Rona pastinya begitu senang dan tak sabar menanti matahari terbit esok pagi. Menurutku wajarlah kalau Rona begitu bersemangat bertemu dengan Runi. Sejak lulus kuliah tiga tahun lalu mereka belum sekali pun bertemu. Runi sudah menjadi sahabat sekaligus saudara baginya. Bagi Rona, dia adalah sahabat sejati yang selalu setia. Mereka sudah seperti saudara, sama seperti aku dan Raya.
Seruni Pratiwi. Gadis Kota Kembang berkulit putih bermata bening. Aku yakin lelaki mana pun tak akan berkedip saat melihatnya. Seorang gadis manis yang sangat rendah hati meski dia berasal dari kalangan keluarga berada. Tipe wanita rumahan yang sangat menyayangi keluarganya. Dia adalah anak seorang pengusaha kuliner di Bandung. Aku dan Raya sempat belajar tentang dunia kuliner pada Ayahnya dan dengan bekal itulah kami membuka usaha tempat makan.
Sejak dari semester enam kami mencoba peruntungan dengan menekuni bisnis kuliner. Hingga saat ini kami sudah memiliki beberapa cabang meski masih sebatas di sekitaran Bandung saja. Dari bisnis ini pula yang membuat kami menjadi pengusaha muda dan dinobatkan sebagai pengusaha muda sukses dan inovatif oleh sebuah majalah bisnis.
Sudah hampir tiga tahun Runi tinggal di New Zealand. Runi memilih melanjutkan Master Bisnis di University of Canterbury. Sejak saat itu pula aku belum pernah mendengarnya kembali lagi ke Bandung. Atau mungkin saja dia pulang di saat tertentu seperti libur hari raya, tapi aku tak sekalipun mendengar kabar tentangnya. Lagi pula siapa lah aku di matanya hingga dia harus memberitahuku saat kepulangannya.
Aku tak lebih hanya orang di masa lalu yang sudah menorehkan luka di hatinya. Semua komunikasiku dengannya terputus sejak dia memutuskan untuk melanjutkan studinya di sana. Runi yang sebelumnya sangat aktif di media sosial mendadak hilang bak di telan bumi. Sejak saat itu semua akunnya pasif.
Rona sebagai teman dekatnya pun tak mengetahui bagaimana kabar sahabatnya itu. Beberapa kali Rona meminta kontak Runi kepada keluarganya. Namun, nihil hasilnya. Ternyata, Runi sudah berpesan pada keluarganya agar tidak sembarang memberikan kontaknya kepada siapa pun tanpa seizinnya.
Sebulan sebelum keberangkatan kami ke New Zealand, Rona berusaha kembali meminta kontak Runi pada keluarganya. Lagi-lagi itu bukanlah hal yang mudah. Rona putus asa karena tak berhasil mendapatkannya. Akhirnya Rona menitipkan nomer ponselnya pada keluarga Runi. Rona meminta agar nomor itu disampaikan kepada Runi dengan harapan Runi yang akan mengontaknya.
Beberapa saat sebelum masuk ruang tunggu Bandara Husein Sastra Negara kami kaget saat melihat Rona menjerit kegirangan. Betapa bahagianya Rona ketika ada pesan masuk dari nomer asing dengan kode negara +64 yang tidak lain adalah kode telepon dari New Zealand. Rona pun langsung menghubungi nomer tersebut. Bahkan dia melakukan video call untuk memastikan bahwa itu benar-benar nomer Runi, sahabat lamanya.
Informasi yang kudapat dari Rona ternyata Runi melanjutkan lagi studinya mengambil program doktoralnya di sana. Dia tinggal bersama salah satu pamannya yang bekerja di salah satu perusahaan multi nasional di daerah Christchurch.
“Coba kau hubungi Runi,” ucap Raya, “pastikan kalau besok kita akan bertemu.”
“Siap sayang,” jawab Rona manja.
