Read More >>"> THE YOUTH CRIME (Chapter 5) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - THE YOUTH CRIME
MENU
About Us  

T H E Y O U T H C R I ME

 

05

 

JEMARI-JEMARI kecil menekan tuts-tuts piano, memainkan irama bertempo lambat dengan melodi lembut yang mewarnai seisi warung makan, sejenak mengusir lelah dan gundah yang menimpa para tamu. Mereka hanya fokus pada layar ponsel sesekali mengunyah makanan yang sudah tersaji tanpa peduli dengan sekitar, penampakan sikap individualisme yang biasa terjadi di kota-kota besar. Seusai aksi heroik oleh Mahendra, dia tak dapat meninggalkan mie Aceh miliknya yang kini sudah agak dingin. 

 

Laki-laki yang menggenggam ponsel berhasil kabur dari cengkraman tangan Mahendra. Dia pasrah dan mengajak anak laki-laki satunya lagi yang tak diketahui namanya itu untuk makan bersama. Namun, anak itu tak ingin makan apa pun. Air putih, itu saja. Sebenarnya Mahendra sedang melakukan pemeriksaan terhadapnya secara diam-diam. Puluhan pasang mata memandangi keduanya dengan terheran-heran. 

 

Di sela-sela makan, Mahendra memulai obrolan canggung. "Siapa nama kamu?"

 

"Jayadi." Laki-laki kecil itu menjawab singkat. Mahendra sedikit tersenyum. Karena masih diam dan kehabisan bahan obrolan, dia mulai berbasa-basi.

 

"Makanan kesukaanmu?"

 

"Ayam goreng. Tapi saya tidak pernah makan itu." Jayadi memainkan kakinya di atas lantai warung yang dingin sembari mengamati pantulan wajahnya pada segelas air. 

 

Jayadi menuturkan bahwa ia bersekolah di SD Permata Raya, sekolah swasta di Jakarta Selatan yang dekat dengan posisi SMANJA. Ia kerap jadi bahan bullying dan perundungan di sekolah karena fisiknya yang kecil, apalagi ketika pulang sekolah ada geng lelaki SMANJA yang selalu mengejek dan mencemari nama orang tuanya. Jayadi malas untuk membalas semua itu karena ia tahu hanya akan menghabiskan energi saja. Mahendra terkejut rupanya anak kecil itu mampu menceritakan alur kehidupannya dengan baik. 

 

"Tahu nggak kalau Bapak nggak menyelamatkan kamu tadi, kamu bisa mati?"

 

Jayadi mengangguk. "Saya tahu."

 

"Kenapa kamu tetap melakukan itu?"

 

"Supaya saya dikenal oleh semua orang Indonesia, pasti bangga. Saya mau terkenal seperti mereka, berguna bagi orang tua. Anak-anak lain sudah melakukannya, kenapa saya tidak, Pak?" 

 

Mahendra tersedak, buru-buru dia menenggak kopi. "Bapak mengerti kamu ingin terkenal seperti anak yang lain, tetapi coba pikir. Kalau kamu sudah terkenal tetapi kamu sudah jadi mayat. Bagaimana?"

 

"Sekalipun jadi mayat, saya pasti masih hidup. Seperti anak-anak lain, toh mereka tidak benar-benar jadi mayat setelah menghentikan truk. Lagipula kakak tadi bilang kalau saya bisa terkenal dengan melakukan itu!" terang Jayadi. Jawabannya begitu polos dan jujur, Mahendra yakin anak itu pasti punya masalah. Tunggu. Kakak? 

 

"Kakak? Laki-laki yang merekam kamu ya? Siapa dia?"

 

Jayadi kembali diam dan enggan menjawab. Sebentar-sebentar ia mengambil selembar kertas dan kotak pensil warna, ia mengambil salah satu pensil warna dan mencoreti kertas yang sebelumnya sudah diwarnai dengan warna merah. 

 

Mahendra mengelap bibirnya yang belepotan. "Untuk apa coretan warna itu?"

 

"Kertas ini menggambarkan suasana hati saya. Saya punya empat pensil warna. Warna merah artinya semangat, hitam artinya sedih dan sakit. Biru artinya tidak tenang. Dan putih artinya bahagia."

 

"Sekarang kamu sedih?" tanya Mahendra menopang dagu.

 

Jayadi bertanya balik. "Apa warna yang Bapak lihat?" 

 

"Hitam." Laki-laki kecil itu mengangguk singkat.

