Pertengahan tahun 2014.
Aku terbangun dari tidur di pagi hari. Badanku terasa pegal-pegal. Entah kenapa hari ini aku merasa lemah. Mungkin aku sedang kelelahan. Aku memang sudah kelas dua belas, jadi sepulang sekolah kadang aku dan teman-teman mengadakan belajar kelompok. Aku mengerjap-ngerjapkan kedua mata seraya mengumpulkan tenaga. Sambil mengembuskan napas panjang, aku bergerak perlahan untuk duduk. Kulihat jam dinding menunjukkan pukul 06.25 WIB, artinya tiga puluh lima menit lagi bel masuk sekolah berbunyi. Biasanya pagi-pagi sekali aku sudah bangun, tapi kali ini aku kesiangan. Astaga!
Kedua kakiku langsung turun ke lantai. Tanpa pikir panjang lagi aku melangkah menuju pintu karena kamar mandi berada di lantai bawah. Tumben sekali Ibu tidak membangunkanku. Biasanya Ibu tidak akan membiarkan aku telat ke sekolah.
Tok! Tok! Tok!
Aku agak kaget karena tiba-tiba pintu kamar diketuk. Apalagi, tangan kiriku sedang mengucek-ucek mata yang kututup, sementara tangan kananku sudah memegang gagang pintu.
“Nay! Naya ...! Bangun, Nak!” seru Ibu terdengar panik. “Maaf, Ibu gak enak badan, jadi kesiangan!” sambungnya menjelaskan.
Aku membuka mataku kembali seraya menurunkan tangan kiriku. Kemudian kuputar gagang pintu sambil menyahut, “Gak apa-apa, Bu.”
Pintu terbuka.
“Ayo lekas mandi,” kata Ibu.
Kututup mulutku yang menguap. Rasa kantuk memang masih menyergap.
“Nay, tangan kamu kenapa?” Ibu bertanya dengan wajah yang begitu heran.
Spontan aku melihat tangan kiriku. Astaga! Kali ini bukan hanya Ibu yang terkejut. “Saya gak tahu, Bu,” jawabku sembari menggelengkan kepala.
Kuluruskan kedua tanganku ke depan. Kami berdua melihat jemariku yang bengkak. Sepuluh jariku tampak seperti sosis. Kulitnya mengilap. Di ujung jari telunjuk dan tengah tangan kanan berwarna kebiruan, sementara hal yang sama terlihat di jari manis dan kelingking tangan kiri.
“Sakit?” Ibu menyentuh tanganku dengan hati-hati. Dipandangnya jemariku itu dengan saksama.
“Enggak,” jawabku sambil menggeleng.
Aku coba mengepal tangan, tapi tak bisa. Aneh. Tidak terasa sakit sama sekali, tapi mengapa bisa bengkak seperti ini? Aku terus bertanya-tanya dalam hati.
“Atau jangan-jangan kamu digigit binatang?” terka Ibu.
“Binatang ...?” Keningku mengernyit. Aku jadi membayangkan ada hewan—entah apa—yang bersarang di dalam kamarku. Aku jadi ketakutan.
“Mungkin serangga,” jelas Ibu masih menerka, “atau—”
“Entahlah, Bu,” aku menyela perkataan Ibu.
Gara-gara itu aku terlupa berangkat ke sekolah. Ibu pun tak ingat lagi kalau aku sudah terlambat. Dan memang itu mendadak jadi tak penting.
“Lekas ganti baju, atau pakai sweter aja. Kita ke puskesmas.” Ibu membalikkan badan, lalu melangkah ke sudut kiri. “Ibu tunggu di bawah, Nay,” katanya lagi sambil menuruni anak tangga.
Dengan terburu-buru aku mengambil pakaian di lemari, lalu ke lantai bawah. Aku bergegas bukan hanya ingin cepat sampai di puskesmas, tapi juga karena aku masih membayangkan ada hewan yang menjijikkan atau pula menyeramkan ada di kamarku.
Aku terlahir di keluarga yang sederhana. Kamarku di lantai atas bukanlah karena rumahku mewah, tapi justru itu solusi karena rumahku kecil. Di lantai bawah ada ruang tamu yang tak besar. Di ruang tengah—yang luasnya sama seperti ruang tamu—di ujung kirinya ada kamar Bapak dan Ibu, sementara di seberangnya ada kamar Kak Leni. Sedangkan di ruang belakang ada dapur dan kamar mandi.
