Usai salat shubuh kami segera bersiap menuju counter check in yang sudah dibuka tiga jam sebelum waktu keberangkatan. Aku dan Rona membuntuti Raya mencari counter check in SilkAir. Kali ini, kami menaiki pesawat type Airbus A320 dengan formasi empat kursi tengah dan masing dua kursi di sisi kanan dan kiri.
Ternyata, sudah banyak penumpang lain yang mengantri di sana. Segera, kami pun masuk dalam barisan antrian. Aku berdiri tepat di belakang Raya. Sementara Rona, tepat berdiri di depan Raya.
Sejak mendarat di Changi Airport Singapore, Raya bersikap dingin padaku. Bahkan, semalam pun kami hampir tak saling bicara. Hanya Rona yang sesekali menyapaku dan menanyakan hal basa-basi tentang liburan ke New Zealand yang baru saja kami jalani. Aku paham mengapa Raya bersikap dingin seperti itu padaku. Raya pasti sangat kecewa dengan sikapku. Dia sangat berharap aku untuk pulang ke kota yang mendapat julukan Kota Sutera: Sengkang. Sebab aku harus menjadi wali nikah adikku yang akan dilaksanakan minggu pertama bulan depan.
Satu orang penumpang di depan Rona sedang melakukan proses check in. Petugas meminta calon penumpang itu untuk menunjukkan e-Ticket dan bukti identitas diri. Raya berbicara dengan lembut kepada Rona untuk menyiapkan dokumen yang akan diminta petugas. Lalu, Raya melirik ke arahku dengan wajahnya yang datar dan masih dengan sikapnya yang dingin.
“Dokumen,” ucap raya singkat saat meminta aku menyiapkan paspor untuk proses check in.
Aku tak menjawabnya. Bahkan, mengangguk pun tidak. Aku segera mengeluarkan KTP dan e-Ticket dari dalam tas. Ada dua e-Ticket yang sudah di-print Raya di tanganku. Satu tiket pesawat dengan tujuan ke Bandung. Satu lagi ke Makassar. Entah, aku mesti memilih yang mana. Sebuah pilihan yang bagiku sangat tidak mudah.
Penumpang yang berdiri tepat di depan Rona hampir selesai melakukan proses check in-nya. Sebentar lagi giliran Rona. Dadaku pun makin bergemuruh saat melihat Rona melakukan check in. Aku belum menentukan pilihan. Aku masih bingung apa yang mesti aku lakukan. Tak berapa lama, giliran Raya pun tiba. Sementara, aku masih dilema hendak memutuskan mesti pulang ke mana.
Aku memperhatikan Raya dari belakang. Sosok berkacamata berwajah lembut itu begitu banyak berkorban dalam hidupku. Jasanya padaku tak bisa terhitung. Dia yang tidak pernah pamrih. Dia yang selalu ingin berbuat sesuatu agar siapa pun yang di sekitarnya menjadi bahagia. Betapa beruntungnya aku mempunyai sahabat yang baik sepertinya.
Dia telah menganggapku sebagai saudaranya. Bahkan sudah menganggapku sebagai bagian dari keluarganya. Raya selalu melakukan segala sesuatu untukku dengan tulus. Sedikit pun tak pernah dia mengungkit atas segala kebaikan yang telah dia lakukan. Namun, entah sikapnya kali ini apakah termasuk pamrih? Dia memberikanku tambahan uang saku. Katanya, sebagai tambahan dana untuk acara resepsi adikku dan sekaligus tiket untukku pulang ke Makassar. Seolah dia memaksaku untuk menuruti kehendaknya.
Raya baru saja selesai melakukan proses check in. Kini tiba giliranku. Petugas check in berkali-kali menyapaku dan aku baru tersadar ketika seorang calon penumpang yang antri di belakang mencolek punggungku.
“I’m sory,” ucapku tergagap kepada petugas.
“You seem really tired?[1]” ucap petugas itu sambil tersenyum yang sepertinya melihatku dengan pandangan kosong.
Aku membalas senyumnya. Tanpa banyak berkata-kata, segera keserahkan dokumenku untuk dia periksa. Pandangan kosongku itu bukan hanya lantaran Lelah, tetapi karena sejujurnya aku masih bimbang harus pulang ke mana.
Gamang. Aku menyerahkan kedua tiketku pada petugas. Petugas itu pun lalu bertanya ke mana tujuan penerbanganku sambil menunjukkan kedua print e-ticket yang ada di tangannya. Aku tak menjawabnya. Kuperhatikan kedua tiket itu tertulis dengan tujuan berbeda. Kuambil napas panjang dan segera mengembuskannya.
“Bismillah,” lirihku.
Lalu, mengambil salah satu tiket itu dari tangan petugas.
***
“Raya,” ucapku pelan mengalihkan perhatiannya yang sedang melakukan cek bagasi.
Raya menengok sedikit ke arahku dan masih dengan sikap dinginnya. Aku memanggilnya sekali lagi dan kini dia berada tepat berhadapan denganku. Aku menatap wajahnya. Namun, kali ini dia membuang mukanya ke arah yang entah.
Aku mengeluarkan satu print e-Ticket lalu memberikannya pada Raya. Raya mengambilnya masih dengan memandang ke arah yang entah. Dia tak sedikit pun melihat ke arahku. Aku merasa sangat bersalah saat dia membalikkan badannya membelakangiku tanpa sedikit pun bicara.
Aku tertunduk lesu melihat sikap Raya yang masih marah dan mendiamkanku. Dia meremas-remas print e-ticket itu kemudian menghempasnya dengan kasar ke lantai. Aku tahu Raya pasti sangat kecewa. Rona mengambilnya. Lalu, dia membuka kembali print e-ticket yang hampir koyak.
Raya yang kesal masih enggan untuk diajak bicara. Aku pasrah jika kali ini Raya masih tetap marah. Aku akan merasa sangat bersalah jika menyebabkan hati sahabat terbaikku itu kecewa. Namun, Rona berusaha membujuknya. Seperti biasa Raya pun luluh dengan bujukan Rona. Akhirnya, Raya mau untuk diajak bicara. Rona memperlihatkannya kepada Raya print e-ticket yang tadi diambilnya. Rona membujuk Raya agar membaca print e-ticket yang hampir koyak bekas remasannya.
“Yakin kau tak mau melihat ini?”
***
[1] Sepertinya kau terlihat sangat lelah?