Kulihat dari kaca tampak Rona merajuk pada Raya yang seolah tak menanggapi pertanyaanya. Wajar saja Raya hanya terdiam, dia sedang sibuk mencari lahan parkir gratis di CamperMate . Lucu sebenarnya jika melihat tingkah mereka sebentar mesra, sebentar lagi marah. Terutama Rona yang tingkahnya masih seperti anak sekolah yang manja. Beruntungnya, dia memiliki Raya yang sabar hati dan bisa ngemong dengan tingkat kesabaran yang luar biasa.
Aku tak bisa membayangkan jika kelak mendapatkan jodoh yang begitu manja seperti Rona. Aku tak sesabar Raya dalam menghadapi tingkah orang yang manja. Bisa jadi tiap hari akan penuh kesalahpahaman. Atau bahkan terjadi perang yang tak berkesudahan.
“Pertanyaanku kok nggak dijawab?”
“Pertanyaan yang mana?” tanya Raya bingung.
“Tuh pasti Honey nggak nyimak. Padahal aku udah cerita panjang lebar loh.”
“Tentang Runi,” ucapku mengingatkan Raya.
“O iya jadi dong. Insyaallah besok kita janjian bertemu dengan Runi. Maaf ya Sayang soalnya masih bingung malam ini kita parkir di mana.”
“Mudah-mudahan kita dapat lahan parkir gratis lagi ya Honey. Lumayan kan jadi hemat biaya. Kalau gitu aku coba hubungi Runi dulu, mudah-mudahan dia belum tidur.”
“Oke, Sayang.”
Sudah hampir setengah jam kami berputar-putar, tetapi kami belum juga mendapatkan tempat untuk memarkir campervan. Rata-rata rambu parkir yang kami temukan memiliki batasan waktu. Seperti rambu parkir yang baru saja kami lihat, di sana tertulis dengan tulisan P120. Itu berarti batas maksimal parkir hanya selama 120 menit atau dua jam saja. Selebihnya akan dikenakan biaya.
Kami terus berputar sambil membuka aplikasi CamperMate untuk mencari lokasi lahan gratis untuk berkemah. Namun, lagi-lagi kami kesulitan mendapatkan camping site gratis untuk malam ini. Sementara, malam sudah semakin larut. Tubuh kami pun mulai lelah dan rasanya tak kuat lagi jika harus terjaga hingga larut malam.
“Stop di depan, Lang,” ucap Raya sambil menunjuk ke arah depan..
“Di mana?” tanyaku bingung.
Aku sampai membulatkan mata, memastikan lokasi yang ditunjuk Raya. Aku tak menemukan rambu atau lahan parkir di depan sana.
“Sebelah mana?” tanyaku memastikan.
Lalu Raya menunjuk sebuah jembatan dekat bantaran sungai.
“Ah…gila masa di sana? Gelap banget dan ada tanda larangan parkir di sana,” ucapku.
“Ya terserah. Aku tak ada ide lagi. Atau mau parkir di tempat yang tadi kita lewati? Tapi berbayar dan itu pun kita harus memutar balik cukup jauh.”
Pilihan yang sangat sulit. Akhirnya aku memperlambat laju kendaraan. Jalanan menuju jembatan memang sepi. Namun, aku tetap memperhatikan sekitar. Aku melihat dari kaca spion untuk memastikan keadaan sekeliling aman. Setelah memastikan semuanya aman, kuarahkan campervan menuju jembatan yang dimaksud Raya.
Suasana begitu gelap, sebab tak ada lampu jalan sebagai penerangan. Hanya ada cahaya bulan di langit malam. Aku mencari tempat yang tak mudah dilihat. Tak jauh dari bantaran sungai kulihat ada semak-semak cukup tinggi untuk mengkamuflase campervan kami agar tak mudah terlihat.
Jantungku berdetak tak karuan. Ada rasa takut dan kekhawatriran. Bukan karena gelap atau aroma mistis. Namun, karena apa yang kami lakukan ini adalah perbuatan illegal. Kami harus menanggung konsekuensinya jika sampai ketahuan polisi setempat. Sebab selain membuang sampah dengan sembarangan, berkemah di wilayah terlarang pun bisa dikenakan denda yang cukup besar. Ini pilihan terakhir yang bisa kami lakukan. Setidaknya kami bisa beristirahat sebentar sampai beberapa jam ke depan.
“Matikan lampunya…,” perintah Raya.
“Blepp…”
Aku segera mematikan lampu mobil.
“Honey, aku takut,” ucap Rona.
“Tenang, sayang… kan ada aku di sini,” jawab Raya menenangkan.
“Ish ish ish….kalian enak gelap-gelapan berduaan, aku?”
***