Jumat, 19 April 2013.
.
Sedikit waktu lagi dan mungkin roti kecik yang terkenal keras tapi enak di dalam tasnya bakalan melempem.
Pria muda berkacamata itu menguap lebar di balik bukunya. Barangkali karena kebetulan melihat orang di seberang mejanya menguap, dia jadi ketularan menguap. Ada yang bilang padanya bahwa menguap juga salah satu bentuk gelombang sehingga bisa menular apabila pikiran sedang di frekuensi kesadaran yang sama, tapi hal itu tak penting untuk sekarang.
Sudah hampir dua jam dia menunggu, bahkan tiga gelas kopi yang dipesannya serta buku sastra lama yang dibacanya tak mampu mencegahnya mengantuk. Mungkin kombinasi kopi dan buku memang bukan resep ideal untuk penangkal kantuk. Pria berusia pertengahan dua puluhan itu sedang duduk di sebuah warung makan yang berjarak tujuh kilometer dari puncak Gunung Merapi.
Seperti kebanyakan didapati pada penggemar buku, sampul buku itu bertanda identitas pemiliknya; yang biasanya bervariasi dari sebatas nama hingga nomor telepon agar bisa dihubungi seandainya buku itu hilang di jalan, yang jadi kontradiktif bila membayangkan seorang fanatik buku bisa kehilangan bukunya. Untuk kasus kali ini, hanya dua kata yang tercantum di sampul buku: Artadi Narindra.
Pemilik nama Artadi Narindra itu masih kelihatan seperti mahasiswa tingkat akhir. Kulitnya putih, posturnya tinggi meski agak bungkuk, sebuah kacamata berbingkai persegi menghias wajahnya yang juga bersegi. Dia melirik jam dinding dan menghela napas. Kesabarannya sudah sangat terlatih dengan menjadi tenaga pendidik, namun menunggu terlalu lama sama saja dengan membuang waktu.
Ya, Artadi Narindra memang seorang guru. Guru muda, jelas. Di sekolah, ia dipanggil Pak Indra. Hampir satu tahun ia mengajar di sebuah SMA swasta di Solo, meski sebetulnya cita-citanya bukan menjadi pengajar. Ia cinta ilmu sejarah dan pernah bermimpi menjadi arkeolog. Namun, karena satu-dua hal, kini ia menjadi guru sejarah.
“Bapak ini, sejak kecil suka mengumpulkan koran.”
Ada yang bilang, karakter seorang anak akan membentuk kepribadian orang itu hingga dewasa. Seperti yang pernah disampaikannya pada para siswa suatu hari: sejak masa kecilnya, Indra suka mengumpulkan koran. Apa pun, mulai dari surat kabar harian yang masih licin maupun koran kumal yang digunakan ibunya sebagai alas kompor di dapur. Bukan karena ia pernah menjadi loper koran saat ia dihukum tidak diberi uang saku gara-gara ulangan matematikanya dapat nilai empat. Bukan karena guru Bahasa Indonesianya yang gemar memberi tugas membuat kliping surat kabar. Bukan itu semua.
Lalu, apa?
Sama sekali bukan jawaban klise, malah antimainstream, meminjam istilah yang digunakan generasi milenial—“Mungkin hari ini, koran-koran ini hanya sampah,” ujarnya saat ditanya suatu ketika. “Tapi satu dekade yang akan datang, atau setengah abad lagi, mereka adalah catatan sejarah yang berharga,”—semata-mata berkat kecintaannya akan sejarah.
Indra pernah menyusun berbagai kliping berita seputar Solo semasa kuliah sampai ia lulus sarjana tahun 2010: lahirnya layanan transportasi Batik Solo Trans, area wisata kuliner terbaru, acara tahunan Solo Batik Carnival, bahkan sampai kasus pencurian beberapa barang koleksi di Museum Radya Pustaka. Dia bisa saja jadi tour guide lokal di kota tempatnya menimba ilmu itu, tapi bukan itu yang dia mau.
