Sekitar tiga jam perjalanan akhirnya aku tiba di Makassar. Pesawat mendarat sekitar pukul 10.55 di Bandara International Sultan Hasanuddin. Aku menelepon Raya melalui ponsel Rona bahwa aku sudah mendarat dengan selamat. Sayangnya tak tersambung. Harusnya mereka sudah tiba di Bandung sekitar dua jam lalu. Mungkin ponsel Rona lowbat atau bisa jadi masih dalam mode airplane. Akhirnya aku mengirim pesan WhatsApp dengan harapan setelah ponselnya aktif Rona akan membaca dan memberitahukannya pada Raya.
Aku beristrahat sebentar di ruang tunggu bandara. Rencananya lepas zuhur aku baru melanjutkan perjalanan ke Makassar lalu pulang ke Sengkang, sebuah kota yang dikenal sebagai kota niaga, sebab kepiawaian masyarakatnya dalam berdagang. Aku menuju sofa di salah satu sudut dekat jendela. Kurogoh tas selempang kecilku untuk mengambil power bank dan sebuah bungkusan kecil terjatuh dari dalamnya. Bingkisan dari Om Bira yang diberikan padaku saat hari terakhir kami di Christchurch. Aku berjongkok mengambil bingkisan yang terbungkus kertas polos warna biru muda, lalu melangkah menuju sofa.
“Setelah sekian lama, ternyata dia masih saja ingat warna kesukaanku,” batinku.
Aku duduk dengan menyandarkan pundakku, lalu membuka bingkisan itu. Tiba-tiba aku merasa seperti kembali mendapat perhatian seperti masa lalu. Dulu, Om Bira sering memberikan hadiah-hadiah untukku dengan tema biru muda.
“Astagfirullah,” ucapku memohon ampun sebanyak-banyaknya.
Mataku memejam dengan jantung berdegup tak karuan. Aku berusaha menahan gejolak yang bergemuruh dalam dada. Aku berusaha meredam segala rasa yang pernah terjalin dengan Om Bira di masa sebelumnya. Rasanya ingin kubuang saja bingkisan ini ke tong sampah agar tak membuatku gelisah.
Aku tak ingin lagi mengingat masa-masa lalu bersamanya. Barang-barang pemberian Om Bira di masa lalu pun sebagian sudah lenyap tak bersisa. Barang-barang yang masih bisa dimanfaatkan kusumbangkankan ke panti asuhan dan kubagikan ke teman yang membutuhkan. Sementara, sebagian barang-barang lainnya kubakar hingga tak bersisa agar tak lagi mengingatkanku lagi kepadanya.
Aku penasaran ingin membukanya. Minimal aku akan membuangnya setelah mengtahui apa isinya. Lalu, aku membuka bungkusan itu dengan taawuz dan istighfar sebanyak-banyaknya. Kulihat ada secarik kertas di dalamnya. Ternyata, ada sebuah benda lagi yang masih dibungkus dengan kertas putih polos yang entah apa isinya.
Kubuka secarik kertas itu dengan perlahan. Aku melihat ada tulisan di sana. Tulisan tangan Om Bira. Benar, tulisan tangannya. Aku masih hafal betul gaya tulisannya yang sangat rapi dan huruf-hurufnya yang berdiri tegak sehingga mudah dibaca. Lalu, kubaca isinya. Napasku mendadak memburu. Mataku bekaca-kaca. Aku tak kuat membaca isinya.
Untuk adikku: Wellang
Apa kabar?
Semoga Allah selalu menjaga hati dan langkahmu.
Semoga kau memaafkan kekhilafanku
Memaafkanku karena telah merusak hidupmu
Dik,
Jaga wudu dan salatmu
Semoga Allah senantiasa menjagamu
Memberkahi setiap langkahmu
Dik,
Aku memang seorang pendosa
Sedang berusaha menata hati agar tetap istiqomah di jalan-Nya
Doakan agar hati ini selalu Allah jaga
Semoga kelak kita bisa kembali berjumpa
Dengan keadaan lebih baik
Di tempat yang terbaik
: SURGA
Salam
Danu Bira Tresna
***
Aku mengira Om Bira masih belum berubah dan mencari kehidupan bebas di negeri orang. Ternyata aku salah. Aku telah berburuk sangka. Coretan sederhana di kertas itu terasa begitu menyentuh jiwa. Tak terasa air mataku pun tumpah. Aku merasakan sosok Om Bira saat ini berbeda dengan yang pernah kukenal sebelumnya.
Aku sudah merasakan perubahannya saat pertemuan tak sengaja di kedai Omar Kebab untuk kali pertama setelah sekian lama berpisah. Aku pun bisa merasakan ada perubahannya saat melihat kali kedua di Canterbury Museum di hari terakhir sebelum kembali ke Indonesia. Aku yakin semua orang bisa berubah menjadi lebih baik termasuk Om Bira dan semoga aku juga bisa mengikuti jejaknya dan mampu istiqamah.
Kuhapus air mataku lalu kubuka sebuah benda kecil yang dibungkus dengan kertas putih polos. Beruntung aku tak jadi membuangnya ke tong sampah. Ini hadiah terindah dan paling berharga. Tak layak untuk dibuang. Tak layak diperlakukan sembarangan. Tak layak ditempatkan di sembarang tempat. Kulihat sebuah Al-Qur’an ukuran saku dengan sampul hitam berukir kaligrafi kufi bertinta emas.
Aku membuka Al-Qur’an itu lalu kulihat tulisan khasnya dengan khat utsmani. Di dalamnya terselip foto ukuran postcard. Foto yang diambil Om Bira secara candid saat aku mengantri di toko Kebab di salah satu sudut Queenstown Mall. Kulihat di belakangnya ada sebuah tulisan: “Ternyata notes cokelat tua itu masih kau bawa-bawa, semoga bermanfaat, ya dik.” Aku tersenyum dingin saat Om Bira mengingatkanku tentang notes pemberiannya.
***