Saat itu pukul delapan pagi bertepatan dengan acara kelulusan sekolah. Kali ini pihak sekolah mengadakan acara yang berbeda untuk acara kelulusan siswa. Para siswa pun kompak tak mengadakan acara corat coret baju sebagai tanda bahagia pada umumya saat hari kelulusan tiba. Undangan untuk para orang tua untuk menghadiri acara yang baru pertama kalinya digelar pihak sekolah sudah dikirimkan sejak seminggu sebelumnya. Kami berbaris rapi di lapangan mendengarkan arahan sebelum akhirnya kami menyusun bangku-bangku di tengah lapangan. Acara kelulusan kali ini adalah mencuci kaki ayah atau ibu sebagai ungkapan rasa terima kasih atas segala jasa mereka. Curahan doa tulus dari merekalah yang membuat perjuangan selama tiga tahun menuntut ilmu hingga kami lulus menjadi mudah.
Bangku-bangku pun sudah tersusun rapi dengan dituliskan nama-nama siswa dan kelas di bagian atasnya. Tak berapa lama pembawa acara mengumumkan melalui pengeras suara agar orang tua yang diwakili oleh ibu atau bapak dari siswa untuk duduk di kursi yang sudah disiapkan. Kulihat mereka mencari-cari bangku yang tertulis nama anaknya. Ada yang kebingungan mencari nama anaknya sebab sudah tua dan tidak bisa melihat lagi dengan jelas. Ada juga yang tak bisa mengetahui nama anaknya karena tidak bisa membaca. Panitia acara pun turun tangan untuk membantunya.
Tak berapa lama kulihat semua orang tua sudah menduduki bangku sesuai dengan nama anaknya. Tampak kulihat ada rona bahagia di wajah mereka. Kulihat masih ada tiga bangku kosong dan tentu saja ada salah satu namaku di sana. Hari ini ibuku berhalangan hadir. Tadinya aku akan membanggakan ibu sebab kepala sekolah akan mengumumkan siswa peraih nilai terbaik di sekolah di acara itu. Saat pembukaan acara tadi wali kelasku membisikkan padaku serta memberikan selamat karena aku meraih nilai terbaik di antara seluruh siswa.
Sayangnya malam hari sebelumnya ibu memberitahuku bahwa ia tak bisa datang. Pabrik kain tenun sutra tempat ibu bekerja membutuhkan tenaga ibu sebab produksinya sedang meningkat. Ibu terlihat sedih dan meminta maaf padaku sebab sebelumnya ia sudah mengiyakan dan berjanji akan hadir di acara itu. Aku sedih, kecewa tapi aku bisa memahami keadaan ibu yang memang harus bekerja banting tulang untuk kami sekeluarga.
Tadinya ibu memberikan undangan itu pada bapak. Namun bapak tak mempedulikannya. Jangankan dibaca, undangan itu masih rapi di dalam amplopnya. Namun tak apa, lagi pula aku juga tak menginginkan kedatangannya. Aku yakin bapak juga tidak akan datang kalau pun aku memaksanya, yang ada malah dia mengamuk lalu aku akan menjadi sasaran kemarahannya. Percaya atau tidak bahkan bapak tidak pernah tahu aku sekolah di mana.
Kulihat keadaan sekitar barangkali ibuku bisa hadir memberi kejutan. Kulihat satu persatu wajah orang tua yang hadir dan telah duduk di bangku khawatir ibuku salah menduduki bangku orang lain. Dari depan hingga ke belakang sudah kusisir semua wajah. Namun tak kutemukan juga sosoknya di sana. Kali ini kualihkan pandanganku ke arah gerbang sekolah berharap ada sosok ibu di sana. Namun tak juga terlihat sosoknya. Hatiku makin gelisah sebab acara segera dimulai. Masing-masing anak sudah siap membawa handuk kecil dan wadah baskom kecil berisi air bercampur bunga.