 

"Kamu biasa melakukannya?"

 

"Ya, setiap hari. Saya biasa memendam semua perasaan dan emosi, apalagi kalau di rumah. Saya tidak akur dengan ayah, saya sering dimarahi dan hati ini selalu tersakiti. Bicara tidak boleh, saya lebih suka coret-coret di kertas."

 

"Sejak kapan kamu melakukan ini?"

 

"Dari kelas 1 SD. Sekarang saya sudah kelas 3. Lihat, Pak!"

 

Jayadi menunjukkan beberapa plastik pembungkus yang berisi banyak kertas yang dipenuhi coretan warna beragam. Jika dilihat kertas-kertas itu didominasi oleh warna hitam. Sisanya merah dan biru. Bagian kertas yang tidak berwarna, putih, malah tak ada sama sekali. Dari sini Mahendra merasakan kepedihan Jayadi sebagai anak kecil yang telah mengalami kekerasan. Maklum mentalnya masih sangat labil dan lemah, mudah diperdaya oleh sesuatu dan emosinya juga naik-turun. Walau masih anak-anak, Jayadi telah mengalami hari-hari yang berat. Hanya dengan melihat kertas berwarna itu, Mahendra betul-betul bisa membayangkan hidupnya dengan beribu masalah tak berkesudahan. 

 

Laki-laki berambut lurus itu sibuk mewarnai sebagian kertas putih dengan hitam. Dia tak sekadar mewarnai, tatapan matanya menyiratkan sedih nan hampa. Di pikir-pikir, Jayadi memilih menuangkan emosinya secara tertutup daripada terbuka. Dengan cara ini tentu lebih tenang dan aman. 

 

Mahendra memanggil pelayan dan berbisik-bisik didekatnya. Beberapa menit kemudian Jayadi dikejutkan oleh kedatangan hadiah kecil yang diletakkan untuknya. Sebungkus makanan. Jayadi melompat-lompat penuh kegirangan ketika mencium aroma ayam goreng. Mahendra tersenyum dan mengelus rambut lelaki kecil itu. 

 

"Adi, ini makanan untuk kamu. Anggap saja oleh-oleh dari guru. Segera pulang ya, orang tua pasti sudah menunggu. Semoga Bapak bisa bertemu lagi dengan kamu di lain waktu. Semangat ya!"

 

Tanpa sadar anak itu menjatuhkan setetes air mata. Jayadi memeluk Mahendra erat-erat, selayaknya anak bersama Bapak. Dia sedikit malu ketika jadi bahan tontonan oleh orang-orang sekitar. Sebelum benar-benar pergi, Jayadi meninggalkan komentar. 

 

"Badan Bapak bugar sekali, jangan-jangan Bapak polisi?!" 

 

Mahendra tertawa kecil dan melambaikan tangan. Sosok kecil itu menghilang bersama tenggelamnya matahari di ufuk barat. Semburat jingga dan merah mewarnai langit sore. Mahendra memungut selembar kertas yang tergeletak di lantai. Dia menggenggamnya erat-erat. 

 

"Semoga bukan hanya hitam yang mewarnai kertasnya …."

 

Pandangan kurang fokus, Mahendra tak sengaja menabrak seorang gadis berambut ikal dengan kulit sehitam dark chocolate yang baru saja selesai memainkan piano. Dia membungkuk, memohon maaf dan meninggalkan warung makan Safera. 

 

***

 

Harga rumah di Jakarta memang sudah kelewat tinggi, banyaknya populasi dan sedikitnya ruang kosong mengakibatkan kenaikan harga. Rumah yang dulunya seharga jutaan kini telah menyentuh angka miliaran. Kendati demikian, orang-orang Jakarta tak perlu risau merogoh dompet, memperbanyak pembangunan rumah dengan beragam desain dan model. Mahendra yang tak ingin membuat hidupnya ribet memutuskan menyewa rumah di area Kebayoran. Selain tempatnya hijau dan selalu dibersihkan oleh petugas kebersihan, di dekat sini juga ada Gang Persimpangan Kenangan atau biasa disingkat GPK. Gang ini sudah ada dari sejak lama yang biasa digunakan sebagai tempat nongkrong dan berbulan madu. Ketika larut malam saat gang sudah sepi, ada orang-orang berpakaian terbuka yang masuk ke celah-celah tersembunyi di gang ini. Itu area prostitusi, jual-beli miras, ladang penjualan narkoba dan permainan judi billiard. Bukan hanya digandrungi oleh kaum dewasa saja, anak-anak yang baru menginjak puber pun bebas masuk ke sini asalkan punya koneksi dan uang yang banyak. Karena area GPK ini sangat artistik dan indah di siang hari, tidak banyak yang tahu sisi gelapnya saat malam menghampiri. 