Sehabis empat hari berpindah-pindah sekolah dalam rangka menjaga ruang Ujian Nasional, didahului dengan ikut serta menggembleng para siswa dengan pelajaran tambahan sepulang sekolah selama empat bulan, Indra memilih lereng Merapi untuk mengganti suasana hati. Itu alasan yang diutarakannya pada kepala sekolah.
Oh, jangan lupa: di hari kedua sebelum ujian yang terakhir, dia terjebak kemacetan hampir sejam dan jadi terlambat mengumpulkan lembar jawaban ke sekolah yang ditunjuk. Namun, guru-guru yang jadi pengawas di tempat lain juga mengalami hal yang sama, semuanya yang mengambil jalur lewat tengah kota melintasi Monumen Pers Nasional tempat pengumuman lomba fotografi dengan serangkaian upacara digelar. Belum pernah Indra melihat museum bisa seramai itu. Baguslah, pikirnya waktu itu, pelan-pelan orang, ‘kan, harus mengenal cagar budayanya. Apalagi di Solo hanya ada dua museum: Monumen Pers Nasional itu, dan Radya Pustaka yang adalah museum tertua di Indonesia.
“Hei.” Seorang pria yang tak jauh lebih tua dari Indra datang dari belakang dan menyapanya. “Maaf terlambat,” tambahnya seraya duduk di hadapan Indra.
“Ya,” sahut Indra ringan seraya meletakkan bukunya dengan santai di meja, seolah penantiannya selama dua jam tak terlalu bermasalah baginya. Ia menjabat tangan lawan bicaranya, yang balas menepuk bahunya. “Bagaimana perjalananmu, Mas?”
“Berat,” desah pria itu. “Kamu sendiri?”
“Lumayan,” jawab Indra. “Aku sudah sempat nonton matahari terbit dari atas sana.” Ia mengedikkan kepala ke arah gunung.
“Gila! Kamu cabut dari rumah jam berapa?” seru pria itu, terbelalak.
Indra terkekeh kecil.“Aku sudah di sini sejak kemarin siang, Mas. Tadi malam aku baru kemah di basecamp.”
Pria itu ikut tertawa. “Kukira kamu sudah nggak waras, berangkat dari Solo dini hari dan naik ke puncak subuh-subuh.”
“Aku nggak segila itu,” ujar Indra di sela tawanya.
“Setahuku kamu bukan pendaki gunung,” balas lawan bicaranya, masih merasa geli.
“Hanya kegiatan sampingan, Mas.”
“Hobi, maksudmu?”
“Bisa dibilang begitu, kalau sedang libur sekolah.”
“Jadi, sekarang ini, sekolah libur? Aku sudah nggak paham lagi cara kerja kurikulum sekolah zaman sekarang.”
“Hanya anak-anak kelas tiga yang libur. Ujian Nasional sudah selesai kemarin.”
“Kamu cuma ngajar di kelas tiga?”
“Semua sudah diatur, Mas,” Indra menyahut dengan sorot mata serius. Lawan bicaranya baru menyadari bahwa pertanyaan basa-basinya barusan akhirnya menuju pada pokok pembicaraan yang sesungguhnya. Dia memulai,
“Kamu sudah dikabari Pak Sutopo?”
“Sudah, kemarin siang,” sahut Indra.
“Jadi, semuanya sudah siap.”
Indra mengangguk, lalu meraih ke dalam tasnya.
“Oiya, ini ada ... sedikit … oleh-oleh, Mas,” ujarnya, menyodorkan sebuah kantong kertas.
“Kupikir barusan kamu mau ngeluarin apa. Haha!” Pria itu terbahak. “Sedikit oleh-oleh, padahal kantongnya sebesar ini. Kamu sudah jadi orang Solo rupanya, Ndra.”
