelita sumbang, “apa bener ini ulah Pak Kaleng? Lo ada salah apa sama dia?”

Kinna menggeleng lesu.

“Pasti ada, kan?! Masalahnya apa?! Kalau gini ceritanya, lebih baik gue juga resign aja dari sini. Toh, lambat laun gue paling kena juga.”

“Nggak, Je, ini bukan gara-gara itu. Lo harus tetep di sini, oke?” Kinna kembali memeluk Jelita. “Gue mau pulang kampung, Je! Mau balik ke Sukabumi! Tempat orang tua gue! Gue mau tinggal di sana bareng Rumi! Kapan-kapan lo ke sana, ya? Tapi maaf, di sana itu perkampungan, Je, bukan perkotaan kayak di sini.”

Jelita makin mewek. “Huhuuu... Ki, stop saying that! I hate it!”

Royhan juga. “Sumpah, ya, Kun! Lo itu kayak cenayang! Datang nggak dijemput, pulang nggak dianter! Mau lo apa, ha?”

Kinna menepuk pundak Jelita dan Royhan bergantian. Lalu mulai membereskan barang-barangnya yang menghias di meja. Memasukkannya dalam kardus yang akan dia packing. Matanya perlahan basah memandang meja di hadapannya. Hampir bertahun-tahun dihabiskannya di meja ini untuk mengelola keuangan perusahaan. Sekarang dia harus mengucap selamat tinggal.

Mengapa rasanya menyakitkan?

Kinna menghela napas panjang. Setelah membereskan dua kardusnya di pojok ruangan. Langkahnya ragu-ragu menuju ruangan Kalla. Meski Kinna tahu hal ini akan terjadi, dia tetap menulis surat pengunduran diri. Sebagai tanda hormatnya. Ditatapnya amplop itu, sebelum akhirnya memberanikan diri melangkah.

Kinna turun dari lift tepat saat Niko keluar dari ruangan yang ditujunya. “Nik...” lirihnya penuh sesal.

Niko tersenyum prihatin. Menepuk pundaknya kuat-kuat, menyalurkan semangat di sana. Kinna jarang akur dengan teman segeng Kalla. Tapi hari ini, Niko benar-benar menatapnya tulus.  Tanpa ada hinaan dan ejekan. Tanpa sadar membuat Kinna terharu.

“I know who you are, Ki.”

 “Thanks, Nik. Thanks,” isak Kinna tanpa sadar memeluk Niko. “He hated me so much.”

“No, that’s dude not hate you! He’s just too fool!” Niko ikut terisak.

Leon menyusul dari jauh bersama Dipta. “You did well!” hiburnya. “If you need a help, just call us!”

“Kalla will miss his kelengkeng!” lirih Dipta.

“Thanks, Yon, Dip. I’ll miss you all!” tatapan Kinna teralih pada ruangan di depannya, “Gue harus pamit sama dia.”

Kinna sudah sejauh ini. Jadi, akan dia tuntaskan. Begitu suara-suara Niko dan yang lain tak terdengar. Diberanikan dirinya mengetuk ruangan itu. Dan teriakan Kalla bersambut dari sana. Masuk.

Kinna hanya memejamkan mata. Melangkah pelan-pelan, menemukan laki-laki itu sibuk mendekam di belakang layar laptop dengan sangat serius. Raut wajahnya keras dan dingin. Seolah tak ingin diganggu. Dan malah tampak tidak mempedulikannya sama sekali.

“Gue datang ke sini... mau...” Kinna meletakkan surat di tangannya ke meja Kalla. “Ini surat pengunduran diri gue. Tolong sampein, ya.”

Kalla mendengus dingin. “Surat pengunduran diri? Karena lo itu dipecat, bukan ngundurin diri. Jadi, nggak butuh surat-suratan segala.”

“Oh...”

“Gue rasa, lo juga udah nggak butuh kerjaan ini. Uang lo udah banyak. Buat apa kerja di sini segala? Lo bisa cari banyak uang dengan pekerjaan lainnya, kan, Nggun?!”

 Mati-matian Kinna menahan tangisnya dan tetap tersenyum. Kalimat Kalla adalah belati. Tajamnya menghunus hingga jantung. “Hm, tapi gue udah berhenti, Kal. Gue ke sini sekalian mau pamit sama lo. Gue mau pulang kampung, Kal. Gue udah nggak tinggal di sini lagi.”

Kalla hanya tersenyum. “Pulang kampung? Atau... pergi sama simpanan lo yang lain?”