Rona mengambil ponselnya lalu menelepon Runi sambil dengan mode loud speaker. Samar kudengar perbincangan mereka yang masih akrab seperti dulu. Terlihat wajah Rona begitu bahagia. Rona begitu bersemangat saat berbincang dengan Runi dan sangat tak sabar untuk segera bertemu. Rencananya besok kami akan berkumpul kembali di Christchurch di sekitar Canterbury Museum, tempat terakhir destinasi kami.
***
Salah satu alasan kami memilih New Zealand adalah karena ingin bertemu Runi. Terutama Rona yang tak sabar ingin segera bertemu dengan teman lamanya di masa-masa kuliah. Tadinya sebelum berangkat, Rona ingin mengontak Runi untuk bertanya-tanya tentang destinasi menarik di Pulau Selatan. Namun, kesulitan mendapatkan kontak Runi membuat kami harus mencari referensi sendiri. Termasuk juga kami harus mencari sendiri agen tempat menyewa kendaraan saat di New Zealand.
Untungnya kami tidak mengalami kesulitan untuk menyewa kendaraan saat tiba di New Zealand. Prosesnya sangat cepat dan mudah. Setelah Raya menunjukkan SIM A dari Indonesia yang dilengkapi dengan dokumen terjemah Bahasa Inggirs dari penerjemah tersumpah dan kartu kreditnya, mobil pun sudah dapat kami sewa. Maka tidak salah jika kami memilih menyewa kendaraan.
Mengendarai kendaraan sendiri menjadi hal yang sangat penting untuk menikmati tiap sudut negara ini. Dengan demikian kita dengan bebas bisa menepi kapan pun di sepanjang perjalanan untuk mengabadikan keindaan alam dengan lensa kamera atau sekadar menikmatinya sambil beristirahat.
Selain itu, kami memilih New Zealand karena referensi dari orang-orang yang sudah pernah mengunjungi sebelumnya. Kami sangat tertarik dengan ulasan para bloger saat menuliskan betapa indahnya negeri ini. Ternyata keindahan pemandangan New Zealand bukan hanya terletak pada objek wisatanya saja. Pun dapat ditemukan di sepanjang jalan antar objek wisata. Gunung-gunung bersalju berbaris sangat anggun seolah menyalami kami penuh rasa damai.
Setiap kali kami melewati tikungan jalan, tiap kali itu pula kami disuguhkan pemandangan yang mengagumkan. Selalu saja kami dapati kejutan di setiap tikungan-tikungan jalan yang membuat kami menahan napas saking takjubnya. Kami bisa menemukan hamparan rumput hijau, bunga-bunga liar di sepanjang jalan, diselingi untaian danau luas dengan biru turquoise berlatar gunung menjulang dengan puncak bersalju.
Tidak hanya itu kami juga disuguhkan cantiknya lembah di antara pegunungan, sungai berair jernih serta fyord nan agung. Baru kali ini aku melihat pemandangan seindah ini. Pemandangan yang sebelumnya hanya bisa kulihat di kalender atau wallpaper komputer. Rasanya jadwal satu minggu kami di Pulau Selatan memang tidak cukup untuk menikmati segala keindahan yang ditawarkannya.
***
Hari makin gelap. Sekitar lima belas menit berlalu akhirnya acara makan malam pun usai. Kami pun berbagi tugas. Rona mencuci peralatan masak kotor yang tadi digunakan. Sementara aku dan Raya merapikan kembali meja piknik ke tempat semula. Setelah membersihkan sisa-sisa makanan di luar campevan kami bersiap melaju mencari tempat peristirahatan yang tepat. Mencari lahan gratis untuk tempat parkir campervan.
Mataku tertuju pada sebuah benda yang tergeletak di bawah kursi Raya. Sebuah amplop merah muda sepertinya berisi kartu ucapan. Aku mengambilnya.
“Eh amplop apa nih?”
***