“Nay, gak usah mandi,” kata Ibu yang sepertinya duduk di bangku dekat meja dapur. Sementara aku sedang mengganti pakaian di kamar mandi. “Cuci muka aja, Nay,” sambungnya.
Ibu benar-benar mengkhawatirkanku. Sebenarnya aku juga panik mendapati jemariku bengkak entah karena apa, tapi tak bisa kumungkiri ada bahagia yang bersemayam dalam dadaku saat itu. Ya, Ibu begitu menyayangiku. Memang seperti itulah Ibu.
“Nay, apa kamu kesulitan mengganti baju?”
Kali ini aku menebak Ibu berdiri di depan pintu kamar mandi. Sepertinya Ibu sudah tak sabar menungguku. Aku sudah rapi mengenakan celana jeans berwarna krem dan kaus putih yang kini kubalut dengan sweter hitam.
“Saya bisa, Bu.” Kubuka pintu kamar mandi. Aku tersenyum tipis melihat Ibu yang berdiri di depan pintu kamar mandi.
“Ayo cepat.” Ibu meraih lengan kananku. Kemudian kami menuju puskesmas menggunakan angkutan umum.
***
Puskesmas masih tutup, sementara orang yang hendak berobat sudah mulai berdatangan. Ibu menggerutu di samping kiriku ketika kami baru saja duduk di bangku kayu panjang di area parkir motor. Beberapa orang juga menunggu tak jauh dari kami.
“Udah jam setengah delapan masih tutup,” keluh Ibu.
“Sabar, Bu,” kataku.
“Iya, tapi ini ‘kan udah siang. Lihat aja tuh orang-orang udah pada datang,” timpal Ibu.
“Mungkin bukanya jam delapan, dan emang kitanya yang datang kecepatan, Bu,” jelasku disudahi dengan senyuman.
Ibu diam. Mengembuskan napas panjang melalui mulut.
Aku mencari ponselku di saku celana dan sweter. Beberapa detik kemudian aku tersadar kalau ponselku masih berada di dalam kamar.
“Ada apa?” Ibu bertanya menyudahi kekesalannya.
“Hape saya ketinggalan, Bu, dan saya belum ngabarin Siska atau teman saya yang lain kalau hari ini gak masuk sekolah,” jawabku menjelaskan.
“Oh iya ya.” Ibu mengangguk-angguk pelan. “Ya udah, sepulang dari sini aja ngabarinnya,” kata Ibu lagi menenangkanku. Kali ini Ibu yang tersenyum sambil merangkulku.
Beberapa saat kemudian akhirnya puskesmas dibuka. Aku dan Ibu segera masuk bersama orang-orang yang langsung ke bagian pendaftaran. Orang-orang itu ada yang menaruh KTP, ada pula yang menaruh kartu BPJS Kesehatan ke kotak di loket pendaftaran.
“Mana kartu BPJS kamu?” tanya Ibu. Sementara orang-orang menuju barisan bangku untuk menunggu nama mereka dipanggil satu per satu.
Aku segera mengambil dompet di saku sweter. Untung saja dompetku tidak ketinggalan.
“Taruh di situ,” kata Ibu lagi menunjuk kotak berwarna hijau.
Kutaruh kartu BPJS Kesehatan ke kotak tersebut. Aku dan Ibu pun melangkah ke barisan bangku di sebelah kiri. Kami duduk di bangku barisan kedua. Di depan kami ada seorang kakek yang mungkin diantar cucu lelakinya. Di sebelahnya ada seorang ibu yang sepertinya ingin memeriksa kesehatan bayi di gendongannya. Dan para pasien lain pun terus berdatangan. Perlahan-lahan kian banyak yang mau berobat. Tiga dokter melangkah santai menuju ruangan poli, dan tenaga medis lainnya mulai sibuk dengan bagian atau pekerjaan masing-masing.
Sambil menunggu namaku dipanggil, Ibu membuka obrolan, “Nay, beneran kamu gak ngerasain apa-apa?” tanyanya yang duduk di sebelah kananku.
