Aku merasa lebih baik dan bergairah menjalani hidup sejak bertemu dengan Raya. Aku banyak belajar darinya. Entah bagaimana jadinya saat ini jika aku tak pernah bertemu dengannya. Jujur aku sangat kagum dengan perjalanan hidupnya. Raya, anak tunggal dari keluarga yang berada, tapi dia bersikap sederhana.
Salah satu usaha kuliner terbesar dan memiliki cabang di sekitaran Bandung adalah bisnis keluarganya. Usaha itu dibangun ayah dan ibu Raya sejak lama. Sejak Raya masih berada di dalam kandungan. Setelah kemalangan yang dialami ayah Raya usaha itu pun diurus oleh ibunya seorang diri sehingga menjadi berkembang dan memiliki beberapa cabang.
Raya bisa saja mengambil kesempatan untuk menjadi salah satu kepala toko di salah satu cabang bisnis keluarganya. Namun, Raya memilih bekerja dari nol untuk merintis usaha kuliner. Raya tak mau memanfaatkan kekayaan dan kekuasaan orang tuanya. Raya pernah bilang bahwa seorang pemuda sejati adalah dia yang berjuang dengan hasil keringatnya sendiri. Bukan dari hasil membanggakan kekayaan orang tua.
Jarang orang seperti Raya, selain berprestasi dalam bidang akademik, dia juga tempatku bertanya tentang hal yang berhubungan dengan agama. Raya bukannya hanya menjadi sahabat bagiku, tapi juga sudah menjadi guru spiritual.
Sejak mengenal Raya aku mulai berusaha memperbaiki ibadahku, terutama salat. Aku mulai membiasakan salat meskipun kadang masih telat. Semua masih dalam proses belajar dan ikhtiar untuk perbaikan. Tak pernah bolong lagi apalagi meninggalkannya dengan sengaja tanpa alasan. Padahal sebelumnya salatku kacau tak karuan. Banyak bolong karena dengan sengaja kutinggalkan.
“Dosa atau maksiat yang kau lakukan, tidak lantas membuat kau terbebas dari kewajiban beribadah kepada-Nya,” ucap Raya waktu itu menyadarkanku.
Saat itu yang ada dipikiranku adalah karena adanya rasa kotor dalam diriku akibat kemaksiatan yang kubuat. Ada rasa malu menghadap-Nya dan perasaan tak pantas mengotori lantai rumah-Nya. Saat itu Raya dengan bijak memberikan nasihatnya. Tutur bahasanya yang santai dan tak menggurui membuatku nyaman menyimak setiap nasihat-nasihatnya.
“Kalau merasa kotor ya harusnya kan mandi bukan malah berdiam diri nanti yang ada malah makin banyak daki. Sama halnya saat manusia berbuat maksiat ya harusnya kan tobat bukan malah makin menambah-nambah maksiat,” ucap Raya melanjutkan.
Aku pernah curhat pada Raya tentang kekecewaanku pada Tuhan. Aku pernah bertahun-tahun malas berbincang dengan-Nya dalam berdoa. Aku marah atas takdir-Nya. Aku kesal dengan tulisan-Nya di lauh mahfuz tentang hidupku yang terasa sakit bagai ditusuk sembilu.
Perih rasanya. Aku merasa jengah dan lelah dengan semua. Seolah Dia membiarkan kepahitan hidupku dan tak menggubris doa-doaku. Entahlah, apakah Dia telah mengampuniku. Kuharap semoga Dia telah berbaik hati dan telah memaafkan semua khilaf dan segala kejahilan-kejahilanku masa lalu.
“Allah telah mempertemukan kita. Bukan tanpa sebab. Aku yakin ini adalah takdir yang telah Dia catatkan dalam Lauh Mahfuz sejak beribu-ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi,” ucap Raya.
“Termasuk takdirku?” tanyaku.
Raya mengangguk pelan sambil tersenyum lalu menepuk pundakku seolah membuatku tegar menjalani semuanya. Lucu rasanya jika aku mengingat kejadian saat itu.
“Menurut lo, gue boleh marah nggak?” tanyaku pada Raya.
“Wajarlah marah, manusiawi.”
“Jadi menurut lo sah-sah aja dong kalau gue marah ....”
“Emang lo lagi marah sama siapa? Sama anak-anak yang suka nge-bully lo di kelas?”
“Bukan. Itu mah gue anggap biasa, woles aja, ntar juga ada waktunya gue bales. Kan ada pepatah yang bilang, semut juga bisa menggigit kalau diinjak.”
“Terus ... emangnya lo lagi marah sama siapa?”
“Ah, sudahlah. Nggak usah dilanjutin.”
Aku berusaha bangkit dari duduk, tetapi Raya menahannya. Raya penasaran dengan apa yang baru saja kuungkapkan padanya.
“Kali aja gue bisa bantu lo.”
“Bantu apaan?”
“Yaa apa kek ... minimal gue bisa kasih solusi, ya kan?”
“Yakin?”
“Terserah lo aj deh ... kalau lo mau cerita syukur, nggak juga yaaa nggak apa-apa. Nggak ngerugiin gue ini.”
“Hmmm ... yakin lo mau tahu?”
Raya mengangguk.
“Yakin?” tanyaku sekali lagi.
“Ah rese lo pake rahasia-rahasiaan sama gue.”
“Hahaha ... woles bro ... woles ... gue lagi marah sama itu tuh.”
“Siapa?” Raya langsung membetulkan posisi duduknya.
“Tuh yang di sana ...,” ucapku sambil menunjuk ke sebuah menara.
“Speaker Masjid?”
“No ... no ... atasnya lagi ....”
“Apaan sih? Kubah masjid? Lo marah sama kubah masjid?”
“No ... no ... yang paling atas.”
“Apaan?”
“Coba lo liat di atas kubah itu ada tulisan apa?”
Raya melihat ke arah kubah masjid. Lalu membaca sebuah tulisan Arab di ujungnya.
“Lo marah sama ALLAH?”
Aku mengangguk.
“Gila lo ... sinting ... marah sih sama TUHAN.”
Aku hanya tertunduk lesu.
“Mending lo bangkit dari sini. Terus lo wudu. Nah habis itu lo salat taubat cepet-cepet sebelum terlambat. Taubatan Nasuha. Inget ya S-E-G-E-R-A. Jangan sampe nggak.”
“Iya ... iya ....”
“Seriusan ini gue.”
***