“Widih, the new Cendol has born!”
Niko berdecak, geleng-geleng sendiri mendengar gosip santer yang sejak pagi tadi numpang lewat di divisinya. Ternyata benar, si Cendol itu sudah berubah sekarang. Ampun, silau, deh, lihatnya.
Dirangkulnya bahu Kalla. “What’s wrong with her, dude?!”
Kalla menghela napas panjang. “I don’t know.”
Niko menatap Kalla curiga. Kalla membalas tatapan itu. Kernyitan keduanya mengembang. Saling melempar pikiran masing-masing. Kalla tidak mau mengakui, meskipun agak brengsek, tapi Niko adalah satu-satunya orang yang paham isi otaknya. Karena mereka satu pikiran dalam banyak hal.
“Seriously she changed like this just because of Jordan?” tanya Niko sangsi.
Kalla mendengus. “Dan lo pikir gue tahu, Nik?!”
“Dude, is your brain functioning now? Let’s think,” suara Niko melirih, “apa ada cewek yang, maap nih, biasa aja kayak Cendol, tahu-tahu berubah kayak gitu? Uang dari mana? Pasti ada alasan dan sesuatu yang mendasari di balik itu semua, kan, dude? Tapi, apa?”
“Tau ah, pusing! Ck, kenapa gue harus peduli!”
“Tapi lo pasti peduli,” tawa Leon menyahut dari seberang, “karena dia kembaran lo yang beda rahim. Ikatan kalian itu kuat. Iya, kan, Bor?!” liriknya pada Niko.
Niko mengangguki, “Lo itu tsundere, Kal! Nggak nyadar?! Cuek-cuek tapi perhatian. Udah berasa abangnya Cendol aja. Protektif-nya kebangetan! Jatohnya nyeremin!”
Dan sindiran menguar dalam ruangan kerja Niko. Kalla menutup telinganya rapat-rapat.
***
Suasana hening dalam perjalanan pulang dari dinner malam itu. Kinna menatap kosong kemacetan dari balik kaca jendela mobil Erick. Menghela napas panjang diliriknya laki-laki dewasa yang tengah fokus menyetir di sampingnya itu. Erick tersenyum-senyum sendiri entah karena apa, sesekali sebelah tangannya yang tidak menyetir menggenggam tangan Kinna.
“Om, aku nggak mau nanti tiba-tiba kecelakaan, ya!”
Erick tersenyum, mencubit pipi Kinna gemas. “Iya, Nggun! Kamu kenapa, sih, dari tadi judes melulu? Senyum dong, sayang!”
Kinna tentu cemberut. “Abisnya tas aku diminta adik aku, Om. Jadi sekarang tas dari Om itu udah lenyap,” bohongnya.
Kinna menggigit bibir. Ternyata dia sudah seperti tupai yang pandai berbohong dan menipu orang. Padahal mah tas itu sudah dia jual lagi dan uangnya dia masukkan ke tabungan untuk Rumi.
“Ya ampun, jangan nangis, Nggun. Om belikan lagi, ya? Mau?” rayu Erick, “kamu jangan sedih, dong, sayang. Bilang kalau mau lagi. Om pasti belikan apapun yang kamu mau..”
“Bener?” tanya Kinna kembali ceria.
“Iya, dong, sayang. Tapi besok, ya, belinya. Setelah kita pulang dari main golf. Om ada janji main golf sama temen Om. Kamu temenin, ya?”
“Oke, deh, Om. Tapi janji, ya, besok beliin aku tas yang baru?”
“Iya, Nggun, apa sih yang nggak buat kamu?”
Senyuman Kinna mengembang. Uangnya akan semakin bertambah.
***
Seharusnya Kalla tidak berada di sini malam ini. Tidak di arena golf VIP yang biasa dipakai Tomi untuk latihan sekaligus bertanding bersama rekan-rekan bisnis papanya itu. Jujur saja, Kalla lebih suka pergi ke arena golf yang lain. Selain karena konsep dua arena ini berbeda. Arena golf favorite-nya lebih modern dan beken, sedangkan arena tempat papanya lebih mentereng nan eksklusif untuk para pejabat. Berhubung Tomi mendapat ajakan tanding golf dengan salah satu rekan bisnis, tapi berhalangan hadir. Akhirnya Tomi memintanya untuk menggantikan. Tentu saja meski Kalla malas, Kalla tetap harus menyanggupinya, kan? Dan di sinilah dirinya sekarang ditemani Niko.
“Dude,” desah Niko sebal. “Why we should playing golf at midnight like this? It’s so boring, huh!”
“Lo diem bisa nggak?” Kalla mendesis, “kalau nggak ikhlas, balik sono! Nggak butuh gue!”
Niko memajukan bibir, “Ampuun, ini anak! Sabar, Nik! Ayo, sabar!” hiburnya pada diri sendiri, “Gue tahu sekarang, kenapa Kinna udah nggak tahan lagi temenan ama lo! Omongan lo pedes, dude! Tahan banget ya dia ngadepin lo bertahun-tahun lamanya! Maybe, her patience was running out now!”
