Were bangkit dari duduknya lalu meminta izin karena sebentar lagi ia akan mengumandangkan azan isya. Sesekali kudengar lolongan anjing bersahut-sahutan, angin malam dinginnya begitu menusuk padahal aku sudah menggunakan jaket yang cukup tebal. Beberapa kali dedaunan yang terbawa angin menampar wajahku. Puang Bahar pun bangkit dari duduknya. Kulihat ia melangkah menuju tempat wudu. Dari serambi masjid kulihat Were sedang mempersiapkan sajadah untuk imam lalu mengatur suara mic untuk azan isya yang sebentar lagi akan berkumandang.
“Rasanya aku belum siap jika harus pulang ke rumah malam ini.”
Enre yang terlihat asyik menuliskan pesan di WhatsApp langsung melihat ke arahku.
“Maksudmu?”
“Bolehkah aku menginap di rumahmu malam ini?”
“Rumahmu kan dekat dari rumahku. Tinggal jalan lima menit juga sampai. Memangnya kau tidak rindu dengan Ibu dan Uleng?”
“Please, Re. Malam ini saja. Bisa kan?”
Aku membujuk Enre agar bisa menginap di rumahnya. Aku berjanji hanya untuk satu malam saja menginap di rumahnya. Enre menarik panjang napasnya. Ia menasihatiku agar segera pulang bertemu dengan ibu dan adik yang sudah lama menungguku. Aku memang tak memberitahukan kepulanganku hari ini pada Ibu dan Uleng. Aku pun sudah men-setting agar Uleng tak bisa melihat instastory-ku. Namun ternyata Enre sudah memberitahukannya sejak pertama kali menjemputku di bandara. Baru saja ia mengirimkan pesan WhatsApp kepada Uleng untuk mengabarkan bahwa Enre akan mengantarkanku malam ini pulang ke rumah. Dengan sedikit memelas akhirnya Enre pun mengabulkan permintaanku.
Malam ini terasa sangat berbeda seperti malam-malam biasanya. Rasanya aku belum siap menjejakan lagi kaki ini di rumah yang menyimpan begitu banyak luka. Rasa rindu pada Ibu dan Uleng serta rasa dendamku pada bapak bercampur di ruang hati yang sama. Tak bisa kujelaskan perasaan yang sedang kualami saat ini dengan kata-kata. Hatiku merasakan adanya ketidaknyamanan. Setidaknya malam ini aku ingin menenangkan hati sejenak di rumah Enre untuk mengurangi beban pikiran.
***
Enre bangkit menuju tempat wudu sementara aku masih duduk di serambi masjid sambil membaca beberapa komentar di salah satu foto yang kuunggah di Instagram. Kulihat ada komentar Uleng di sana. Dari rekam jejaknya ia menuliskan itu sekitar satu jam yang lalu. Ia menuliskan komentar dengan singkat: Alhamdulillah, can’t wait. Uleng sudah tahu kalau aku sudah tiba di Sengkang sebab Enre telah memberitahukannya. Kulihat beberapa notifikasi pesan yang muncul di WhatsApp. Ternyata ada juga pesan Uleng di sana. Ia menanyakan jam berapa aku tiba di rumah. Katanya ia akan memasak makanan spesial kesukaanku.
Aku tak membalas komentar Uleng di Instagram maupun pesannya di WhatsApp. Aku tak ingin jawabanku membuatnya kecewa sebab hatiku masih belum siap untuk segera kembali ke rumah. Kulihat juga ada beberapa panggilan masuk dari Uleng. Aku tak mengangkatnya sebab tak tahu ada panggilan itu di ponselku. Sejak turun dari pesawat di Bandara International Sultan Hasanuddin aku lupa mengaktifkan suara ponselku. Maafkan aku dik, sungguh aku begitu merindukanmu dan ibu. Aku berharap besok kita bisa bertemu.
Kulihat ke arah ruang salat. Puang Bahar dan Enre sudah bersiap di saf pertama. Di sebelah Puang Bahar kulihat ada sosok yang tampak tak asing lagi bagiku. Kulihat mereka sedang berbincang akrab dengan sesekali diselingi tawa ringan di antara keduanya. Aku yakin orang itu adalah Puang Kasii meski aku hanya dapat melihatnya dari tampak belakang. Rasanya tak sabar ingin segera bertemu lalu menumpahkan rinduku padanya.
Were bersiap mengumandangkan azan. Bulan di langit malam seolah tersenyum saat mendengar teduh suaranya. Mataku membasah mendengar lafaz-lafaz indah yang keluar dari bibirnya. Baru kali ini bait-bait panggilan salat terdengar begitu manis hingga menyentuh jiwa. Beginikah iman? Ia datang dengan perasaan yang menggetaran hati saat tersentuh nama-Nya. Entahlah. Aku tak berani mengatakan ini iman sebab telah lama hati ini berselimut dendam.
Suara azan masih berkumandang. Kulihat beberapa jamaah mulai berdatangan. Aku beranjak dari serambi masjid untuk mengulang wuduku yang batal beberapa saat lalu. Aku melangkah melalui teras masjid untuk menuju tempat wudu. Aku menghentikan langkah saat melihat seorang bapak tua sedang merapikan sandal jamaah di teras yang letaknya tak beraturan di mana-mana. Aku sangat terkesan melihatnya. Ternyata masih ada orang yang peduli menjaga rumah Tuhan agar selalu tetap rapi dan indah. Ia merapikan semua tanpa kecuali termasuk sepatuku yang ia letakkan di rak bersama dengan sandal jamaah lainnya. Aku bertambah takjub saat lelaki tua itu membersihkan kotoran yang menempel di sepatuku dengan mengambil daun kering yang jatuh di tanah.
“Semoga Allah membalas ….”
Doa yang terlantun pelan dari bibirku mendadak kelu saat lelaki tua itu menyudahi merapikan sepatuku dan mengangkat wajahnya.
“Bapak?” batinku.
Aku memalingkan wajah agar tak terlihat olehnya. Langkah pun kupercepat untuk segera memasuki tempat wudu. Mendadak napasku memburu. Dadaku bergemuruh. Segala amarah terasa memuncak memenuhi jiwa. Aku tak mau melanjutkan doa itu. Aku tak mau memberikan doa untuk orang yang telah membuat hidupku merana. Argh… mengapa aku harus bertemu dengan dia? Mengapa bukan ibu yang pertama kulihat wajahnya? Mengapa bukan Uleng? Mengapa harus bapak, yang tak sedetik pun ada ruang rindu di hatiku untuknya.
***