 

Pintu diketuk. 

 

Ketukan terdengar lagi. Lalu berhenti. 

 

Pintu diketuk berkali-kali. Mahendra mengucek matanya yang bengkak, sambil berusaha mengumpulkan kesadarannya. Dia kurang tidur, enam jam sangat kurang baginya. Andai dia kembali jadi bayi, pastilah bisa tidur sampai sepuluh jam dan bangun sesuka hati. Sudahlah, lupakan. Kalau diingat-ingat lagi dulu dia seringkali mengompol dan merengek minta digendong. 

 

"Ya?"

 

Seorang perempuan berambut panjang tetapi berantakan kira-kira berusia sembilan belas tahun menjulurkan tangan sembari menggenggam sapu. Maya, petugas kebersihan yang tak pernah absen.  Kewajiban bagi penghuni rumah sewaan yakni membayar uang sukarela. Mahendra memberi uang dua ribu rupiah dan tiba-tiba dia bersin dan kentut bersamaan. Maya sejenak berjalan mundur, mengambil uang itu dengan tatapan jijik. Dia membungkuk sebentar dan berlari menjauh. 

 

Mahendra buru-buru menutup pintu, menahan malu. 

 

Ruang BK selalu kedatangan siswa-siswa bermasalah tiap harinya dan rata-rata itu berasal dari kelas 11-A yang kini makin sering disorot dan digosipkan oleh semua guru SMANJA. Mahendra mau tak mau harus bertanggungjawab atas kenyataan itu untuk mempertegas lagi sikapnya dalam menindaklanjuti anak didiknya. 

 

Beberapa bangku dilempar begitu saja diiringi gertakan keras dari salah satu siswa di kelas 11-A. Matanya melotot, pipinya merah padam disertai guratan emosi yang makin terlihat jelas. Kedua lengannya terkepal kuat, hendak meninju sesuatu. Lagi-lagi ia melempar bangku yang menimbulkan suara berisik. Seluruh siswa bangkit dari duduknya dan perlahan menjauh, ketakutan melihat lelaki bertampang macho seperti kerasukan setan. 

 

"Kalau kau berani, sini! Mana nyalimu?!" Pandu secara spontan menarik kerah seragam batik Rian, mengangkatnya tinggi-tinggi sampai laki-laki itu kelihatan sesak napas. 

 

Rian mendorong Pandu dan menjauh beberapa meter. "Pukul aku! Ayo! Pukul!" 

 

Keributan segera dilerai oleh Ibu Adri yang saat itu kebetulan melintas di depan kelas 11-A.  

"Pandu!"

 

"Tidak apa-apa Bu, tidak apa-apa. Saya hanya marah. Sudah. " Pandu berpura-pura merapikan seragamnya yang berantakan. Jelas-jelas emosinya masih naik. 

 

"Tidak apa-apa? Kamu nggak lihat teman-teman kamu ketakutan?" 

 

"Tidak apa-apa, Bu. Brengsek memang dia–" Pandu mengumpat kesal. 

 

"Pandu, kalau kamu nggak bisa kontrol emosi, ayo ikut Ibu ke ruang BK! Daripada kamu di sini marah-marah, semuanya jadi takut! Kamu mau terus mengotori nama kelasmu? Di mana perasaan dan hati kamu? Rian, ikut Ibu."

 

Aksan merapatkan bibirnya, bersembunyi di pojok kelas sambil membaca buku. "Masalah lagi …."

 

Mereka berdua dimarahi habis-habisan oleh Ibu Deysi. Seperti biasa, Pandu tersenyum. Seolah itu sangat menyenangkan. Ruang guru dan BK mendadak disesaki oleh guru-guru. 

 

"Sebagai kelas berlabel A, saya sangat malu melihat ini. Seharusnya kelas itu menjadi contoh baik untuk kelas lain, bukan selalu penuh dengan masalah-masalah baru. Hukuman sudah, teguran sudah. Apa perlu hukuman diperberat lagi untuk mereka? Pak Hendra?" terang Martinus, menyentuh keningnya yang sedikit sakit. 