“Dibilang jangan ngemeng mulu! Dan jangan bahas Cendol! Gue nggak mood denger namanya malem ini!”
Niko mencibir lagi. Malas-malasan mengeluarkan peralatan golf dari bagasi mobil. Lalu menyusul langkah cepat Kalla di hadapannya. Menyusuri arena bukit golf yang mulai tampak di sekeliling mereka.
“Yang mana, deh, kenalan bokap lo?”
Kalla menyugar rambutnya, memasang topi dan membenarkan kacamata hitamnya sekilas. Sambil menatap sekeliling, kernyitannya muncul, “Gue juga nggak tahu.”
“Sana, yuk, dude,” perintah Niko sambil merapikan topinya juga. “Kalau kita menang, dapet apa, nih?”
Kalla berbisik.
“Wow, sounds good! Gue nggak sabar!”
Akhirnya Kalla memutuskan menelpon kontak yang dikirimkan papanya siang tadi. Erick Hadi. Namanya Pak Erick. Kalla langsung ingat sekarang. Erick itu salah satu partner rekan bisnis papanya yang baru. Baru saja menandatangani kontrak kerja sama antar perusahaan. Kenal juga baru seumur jagung. Makanya Tomi ingin menjalin pertemanan lebih dalam lewat acara-acara kecil begini. Meski Kalla kesal karena ujung-ujungnya dia juga yang kena.
“Eh, dude, ada Om-Om tuh lagi cipokan ama ABG!” Niko geleng-geleng.
Kalla ikut mendongak menatap arah yang ditunjuk Niko. Perasaannya saja, atau memang perempuan di rangkulan si Om itu seperti tidak asing. “Ck, kayak nggak tahu aja lo, Nik! Om-Om gitu haus belaian!”
Kalla ikut mengalihkan mukanya saat adegan di depannya makin panas. Kedua pasangan itu mulai bercumbu mesra. Bahkan tangan si laki-laki menggerayangi tubuh si perempuan muda.
“Cabut aja, Nik! Salah tempat kayaknya!”
“Yah, lagi seru juga!”
Kalla baru akan menyimpan stick golf-nya kembali saat tiba-tiba perempuan itu melepas ciuman. Sedikit menghadap ke arahnya. Sampai Kalla sadar sesuatu. Bentuk tubuh mungil, kulit seputih susu, pipi chubby, imut seperti anak kecil. Kesetanan Kalla melepas kacamata hitamnya. Dan pandangannya tidak salah. Perempuan itu... Perempuan itu...
Seketika stik golf di genggaman Kalla berdebam jatuh. Menimbulkan bunyi yang keras. Dan perempuan itu ikut terlonjak, menoleh ke arahnya. Lalu tatap mata mereka tak bisa dielakkan. Dentuman emosinya membara.
“Kinnanthi!”
***
Jika Riris sering berkata bahwa menjadi simpanan laki-laki kaya raya akan membuatnya banjir keuntungan. Maka, Kinna membenarkan hal ini. Berkat Erick, dirinya jadi tahu apa itu yang namanya arena golf kelas atas. Sebuah perbukitan hijau yang luas membentang. Berkelak-kelok indah nan terjal. Dengan berbagai fasilitas yang menemani selama permainan.
Tanpa sadar Kinna tersenyum. Golf selalu mengingatkannya pada Kalla. Laki-laki itu suka main bowling, kartu remi, monopoli, basket dan juga golf. Tapi sayang, Kalla tidak pernah mengajaknya ke arena golf. Tidak pernah menunjukkan pada Kinna betapa serunya permainan satu ini. Dirinya hanya selalu menjadi tumpahan keringat laki-laki itu saat butuh lawan main basket. Atau teman ngopi sampai pagi sambil main remi. Sisanya makan-makan lesehan ala warung tenda macam tongseng kambing favorit mereka.
Sedangkan hal-hal manis seperti main golf bersama, dinner di tempat-tempat spesial. Urung laki-laki itu lakukan. Tapi Kinna sering mendengar, kalau Kalla kerap mengajak pacar-pacar mainannya melakukan itu semua. Kinna jadi berpikir, betapa spesialnya gadis-gadis itu bagi Kalla. Tidak seperti dirinya yang hanya dianggap sebagai sahabat tomboi atau perempuan jadi-jadian.
Dan menghabiskan waktu di arena golf ini sedikit menghibur Kinna. Sejak tadi dengan riang dia melakukan pukulan pada sasaran hole. Erick yang mengajarinya. Wow, Kinna tidak pernah sebahagia ini bermain sesuatu. Apalagi dia bisa bermain sepuasnya tanpa diganggu karena Erick sengaja memesan private arena.
“Nggun, seneng banget kamu?”
“Hihi... Iya, Om, asyik banget. Aku boleh pukul lagi?”
“Ya, boleh, dong! Pukul terus sampe kamu puas!”
Kinna melakukan satu pukulan lagi. “Yah, nggak berhasil.”
