Sore harinya keadaanku mulai membaik. Meski bengkak di jemariku belum kempis, tapi aku merasa tubuhku tidak selemah atau selelah tadi pagi. Tentu obat dan tidur siang yang juga membantu memulihkan rasa lelahku. Sepulangnya tadi dari puskesmas, aku buru-buru mengambil ponselku di kamar, lalu dengan segera pula aku keluar. Aku memberi tahu Siska—teman semeja—bahwa dua hari ini aku tidak masuk sekolah karena sakit. Aku pula masih takut dan khawatir ada hewan yang bersarang dalam ruang pribadiku itu, maka setelah itu aku belum juga berani masuk ke kamarku lagi.
Ibu yang sebenarnya flu sampai lupa berobat di puskesmas karena terlalu mengkhawatirkanku. Maka saat turun dari angkot, Ibu membeli obat di warung ujung gang. Aku jadi merasa bersalah mengapa ikut-ikutan terlupa dengan kesehatan Ibu, sementara Ibu malah sebaliknya terhadapku.
Bapak dan Kak Leni sudah pulang bekerja dan kini kami semua berada di ruang tengah. Ibu baru saja menaruh nampan berisi empat gelas beling dan seteko teh manis hangat ke meja di hadapan kami.
“Diminum dulu teh manis hangatnya.” Ibu duduk di sebelah Bapak.
Kak Leni yang duduk di seberangku langsung meraih salah satu gelas, yang kemudian dia tuangkan teh manis hangat dari teko ke gelas tersebut. Uap masih mengepul dari permukaan minuman itu dan dari mulut teko. Tanpa meniup permukaan teh di gelas di genggamannya, cewek berambut lurus sepunggung itu menyeruputnya perlahan. Dia yang kulitnya putih—seperti Bapak—tampak sekali menikmati tehnya.
“Bapak, tolong cek kamar Naya ya,” pinta Ibu sambil menuangkan teh dari teko ke gelas untuk Bapak.
“Emangnya ada apa, Bu?” Bapak menyambut gelas berisi teh yang disodorkan oleh Ibu.
“Takutnya ada binatang,” jawab Ibu.
“Paling nyamuk, Bu,” imbuh Kak Leni sembari menaruh gelas ke meja.
“Binatang apa yang Ibu maksud?” Bapak bertanya lagi setelah menyeruput teh hangatnya. Ditaruhnya gelas itu ke meja.
“Paling kecoak, Pak,” imbuh Kak Leni lagi, tapi kali ini disudahi dengan terkekeh. Dia meraih remote televisi untuk mengganti acara berita.
“Kamu tuh bercanda aja, Len,” ucap Ibu agak kesal.
Kak Leni tidak menanggapi perkataan Ibu, dia langsung fokus pada acara yang disaksikannya.
“Hari ini Naya gak masuk sekolah karena jari-jari tangannya bengkak,” tutur Ibu kemudian.
“Bengkak ...?” Kening Bapak mengernyit dengan pandangan yang tertuju ke arahku. Wajahnya seolah meminta bukti.
Aku memperlihatkan kedua tanganku.
“Kok bisa bengkak kayak gitu?”
“Maka dari itu, Pak, Ibu khawatir ada binatang yang bikin jari tangan Naya bengkak kayak gitu,” jelas Ibu menjawab pertanyaan Bapak.
“Binatang apa yang bisa bikin bengkak begitu, Bu?”
“Mana Ibu tahu, makanya Ibu minta Bapak tuk periksa kamar Naya. Sepulang dari puskesmas tadi pagi, Naya belum berani masuk ke kamarnya lagi.”
“Gak mungkin ada ular, ‘kan?” Wajah Bapak terlihat ngeri.
“Saya gak tahu, Pak,” kataku sambil menggeleng.
“Kalo ular itu pasti berbisa.”
“Gak juga, Pak,” Ibu menimpali perkataan Bapak. “Ada kok ular yang gak berbisa, dan mungkin cuma bikin bengkak kayak gitu,” lanjutnya menerangkan sekaligus menerka perihal ular tak berbisa.
Bapak menelan ludah. Jakunnya naik-turun. “Ya udah, nanti Bapak periksa, deh,” katanya kemudian.
“Kenapa gak sekarang sih, Pak?”
“Bapak masih capek,” jawab Bapak. “Bapak istirahat sebentar dululah, Bu,” sambungnya meminta pengertian Ibu.
“Iya, Bu, biarin Bapak istirahat dulu,” aku menengahi mereka.
“Kamu kenapa, Nay?” tiba-tiba Kak Leni bertanya.
“Ini.” Aku mengulurkan kedua tanganku ke depan.
“Wah ... bengkak begitu jari-jari kamu. Ada kebiruannya juga, ya?” Kedua mata Kak Leni masih memperhatikan jemariku.
“Hmm,” gumamku sambil mengangguk.
“Wah ... itu sih dijilat setan, Nay.” Kak Leni terkekeh.
Aku menarik kembali kedua tanganku ke pangkuan. Kak Leni gemar sekali meledekku. Kali ini sebenarnya aku sebal dibercandai seperti itu, tapi memang begitulah Kak Leni. Kukira dia serius memperhatikan jemariku dengan saksama, rupanya malah begurau.
Sementara itu, Bapak juga tertawa mendengar ucapan Kak Leni. Hanya Ibu yang mengomeli Kak Leni, tapi kakakku malah berdiri sambil berujar ingin mandi.
***
Salam kenal kakak penulis, aku mulai membaca
Comment on chapter Prolog