Pulang
Mestinya menjadi sesuatu yang membahagiakan
Di mana pelukmu semestinya menjadi rumah
Tempat ternyaman di semesta
Meski kita hidup berada di dalam gubuk beralaskan tanah
Sementara
Tak semua merasakan yang sama
Adakalanya pulang menjadi suatu yang tak dicinta
Sebab, hangat dekapanmu fatamorgana
Bahkan engkau yang kukira rumah hanya menjadi tempat hati berduka
Tempat melukis luka
Notifikasi di ponselku mulai ramai beberapa saat setelah kuunggah foto di Instagram. Caption yang kubuat menjadi bahan pujian di kolom komentar. Puitis katanya. Syahdu. Seolah menggambarkan perasaan mereka yang sedang dalam keadaan melankolis.
Seperti biasa Enre Makkawaru selalu hadir mengisi kolom komentar. Dia turut menanggapi postinganku di sana. Dia menulisnya dengan bahasa daerah. Aku tersenyum karena membayangkan bagaimana cara dia mengucapkannya. Aku yakin dengan nada yang begitu menggebu.
“Magapi ijokka?”[1]
***
Aku memanggilnya Enre. Dia teman sepermainanku sejak kecil. Jarak rumahku dan rumahnya tak begitu jauh, sekitar satu kilometer saja. Bagiku, Enre bukan hanya seperti teman atau sahabat. Kami bahkan sudah seperti saudara. Kami sudah seperti anak kembar tak bisa dipisahkan. Di mana ada Enre di situ ada aku. Ke mana Enre pergi, aku ikut serta bersamanya. Bahkan sejak SD hingga SMA kami bersekolah di tempat yang sama.
Satu hal yang sudah pasti berbeda antara aku dan dia adalah kehidupan keluarganya. Enre berasal dari kalangan keluarga berada. Ayah dan ibunya adalah juragan kain sutra di pasar Sentral Sengkang. Selain itu, dia juga memiliki keluarga yang begitu hangat. Keluarga yang memberikan kenyamanan dan perhatian sepenuh kasih dan cinta bagi orang-orang yang ada di dalamnya. Sebuah contoh keluarga yang menurutku ideal yang tak pernah kudapatkan di rumah.
Enre adalah teman terbaik yang kupunya. Dia memahamiku sepenuhnya tentang bagaimana perasaanku sebagai anak yang diperlakukan dengan semena-mena. Dia juga yang paling tahu bagaimana bapak memperlakukanku dengan begitu hina. Sangat tak berperi kemanusiaan. Dia selalu menyediakan hatinya sebagai tempatku menghabiskan waktu untuk mencurahkan segala keluh kesah. Dia juga kerap memberikan tumpangan kamarnya sebagai tempat yang aman saat tak ada tempat lagi untukku di rumah.
Saat minggat, tak ada tempat lain selain rumah Enre yang menjadi tempatku berteduh. Rumah Enre selalu menjadi tempat yang nyaman. Kehangatan keluarganya selalu mengobati sakitnya hati atas perlakuan bapak kepadaku. Kamar Enre selalu menjadi saksi air mata yang tertumpah dan segala rasa kesal yang kupunya.
Sudah tak terhitung berapa kali aku minggat. Aku tak tahan dengan perlakuan bapak yang seperti tanpa henti. Aku bisa kabur dari rumah hingga berhari-hari dan aku yakin bapak tak akan pernah peduli. Bapak tak akan pernah bertanya tentang keberadaanku apalagi sampai mencari. Bahkan, dia pernah mengatakan lebih baik aku pergi lalu hilang ditelan bumi.
Sakit rasanya mendengar kata-kata yang keluar dari mulutnya. Perih rasanya hati ini dianggap seperti anak yang tak berguna. Bagi bapak, aku hanyalah seorang anak yang hadir ke dunia hanya sekadar takdir Tuhan melalui perantaraannya. Aku ibarat anak yang keberadaannya tak menggenapi dan kepergiannya tak mengganjili. Ada atau tanpaku bagi bapak sama saja. Tak ada bedanya.
“Tenang, sabar Wellang,” ucap Enre waktu itu.
Aku hafal benar kata-kata pamungkasnya setelah itu.
“Berwudulah, salat, lalu cobalah baca beberapa ayat Al-Qur’an,” ucapnya lembut.
Kata-kata Enre selalu bisa membuatku tenang. Aku pun selalu dibuat seolah tak berdaya dan menuruti segala nasihat yang diucapkannya. Namun, anehnya tidak untuk hari itu. Rasa kesalku sudah memuncak. Aku sudah tak kuat menahan segala deraan yang selalu kudapat dari bapak.
“Sampai kapan, Enre? Sampai kapan semua keperihan ini selesai?” tanyaku dengan isak tangis yang kutahan.
“Aku sudah salat, aku sudah baca Al-Qur’an … tapi, apa hasilnya? Kau lihat ini?” ucapku sambil membuka sedikit lengan bajuku.
Sebuah luka masih perih terasa. Enre mengernyitkan dahi dan merapatkan mulutnya melihat bukti nyata kekejaman di tubuhku yang sudah sering dilihatnya.
“Astagfirullah …,” lirihnya pelan.
Aku kesal. Kuambil sajadah yang tergeletak di tempat tidur Enre lalu aku mlemparnya sekuat tenaga. Tak cukup itu, kuambil Al-Qur’an di atas meja belajarnya lalu aku membukanya dengan kasar. Ingin kurobek-robek isinya hingga tak lagi bisa dikenali wujudnya. Namun, Enre dengan sigap merebutnya.
“Istigfar Wellang ... istigfar ....”
“Sampai kapan? Sampai kapan, Enre? Aku lelah ....”
Lalu, aku menangis di pundaknya.
***
[1] Kapan kita jalan lagi