Malam semakin gelap. Ditambah lagi tak ada sedikit pun penerangan. Aku mengintip ke luar melalui jendela. Cahaya bulan terhalang rimbunan pepohonan. Hatiku tak keruan. Sudah pasti aku tak akan bisa tidur dengan tenang dalam kondisi seperti ini. Padahal sudah sekitar sepuluh menit aku menghilangkan rasa gelisah ini dengan melihat-lihat beberapa postingan yang beberapa waktu lalu kuungah di Instagram.
Ada sekitar seribu lebih notifikasi yang masuk di salah satu fotoku berlatarkan Milford Sound yang indah. Kadang ada rasa tak nyaman juga menjadi selebgram. Selalu dituntut tampil sempurna tanpa cela. Parahnya lagi ada juga netizen yang menganggapku sombong hanya karena tak merespon komentarnya. Bagaimana mungkin aku harus melayani ribuan komentar setiap hari? Sebab aku juga manusia biasa yang memerlukan istirahat dan menjalani kehidupanku di dunia nyata.
Sambil menunggu rasa kantuk tiba, kubaca lagi berbagai komentar. Mulai dari menanyakan lokasi tempat pengambilan fotonya sampai menanyakan produk yang sedang kupromosikan. Ada juga beberapa direct messege yang menawarkan pekerjaan padaku untuk menjadi model iklan atau sekadar memberikan endorse produk mereka.
Perjalanan kali ini memang sekaligus sebagai ajang mempromosikan produk terbaru bisnis kuliner aku dan Raya. Sejak awal kami memulai bisnis bersama, Raya memintaku menjadi model untuk memasarkan produknya. Meski demikian Raya selalu bekerja profesional dengan membayarku sama seperti bayaran produk yang biasa kuiklankan.
Setelah menjawab beberapa komentar penting, aku tutup instagram. Aku mencoba memejam mata. Namun, kantuk masih tak kinjung tiba. Aku bingung harus berbuat apa. Tak mungkin aku keluar campervan untuk mencari udara. Bahaya. Malam makin larut dan sepinya membuat suara binatang-binatang malam terdengar makin jelas. Sementara, Raya dan Rona sudah terlelap dalam buaian mimpi indah.
Aku menyalakan senter di ponselku. Lalu, mengambil notes cokelat tua dari dalam tas. Aku ingin melihat kembali beberapa catatan perjalanan yang kutulis di sana. Aku membuka tiap lembar kertasnya dan akhirnya aku tiba di halaman tempatku mencatat jadwal itinerary selama perjalanan kami menjelajah di pulau selatan New Zealand.
Notes cokelat tua ini sudah menemaniku sejak tujuh tahun lalu sejak awal-awal semester kuliah. Notes cokelat tua pemberian dari seseorang yang tak ingin kusebut-sebut lagi namanya. Tadinya aku ingin menjadikan notes cokelat tua ini sebagai teman setia untuk menumpahkan segala perasaan. Perasaan yang bahkan enggan kuceritakan dengan siapapun atau ku-publish di media sosial.
Tadinya, setiap lembarnya ingin kutuliskan tentang segala hal yang begitu sulit kuungkapkan. Tentang Bahagia, pun air mata. Tentang masa-masa pahit yang begitu menyesakkan. Namun, semua urung kulakukan. Aku membiarkan semua kisah itu terpendam di hati paling dalam. Termasuk kejadian saat pertama kali Raya menolongku dari keroyokan masa.
Sampai saat ini aku masih tak amu menceritakannya pada Raya. Menceritakan tentang dia yang menemukanku dalam keadaan babak belur waktu itu di teras Masjid Salman. Sebab, ini aibku. Meski Raya beberapa kali penasaran apa yang terjadi padaku waktu itu, tapi aku tak berani menceritakannya. Aku tutupi kejadian yang sebenarnya padaku malam itu rapat-rapat.
Hingga kini tak ada seorang pun yang tahu kejadian sebenarnya yang terjadi malam itu, termasuk Raya. Aku bisa saja mengarang-ngarang cerita. Lagi pula, aku yakin Raya akan percaya begitu saja tanpa mesti dia selidiki kebenarannya. Hanya saja aku enggan berdusta. Aku sudah terlalu banyak dosa. Tak ingin kutambah-tambah lagi, meski setitik saja.
Aku pendosa
Mengharap rahmat-Mu yang tak terkira
Aku yang hina
Memohon ampunan-Mu yang melebihi jagat raya
Aku yang kelam
Di waktu yang silam
Memohon ampunan untuk jiwaku yang legam
Agar jangan Kau benamkanku dalam jahanam
***
“Wellang ....”
Suara Raya mengagetkanku. Aku menutup notesku. Lalu, menyembunyikannya di balik bantal.
“Yup ...,” jawabku singkat.
“Belum tidur? Besok kita harus bangun pagi. Salat shubuh jangan sampai kesiangan.”
“Siap bosku.”
“Jangan lupa matikan sentermu.”
“Ok.”
Sejak mengenal Raya hidupku mulai berubah. Bukan karena dia yang memksa. Aku hanya berusaha ingin menjadi manusia yang lebih baik lagi dari sebelumnya. Sebab, aku memiliki keyakinan bahwa banyak cara untuk mendekatkan diri kepadanya. Selalu ada jalan untuk terus bisa memperbaiki diri setiap detiknya.
Jika tidak bersegera, lalu harus menunggu apa untuk bisa berubah? Sebab, aku tak yakin apakah esok masih ada kesempatan yang sama. Entah, apakah esok kita masih bernyawa. Dalam beberapa kali kesempatan selalu ada perenungan: Entah siapa yang akan mendekat lebih dulu, aku pada-Mu ataukah maut padaku?
***