Kinna tetap memaksakan senyum. “Thanks for all moment that we make together for many years. I’ll miss you.”

“Oke, udah ngomongnya? Lo boleh pergi!”

***

Malamnya hanya tercium bau asap rokok dan tumpukan botol bir dari kamar Kalla. Reval mengintip perlahan dari balik pintu. Mengamati kakaknya yang sedang berada di sudut balkon. Tengah bersender pada tembok sambil memainkan puntung rokok di tangan.

Reval geleng-geleng. Akhirnya melangkah disusul Starla di belakangnya.

“Mas Kal pecat Kinna?!” teriakan Starla adalah yang pertama ditangkap Kalla. “But why?! Heol, did she doing something wrong?!”

Kalla melirik sekilas adik pacarnya itu. Tanpa niatan menjawab.

“Mas, please! Gue tanya jawab, dong! Why?!” protes Starla lagi.

Reval mengangguki. “Iya, kenapa lo pecat Kinna?!”

“Bukan urusan kalian!”

“What?!” Starla berkacak pinggang. “Kinna is my cutie friend! What are you doing to her?!”

“Terus ngapa, La?! Temen lo banyak! Nggak usah temenan sama dia lagi!” Kalla meremas botol bekas bir di tangannya. “She deserved it! Dia sendiri yang minta dipecat!”

“Kalau Mama tahu, lo pasti kena marah!” sindir Reval, “Mama loving her like a daughter!”

“Gue udah bilang, that’s bitch pantes dapetin itu semua!”

Reval berdecak. “Jaga omongan lo, ya! Emang Kinna ngapain? Yang jelas kalau ngomong!”

“Siapa yang lo panggil bitch?! Ngaca!” sindir Starla muak, “Ayo, beib, kita pergi aja! Capek ngomong sama Masmu! Aku bisa darah tinggi!”

Reval mengangguk. Akhirnya menyeret Starla keluar. Kalla ingin membanting botolnya pada mereka.

“Yee, sana jauh-jauh!”

Dan bunyi getar ponsel dari meja samping Kalla terdengar. Kalla menatapnya tanpa minat.

My Thal

Kal?

Are you okay?

Udh brp hari km nggak balas pesanku, Kal

***

Sudah hampir dua jam lebih bus yang ditumpangi Kinna melaju. Jalan raya yang semula penuh kemacetan pelan-pelan sirna saat bus mulai melaju memasuki area dataran tinggi. Pelan-pelan menanjak. Menembus jalan raya berkelak-kelok di hadapannya yang terus meninggi.

Sekitarnya perbukitan hijau, hamparan luas sawah yang membentang, juga jurang-jurang terjal. Kinna melirik dari balik kaca jendela bus. Berdesakan dengan beberapa penumpang lain. Tempat ini rasanya sudah sangat asing. Hampir bertahun-tahun Kinna tidak kembali. Seingatnya sudah empat tahun berlalu. Kampung ini selalu membawa kenangan buruk baginya. Itulah mengapa dia tidak ingin mendatanginya atau bahkan sekadar mengingatnya.

Kinna ingin membuang jauh-jauh segala kenangannya dulu. Berharap bisa memulai hidupnya yang baru. Tapi ternyata dia salah. Sejauh mana pun dia melangkah, dia akan kembali juga. Dan dia juga akan mengambil Rumi kembali. Tidak akan membiarkan Rumi besar di sini selamanya. Rumi harus berkembang, menjelajahi dunia, dan dikenal sebagai orang sukses.

Rumi. Ya, dia harus segera menyelamatkan adik kecilnya itu. Tanpa sadar Kinna terisak mengingat percakapannya semalam.

“Rumi... Maafin Mbak, ya... Maafin Mbak... Mbak gagal dapetin uang itu...”

“Mbak... Huhuu... Tapi Rumi nggak mau! Rumi nggak mau nikah sama Kang Jamal!”

“Sssttt... Dengerin Mbak, ya... Kamu nggak bakal nikah sama Kang Jamal, Rum,” isakan Kinna tertahan kencang malam itu. “Mbak yang bakal nikah sama Kang Jamal, kok. Kamu tenang aja, ya, sayang? Kamu nggak usah. Rumi nanti duduk manis aja, ya, waktu Mbak nikah sama Kang Jamal?”

Tapi yang terjadi jerit tangis Rumi malah makin kencang. “Nggak! Aku nggak mau Mbak! Kalau gitu caranya, aku juga nggak mau! Kalau gitu, mending kita kabur aja, Mbak! Huhuuu... Aku nggak ikhlas! Aku nggak sudi kalau Mbak Kinna yang jadi taruhannya nikah sama Kang Jamal Aku nggak mau!”