“Enggak,” jawabku singkat sambil menggeleng.
“Yakin?” Ibu menyentuh keningku.
“Enggak apa-apa kok, Bu. Enggak demam sama sekali.” Aku menyandarkan kepalaku ke bahu kiri Ibu setelah dia melepaskan tangannya dari keningku.
Ibu selalu bisa membuatku merasa nyaman. Di dekatnya aku begitu tenang. Ibu yang lebih perhatian terhadapku daripada Bapak dan Kak Leni. Sejak kecil aku memang lebih dekat dengan Ibu. Bisa dibilang aku sangat bergantung pada Ibu.
“Kakakmu itu kadang emang nyebelin. Berangkat kerja bukannya bangunin kamu lebih dahulu, malah main pergi begitu aja,” Ibu kembali menggerutu perihal Kak Leni.
“Mungkin tadi Kak Leni juga kesiangan, Bu, jadi dia buru-buru berangkat kerja takut telat,” sahutku mencoba menjelaskan. Aku tak mau Ibu jadi kesal pada Kak Leni. Lagi pula mungkin benar apa yang kukatakan itu.
“Entahlah,” kata Ibu singkat.
Saat ini usia Kak Leni 20 tahun. Setelah lulus sekolah dia bekerja sebagai pramuniaga di toko baju di sebuah mal. Setelah kontraknya habis, dia jadi karyawati di sebuah perusahaan sepatu, yang mana perusahaan itu juga tempat Bapak bekerja. Kontrak pertama Kak Leni setahun. Sedangkan Bapak yang sudah lama bekerja di tempat itu telah menjadi karyawan tetap. Mereka satu sif tapi beda bagian, jadi pergi dan pulang selalu berbarengan. Hanya ketika salah satu ada yang harus lembur, barulah Bapak dan Kak Leni ada yang pulang lebih telat.
“Bapak juga bukannya bangunin Ibu, malah berangkat kerja begitu aja,” ujar Ibu kemudian.
“Bapak ‘kan tahu Ibu lagi gak enak badan, mungkin Bapak jadi gak mau ganggu waktu istirahat Ibu,” sahutku lagi.
“Mungkin, tapi Ibu ‘kan jadi gak bisa bikin sarapan untuk Bapak dan Kakakmu. Entahlah mereka sarapan atau enggak.”
“Gak apa-apa, Bu. Enggak sering kayak begitu, ‘kan? Jadi Ibu gak perlu merasa bersalah.” Aku terus menenangkan pikiran Ibu yang jengkel, tapi juga ada kecewa pada dirinya sendiri. Sekesal apa pun Ibu terhadap Bapak, aku atau Kak Leni, dia tetap menyayangi kami.
“Bapak Mahmud ...!” suara petugas dari dalam loket pendaftaran terus memanggil pasien. Dengan pengeras suara yang ditaruh di dekat pintu tempat itu membuat suaranya terdengar jelas di bagian tunggu ini.
Kakek di depanku kini berdiri. Dia—yang menurut dugaanku—dituntun cucunya menuju loket pendaftaran.
“Kanaya Septiana ...!”
Aku dan Ibu langsung berdiri. Kami pun menuju loket pendaftaran.
“Kanaya?” tanya seorang petugas perempuan yang mengenakan pakain cokelat muda dari balik kaca.
“Iya saya,” sahutku.
“Usiamu berapa?” tanyanya lagi tanpa melihatku sebab dia sedang menulis di selembar kertas kecil.
“Tujuh belas tahun.”
“Kamu kenapa?” Kali ini dia melihatku.
“Ini, jari saya bengkak,” kataku menjelaskan sambil menunjukkan kedua tanganku.
Perempuan itu melihat kedua tanganku, lalu menulis di kertas kecil itu lagi. “Kamu langsung ke poli umum, terus tunggu di sana sampai nanti dipanggil lagi ya,” katanya yang usianya kisaran 30-an itu, lalu tersenyum. Ramah sekali.
“Iya, makasih.” Kulihat dia menyelipkan kertas kecil itu di sebuah buku—seperti buku tulis. Aku menebaknya itu buku tuk riwayat pasien di puskesmas ini.