 

"Kita tidak bisa terus berpegang pada hukuman atau teguran. Pada akhirnya mereka akan tetap menjadi parasit. Seberat-beratnya hukuman, itu tidak akan berarti. Memarahi mereka? Buang-buang energi dan mereka tetap tidak mengerti. Satu-satunya jalan ialah lewat komunikasi."

 

Ibu Fransiska mengernyitkan dahi. "Komunikasi?"

 

"Kita semua sudah pasti tahu, anak-anak sekolah punya masalah masing-masing. Lewat komunikasi kita akan mendengar keluh kesahnya secara jujur tanpa kebohongan. Dari sanalah kita bertanya pelan-pelan untuk mencari tahu akar masalah dari pukulan yang dianggap sebagai 'candaan' belaka."

 

"Baiklah."

 

Mahendra melangkah masuk ke ruang BK yang sebelumnya penuh dengan kemarahan Ibu Deysi. Dia duduk di kursi seraya menatap Pandu yang masih senyam-senyum. 

 

"Saya hanya bercanda, Pak. Bercanda." Pandu tertawa kecil ketika mengucap sepatah kalimat itu. 

 

"Benar begitu? Kalau kamu dipukul, kamu marah?"

 

"Ya. Hanya saya yang boleh memukul. Orang lain tidak boleh."

 

Mahendra bertanya sinis. "Lalu kenapa kamu menyuruh Rian untuk berkelahi? Itu artinya dia juga bebas memukul kamu, Pandu."

 

"Supaya saya lebih berani dari dia, Pak."

 

"Kamu punya masalah di rumah? Ceritakan sama Bapak. Bapak ingin tahu." Mahendra menggunakan kesempatan pada inti pembicaraan. 

 

Pandu tampak enggan untuk berkata-kata tetapi emosinya sudah kembali tenang maka tak ada salahnya untuk bercerita. Ia agak terbata-bata dalam menyambungkan kata demi kata untuk menggambarkan kondisinya saat ini. Mahendra mengambil pena dari saku baju, mencatat beberapa poin penting dalam memo. Kali ini raut wajah Pandu benar-benar serius dan fokus. Dengan demikian Mahendra bisa menggali informasi darinya tanpa pemaksaan atau marah-marah. 

 

Seusai komunikasi yang panjang itu, Pandu mohon pamit dan berlalu dari ruang BK. Mahendra memandangi jendela besar ruang BK yang dipercantik oleh tanaman anggrek cattleya–bunga nasional Brazil–dan pohon pulai menjulang tinggi membiarkan daun-daun kering berjatuhan akibat tiupan angin. Anggrek mencerminkan kejernihan dalam berpikir, pulai menggambarkan ketahanan dalam menghadapi masalah dan tantangan. Tugas BK memang tidaklah mudah. Meski kerap dinilai tidak manusiawi, di sanalah tempat untuk menuangkan kejujuran dalam diri  siswa. Bukan hanya memarahi tetapi juga mengobati luka-luka jiwa. 

 

"Pak Hendra, saya ragu mengatakan ini. Apa dia bisa berubah dan sadar akan kesalahannya? Perlakuan polos dan baik seperti ini tidak akan menghasilkan apa-apa!" Ibu Deysi menyindir Mahendra sambil membenahi kacamatanya. 

 

"Saya tidak bilang bahwa anak itu akan sadar. Sekarang hanya perlu melihat waktu. Cara saya dalam menghadapi anak memang berbeda, begitupun Anda. Intinya, jalani saja keyakinan yang menurut Anda paling benar. Sekian."

 

 