“Gini, Anggun kesayangan Om,” tuntun Erick lembut, mulai memposisikan diri di belakang Kinna, memeluk tubuh mungilnya, dan mengapit genggamannya pada stik. “Mundur lagi, Nggun.”
Diam-diam Kinna mematung. Mulai tidak suka jika Erick curi-curi kesempatan. Bahkan meremas pahanya di bawah. Kinna menepisnya kasar. “Aku nggak suka, ya, kalau Om mulai! Aku mau diajari main golf!”
“Bosen, Nggun, main golf melulu,” bisikan Erick penuh goda, “Main yang lebih seru, yuk,” dan pelukannya makin kuat.
Kinna menahan tangis, “please, Om...”
“Kamu lupa Om udah keluarin berapa buat kamu? Hampir delapan puluh juta. Kamu masak nggak mau kasih hadiah kecil-kecilan gitu buat, Om?”
“Tapi, di perjanjian...”
“Ayolah, kamu butuh uang berapa, sih, sebenernya, Nggun? Masih kurang? Om tambahin lagi.”
“Kalau gitu, kasih aku seratus juta. Cash. Besok, Om?”
“Seratus juta aja, Nggun? Itu, mah, kecil buat Om. Tapi akhir pekan kita ke luar kota, ya? Om mau liburan berdua sama kamu.”
Kinna merasakan matanya perlahan basah. “Oke, aku mau,” katanya pada akhir, gemetaran.
Senyuman miring Erick terbit. Dan Kinna tidak bisa menolak saat bibirnya dicium paksa. Tubuhnya terlalu lemas dalam cengkraman kuat Erick. Tidak bisa berkutik. Meski separuh dirinya melakukan penolakan. Tapi berakhir pasrah di sana. Tangisannya menderas saat bibir Erick mulai menjelajahi bibirnya.
Kinna benci pada dirinya sendiri. Dirinya yang murahan dan menjijikkan. Juga hina dan kotor. Dia bersumpah jika setelah semua ini selesai, Kinna hanya ingin pulang. Menemui Rumi dan mengajaknya pergi. Kabur sejauh mungkin. Pergi dari dunianya yang telah rusak di sini. Memulai semua yang baru. Kalla beruntung memiliki Thalia. Dan Jordan tidak pantas mendapatkan perempuan murahan sepertinya. Jadi, dia harus pergi.
Hingga saat Erick memutuskan ciumannya, Kinna masih menangisi diri sendiri. Matanya kabur. Pandangan di sekitarnya buram. Tapi dia merasa diawasi di sana. Bayangan itu membentuk Kalla. Menatapnya dalam jarak yang jauh. Terus-terusan menghina bitch.
Kinna tertawa dalam hati. Bahkan saat dia menangisi segala kebodohannya pun, bayangan Kalla turut menghantui. Sampai Kinna sadar bayangan itu perlahan mendekat. Lama-lama menjadi dekat dan... nyata.
Kalla? Tanpa sadar Kinna terkesiap. Bayangan itu benar-benar Kalla. Kalla. Kalla di sana. Menatapnya dengan tatapan tajam yang membunuh. Kinna seperti ditembak dari jarak jauh hingga nyawanya dicabut ke atas. Dan ketika langkah Kalla terhenti di depan mereka, tubuhnya seperti patung yang siap dihancurkan.
Erick malah tertawa menyadari kehadiran Kalla. “Oh, biar saya tebak! Sakalla Tanubradja?!”
Mau tak mau Kalla tertawa dingin, “Pak Erick Hadi?” tebaknya.
“Ya, betul! Wah, kamu mirip sekali dengan Pak Tomi, ya! Dari jauh saya langsung bisa mengenali!”
Tapi Kalla hanya terus memasang senyuman dingin sebelum berbalik pergi. “Sepertinya kita batalkan saja, Pak Erick.”
“Kal...” lirih Kinna berusaha mengejar. “Gue bisa jelasin...”
Kalla tidak pernah menangis. Tapi kali ini, laki-laki itu benar melakukannya. Tatapannya sarat luka dan kecewa. Kinna tidak sanggup lagi melihatnya.
“Kal...”
“Kinnanthi…” Kalla tertawa sinis menghapus kasar air matanya. “Apa yang gue lihat dengan kepala mata gue sendiri, udah menjelaskan semuanya! Oh, sekarang gue tahu! Gue tahu! Kenapa lo tiba-tiba berubah kayak gini?! Jadi Kinna yang nggak gue kenal! Jadi bitch yang murahan dan nggak ada harganya!”
Kinna hanya diam menangis.
“Yang tiba-tiba bisa dandan, punya uang banyak, barang-barang mahal?! Ternyata... Selama ini... Wow, you’re such a great little bitch! That I ever know! Bawa-bawa Jordan untuk tutupin semua kebusukan lo? I told you before, bahkan Jordan aja nggak pantas lo!”
“Kal...”
“Dan jangan panggil nama gue lagi! You and me are ended now!”
terlalu menyakitkan baginya. Terduduk, Kinna menangis putus asa di pelataran parkir.
***