Tepat pukul sembilan malam, aku mendengar ada suara gaduh dari luar kamar. Perasaanku mulai tak enak. Seperti ada pertanda buruk yang akan menimpaku tapi aku mencoba menepisnya. Benar saja, pintu kamarku dibuka secara paksa tepat saat aku membuka kaos putih dan Om Bira yang hendak membuka celananya. Warga menangkap basah saat kami hendak berbuat asusila.
Aku tak tahu lagi apa yang terjadi. Yang jelas warga langsung menghajarku. Pukulan mendarat berkali-kali di wajahku. Aku tak bisa melawan warga yang makin beringas. Aku hanya bisa menangis sambil menahan rasa sakit akibat deraan yang membuat tubuhku lemah.
Pukulan datang bertubi-tubi menyebabkan hidung dan pelipisku mengeluarkan darah. Aku tersungkur jatuh dan warga masih terus menghujamiku dengan bogem mentah. Aku sudah memohon ampun berkali-kali tapi, warga yang kalap terus menendang tubuhku sambil mengeluarkan kata-kata sampah. Umpatan dan hinaan terus keluar dari mulut mereka.
Sakit rasanya. Tak hanya tubuh tapi perasaanku pun terluka saat mereka meneriakiku dengan kata-kata hujatan. Mereka meneriakiku dengan kata-kata binatang dan menyamakan diriku layaknya pelacur. Bahkan, lebih rendah dari itu. Aku memang hina dan mereka pun pantas jika mengatakan demikian. Entah, bagaimana nasib Om Bira waktu itu sebab aku berhasil lari meninggalkannya.
***
Itulah alasan terbesar mengapa aku akhirnya memutuskan hubungan dengan Runi. Aku terpaksa memutuskan hubungan dengannya meski dengan berat hati. Aku tak ingin menyakiti hatinya lagi. Aku sudah merenggut kesucian darinya. Aku pun tak ingin dia tambah membenciku jika mengetahui hubungan terlarangku dengan paman kandungnya.
Aku pun tak bisa membayangkan jika aku menceritakan kejadian sebenarnya antara aku dan Om Bira malam itu pada Raya. Jujur, aku sangat tulus mencintai Runi dari dalam hati, tanpa ada sedikit pun pamrih. Bukan karena keterpaksaan atau bahkan sebuah kepura-puraan karena menutupi hubungan terlarangku dengan pamannya.
Maha suci Engkau
yang telah menutupi aib-aib setiap hamba
Orang mungkin akan memandang soleh
tapi yang tahu isi hati sebenarnya
hanya dirinya dan Tuhan saja
Wahai Sang Maha Pemberi Cahaya
Perbaikilah akhlakku
Luruskanlah hatiku pada-Mu
Mudahkan jalan-jalan kebaikan
Lalu teguhkan
Pertemuan dengan Runi hari ini membuatku tambah yakin bahwa aku akan merahasiakannya ini seumur hidupku. Dulu aku pikir menutupi keburukan diri atau tidak menceritakan aib ke publik adalah ciri-ciri orang munafik. Sebab, antara tindakan dan perkataan yang tidak sejalan. Ternyata, aku salah.
Ternyata, aib dan maksiat yang kita lakukan itu justru harus kita jaga. Tidak untuk diumbar-umbar, terlebih dengan perasaan bangga. Cukup kita dan Allah saja yang mengetahuinya. Ibarat bangkai yang mesti ditutup rapat-rapat agar tak tercium baunya.
Seperti pesan yang tadi Runi katakan padaku beberapa waktu lalu sebelum akhirnya kami berpisah usai menyusuri Sungai Avon. Pesan yang membuatku urung menceritaan aibku pada Raya. Pesan dari sabda Sang Nabi yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim meluncur melalui mulutnya. Sebuah pesan yang mencerahkan bagiku bahwa kita harus menutupi aib yang sudah Allah tutupi dari hadapan makhluk-Nya.
Setiap umatku dimaafkan kecuali orang yang terang-terangan dalam bermaksiat. Yaitu seseorang yang telah berbuat dosa di malam hari lantas di pagi harinya ia berkata bahwa ia telah berbuat dosa ini dan itu padahal Allah telah menutupi dosanya. Pada malam harinya, Allah telah menutupi aibnya, namun di pagi harinya ia membuka sendiri aib yang telah Allah tutupi.
Pesan Runi beberapa waktu lalu mengingatkanku tentang sebuah hati yang tunduk dan taat hanya pada-Nya. Setiap orang yang pernah bersalah. Setiap orang yang pernah berdosa. Saat kita terjerumus dalam perbuatan maksiat, maka sekuat tenaga harus menutupinya dari hadapan manusia. Lalu, saat kita salah melangkah maka bersegera untuk memperbaikinya. Bersujud di hadapannya dengan taubat nasuha.
“Setiap orang tentu pernah berbuat dosa. Hanya caranya saja yang berbeda. Pun setiap orang bisa masuk surga, sebab ikhtiar amalan yang berbeda-beda. Jangan pernah menganggap remeh sebuah kebajikan. Sebab, sekecil apa pun itu, kelak Allah akan membalasnya. Pun jangan pernah mencuaikan dosa. Sebab, seringan apa pun itu, kelak akan diperhitungkan. Sunggung Allah maha teliti dan membalas dengan penuh keadilan,” batinku.
Biarlah semua ceritaku dengan Om Bira itu kusimpan sendiri dan kupendam di hati paling dalam. Setelah ini tak ada keinginan lagi di hatiku untuk menceritakan tentang aibku pada siapa pun. Aku akan memendamnya sendiri. Aku akan menutupi apa yang sudah Allah tutup serapat-rapatnya dari hadapan manusia. Cukup aku dan Allah saja yang tahu setiap dosa yang pernah kubuat. Biarkanlah orang-orang melihatku sebagai orang pentaubat saja.
***