“Sssttt.... Rum, dengerin Mbak...”

“Nggak, Mbak.... Nggak.... Huhuuu... Mbak Kinna!”

“Sssttt.... Rumi, sayang... Dengerin dulu.... Kalau Mbak, kan, emang udah saatnya nikah, Rum... Umur Mbak udah segini... Mbak udah makin tua, Rum... Kalau kamu, kan, masih muda, Rumi... Hidup kamu masih panjang, masih banyak hal yang harus kamu raih... Jadi biar Mbak aja, ya?”

“Nggaak... Nggaaak...” tangisan Rumi putus asa. “Rumi nggak mau Mbak! Rumi maunya... Mbak Ki nikah sama orang yang Mbak Ki cinta... Mas Kalla.”

Tangis Kinna makin kencang malam itu. “Rumi, jangan gitu...”

“Rumi tahu, Mbak cinta banget sama yang namanya Mas Kalla itu, kan? Rumi tahu, Mbak. Meskipun Rumi belum pernah ketemu yang namanya Mas Kalla, Rumi yakin dia pasti orang yang baik. Mbak selalu cerita tentang dia. Mbak cinta Mas Kalla itu.

“Rumi, jangan sebut nama itu lagi, ya? Itu nggak mungkin, Rumi. Mas Kalla itu udah punya calon istri, yang jauuuh segalanya dari Mbak. Dunia Mbak sama Mas Kalla itu beda, Rum. Nggak bisa bersatu. Jadi, kamu ngerti, ya?”

“Aku mau bilang sama yang namanya Mas Kalla! Aku punya nomernya Mbak!”

“Sssttt... Rumi, jangan, ya, sayang? Itu nggak sopan... Mas Kalla udah tunangan... Nggak baik ganggu laki-laki yang udah punya calon istri, sayang... Kita nggak boleh kayak gitu, ya...”

“Tapi, Mbak—”

“Mbak tetep bakal nikah sama Kang Jamal. Bilang sama Tante, ya? Besok Mbak pulang. Kamu duduk manis ya, Rum.”

“Kenapa.... Kenapa hidup jadi orang miskin selalu tertindas, Mbak?”

“Iya, kamu jadi orang sukses, ya, besok... Kamu harus kaya, punya uang banyak! Senyum, Rum!”

Dan isak tangis Kinna juga Rumi di seberang sana mengakhiri percakapan mereka malam itu.

Kinna mendongak, merasakan air matanya banjir lagi saat bus yang ditumpanginya semakin dekat ke area perkampungan. Tidak. Kinna ingin pergi dan kabur sejauh mungkin. Ingin waktu tiba-tiba statis dan berhenti. Tapi realita menamparnya kuat-kuat. Hingga bus benar-benar sampai ke kampung tempat dimana dia dilahirkan. Tempat di mana kontrakan rumahnya yang kecil berada.

Kinna menghela napas panjang, perlahan melangkah turun dari bus. Berjalan pelan-pelan sambil membawa tas jinjingnya yang besar. Kampung itu sedikit berbeda dari dulu. Makin hijau dan asri. Pemandangannya juga makin indah. Rasanya makin terawat. Bentangan hijau kokoh di sekelilingnya pun makin hidup. Tapi tetap saja, Kinna membenci kampung itu.

Langkah Kinna terhenti di pelataran tanah lapang depan rumahnya. Sebuah kol mengkilap yang mentereng tampak terparkir di sana. Kinna tidak perlu menebak untuk tahu siapa pemiliknya. Dan siul-siulan diiringi tepuk tangan langsung muncul dari sana.

“Uluh... Uluh... Calon istri Akang akhirnya datang! Eneng Kinnan, geulis pisan atuh, lama tidak berjumpa dengan Akang! Makin bening aja! Akang sampek pangling lho, ini! Duh, Akang sudah ndak sabar menikahi Eneng!”

Kinna mendecih melihat kelakuan Jamal. “Ewh!”

Sukma memukulkan kipasnya ke muka Kinna. “Eh, ini anak! Sama calon suaminya nggak sopan banget! Kang Jamal bakal nikahin kamu minggu depan! Inget itu! Awas ya kamu kalau kabur! Kamu udah janji kemarin, inget?! Kalau kamu ingkar janji, Rumi taruhannya!”

