Dulu, aku punya pikiran seperti Fritz. Menganggap isbal ini hanya perkara remeh. Sepele. Meski aku sudah sering mendengar beberapa kajian ustadz dari dalam dan luar negeri. Membaca artikel dari berbagai sumber. Banyak sekali hadits yang meriwayatkan tentang larangan berisbal ini. Lebih dari dua puluh sahabat telah meriwayatkannya. Bahkah hadits-hadits larangan berisbal itu telah mencapai derajat mutawatir maknawi.
Bahkan hari ini terkadang kita terlalu mudah meremehkan sebuah perkara. Padahal bisa jadi di zaman Nabi, semua itu termasuk perkara besar dan mereka menganggapnya perbuatan dosa. Seperti halnya perkara isbal ini. Sebagian muslim memandang ini hanya perkara remeh. Sepele. Padahal tidak demikian bagi Umar bin Khatab. Bagi beliau hal ini perkara yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Sebagaimana kisah Umar yang tercatat dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh imam Bukhari.
Saat itu, beliau tengah terbaring tak berdaya akibat luka tikaman. Banyak orang yang datang menjenguknya. Salah satu di antara pembesuk itu adalah seorang pemuda Quraisy. Pemuda itu memberi salam kepada Umar karena hendak pulang. Saat itu beliau melihat pakaian sang pemuda Quraisy dalam keadaan isbal. Umar pun memanggilnya. Lalu menasihatinya.
Bagaimana bisa ini adalah perkara remeh? Bahkan dalam kondisi perut robek hingga cairan yang beliau minum keluar melalui robekan tersebut usai ditikam, Umar tetap menasehati seorang pemuda yang membesuknya. Bahkan dalam keadaan kritis Umar bin Khatab tidak enggan sedikit pun untuk meminta pemuda itu untuk mentaati Allah. Pada pemuda itu beliau mengatakan: “Angkat pakaianmu karena hal itu lebih bersih bagi pakaianmu dan engkau lebih bertaqwa pada Rabbmu.” Bagaiman mungkin kita sebut ini perkara yang remeh, sementara Umar bin Khatab dalam keaadaan kritis, masih sempat memperhatikan masalah ini?
Bukankah bagi seorang muslim tidak layak bagi kita meremehkan dosa? Sekecil apa pun itu. Bukankah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menasehati kita agar berhati-hati terhadap dosa-dosa yang dianggap remeh?” Sebagaimana sabdanya: “Hati-hatilah terhadap dosa-dosa yang diremehkan.”
***
“Bukankah Fritz pernah bilang kalaupun kau memakainya di bawah mata kaki maka tidak akan berdosa?”
Felix mengingatkanku lagi tentang kejadian tempo hari saat kami berdiskusi di tepi Sungai Saskatchenwan. Saat itu Fritz mengatakan bahwa keharaman itu jika disertai dengan kesombongan. Jika tidak disertai degan rasa sombong, hanya sebatas makruh saja. Sebagaimana pendapat sebagian para ulama.
“Lalu kenapa kau selalu memakai celana cingkrang, Fyan?” tanya Felix.
“Sederhana saja. Bagiku cara seperti ini adalah bentuk paling mudah menjalankan salah satu sunnah Nabi. Sebab sunnah-sunnah yang berat aku masih tak sanggup. Maka apa salahnya jika aku meneladani sunnahnya dari hal paling kecil. Memakai celana cingkrang seperti ini misalnya. Nggak susah kok. Cukup meninggikan celana sedikit. Dan masih tetap keren kan?” jawabku sambil melirik ke arah Fritz.
Fritz seolah tak mendengarkanku. Matanya melihat kemana-mana. Ke arah yang entah. Sementara Felix tersenyum melihat Fritz yang salah tingkah.
Salat malam masih terlalu berat bagiku. Puasa sunnah Nabi Daud pun tak sanggup kulakukan. Maka jika ada pilihan sunnah yang mudah, mestinya itu bisa mudah terlaksana. Banyak orang melakukan sesuatu atas dasar contoh dari Nabi. Lalu mengapa masih saja ada yang risih saat ada sebagian yang lain mengikuti cara berpakaian dari sosok manusia mulia? Sosok manusia paling bertakwa dan paling tawaduk di antara manusia.
“Jika tidak mengikut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai role model, lalu kepada siapa lagi umat Islam ini harus mencari teladan yang sempurna?” ucapku sambil memberikan benang dan jarum kepada Fritz.
