Sabtu, 7 September 2013
Jam di dinding tepat menunjukkan pukul tujuh pagi. Sejak sepuluh menit berlalu, aku berdiri di tepi jendela yang sengaja kubuka lebar-lebar. Tampak pemandangan indah terhampar di depan mata. Sungai Saskatchewan membentang indah. Pohon-pohon elm merimbun di tepinya. Broadway Bridge melintang gagah di atasnya. Cuaca cerah. Suhu di luar sekitar dua belas derajat celcius. Langit biru dengan awan tipis di atas sana seolah melukis wajahnya yang jelita.
Entah
Engkaukah rumah
Tempat ternyaman untuk melepas lelah
Entah
Engkaukah taman
Dengan aneka warna dan aroma bunga
Kubiarkan udara luar yang berembus pelan menerpa wajah layuku. Malam tadi tidurku gelisah. Pikiranku bercabang-cabang memikirkan bagaimana cara menyelesaikan persoalan kecil yang begitu menyiksa. Cinta seolah membuatku gila. Akal sehatku hilang entah ke mana.
“Kau tidak tidur semalaman?”
Ucapan Felix membuyarkan lamunan. Aku berbalik arah. Melihat Felix yang tengah menggeliat di atas tempat tidurnya. Felix mengucek mata sipitnya. Dia bangkit dari tempat tidur kemudian menuang air putih ke dalam gelas bening di atas meja belajarnya. Aku bergeming. Wajar saja dia bertanya demikian. Sebelum tidur dan terbangun ia melihatku di posisi yang sama, berdiri di tepi jendela.
“Kau tidak tidur semalaman?” tanyanya mengulang.
Aku menggeleng pelan dengan senyum yang dipaksakan. Tatapan mataku kosong. Mataku sayu karena kurang tidur semalaman.
“Matamu sudah seperti mata panda,” ucap Felix melihat garis hitam di bawah mataku.
Aku berjalan menuju meja belajar, lalu menutup mushaf Al-Qur’an yang sudah kubaca beberapa waktu lalu. Aku duduk di tepi tempat tidur, lalu merebahkan badan yang remuk dimakan angin malam.
“Aku mau istirahat dulu Fel. Mohon bangunkan aku sepuluh menit sebelum waktu zuhur.”
“Kenapa tak kau pasang alarm saja?”
“Jaga-jaga saja. Khawatir kalau aku tak mendengarnya.”
Pelan-pelan, mataku tertutup rapat seraya melafaz doa penghantar tidur.
“Ok. Tapi zuhur itu jam berapa?”
“Sekitar jam satu siang. Atau kau tolong cek waktu salat di aplikasi.”
Aku bernapas pelan sambil melafaz zikir-zikir ringan. Aktivitas itu membuat tubuhku tenang. Suara Felix yang masih berbicara denganku mulai terdengar samar. Lalu gelap.
***
Handphone-ku berdering. Sengaja tak kuangkat. Felix memanggilku, tapi kuabaikan. Hingga akhirnya, Felix mengguncang-guncang tubuhku.
“Telepon dari ‘Aini,” ucap Felix.
Mendengar nama ‘Aini aku langsung loncat dari tempat tidur dan segera mengambil handphone di atas meja. Sayangnya dering handphone berhenti. Mati sebelum sempat kuangkat.
“Argh …,” kesalku.
“Sudah berkali-kali berdering. Mungkin ada hal penting. Kau telepon balik saja, Fyan.”
Aku duduk di kursi belajar. Tanpa pikir panjang aku menelepon balik ‘Aini. Entah, ada berita terbaru apa dari sana. Tentang ‘Aini dan Pak Ramli? Atau mungkin ingin membahas tentang hubunganku dengan Kiara?
“Mungkin ada kabar baik buatmu? Bisa jadi Emak berubah pikiran dan merestui hubunganmu dengan Kiara? Bisa jadi kan?” ucap Felix sambil mengeloyor ke dapur.
Belum sempat aku menekan tambal call, ada pesan WhatsApp masuk dari ‘Aini. Seketika aku tersungkur ke lantai usai membacanya. Bersujud sebagai ungkapan sukur atas terkabulnya doa.
“Alhamdulillah,” lirihku.
Mataku berkaca-kaca membaca isi pesan ‘Aini. Bahagia tak terkira.
Di pertemuan nanti
Mari kita selesaikan rindu yang menggebu
Tertahan di antara jarak-jarak dan waktu
Yang telah terpendam
Di hati paling dalam
Lalu, kita benahi satu demi satu
Menyusun menjadi padu
:aku dan kamu
“Fel …,” panggilku kegirangan, “Felix ….”
