“Aku kira dia adalah tempat berlabuhnya hatiku. Tempat kebahagiaanku bermula dan akan mengakhirinya bersama-sama hingga renta dan tutup usia. Rupanya, ini menjadi mimpi burukku. Mimpi yang tak bisa membuatku terbangun. Terjebak selama-lamanya dalam perihnya perasaan.”
Aku baru saja menutup telepon dari Emak. Tiba-tiba terdengar suara lelaki yang duduk tepat di sebelahku. Aku masih menundukkan kepala. Kubiarkan handphone-ku tergeletak di atas sofa.
“Mungkin salah seorang tamu yang sedang menelepon kekasihnya,” batinku.
Aku tak mempedulikan siapa orang yang ada di sebelahku. Aku juga tak peduli saat dia terus mengungkapkan isi hatinya. Entah, dengan siapa ia bicara, aku sungguh tak peduli. Aku hanya fokus pada diriku. Pada ucapan Emak yang baru saja kudengar. Pada hatiku yang tengah hancur berantakan.
“Jujur aku tak suka saat tahu bahwa bukan tanganku yang akan menggenggam tangannya. Bukan aku yang menjadi tempat ternyaman untuknya,” lelaki itu melanjutkan ucapannya.
Aku tak mau membantah Emak dengan berbagai alasan. Aku hanya berusaha patuh dan taat dengan segala ucapan yang tentunya baik dan tidak bertentangan dengan syariat. Aku tahu perkataan Emak memang bukan sebuah penolakan. Bukan pula sebagai bentuk ketidaksukaan terhadap suatu suku dan adat tertentu. Aku yakin Emak memiliki alasan yang kuat sehingga mengeluarkan kata-kata itu.
Aku terus memikirkan ucapan Emak. Aku berusaha tenang. Beberapa kali ada pesan WhatsApp masuk dari Felix yang menanyakan keberadaanku. Sepertinya aku sudah terlalu lama meninggalkan acara dan harus kembali ke ruang pesta. Aku tepiskan sedikit air yang membasah di ujung mata.
“Aku kalah darimu, Fyan.”
Seketika aku melihat ke sosok pria yang sejak tadi duduk di sebelahku. Aku tersedak. Lelaki berpostur tinggi dan berkulit putih itu menatapku dengan tatapan dingin.
“Selamat …,” ucap lelaki berbadan tegap itu sambil mengulurkan tangannya.
Aku mematung sejenak. Aku masih tak percaya. Ternyata lelaki yang kukira tengah meluapkan perasaan dengan kekasihnya di telepon itu sedang mengajakku berbicara. Rupanya lelaki yang sejak tadi duduk di sebelahku adalah keponakan Om Thimoty. Sepupu sekaligus mantan calon tunangan Kiara.
“Semoga kalian hidup bahagia,” ucap Hezron sekali lagi.
Aku bergeming sesaat. Hezron mengangkat alisnya. Tangannya masih terulur kepadaku. Ragu, akhirnya aku menjabat tangannya.
“Aku harus bahagia melihat Kiara bahagia, meski bukan denganku.”
Ucapan Hezron terdengar rapuh. Ia mengira hanya dirinya yang tengah hancur. Padahal saat ini ada dua laki-laki yang sedang hancur perasaannya. Dua lelaki yang saling berhadapan yang hatinya tercabik-cabik. Impiannya dalam membangun cinta runtuh karena orang yang sama, meski dengan sebab berbeda. Hezron karena berbeda aqidah. Sementara aku terhalang restu dari Emak.
“Aku pamit,” ucap Hezron seraya melepaskan tangannya.
“Ke mana?”
“Ke suatu tempat di mana aku bisa menyepi hanya dengan Tuhanku.”
Pertemuan Hezron kali ini sangat jauh berbeda. Ia tak berapi-api seperti dua setengah bulan lalu di rumah Paman Gamaliel. Saat itu amukannya membuat shock hampir seisi rumah. Hezron tak terima saat pertunangannya dengan Kiara harus batal. Pertunangan itu tak mungkin dilanjutkan. Rencana pernikahan pun dibatalkan. Hezron, seorang pria Kristen Orthodox, haram hukumnya menikahi Kiara, yang telah menjadi seorang muslimah. Begitu pun sebaliknya.
