Duhai Pemilik Dhuha
hamba bersimpuh
Dengan tangan menadah
Dalam sesungguh jiwa
Mentaubati sejagat dosa
Duhai Pemilik jiwa
Pemilik ampunan tanpa jeda
Terimalah sejumput doa
Meminta pengampunan atas dosa
Peluklah hamba
Dengan Rahman Rahim-Mu yang baka
Kamis, 5 September 2013
Handphone-ku berdering tepat di hitungan zikirku yang ke sembilan puluh. Kuabaikan. Lalu kulanjutkan zikir itu. Mencoba khusyu. Merapal rangkaian doa permohonan pengampunan yang diajarkan Sang Nabi penuh syahdu. Kugenapi zikir yang biasa didawamkan Sang Nabi usai dhuha hingga lafaz yang ke seratus.
Allohummaghfir-Lii Wa Tub ‘Alayya, Innaka Antat Tawwabur Rohiim.
Ya Allah, ampunilah aku dan terimalah taubatku, sesungguhnya Engkau Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.
Aku beranjak menuju meja belajar sambil melipat sajadah. Kuambil handphone di atas meja. Kulihat, ada tiga panggilan tak terjawab di sana. Bibirku melengkung senyum saat tahu siapa peneleponnya. Ada nama seorang gadis yang muncul di sana. Telepon gadis manis yang sebentar lagi berusia genap tujuh belas tahun itu selalu membuat rinduku membuncah. Noor ‘Aini, adik kesayanganku. Seorang gadis manis yang piawai memainkan biola berkulit hitam manis itu adalah salah satu penyebab rinduku. Tanpa menunggu lama, aku langsung menghubungi adikku.
‘Aini langsung berbicara panjang lebar tentang kejadian yang dialami hari ini bakda telepon tersambung. Aku hampir tak diberikan kesempatan berbicara. ‘Aini terus berkicau membicarakan seseorang yang siang tadi bertamu ke rumah. Sudah sekitar sebulan lalu, Pak Ramli, lelaki tetangga kampung itu telah membuat ‘Aini risih dengan sikapnya. ‘Aini curiga kalau Pak Ramli sebetulnya memiliki niat lain padanya. Bukan sekadar memberikan bantuan secara tulus. Tapi ada maksud tertentu di baliknya.
‘Aini pernah memperlihatkan isi pesan WhatsApp Pak Ramli padaku. Lelaki berwajah tampan dan cukup gagah di usianya yang memasuk usia empat puluh lima itu kerap menawarkan tumpangan kendaarn ke sekolah. Bahkan menawarkan pula untuk mengantarkan ‘Aini pulang ke rumah selepas pulang sekolah. Tak hanya itu, Pak Ramli sangat perhatiaan saat Emak sakit beberapa waktu lalu.
Aku teringat cerita ’Aini beberapa waktu lalu. Saat itu Emak bangun dari tempat tidur menuju ruang tamu. Batuk Emak makin parah. Bahkan hingga mengeluarkan darah. Emak lemas, lalu pingsan. ’Aini panik saat melihat kondisi Emak terkulai tak berdaya. Tiba-tiba Pak Ramli datang membawa mobil dan parkir. Pak Ramli yang juga membawa makanan, turun dari mobil. Dia kaget luar biasa saat melihat kondisi Emak dan ’Aini yang terlihat panik. Pak Ramli dan Aini membawa Emak ke Rumah Sakit. Tak lama selepas Emak sadar, ‘Aini meneleponku. Memberikan kabar tentang Emak sekaligus menceritakan kecurigaan ‘Aini tentang Pak Ramli.
“Pak Ramli itu kenapa baik banget sama keluarga kita ya? ’Aini curiga deh Bang.”
“Curiga gimana? Jangan suudzon. Nggak baik,” jawabku waktu itu.
“Orang kaya Pak Ramli itu emang wajib disuudzonin.”
“Abang ingat kan cerita ’Aini tentang Kak Rini?”
“Siapa?” tanyaku sambil mengingat.
“Istri keduanya Pak Ramli,” jawab ’Aini.
“Yang kakak kelas ’Aini itu?”
“Benar, Bang. Setelah lulus, Kak Rini nikah sama Pak Ramli,” jawab ’Aini, ”Denger-denger karena keluarga Kak Rini punya hutang budi sama Pak Ramli.”
“Masa sih? Memangnya masih zaman ya menikah karena punya hutang budi?”
“Entahlah. ’Aini khawatir, Pak Ramli memanfaatkan kebaikannya pada keluarga kita, Bang.”
“Memangnya kita punya hutang budi apa ke Pak Ramli?”
“Coba mak pikir, tempo hari Pak Ramli bayarin biaya rumah sakit Emak. Terus hampir tiap hari ke sini bawa makanan inilah itulah.”
“Biaya rumah sakit, bukannya dari kiriman Abang?”
“Iya, tapi waktu itu nggak cukup. ’Aini juga sudah kumpulin uang kiriman Abang sebelum-sebelumnya, tapi tetap nggak cukup karena sebagian sudah ’Aini pakai buat bayar sekolah, beli buku.”
“Insyaallah segera Abang ganti uangnya Pak Ramli.”
“Iya, Bang. ’Aini nggak mau nanti bernasib sama seperti yang dialami dengan Kak Rini.”
***
Teleponku dengan ’Aini masih membahas tentang Pak Ramli. Aku menyimak ceritanya. ’Aini menceritakan kepadaku kejadian yang menimpanya tadi sore. Saat itu ’Aini baru saja keluar dari kantor ekspedisi setelah mengirimkan paket baju jahitan Emak kepada pelanggan. Saat menuju pulang tiba-tiba Pak Ramli menghampiri dan menawarkan tumpangan kepada ’Aini.