***
Fritz melangkah keluar sambil membawa jarum dan benang yang baru saja kuberikan. Sesaat sebelum keluar ia berbalik badan.
“Sepertinya kau harus segera memutuskan bagaimana kelanjutan hubunganmu dengan Kiara.”
Fritz urung keluar. Ia kembali melangkah mendekat.
“Aku kasihan melihatnya,” ucap Fritz tampak sedih. Lalu ia menceritakan kejadian beberapa waktu lalu saat ia bertemu dengan Kiara. Siang hari tadi saat melihatku tertidur, Fritz langsung menuju apartemen Kiara di lantai lima untuk mencari jarum dan benang. Namun, ia sedih mendapati Kiara yang tengah murung.
“Kau tahu kan apa sebabnya?”
Aku mengangguk, merasa bersalah. Bagaimanapun aku telah membuat hatinya resah. Bukan hanya dia, aku pun sama.
“Aku tahu kau sangat menghormati dan menyayangi ibumu, tapi sebagai lelaki kau harus bersikap tegas.”
Aku menatap langit-langit dengan mata yang berkaca-kaca. Ucapan Felix benar. Aku tak ingin membiarkan ini berlama-lama. Semakin lama hanya semakin membuat sesak di dada. Akan semakin membuat hati yang lain tersiksa karena terus menanti harapan yang tak kunjung tertuntaskan. Jujur aku bingung harus melakukan apa.
Aku tak bisa menyenangkan hati keduanya. Namun, aku pun tak bisa melihat ada hati yang terluka. Aku harus memilih satu di antara mereka. Emak atau Kiara? Sungguh sebuah pilihan yang sangat berat. Ya Rabb, apa yang mesti kuperbuat? Mungkinkah aku menyenangkan hati keduanya? Mungkihkah tak ada hati terluka dengan keputusan yang akan kubuat? Duhai Tuhan semesta raya, bantulah hamba memilih satu di antara dua.
“Kau tak perlu menunggu esok atau lusa. Kau harus tuntaskan sekarang juga,” tegas Fritz.
Aku yakin, apa pun keputusanku nanti, tentu akan ada hati yang terluka. Satu dari dua hati wanita akan kecewa. Jika aku menuruti kata Emak, maka hati Kiara akan patah. Sebaliknya, jika aku tak menuruti kata Emak, maka hatinya pasti akan sangat kecewa. Simalakama.
“Jangan lupa minta petunjuk Tuhanmu, Fyan,” ucap Felix sambil menepuk pelan pundakku.
“Insyaallah, apa pun keputusanmu, itu yang terbaik untuk semuanya,” tambah Fritz, “kau sudah menelepon Emakmu lagi?”
Aku menggeleng. Pelan-pelan aku mundur ke belakang, lalu duduk di tepi tempat tidur. Aku menatap kosong ke depan.
“Aahh, permasalahan percintaan saja sampai membuatmu begini, Fyan. Seperti tidak ada hal lain saja yang mesti kau pikirkan,” ucap Fritz kesal, lalu berjalan mendekat padaku.
Fritz menyodorkan handphone-ku yang ia ambil dari atas meja belajar.
“Segera hubungi Emakmu.”
Aku memandang lurus ke arah Fritz. Fritz mengangguk. Aku mengambil handphone-ku.
“Aku yakin kau pasti bisa menentukan pilihan yang terbaik,” ucap Fritz sambil menepuk pelan lenganku.
Aku mengangguk, lalu aku menghubungi Emak.
“Bismillah .…”
Aku akan memastikan lagi ucapan Emak tempo hari. Aku pun akan meyakinkan lagi padanya bahwa pilihanku adalah yang terbaik. Bukan hanya untukku, tapi insyaallah untuk keluarga dan tentu untuk agama. Namun, apa pun jawaban Emak nanti, aku harus siap. Manis ataupun pahit harus siap kutelan. Aku harus menyiapkan hati seluas samudera jika ternyata tidak sejalan dengan rencana yang kupunya. Aku pun harus menyiapkan hati yang rendah agar kelak tak jumawa jika semua berjalan sesuai rencana.
Rabb
Luaskan hati hamba
Mencari seribu cara
Berbaik sangka
Bukan semata percaya pada angin
yang berembus dingin
Apa pun itu, semoga itu adalah sinyal terbaik, sebagai bentuk cara Allah menjawab doaku di istikharah malam tadi.
***