Felix muncul dari dapur. Terburu-buru, ia datang sambil membawa segelas air putih. Wajahnya tampak keheranan melihat ekspresiku. Jika sebelumnya terlihat jemu tak bergairah. Kini air mukaku seratus delapan puluh derajat berubah dari sebelumnya.
“Kenapa, Fyan?”
“Coba kau baca ini, Fel,” ucapku sambil memperlihatkan layar handphone ke arah Felix.
“Apa?” heran Felix.
“Baca ini!” seruku.
Felix memperhatikan dalam-dalam layar handphone-ku.
“Pesan dari ‘Aini,” lanjutku.
Felix menggeleng-geleng. Ia menarik napas sambil tersenyum.
“Bahasa Indonesia saja aku masih belum begitu lancar, apalagi ini bahasa daerahmu kan?”
Aku tersadar, lalu melihat layar handphone. Kubaca pesan ‘Aini dalam bahasa Kuantan. Aku tersenyum-senyum membacanya kembali. Pesan ini membuatku tertawa-tawa sendiri. Betapa tidak, isi pesan itu suatu hal yang sangat kutunggu-tunggu. Sebuah restu.
“Emak merestui hubunganku dengan Kiara, Fel.”
“Serius?”
Aku mengangguk kegirangan. Seperti hati yang dituruni hujan setelah kemarau panjang, aku begitu gembira. Kupegang kedua lengan Felix sambil meloncat-loncat kecil seperti bocah yang baru saja dibelikan gula-gula. Felix hilang keseimbangan. Ia berusaha menjaga air putih di dalam gelas yang dipegangnya supaya tidak tumpah. Sayangnya ia tak mampu menahan goncangannya. Air putih pun terciprat ke muka. Air itu menyiram kerah leher hingga dada.
***
Byurppp
Aku gelagapan. Muka dan sebagian dadaku basah.
“Ya Tuhan … Sofyan … susah banget bangunin kamu.”
Kupandangi Felix yang sedang memegang gelas dengan sisa air yang masih setengahnya. Aku seperti orang kebingungan. Wajah Felix tampak kesal. Sementara aku masih berusaha mengumpulkan nyawa ke dalam raga. Sesaat kemudian aku baru sadar. Aku masih berada di atas tempat tidur sebagaimana keadaanku beberapa waktu sebelumnya.
“Kau tak salat?” ucap Felix kesal.
Aku melihat jam yang ada di dinding. Sepuluh menit lagi jarum tepat menuju pukul lima sore.
“Astagfirullah.”
Sontak aku loncat dari tempat tidur untuk berwudhu. Setelah shubuh tadi kulakukan bersamaan waktu dhuha, kini zhuhur kulakukan di waktu ashar. Sedih rasanya. Usai berwudhu, segera kugelar sajadah. Istigfar terus kulafazkan. Semoga Allah mengampuni kesalahan. Semoga aku tidak termasuk orang-orang yang sengaja melalaikan kewajiban hamba kepada Tuhannya.
“Allahu akbar …,” takbirku memulai salat.
Usai empat rakaat zuhur kemudian berlanjut menunaikan empat rakaat berikutnya untuk menunaikan ashar.
Oh Tuhan
Perbaikilah akhlaku
Luruskan hatiku pada-Mu
Mudahkan jalan-jalan kebaikan
Lalu teguhkan
***
Aku sudah pernah berpesan pada Felix, agar dia mengingatkan jika aku lupa atau tertidur hingga lalai menjalankan salat. Bahkan aku juga pernah berpesan jika aku tertidur dan susah untuk dibangunkan, maka dia boleh menyiram atau bahkan memukul agar aku terbangun. Meski awalnya dia kaget saat aku menyampaikan hal itu padaku. Bahkan dia makin tampak semakin tidak simpatik dengan Islam saat aku menyampaikan sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Amr bin Syu’aib, dari bapaknya dari kakeknya radhiyallahu ‘anhu. Sebuah hadits tentang kebolehan orang tua memukul anaknya pada waktu usia 10 tahun ketika tidak melakukan salat.
Hadits tentang perintah salat itu terdapat pada kitab Imam Abu Daud serta di-shahih-kan oleh Al Hafizh Abu Thohir, mengatakan bahwa: “Perintahkan anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat ketika mereka berumur 7 tahun. Pukul mereka jika tidak mengerjakannya ketika mereka berumur 10 tahun. Pisahkanlah tempat-tempat tidur mereka“.
Felix mengeleng-geleng kepala usai aku menyampaikan sebuah pesan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Sadis juga ajaran agamamu, Fyan?”
***