Lima menit berlalu dari pukul delapan pagi. Dua bangku yang tadinya kosong sudah terisi. Berarti tinggal satu lagi bangku yang kosong dan tentunya itu adalah bangku yang tertulis namaku. Kulihat teman-temanku sudah mulai berjalan menghampiri orang tua yang telah siap menunggu duduk di bangku sesuai instruksi pembawa acara. Aku hanya terdiam berdiri melihat pemandangan di depanku. Mataku masih tertuju pada bangku kosong itu. Bangku yang kuharapkan ada ibu yang duduk di sana untuk kucuci kakinya dengan sepenuh cinta. Sekali lagi pembawa acara meminta agar seluruh siswa menuju bangku di tengah lapangan. Lagi-lagi aku hanya bisa terdiam dan tiba-tiba hatiku gerimis lalu hujan pun turun dari kedua mataku.
Aku berdiri sendirian di pinggir lapangan, sementara teman-temanku sudah bersiap mengikuti acara pembasuhan kaki yang akan berlangsung sebentar lagi. Air di dalam wadah baskom kecil bergoncang sebab tanganku bergetar menahan tangis dan sesak di dada. Handuk kecil yang kuletakkan di lengan kiri pun terjatuh ke tanah. Dadaku bergemuruh. Kutahan sekuat mungin agar tangisku tak pecah. Namun lelehan air mata mengalir di pipi tak henti-hentinya. Aku berjongkok mengambil handukku yang terjatuh. Tiba-tiba ada bayangan hitam menghampiriku tanda ada sosok yang melangkah mendekat ke arahku. Aku bisa merasakan kini ada sosok yang berdiri tepat di depanku.
Aku masih tetap berjongkok dan menundukkan kepala. Aku hanya bisa melihat sepatunya dan dari sepatunya aku hafal benar kalau orang berdiri di depanku ini tak lain orang yang sudah kukenal. Kuangkat kepalaku perlahan. Puang Bahar berdiri tepat di depanku sambil tersenyum. Ia memegang lenganku membantuku berdiri lalu mengusap air mataku yang terus mengalir di pipi. Ia membelai rambutku seolah tahu betapa sedihnya hati ini. Puang Bahar mengisyaratkan agar aku menuju bangku di tengah lapangan. Aku menggeleng pelan sambil mengusap air mata dengan isak tangis yang kutahan. Puang Bahar menepuk pundakku pelan seraya menguatkanku lalu ia meminta maaf padaku. Aku bingung untuk apa ia meminta maaf. Lalu ia melanjutkan ucapannya.
“Tullega puang tolai ambo, indo Wellang tudang akkoro?”[1]
Aku yang tengah tertunduk langsung menatap wajah Puang Bahar yang sedang tersenyum sambil menatapku lembut.
“Bolehkah?” tanya Puang Bahar sekali lagi.
Air mataku yang sudah berhenti tiba-tiba mengalir makin deras. Aku mengangguk pelan. Kulihat wajah Puang Bahar makin tersenyum lebar. Aku pun berusaha tersenyum di antara derasnya tumpahan air mata. Kami berjalan beriringan menuju bangku kosong yang tertulis namaku. Kulihat Enre sudah bersiap di depan ibunya yang duduk di bangku sedari tadi. Enre melihat ke arahku lalu tersenyum sambil mengacungkan jempolnya. Aku pun tersenyum di sela-sela isak tangisku yang bercampur antara sedih dan bahagia.
Kubersihkan alas bangku dengan telapak tanganku beberapa saat sebelum Puang Bahar mendudukinya. Aku duduk bersimpuh di hadapannya. Selanjutnya kami mengikuti instruksi pembawa acara untuk membasuh kaki orang tua. Kubuka satu persatu sepatu Puang Bahar lalu mencuci kakinya sebelah kanan lalu mengeringkannya dengan handuk kecil yang sudah kusiapkan. Begitupun kulakukan untuk kaki sebelah kirinya. Setelah selesai kuarahkan pandanganku ke wajah Puang Bahar. Kulihat ada titik air mata di ujung matanya. Sambil tersenyum ia mengusap lembut kepalaku dan aku memeluknya. Kudengar bisik Puang Bahar lembut di telinga kananku sambil menepuk-nepuk pelan punggungku. Hatiku bergemuruh mendengar nasihatnya dan membuatku main erat memeluknya.
***
[1] Bolehkah Puang menggantikan bapak, ibu Wellang duduk di sana?