Malam ini giliraku yang menyetir. Aku tak mengalami kesulitan sedikitpun mengendarai kendaraan di sini. Sebab, berkendara di sini rasanya sama seperti saat berkendara di negeri sendiri. Posisi setir berada di sebelah kanan begitupun dengan lajurnya sama persis seperti jalanan di Indonesia yang menggunakan lajur sebelah kiri. Rambu-rambu serta penunjuk jalan pun sangat dengan mudah kami temui dan sangat mudah untuk kami pahami.
Rasanya, hampir 99% kami sangat yakin dan tanpa sedikit pun khawatir tersesat di sini. Rambu-rambu jalan selalu siap memberikan informasi di setiap pertigaan atau perempatan jalan. Jalanannya pun lumayan bagus, beraspal halus dan tidak berlubang. Bahkan, jalanan menuju objek wisata di daerah yang lumayan terpencil pun dapat kami tuju dengan kondisi jalanan yang mulus.
Dengan membawa kendaraan sendiri, kami bisa dengan bebas menepi kapan pun. Contohnya saat kami berada di tengah-tengah perjalanan atau berhenti di gardu pandang “look out”. Kami bisa berhenti sejenak, sekadar untuk mengabadikan maha karya Sang Pencipta yang begitu indah dengan lensa kamera. Rona berkali-kali meminta Raya menepikan kendaraan saat kami melintasi kawasan yang menurutnya begitu indah. Lalu, tanpa segan-segan dia turun dari campervan, sekadar untuk mengabadikan karya agung Sang Maha Pencipta dengan lensa kamera yang beberapa tahun terakhir ini sudah menjadi hobinya.
***
Awalnya, memilih kendaraan saat liburan di sini pun sempat membuat kami kebingungan. Sebab, setibanya di agen penyewaan kendaraan, kami melihat banyak sekali jenis kendaraan ada di sana. Kami sempat bingung memilih kendaraan yang tepat untuk menemani perjalanan kami selama liburan. Sejak awal kami memang sudah merencanakan untuk tidak ikut dalam rombongan tur.
Kami ingin menyewa kendaraan sendiri dengan alasan agar bisa dengan bebas menjelajahi tempat-tempat indah sesuka hati. Agar kami bisa lebih leluasa mengelilingi bagian selatan negari ini tanpa harus terbatas dengan jadwal tur yang sudah ditentukan oleh agen perjalanan.
Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya kami pun sepakat untuk menyewa sebuah campervan. Dari begitu banyaknya pilihan, kami memutuskan untuk menyewa campervan dari kantor Wilderness. Salah satu pertimbangan kami mengunakan campervan adalah untuk menghemat biaya penginapan. Campervan ibarat rumah yang lengkap dengan dapur mini untuk memasak. Campervan juga bisa dibawa berjalan ke mana saja. Bahkan hingga ke tempat terpencil sekalipun.
Kami tidak perlu repot check in dan check out dari penginapan. Lumayan untuk menekan biaya-biaya selama perjalanan. Kami bisa beristirahat atau tidur ketika malam menjelang di campervan. Kami cukup memarkirnya di holiday park atau di tempat-tempat tertentu yang sudah ditentukan.
Sebelumnya kami sudah menghubungi pusat informasi setempat untuk mengetahui lokasi mana saja yang mengizinkan untuk melakukan perkemahan bebas. Sebab, setiap distrik di New Zealand memiliki peraturan dan regulasi berbeda-beda. Kami tidak bisa berkemah di sembarang tempat. Kami hanya bisa melakukannya di tempat-tempat yang sudah ditentukan.
Kami tak perlu cemas dengan tempat-tempat yang boleh dijadikan tempat perkemahan. Sebab, jumlahnya lumayan banyak. Menurut informasi yang kami dapat, ada sekitar 500 lokasi. Di sana kami dapat menggunakan untuk berkemah dengan bebas. Namun, harus tetap bertanggung jawab.
Baru kali ini aku melihat langsung campervan dengan mata kepala sendiri sebab biasanya aku hanya melihatnya di film-film luar negeri. Kebetulan kami mendapatkan campervan yang cukup besar. Aku merasa sangat kagum dengan desain interior campervan saat seorang petugas dari Wilderness menjelaskan seluruh fasilitas yang ada. Campervan yang kami sewa ini jenis 6 bert. Interiornya didesain untuk tiga kasur, di mana tiap kasurnya bisa digunakan untuk dua orang. Dua kasurnya ternyata dapat dilipat sehingga dapat kami gunakan sebagai tempat duduk dan meja.
Sekitar satu jam petugas dari kantor Wilderness mengajarkan kami bagaimana cara mengoperasikan segala hal yang ada di dalam campervan, mulai dari dapur mini yang laci-lacinya sudah terisi piring gelas panci dan alat masak lengkap dengan wastafelnya. Tersedia juga kursi dan meja piknik yang bisa kami pakai saat makan siang. Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah campervan ini dilengkapi dengan toilet kecil, sehingga kami akan nyaman selama berkeliling.
***
“Honey ...? Kok diem aja?” tanya Rona merajuk.
“Iya kenapa, Sayang?”
Aku tak menyangka kalau akhirnya mereka kini adalah sepasang suami istri. Padahal, aku tahu benar saat di kampus Rona selalu cuek dengan Raya meski mereka dalam satu organisasi yang sama di Masjid Salman. Mungkin benar kata orang bahwa cinta tumbuh lantaran sering terbiasa bersama. Istilah kerennya “Witing Tresno Jalaran Soko Kulino.” Namun, yang namanya jodoh kita tak pernah tahu bagaimana datangnya. Kita tak pernah tahu akan melabuhkan hati ini kepada siapa.
Ke mana hati akan berlabuh?
Di mana rindu akan bertemu?
Entah, siapakah dia yang kelak akan melengkapi iman?
Entah, akankah mampu menyelami kehidupan dalam ibadah panjang sebuah pernikahan?
Sebab, jodoh dan maut saling berpacu.
Entah, mana yang akan datang lebih dulu
Kita hanya menunggu giliran
Sambil terus memantaskan diri dengan iman dan ketakwaan.
***