Tags: twm23

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Seiko
359      258     1     
Romance
Jika tiba-tiba di dunia ini hanya tersisa Kak Tyas sebagai teman manusiaku yang menghuni bumi, aku akan lebih memilih untuk mati saat itu juga. Punya senior di kantor, harusnya bisa jadi teman sepekerjaan yang menyenangkan. Bisa berbagi keluh kesah, berbagi pengalaman, memberi wejangan, juga sekadar jadi teman yang asyik untuk bergosip ria—jika dia perempuan. Ya, harusnya memang begitu. ...
Aku Istri Rahasia Suamiku
8207      1886     1     
Romance
Syifa seorang gadis yang ceria dan baik hati, kini harus kehilangan masa mudanya karena kesalahan yang dia lakukan bersama Rudi. Hanya karena perasaan cinta dia rela melakukan hubungan terlarang dengan Rudi, yang membuat dirinya hamil di luar nikah. Hanya karena ingin menutupi kehamilannya, Syifa mulai menutup diri dari keluarga dan lingkungannya. Setiap wanita yang telah menikah pasti akan ...
Lalu, Bagaimana Caraku Percaya?
97      70     0     
Inspirational
Luluk, si paling alpha women mengalami syndrome trust issue semenjak kecil, kini harus di hadapkan pada kenyataan sistem kehidupaan. Usia dan celaan tentangga dan saudara makin memaksanya untuk segera percaya bahwa kehidupannya segera dimulai. "Lalu, bagaiamana caraku percaya masa depanku kepada manusia baru ini, andai saja jika pilihan untuk tak berkomitmen itu hal wajar?" kata luluk Masal...
Call Kinna
3896      1564     1     
Romance
Bagi Sakalla Hanggra Tanubradja (Kalla), sahabatnya yang bernama Kinnanthi Anggun Prameswari (Kinna) tidak lebih dari cewek jadi-jadian, si tomboy yang galak nan sangar. Punya badan macem triplek yang nggak ada seksinya sama sekali walau umur sudah 26. Hobi ngiler. Bakat memasak nol besar. Jauh sekali dari kriteria istri idaman. Ibarat langit dan bumi: Kalla si cowok handsome, rich, most wante...
Girl Power
1539      664     0     
Fan Fiction
Han Sunmi, seorang anggota girlgrup ternama, Girls Power, yang berada di bawah naungan KSJ Entertainment. Suatu hari, ia mendapatkan sebuah tawaran sebagai pemeran utama pada sebuah film. Tiba-tiba, muncul sebuah berita tentang dirinya yang bertemu dengan seorang Produser di sebuah hotel dan melakukan 'transaksi'. Akibatnya, Kim Seokjin, sang Direktur Utama mendepaknya. Gadis itu pun memutuskan u...
Ada Cinta Dalam Sepotong Kue
4855      1589     1     
Inspirational
Ada begitu banyak hal yang seharusnya tidak terjadi kalau saja Nana tidak membuka kotak pandora sialan itu. Mungkin dia akan terus hidup bahagia berdua saja dengan Bundanya tercinta. Mungkin dia akan bekerja di toko roti impian bersama chef pastri idolanya. Dan mungkin, dia akan berakhir di pelaminan dengan pujaan yang diam-diam dia kagumi? Semua hanya mungkin! Masalahnya, semua sudah terlamba...
Lenna in Chaos
4635      1702     1     
Romance
Papa yang selingkuh dengan anggota dewan, Mama yang depresi dan memilih tinggal di desa terpencil, seorang kakak perempuan yang kabur entah ke mana, serta kekasih yang hilang di Kalimantan. Selepas kerusuhan demonstrasi May Day di depan Gedung Sate, hidup Lenna tidak akan pernah sama lagi. Sewaktu Lenna celaka di kerusuhan itu, tidak sengaja ia ditolong oleh Aslan, wartawan media sebelah yang...
RUMIT
4124      1399     53     
Romance
Sebuah Novel yang menceritakan perjalanan seorang remaja bernama Azfar. Kisahnya dimulai saat bencana gempa bumi, tsunami, dan likuifaksi yang menimpa kota Palu, Sigi, dan Donggala pada 28 September 2018. Dari bencana itu, Azfar berkenalan dengan seorang relawan berparas cantik bernama Aya Sofia, yang kemudian akan menjadi sahabat baiknya. Namun, persahabatan mereka justru menimbulkan rasa baru d...
Aku Benci Hujan
4941      1408     1     
Romance
“Sebuah novel tentang scleroderma, salah satu penyakit autoimun yang menyerang lebih banyak perempuan ketimbang laki-laki.” Penyakit yang dialami Kanaya bukan hanya mengubah fisiknya, tetapi juga hati dan pikirannya, serta pandangan orang-orang di sekitarnya. Dia dijauhi teman-temannya karena merasa jijik dan takut tertular. Dia kehilangan cinta pertamanya karena tak cantik lagi. Dia harus...
Demi Keadilan:Azveera's quest
694      385     5     
Mystery
Kisah Vee dan Rav membawa kita ke dalam dunia yang gelap dan penuh misteri. Di SMA Garuda, mereka berdua menemukan cinta dan kebenaran yang tak terduga. Namun, di balik senyum dan kebahagiaan, bahaya mengintai, dan rahasia-rasasia tersembunyi menanti untuk terungkap. Bersama-sama, mereka harus menghadapi badai yang mengancam dan memasuki labirin yang berbahaya. Akankah Vee menemukan jawaban yang ...