“Aku minta maaf, jika aku menjadi salah satu peyebab pertunanganmu dengan Kiara ….”
“Ah, sudahlah,” Hezron memutus perkataan yang belum sempurna kuucapkan, “jangan ungkit hal itu. Aku malu jika mengingatnya lagi.”
Hezron tertawa dingin. Lalu, ia berjalan pergi meninggalkanku. Tidak bergabung ke pesta. Katanya mendengar ucapan Om Thimoty saat menceritakan tentang lamaranku pada Kiara saja sudah membuat hatinya terluka. Apalagi harus bertatap mata dengan Kiara? Hanya akan menambah perih dan kecewa.
***
Aku lelaki
Yang telah diam-diam mencintai
hujan tadi malam
Rintiknya membuat gigil kedinginan
Aku lelaki
Yang telah diam-diam mencintai
embun tadi malam
Hanya sesaat lalu menghilang di telan siang
Malam makin larut. Fritz sudah kembali ke apartemennya. Sementara Felix tengah bersiap-siap tidur sambil melakukan kebiasaannya, membaca buku hingga terlelap. Akhirnya mereka pun tahu apa yang sebenarnya terjadi. Terjawab sudah mengapa aku begitu gelisah belakangan ini. Restu Emak tidak kudapati. Itulah penyebabnya hingga beberapa malam terakhirku penuh insomnia.
“Jadi ada Hezron di pesta Kiara kemarin? Aku tidak melihatnya.”
“Dia urung masuk ke ruang acara. Dia sempat mendengar ucapan Om Thimoty saat menceritakan tentang lamaranku secara terbuka kepada semua tamu,” ucapku sambil berjalan menuju jendela.
“Nggak bisa tidur lagi, Fyan?”
Aku melihat ke arah Felix, lalu tersenyum. Kulihat, ke arah dinding, jarum jam telah melewati sepuluh menit dari tengah malam. Lalu aku memandang jauh ke langit malam.
“Senin nanti apa yang harus kau katakan pada Paman Daud?”
Pertanyaa Felix juga selalu terngiang dalam pikiranku.
“Entahlah.”
“Bukankah cinta butuh perjuangan, Fyan?”
Aku berbalik ke arah Felix.
“Apa kau sudah merasa berusaha maksimal memperjuangkannya?” ucap Felix sambil menegakkan badan di atas tempat tidurnya, “Aku rasa kau belum melakukannya.”
Aku berjalan menuju tempat tidur, lalu duduk di tepinya. Aku menatap Felix seolah ingin menyimak kata yang akan diucapkannya. Mungkin itu bisa membantuku. Meringankan permasalahan yang sedang kuhadapi.
“Apa?” heran Felix saat aku menatapnya.
“Teruskan ucapanmu.”
“Ucapan yang mana?” Felix makin terlihat bingung.
“Apa yang harus kulakukan, Fel?”
“Haaah …,” Felix mengembuskan napasnya, “Untuk hal seperti itu, mesti aku yang memikirkannya?”
“Aku sedang tidak bisa berpikir, Fel.”
“Sofyan … Sofyan … kau mesti banyak-banyak beristigfar.”
Sontak aku kaget. Hatiku tersentil dengan ucapan Felix barusan. Seorang Katolik telah mengingatkanku akan Tuhan. Aku lupa bahwa aku punya Allah, tempat melepaskan lelah dan resah. Bukan mengandalkan caraku semata.
“Astagfirullah …,” lirihku.
“Kau baru kali ini jatuh cinta?”
Aku mengangguk.
“Pantas saja kau seperti orang gila. Cinta telah mendangkalkan pikiranmu, Fyan.”
Dengan lirih, kulafazkan permohonan ampun.
“Aku rasa, salat saja tak cukup tanpa diiringi ikhtiar.”
Aku makin tercenung mendengar nasehat Felix.
“Jadi kau sudah tahu apa yang harus kau lakukan?”
Aku mengangguk.
***