Jamal tersenyum miring. Perlahan maju menangkup pipi Kinna kasar. “Akang udah nggak sabar nikahin kamu, Neng!”

“Ah, lepas! Jangan pegang-pegang!” jerit Kinna emosi.

Tawa Jamal melengking. “Heh, berani kamu sama Akang! Kamu besok bakal jadi istri Akang dan akan melayani Akang setiap hari! Inget itu, Neng! Jadi, hormati Akang!”

Tanpa sadar Kinna menangis.

“Kamu sendiri yang menawarkan diri kemarin! Mau gantikan Neng Rumi! Akang dengan senang hati menerimamu!”

Sukma menatap Jamal penuh ampun. “Aduh, Kang, maaf, ya. Akang teh harusnya kawin sama Rumi, eh, malah jadinya sama ini, nih, si anak nggak tahu diri! Mana inget sama keluarganya di kampung! Udah pulang kampung nggak pernah, ngirim uang nggak pernah, seneng-seneng sendiri di luar kota! Di sini udah liar, di sana jadi makin liar! Jadi, bedalah sama Rumi yang lemah lembut! Maaf, ya, Kang! Sabar-sabar, Kang, nanti kalau punya istri pembangkang kayak gini!”

Tapi Jamal malah tersenyum goda. “Ndak apa-apa, Teh. Justru Akang malah semangat. Bener, kan, Neng! Akang sudah ndak sabar nikahi kamu, Neng! Siap-siap, ya!”

Kinna benar-benar ingin menjambak rambut Sukma. “Heh, Tante jangan bicara sembarangan, ya! Tante nipu aku!”

“Heh, udah, diem kamu! Lebih baik kamu masuk sana! Ikutin ritual buat persiapan nikah siri kamu dan Kang Jamal! Tante nggak mau tahu, kamu harus jaga sikap nanti!”

“Akang sudah siapkan sawah, tanah, dan kebun buat kamu sekeluarga. Tapi nanti kamu ikut tinggal sama Akang di kampung sebelah, ngerti?! Ndak ada penolakan! Ketika kamu jadi istri Akang, kamu milik Akang seutuhnya!”

Rumi yang baru muncul dari balik pintu berlarian sambil menangis. Di belakangnya ada Dimas yang menahan.

“Mbak Ki, kabur, Mbak! Kabur!” isaknya, “kita pergi aja dari sini, Mbak! Ayo, Mbak!”

Dimas mencak-mencak. “Eh, ini anak kecil enak aja! Mbakmu ini sudah digadaikan untuk jadi istrinya Kang Jamal! Ngerti kamu, Rum?!”

“Aku nggak mau! Mbak Kinna!” isakan Rumi terus mengencang. Seiring dengan tubuhnya yang berusaha berlari ke arah Kinna. Ingin memeluk, namun dihalangi Dimas. “Lepas, Yah! Aku mau sama Mbak Kinna! Mbak Ki!”

“Lepasin Rumi! Ayah, please!” Kinna ikut menangis juga. “Rumi, sayaaang! Mbak kangeeen, Rum!”

“Aku juga, Mbak!”

“Please, Yah, aku cuma mau peluk Rumi! Aku janji nggak bakal kemana-mana! Aku bakal ikutin semua kemauan kalian! Tapi jangan sakitin Rumi!”

Akhirnya Dimas melepaskan cengkraman tangannya dari Rumi. Remaja itu pun berlarian menerjang sang kakak, memeluk erat, dan menangis kencang di sana.

“Mbak Kinna! Huhuuu... Mbak!”

“Mbak kangen kamu, Rum! Are you okay?!”

“Aku nggak mau Mbak nikah!”

Sukma menatap sinis kakak beradik yang tengah berpelukan itu. “Ya, kalau kamu nggak mau Mbakmu nikah, berarti kamu yang nikah, Rum! Gampang, kan?”

Kinna menggeleng terisak. “Nggak... Nggak apa-apa... Kamu senyum, dong. Besok kamu dandan yang cantik waktu Mbak nikah, ya? Mbak nggak mau didandanin sendiri, Rum.”

Tapi Rumi malah menangis.

“Janji, ya?! Janji dulu!”

Jamal tertawa puas. “Tenang aja, Neng Rumi. Neng Rumi bakal jadi adik iparnya Akang, artinya Akang juga bakal beliin apapun yang Neng Rumi mau! Neng Rumi tinggal bilang!”

“Tuh, denger, kan, Rum?” tawa Sukma membahana.

“Nggak! Aku nggak sudi!” jerit Rumi.

