Aku mengintip bapak dari celah-celah ventilasi dinding untuk memastikan apakah bapak sudah masuk ruang salat atau belum. Sebenarnya aku muak melakukan ini, mengintip dan melihat wajahnya berkali-kali. Namun aku harus melakukannya untuk memastikan agar aku tak bertemu dengannya. Aku bersembunyi di tempat wudu agak lama sampai bapak selesai merapikan sandal dan masuk ke ruang utama salat. Setelah sekitar lima menit keadaan mulai aman. Akhirnya bapak masuk ke ruang salat.
Ada hal yang membuatku kaget saat tadi seorang jamaah yang menyapa bapak saat merapikan sandal. Aku mendengar suara bapak terbata-bata tak selantang dulu. Tadinya aku curiga saat Uleng memintaku untuk menjadi wali nikahnya hanya sebuah siasat agar aku bisa pulang. Namun akhirnya aku bisa memakluminya setelah melihat sendiri kondisi bapak dengan mata kepalaku. Kuperhatikan bapak begitu sulit mengucapkan kata-kata. Bapak tak lagi seperti dulu dengan suaranya yang lantang dan tegas. Mungkin itu yang menjadi alasan Uleng memintaku menjadi wali nikahnya.
Uleng tak pernah bercerita tentang kondisi bapak yang sekarang kesulitan untuk berbicara. Aku tak berminat sedikit pun menanyakan lebih lanjut kepada siapa pun mengapa kondisi bapak sekarang bisa menjadi seperti sekarang ini. Aku sudah tak peduli dengan apa pun yang sudah menimpanya. Aku hanya menduga-duga saja bahwa kejadian beberapa tahun lalu menjadi penyebabnya. Saat itu Uleng memintaku segera pulang karena bapak sakit. Entah penyakit apa yang bapak derita aku tak mau menanyakannya lebih lanjut pada Uleng. Dari ciri-ciri yang kulihat sepertinya bapak terkena stroke. Wajar jika bapak terkena penyakit itu mungkin karena kecelakaan yang dialami bapak seperti yang pernah kudengar dari Enre. Tambah lagi gaya hidup bapak saat masih muda sebagai perokok berat. Bapak juga gemar meminum ballo[1] dan begadang hingga larut di tempat hiburan malam.
Enre pernah meneleponku dan mengabarkan tentang kondisi bapak yang tengah sakit beberapa hari setelah aku mendengar berita itu dari Uleng. Ia menceritakan padaku tentang penyakit yang diderita bapak. Beberapa hari sebelumnya bapak terjatuh saat perjalanan pulang dari mencari ikan. Hujan gerimis pagi itu membuat jalanan menjadi licin. Bapak terjatuh dan benturan keras mengenai bagian kepalanya. Bapak sempat dirawat hingga beberapa hari di rumah sakit tempat Uleng bekerja di RSUD Lamadukelleng. Enre menceritakan semuanya tentang keadaan bapak dengan begitu rasa prihatin dan simpati. Namun tak ada sedikit pun rasa sedih di hatiku mendengar kondisi bapak. Hatiku terlanjur dingin saat membahas segala hal tentang bapak. Aku tak peduli dengan segala penderitaan yang menimpanya sebagamana ia pun tak pernah mempedulikanku.
Tak berapa lama kemudian kudengar Were mengumandangkan iqomah. Salat isya segera dimulai. Kulihat jamaah sudah bersaf rapi di belakang imam. Aku berjalan mengendap dari tempat wudu menuju ruang utama salat. Kulihat kali ini Puang Kasii yang menempati posisi imam untuk memulai salat. Jantungku berdetak semakin cepat saat memasuki ruang utama salat. Aku berjalan bak seorang pencuri memasuki rumah orang kaya untuk melakukan kejahatan. Aku mengendap-endap sambil melihat kiri dan kanan. Aku ingin memastikan di mana posisi bapak.
Jamaah salat isya kali ini lebih sedikit dari jamaah salat magrib, hanya terdiri dari tiga saf jamaah saja. Puang Bahar, Enre, Were kulihat ada di saf terdepan. Puang Kasii mulai melantunkan alfatihah dengan suara merdunya. Aku berjalan pelan menuju saf ketiga ke barisan yang satu-satunya kosong di sebelah kiri. Langkahku terhenti beberapa jarak sebelum tiba di saf ke tiga. Aku melihat sosok lelaki yang berdiri di saf paling kiri. Kuperhatikan ia dalam-dalam dari ujung kepala hingga ujung kaki. Baju dan kain sarung yang dipakainya sama persis dengan sosok lelaki tua yang tadi kulihat tengah merapikan sandal di teras masjid.
Aku berdiri mematung sementara Puang Kasii baru saja menyudahi bacaan alfatihah disambut gemuruh para makmum yang mengaminkannya. Aku masih berdiri ragu. Apakah aku harus mengisi tempat kosong di saf ketiga? Itu artinya aku harus bersebelahan dengan bapak. Aku enggan berdiri berdekat-dekatan dengannya. Aku muak apalagi sampai harus bersebelah-sebelahan. Namun aku juga tak mungkin membuat saf di belakang sendirian. Untuk beberapa saat aku berdiri mematung sambil menoleh ke arah pintu masjid. Aku berharap masih ada jamaah yang datang lalu membuat saf baru di belakang.
