Tadinya aku ingin mengabarkan pada Uleng kalau hari ini aku akan pulang. Aku yakin dia pasti akan senang mendengarnya. Namun, urung aku lakukan. Biarlah kepulanganku menjadi kejutan untuknya. Aku mengambil ponsel dari saku celana. Kulihat, ternyata ada puluhan telepon masuk dari Uleng yang tak kuangkat.
Kulihat juga ada beberapa pesan di WhatsApp dan notifikasi di Instagram serta Facebook dari Uleng. Kubuka, lalu baca pesan dari Uleng yang dia kirimkan di WhatsApp, Instagram serta Facebook. Kata-kata yang tersusun di sana semua sama. Lesuni kesi, Daeng![1] Uleng sangat mengharapkanku untuk bisa pulang ke Sengkang.
Bukan karena enggan mengangkat telepon adikkku, hanya saja ponselku sedang ku-setting silent sejak turun dari pesawat. Aku baru melihat telepon Uleng saat ingin memberi tahu Raya kalau tas selempang kecilnya ada padaku. Beberapa saat sebelum boarding tadi, dia menitipkannya padaku karena harus ke toilet. Dia tak membawa tasnya itu, sebab ada Al-Qur’an di dalamnya.
Aku pun tak sadar dan lupa mengembalikan tas itu kepada Raya. Segera, aku menghubungi Raya melalui ponsel Rona. Sebab ponsel Raya pun tertinggal di dalam tas kecilnya.
“Assalamualaikum,” ucapku sesaat setelah Rona mengangkat telepon.
“Waalaikumsalam. Aahh … pas banget, baru saja aku mau meneleponmu, Wellang,” jawab Rona.
“Iya. Tas dan handphone Raya.”
“Wait, Raya mau bicara.”
“Ok.”
Jeda beberapa saat, terdengar suara Raya.
“Halo … halo … Wellang? Ini aku Raya.”
“Aku sudah di dalam pesawat, Raya. Maaf, tadi buru-buru, jadi aku juga lupa tadi mau ngembaliin tasmu.”
“It’s ok. Santai saja. Tolong titip tas dan handphone-ku ya?”
“Siap. Insyaallah.”
“O iya, diary-ku ada di dalam tas kan?” ucap Raya memastikan.
“Wait,” ucapku sambil melihat isi tasnya.
“Aku lupa tadi simpan di mana.”
Setelah kuperiksa isi tasnya dan ternyata aku melihat ada salah satu barang berharga dalam hidupnya. Diary ayahnya.
“Aman, Raya. Diary-mu ada di dalam tas. Handphone-mu juga.”
“Alhamdulillah.” Raya terdengar lega saat mengetahui dairy itu ada di dalam tasnya, “Titip ya, Lang. Jangan sampai hilang.”
“Iya. Siap. Insyaallah aman bersamaku.”
Raya sangat khawatir jika diary itu hilang sebab itu satu-satunya cara dia untuk melepaskan rindu pada ayahnya selain berdoa.
“Ibu pernah bilang padaku mengapa ayah menuliskan ini untukku,” ucap Raya beberapa waktu lalu.
“Untuk menjadi kenangan?” tebakku.
“Ayah pernah bilang pada ibu, kalau dia menuliskan ini agar menjadi sejarah dalam kehidupanku. Juga sebagai bukti betapa ayah begitu mencintai dan merindukanku. Bahkan sejak aku masih dalam kandungan ibu.”
“Ah senangnya kau, Raya bisa terlahir dari sosok ayah yang begitu penyayang dan perhatian,” batinku.
***
Jadwal penerbanganku pukul 7.55 waktu setempat dan bersyukur tak mengalami delay. Menurut info yang kudapat pesawat akan mendarat sekitar pukul 10.55 di Bandara International Sultan Hasanuddin. Aku masih menunggu di dalam pesawat untuk selanjutnya lepas landas. Masih menunggu antrian terbang katanya.
Sambil menunggu, aku memutuskan untuk membaca diary ayah Raya. Sebenarnya aku ragu untuk membacanya. Bukan karena membacanya tanpa izin. Bahkan, Raya sudah mengizinkanku untuk membacanya sejak lama. Pun tadi saat aku meneleponnya. Lagi-lagi Raya mengizinkan agar mengisi waktu dengan membacanya.
“Kalau kau penasaran isinya, tak apa kau baca, Lang,” ucap Raya tadi di telepon.
“Ah, nggak kok. Aku kurang hobi membaca,” ucapku berkilah.
Aku penasaran apa yang ditulis ayah Raya untuk anaknya. Aku penasaran bagaimana ungkapan seorang ayah pada anak yang dicintainya. Aku penasaran ingin membaca diary yang isinya adalah sebagian dari sejarah hidup Raya.
“Ah, nggak mungkin. Terus buku Kahlil Gibran yang kau berikan pada Runi apa namanya?”
“Aah itu beda.”
“Yaa terserah kau saja. Silakan kalau kau mau membacanya. Aku sudah mengizinkannya ya.”
“Siap,” jawabku singkat.
“Anggap saja ayahku adalah ayahmu juga. Anggap saja tulisan ayahku juga ditulis untukmu.”
Akhirnya, kuambil diary itu dari dalam tas Raya. Entah mengapa, tanganku gemetar. Aku memberanikan diri membacanya sambil mengisi waktu menunggu pesawat lepas landas.
***
[1] Pulanglah, Kak.