Damar menaruh cangkir kopi susu kembali ke meja setelah menyeruput minuman itu. “Jadi di kamar kamu ada binatang atau enggak?” tanyanya sambil menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa.
“Ada,” jawab Kanaya yang masih duduk di sebelah kanan Damar.
“Ular ...?” Damar bertanya dengan mimik yang serius. Dia terlihat ngeri dan ketakutan.
Kanaya terkekeh melihat wajah Damar seperti itu. “Bukan, tapi nyamuk,” jawabnya kemudian.
“Jadi nyamuk yang bikin jari-jari kamu bengkak?”
“Bukan, Mar,” kata Kanaya. “Benar kata Kak Leni, di kamarku cuma ada nyamuk, dan penyebab jari-jariku bengkak bukan karena binatang,” lanjutnya menjelaskan.
Damar mengembuskan napas panjang melalui mulut. Dia tampak begitu lega mendengar penjelasan Kanaya. “Lalu bagian mana yang membuatmu pada akhirnya takut jatuh cinta dan membenci hujan?” tanya kemudian.
Kanaya tersenyum.
“Aku gak ngerti arti senyum kamu, Nay,” kata Damar, lalu meraih buku catatan yang tadi ditaruh di meja. Kini buku itu ada di pangkuannya.
“Sabar, Mar, akan aku ceritain pelan-pelan,” Kanaya berkata lagi. Dia meraih gelas beling berisi air putih di meja, lalu meminum air itu perlahan.
“Baiklah.” Damar mulai siap kembali mencatat poin-poin penting dari cerita Kanaya. “Aku akan sabar, kok. Santai aja. Ceritain yang mau kamu ceritain.” Dia tersenyum sambil melihat Kanaya kembali menaruh gelas beling ke meja.
“Jadi setelah itu aku udah berani tidur atau masuk ke kamarku lagi,” tutur Kanaya. “Hari-hariku mulai seperti biasanya lagi. Masuk sekolah, belajar kelompok, dan lain-lain.”
“Oke. Lalu?”
“Akan aku lanjutin ceritanya, tapi kamu harus sabar dengerinnya.”
“Iya, aku pasti sabar,” tegas Damar.
***
Salam kenal kakak penulis, aku mulai membaca
Comment on chapter Prolog