Sampai Puang Kasii akan menyudahi bacaan surat pendek, nyatanya tak ada satu pun jamaah yang datang. Kakiku terasa sangat berat untuk melangkah. Aku memasuki tempat kosong di saf ketiga dengan terpaksa. Salat yang memang jarang kulakukan dengan khusyu kali ini makin membuatku tambah gelisah. Berdiri besebelahan dengan bapak membuat pikiranku terbang kemana-mana.
***
Sungguh tak ada khusyu sama sekali salat isya kali ini. Aku mencoba memejamkan mata. Namun masih saja pikiranku terganggu dengan sosok yang berdiri di sebelahku. Sepanjang salat banyak sekali godaan-godaan setan yang muncul di otakku. Tiba-tiba muncul banyak pertanyaan yang seharusnya tak pantas kupikirkan saat menghadap-Nya. Bapak yang dulu kukenal paling malas untuk salat, kini kulihat dengan mata kepalaku sendiri sedang berjamaah di masjid. Aku pun bertanya-tanya dalam hati tentang perubahan bapak seperti yang diceritakan Puang Bahar, Enre dan Were saat kami berbincang di serambi masjid usai salat maghrib tadi.
Aku masih merasa sinis dan skeptis dengan semua cerita mereka tentang perubahan bapak. Rasanya aku masih tak percaya meski aku sudah langusng melihatnya sendiri dengan mata kepala. Rasanya ini seperti mimpi. Bapak yang dulu kukenal gemar menghabiskan uang di meja judi kini berubah drastis menjadi seorang yang berkhidmat pada masjid. Bapak yang kukenal paling senang dengan hiburan malam bersama perempuan-perempuan nakal kini tengah berdiri salat dengan khusyunya. Bagiku sungguh ini rasanya seperti mimpi. Suatu hal yang sangat mustahil terjadi. Cerita tentang perubahan bapak yang sekarang menjadi lebih baik membuatku apatis. Aku hanya tahu sikap bapakku yang begitu bengis. Bekas jahitan di pelipis kiriku ini adalah buktinya kegilaan bapak atas perlakuannya padaku yang aniaya.
Malam itu akhirnya bapak pulang juga setelah berhari-hari pergi tanpa kabar dari rumah tanpa sedikitpun memberi uang nafkah. Hal yang paling membuat hatiku pedih adalah saat ia pulang ke rumah bersama seorang perempuan tuna susila. Aku meradang dengan kelakuan bejatnya. Aku marah sejadi-jadinya sebab sebagai anak aku paling tidak suka melihat hati ibuku terluka. Amarahku makin memuncak saat bapak lebih membela perempuan nakal itu dari ibuku yang tak lain adalah istrinya. Aku makin meradang saat bapak menjelek-jelekkan ibu di hadapanku ditambah pula dengan kata-kata kasar yang sungguh tak berperikemanusiaan. Akhirnya kali itu aku memberanikan diri melawannya. Aku melemparkan gelas yang ada di dekatku ke arah bapak. Namun ia bisa menghindarinya. Bapak berjalan ke arahku sambil sempoyongan. Dari mulutnya dapat kucium aroma alkohol yang membuatku mual. Dengan dengusan marahnya bapak menarik kerah bajuku.
Aku ketakutan. Bapak makin memegang erat kerah bajuku hingga leherku tercekik dan hampir kehabisan napas. Lalu dengan kasar ia menghempaskanku bagai sampah. Kepalaku terbentur pintu dan darah mengucur dari pelipis kiriku. Ibuku tak bisa berkata apa-apa lagi saat melihat kejadian itu selain hanya beristigfar sambil menangis sejadi-jadinya. Kulihat Uleng yang sejak tadi bersembunyi ketakutan di kamar sambil menangis sesegukan. Sementara itu, ibu yang melihatku jatuh tersungkur dengan darah yang bersimbah kemana-mana segera menolongku dan menutup lukaku dengan tangannya.
Malam itu akhirnya bapak kabur dari rumah bersama si perempuan nakal. Bapak sama sekali tak peduli denganku yang tengah kesakitan. Ibu menahan darah yang terus mengalir dari pelipisku dengan kain yang ia robek dari ujung bajunya. Bapak juga tak peduli bagaimana dengan perasaan ibu, aku dan Uleng dengan sikapnya. Aku tahu ibu sudah lelah dengan tingkah bapak. Aku tahu hati ibu begitu terluka dengan perlakuannya. Aku tahu ibu tak ingin bapak melakukan lagi kekerasan fisik padanya. Ibuku hanya bisa terdiam melihat kejadian di depan matanya bukan karena ia pasrah. Aku tahu ibu trauma denga kejadian-kejadian sebelumnya. Saat itu ibu memergoki bapak sedang bermesraan di rumah bersama selingkuhannya.
Ibu menghardik si perempuan dan memintanya untuk pulang. Namun yang terjadi malah sebaliknya. Bapak bukannya berpihak pada ibu tapi malah menghardiknya dan membela wanita yang menjadi selingkuhannya. Ibu yang saat itu bertahan membela diri akhirnya ketakutan saat bapak mengambil parang lalu mengacungkannya pada ibu dengan penuh ancaman. Ibu berlari. Bapak mengejarnya dengan tetap mengacungkan parang dengan menghujat ibu dengan berbagai kata-kata kasar. Akhirnya ibu bersembunyi dan meminta perlindungan di rumah Puang Bahar selama beberapa hari karena ketakutan.
***
[1] Sejenis tuak khas daerah Bugis Makasar