“Ini.” Dia menyodorkan kartu BPJS Kesehatan milikku.
Aku menyambutnya sambil tersenyum, lalu melangkah menuju poli umum bersama Ibu.
Setibanya di sana, aku dan Ibu kembali menunggu. Kami duduk di bangku barisan paling depan. Tidak lama kemudian namaku dipanggil. Aku ditemani Ibu masuk ke ruangan dokter.
“Kanaya?” tanya seorang dokter perempuan yang mengenakan kacamata. Dia duduk di meja paling pojok, sementara dua dokter lainnya tengah sibuk dengan pasien masing-masing.
“Iya, saya,” kataku.
“Silakan duduk.” Dokter itu tersenyum.
Aku duduk di hadapan dokter itu, sementara Ibu berdiri di samping kananku. Aku melihat buku dan kertas kecil yang tadi di tempat pendaftaran sudah ada di meja di depanku. Buku itu dibuka oleh dokter tersebut.
“Jari kamu bengkak?” Dokter itu bertanya.
“Iya, Dok,” jawabku sambil mengulurkan kedua tanganku ke atas meja.
Dokter itu menyentuh jemariku dengan hati-hati. “Sakit gak? Atau ngebet, mungkin?” tanyanya sambil menekan pelan jemariku itu.
“Enggak sama sekali, Dok,” jawabku. “Saya bangun tidur, tahu-tahu udah bengkak begini,” sambungku menjelaskan.
Dokter itu mengangguk-angguk pelan. Dia tampak berpikir sambil mengetuk-ngetukkan pulpen hitamnya ke meja.
“Mungkin digigit binatang atau apa gitu, Dok,” Ibu ikut berbicara.
Dokter itu tersenyum ramah sambil melihat Ibu. “Ada kemungkinan,” katanya, lalu kembali melihat kedua tanganku. Dia membalikkan tanganku. “Ada kebiruan di ujung jari ya.” Dia tampak berpikir lagi.
“Kenapa ya, Dok?” Aku jadi penasaran mendapati dokter itu seperti berpikir sesuatu yang belum atau tak bisa dia yakini.
“Begini aja. Saya beri obat dulu ya. Kalo obatnya habis dan bengkaknya belum kempis, kamu balik ke sini ya,” kata Dokter itu kemudian.
“Baik, Dok,” aku menyahut. Bagaimanapun aku harus mengikuti apa kata dokter. Dia pasti lebih tahu dan mengerti dengan apa yang aku alami.
Dokter itu menulis di kertas kecil, yang kemudian dia sodorkan kepadaku. “Kamu ke apotek atau tempat menaruh resep ini di seberang ruang pendaftaran. Kalo obatnya udah siap, nanti namamu dipanggil,” katanya kemudian disudahi dengan senyuman.
Aku meraih kertas itu. “Makasih, Dok,” kataku, lalu membalas senyumnya.
“Oh iya, Dok, minta surat dokternya,” ucap Ibu. “Anak saya hari ini gak masuk sekolah,” jelasnya.
“Baik, Bu,” sahut Dokter itu, lalu dia membuatkan surat keterangan bahwa aku harus beristirahat di rumah selama dua hari.
Setelah itu aku dan Ibu menuju tempat menaruh resep untuk mengambil obat. Sampai kemudian obat didapat, kami akhirnya pulang tanpa mengeluarkan biaya sepeser pun.
Dalam perjalanan pulang, entah bagaimana aku masih saja teringat dengan kebimbangan dokter tadi. Ada ketidakyakinan pada dirinya yang tak mudah dia ungkap, tapi malah seolah masuk ke pikiranku. Kemudian dalam benakku jadi banyak pertanyaan. Tentu saja aku khawatir terjadi hal-hal yang tidak aku inginkan.
Ibu yang melihat aku tampak berpikir langsung berkomentar. Katanya aku harus berpikir positif. Mungkin jemariku hanya bengkak biasa. Buktinya tidak terasa sakit sama sekali. Tidak menyebabkan demam dan lain sebagainya. Maka dari itu aku pun berusaha melupakan kegelisahan yang kudapati di wajah dokter tadi.
***
Salam kenal kakak penulis, aku mulai membaca
Comment on chapter Prolog