Pernah sekali tanpa sengaja aku melihat diary itu terbuka. Aku melihat ada sebuah puisi indah tertulis di sana. Puisi itu ditulis oleh ayahnya khusus untuk Raya. Sebenarnya, aku tak bermaksud membacanya. Sebab aku yakin, tulisan itu begitu menyentuh rasa. Namun, serta merta hatiku membaca atas pesan dari mata yang melihat tulisan itu di sana.
Benar saja, bait-bait puisi itu meluruhkan air mataku secara tiba-tiba. Antara sedih, haru dan marah bercampur di dada. Aku masih belum bisa ikhlas dengan takdir-Nya. Aku masih marah dengan takdirku. Mengapa Mengapa aku tak bisa mendapatkan sosok ayah seperti ayahnya Raya?
Nak suatu hari nanti
Jika kau bertanya tentang keberadaan Ayah
Maka ketahuilah, Ayah tak ke mana-mana
Ayah bukan ada di dalam tanah atau peti mati
Ayah ada di dalam setiap aliran darahmu
Ada di hatimu
Raya menceritakan banyak hal tentang sosok ayahnya padaku. Bagi Raya, sosok sang ayah begitu nyata hadir dalam hidupnya. Meski dia tak pernah sekali pun menatap wajahnya. Ayahnya meninggal saat Raya belum terlahir ke dunia. Segala hal tentang sang ayah dia ketahui dari cerita sang ibu kepadanya.
Selain itu, Raya juga mengetahuinya dari sebuah catatan sang ayah dalam sebuah diary. Sebuah catatan sederhana yang begitu berharga bagi Raya. Pesan cinta dari sang ayah untuk Raya. Catatan bersejarah fase kehidupan Raya sejak dirinya masih dalam bentuk janin. Sebuah tulisan yang mengungkapan betapa besarnya cinta sang ayah kepada buah hatinya.
Ayah Raya selalu menuliskan setiap moment berharga kebersamaan dengan Raya meski saat itu Raya masih berada dalam kandungan. Diary itu selalu dia bawa. Sebab, itu adalah obat rindu Raya pada sosok ayah yang tak pernah dilihatnya. Membaca diary itu, membuat Raya seolah merasakan sedang berbincang dengan sang ayah. Meski telah tiada, Raya masih bisa mendengar kisah indah tentangnya.
Ibu Raya pun pernah menceritakannya padaku tentang sosok ayah Raya yang begitu perhatiaan. Sosok ayah yang begitu sayang dengan anak yang masih dalam kandungan. Ciuman kasih sayang ke perut ibunya tak pernah lepas tiap kali ayahnya berangkat dan pulang bekerja.
Kelahiran Raya begitu dinantikan. Ayah Raya selalu rajin dan rutin mengantarkan istrinya untuk memeriksa kandungan. Namun, harapan dan cita-cita sang ayah merawat dan mencintai sang buah cinta akhirnya sirna. Sang maut menjemput sang ayah saat Raya berusia tujuh bulan dalam kandungan.
Saat itu hari di mana sang ibu rutin memeriksakan kandungan. Seperti biasa, ayah selalu mengantarnya dengan mengendarai sepeda motor untuk memeriksakan kandungan di sebuah klinik yang tak begitu jauh dari rumah. Sesaat sebelum tiba di klinik, kejadian malang itu pun tak terhindarkan. Ayah Raya menekan rem dalam-dalam saat sebuah mobil yang membawa minyak goreng berhenti mendadak di depannya. Muatannya pun tumpah dan berceceran di jalan.
Jalanan licin membuat motor yang dikendarai Ayah Raya dan Ibunya terpeleset jatuh dan terseret hingga beberapa meter. Kendaraan lain yang melaju dari arah belakang pun tak sempat mengerem karena semua terjadi secara mendadak lalu menabrak ayah Raya. Sementara ibu Raya terlempar beberapa meter dari Ayah Raya.
Ayah dan Ibu Raya segera dilarikan ke rumah sakit. Ibu Raya mengalami pendarahan hebat yang membuatnya harus melahirkan lebih awal dari jadwal. Takdir-Nya tak bisa ditolak. Ayah Raya tak bisa diselamatkan. Pada hari itu Raya lahir ke dunia. Pada hari itu pula ia menjadi seorang yatim. Betapa ibunya begitu kehilangan dan Raya tak pernah sekalipun merasakan hangatnya pelukan sang ayah.
Berbeda dengan Raya yang menjadi yatim sebab ayahnya meninggal, aku telah menjadi yatim saat bapakku masih ada. Perih rasanya tak mendapatkan kasih sayang dan semoga ini tak terulang lagi kepada anak keturunan. Perih rasanya menjadi yatim jiwa. Cukup aku saja yang merasakan. Cukup sampai diriku saja merasakan pahitnya menjadi yatim saat ayahku masih hidup dan sehat raganya.
Perlakuan bapak sangat jauh dari sikap teladan. Aku hanya menerima dan menerima segala perlakuan yang membuat hidupku menderita. Aku sudah lupa berapa kali bapak melakukannya. Aku sudah tak mampu lagi menghitungnya karena hampir tiap hari bapak melampiaskan amarahnya. Aku hanya bisa menerima semua perlakuannya.
***