“Rumi, janji, ya, sama Mbak?” rayu Kinna lagi.”

“Mbak—”

“Janji, ya, janji!”

***

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Broken Promises
889      582     5     
Short Story
Janji-janji yang terus diingkari Adam membuat Ava kecewa. Tapi ada satu janji Adam yang tak akan pernah ia ingkari; meninggalkan Ava. Namun saat takdir berkata lain, mampukah ia tetap berpegang pada janjinya?
(Un)Dead
595      325     0     
Fan Fiction
"Wanita itu tidak mati biarpun ususnya terburai dan pria tadi一yang tubuhnya dilalap api一juga seperti itu," tukas Taehyung. Jungkook mengangguk setuju. "Mereka seperti tidak mereka sakit. Dan anehnya lagi, kenapa mereka mencoba menyerang kita?" "Oh ya ampun," kata Taehyung, seperti baru menyadari sesuatu. "Kalau dugaanku benar, maka kita sedang dalam bahaya besar." "...
Warna Untuk Pelangi
7605      1596     4     
Romance
Sebut saja Rain, cowok pecinta novel yang dinginnya beda dari yang lain. Ia merupakan penggemar berat Pelangi Putih, penulis best seller yang misterius. Kenyataan bahwa tidak seorang pun tahu identitas penulis tersebut, membuat Rain bahagia bukan main ketika ia bisa dekat dengan idolanya. Namun, semua ini bukan tentang cowok itu dan sang penulis, melainkan tentang Rain dan Revi. Revi tidak ...
Dialektika Sungguh Aku Tidak Butuh Reseptor Cahaya
427      303     4     
Short Story
Romantika kisah putih abu tidak umum namun sarat akan banyak pesan moral, semoga bermanfaat
Lalu, Bagaimana Caraku Percaya?
111      83     0     
Inspirational
Luluk, si paling alpha women mengalami syndrome trust issue semenjak kecil, kini harus di hadapkan pada kenyataan sistem kehidupaan. Usia dan celaan tentangga dan saudara makin memaksanya untuk segera percaya bahwa kehidupannya segera dimulai. "Lalu, bagaiamana caraku percaya masa depanku kepada manusia baru ini, andai saja jika pilihan untuk tak berkomitmen itu hal wajar?" kata luluk Masal...
DEWDROP
1026      527     4     
Short Story
Aku memang tak mengerti semua tentang dirimu. Sekuat apapun aku mencoba membuatmu melihatku. Aku tahu ini egois ketika aku terus memaksamu berada di sisiku. Aku mungkin tidak bisa terus bertahan jika kau terus membuatku terjatuh dalam kebimbangan. Ketika terkadang kau memberiku harapan setinggi angkasa, saat itu juga kau dapat menghempaskanku hingga ke dasar bumi. Lalu haruskah aku tetap bertahan...
Moment
292      253     0     
Romance
Rachel Maureen Jovita cewek bar bar nan ramah,cantik dan apa adanya.Bersahabat dengan cowok famous di sekolahnya adalah keberuntungan tersendiri bagi gadis bar bar sepertinya Dean Edward Devine cowok famous dan pintar.Siapa yang tidak mengenal cowok ramah ini,Bersahabat dengan cewek seperti Rachel merupakan ketidak sengajaan yang membuatnya merasa beruntung dan juga menyesal [Maaf jika ...
SUN DARK
375      232     1     
Short Story
Baca aja, tarik kesimpulan kalian sendiri, biar lebih asik hehe
REMEMBER
4156      1254     3     
Inspirational
Perjuangan seorang gadis SMA bernama Gita, demi mempertahankan sebuah organisasi kepemudaan bentukan kakaknya yang menghilang. Tempat tersebut dulunya sangat berjasa dalam membangun potensi-potensi para pemuda dan pernah membanggakan nama desa. Singkat cerita, seorang remaja lelaki bernama Ferdy, yang dulunya pernah menjadi anak didik tempat tersebut tengah pulang ke kampung halaman untuk cuti...
Istri Tengil Gus Abiyan
430      318     4     
Romance
Sebelum baca cerita author, yuk follow ig author : @Safira_elzira, tiktok: @Elzira29. Semua visual akan di poating di ig maupun tiktok. •••●●••• Bagaimana jadinya jika seorang gadis kota yang tiba-tiba mondok di kota Kediri jawa timur. Kehiudpan nya sangat bertolak belakang dengan keseharian nya di Jakarta. Baru 3 minggu tinggal di pesantren namun tiba-tiba putra pemilik kiayi m...