Indra angkat bahu sambil menahan senyum mendengar sindiran halus itu. “Mudah membaur banyak manfaatnya, Mas.” Diamatinya pria itu mengeluarkan isi kantong kertas dengan pandangan bertanya.
“Ini apa?”
“Roti kecik, Mas.”
“Aku bisa baca,” kekeh pria itu, menunjuk tulisan di kemasannya. “Roti macam apa ini? Kecik?”
“Bahannya tepung ketan dan kayu manis.”
“Kecik itu bukannya biji sawo?”
“Iya, dinamai begitu karena bentuknya seperti biji sawo. Konon, roti ini favorit Raja Solo zaman dulu, Mas.” Indra mengucapkannya dengan mata berbinar.
“Raja Solo, Pakubuwono?”
Indra mengangguk antusias. “Mau aku ceritakan asal-usulnya roti kecik, Mas? Pernah ada ulasan lengkapnya di Solopos.”
“Ugh ... lain kali aja,” pria itu mengibaskan tangan, masih tampak geli. “Daripada ahli sejarah, kamu lebih cocok jadi sales toko roti tradisional!”
“Bisa dicoba lain kali,” Indra menanggapi, tersenyum simpul.
“Makasih, ya, ngomong-ngomong. Aku sendiri belum pernah ke Solo.”
Indra mengangguk-angguk selagi si pria memasukkan oleh-oleh itu ke tasnya sendiri.
“Mas Rizky,” ujar Indra setelah jeda sejenak, “apa menurut Mas penelitian kita bisa selesai sebelum akhir tahun?”
Pria bernama Rizky itu tak langsung menjawab. Ia merapikan tasnya lalu mengetuk-ngetukkan telunjuk kanannya di atas meja, seolah sedang menghitung.
“Kalau Tris berhasil menjalankan tugasnya dan kamu memang kompeten seperti yang Pak Sutopo bilang, mestinya bulan Oktober sudah akan selesai.”
Indra tersenyum kecil. “Jadi Mas kurang yakin pada kemampuanku?”
Rizky mengangkat bahu. “Yah ... aku baru mengenalmu sebulan terakhir.” Dia menjeda. “Plus ... tiap kali bertemu denganmu kamu selalu berhasil memberiku impresi, tapi hanya itu saja.”
“Aku bisa melakukannya, Mas. Aku sendiri nggak meragukan Tris. Masalahnya adalah, pertengahan tahun ini akan banyak anak sekolah yang live in di daerah itu.”
“O, gitu.” Dahi Rizky berkerut tak senang. “Tapi proyek kita harus jalan.”
“Kita masih bisa kerja di malam hari,” usul Indra.
Rizky melambaikan tangan tak setuju. “Bicaramu itu ... seolah kita ini kawanan pencuri,” ujar pria yang lebih tua itu.
“Kita, ‘kan, memang bergerak diam-diam, Mas,” sahut Indra, merendahkan suaranya.
“Tapi kita bekerja demi pemerintah juga. Sekarang ini sulit memperoleh izin untuk berbuat macam-macam. Apalagi ini tentang …,” kalimat Rizky dibiarkan menggantung. Kedua netranya bertemu pandang dengan Indra, seolah saling bertukar pesan rahasia.
“Ngomong-ngomong, kamu nginap di mana? Tris baru ke sini besok, ‘kan?”
Indra memandang ke arah gunung, hampir tanpa sadar menggerakkan jemarinya membentuk bingkai khayalan di puncak Merapi. “Lebih dekat lagi ke sana, Mas.” Binar di mata Indra membuat Rizky membayangkan orang itu ingin menikmati tinggal di daerah yang pernah jadi berita di koran-koran beberapa tahun silam.
“Ya, ya. Asal saja kamu nggak masuk Koran, lho, nantinya.”
“Buat apa aku masuk koran, Mas? Aku hanya pengamat sejarah.”