’Aini tak menggubris. Dia memilih untuk melanjutkan lagi perjalanannya. Pak Ramli terus memaksa, Namun ’Aini terus menolak. Dari arah belakang, ’Aini mendengar suara meninggi. Suara yang sudah tak asing lagi. ’Aini memalingkan wajahnya ke sumber suara. Terlihat seorang wanita dengan wajah memerah. Matanya membelalak. Gerahamnya digigit sekuat-kuatnya. Deru napasnya memburu dipadu gejolak amarah yang segera membuncah. Rini tengah memergoki suaminya yang sedang berusaha merayu ’Aini. Rini berjalan mendekat. Pak Ramli terlihat salah tingkah. Keringat sebesar biji jagung mendadak meluncur dari peipisnya. Pak Ramli pucat.
“Oh jadi ini pelakornya. Hebat... kecil-kecil sudah jadi pelakor,” tuduh Rini.
“Astagfirullah Mbak Rini. Jangan salah paham mbak. Saya ....”
“Saya apa?” Rini tak memberika kesempatan kepada ’Aini untuk menjelaskan kejadian sebenaranya.
“Pantas saja sekarang nggak betah di rumah. Ternyata Abang ada main sama perempuan lain,” hardik Rini ke Pak Ramli.
“Astagfirullah ... Mba. Demi Allah saya nggak ada hubungan apa-apa dengan Pak Ramli.”
“Sabar Rin,” ucap Pak Ramli menenangkan istrinya, “Malu dilihat banyak orang.”
“Halah, alasan. Emang dasar kamu. Nggak nyangka ya kecil-kecil ternyata perusak rumah tangga orang,” kesal Rini sambil mendorong ’Aini hingga terjatuh.
***
“Sabar ya, Dik.” Aku berusaha menenangkan ’Aini yang menceritakan kejadian tak menyenangkan itu.
“Ngomong-ngomong, Emak mana?”
“Astagfirullah, maaf Bang, sampai kelupaan.”
“Kamu nyerocos terus, nggak kasih kesempatan Abang bicara.”
“Hehehe … iya Bang, maaf,” Ucap ‘Aini, “Emak ada. Lagi di dapur. Sebentar Bang.”
Kutunggu beberapa saat. Samar terdengar langkah ‘Aini menuju Emak di dapur. Lalu terdengar suara minyak panas di penggorengan. Entah, apa yang Emak masak di ujung sana. Aku hanya bisa membayangakan makanan terlezat yang sudah lama sekali kurindukan yang diracik dari tangan Emak.
“Telepon dari Bang Sofyan, Mak,” samar terdengar ucapan ‘Aini.
“Coba gantikan Emak sebentar.”
“Ok Mak.”
Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya aku dapat mendengar jelas suara wanita paling merdu di dunia. Suara penuh dengan nasihat-nasihat sederhana yang meneduhkan. Suara yang mulai lirih karena menua, tapi tetap kutemukan semangat dan cinta di dalamnya.
“Assalamu’alaikum …,” ucap Emak.
Suara Emak memang selalu meneduhkan. Bak selimut di malam hari saat turun hujan.
“Wa’alaikumsalam …,” jawabku penuh takzim, “Hmmm … harumnya masakan Emak sampai tercium ke sini hehehe.”
“Pasti kamu sudah kangen masakan Emak.”
“Kangen banget, Mak.”
Aku masih begitu merasakan kehangatan sebuah keluarga meski saat ini jarak telah memisahkannya.
“O iya Bagaimana kabar di sana, Nak?”
“Alhamdulillah baik, Mak. Sofyan sudah packing barang. Insyaallah jika tidak ada halangan minggu depan akan pulang.”
“Aaamiin,” jawab Emak.
“Asiiik,” terdengar girang ‘Aini di ujung sana, “Bawa jodoh sekalian, Bang!”
“Hahaha …,” tawaku cekikikan, “iya, entar jodohnya Abang koperin.”
“Ish emangnya baju, masuk koper.”
“Titip salam yaa buat Pak Ramli,” ledekku pada ‘Aini.
“Abaaaaaang …. ” teriak ‘Aini jengkel.
“Sudah-sudah jangan godain adikmu terus.”
“Awas ya, kalau Abang pulang, ‘Aini cubitin Abang nggak pake ampun.”
“Awas itu gosong,” ucap Emak ke ‘Aini.
“O iya, Mak, insyaallah besok Sofyan kirimkan uang buat bayar hutang ke Pak Ramli.”
“Nggak usah, Nak. Bagaimana nanti dengan biaya tiket pesawat dan lain-lainnya?”
“Insyaallah, ada Mak.”
Sekitar sepuluh menit akhrnya aku menyudahi telepon. Tadinya aku ingin menyampaikan sesuatu kepada Emak. Tentang perasaan hatiku yang berbungan dilanda cinta. Tadinya aku ingin meminta restu pada Emak untuk melamar seorang gadis yang telah membuatku jatuh cinta. Tapi semua urung kulakukan. Percuma saja. Untuk apa restu Emak, jika Om Thimoty telak menolakku mentah-mentah? Biarlah semua mengalir apa adanya. Aku percaya bahwa jodoh tak akan ke mana.
Yaa Rahman, Ya Rahim
Prasangkaku selalu indah tentang-MU
Dan Engakau mengikuti prasangka hamba-hamba-Mu
Maka indahkan segala jalan hidupku
Tentang segala yang telah Kau pilihkan untukku
Ikhlaskan hati ini menjalani segala takdir-Mu
Tentang rezeki, jodoh, maut yang ada dalam genggaman-Mu
Agar selalu tertanam dalam diriku
Bahwa yang terbaik hanyalah menurut-Mu
Bukan menurutku
***