Read More >>"> Titip Salam (Chapter 15 - Pertengkaran dengan June) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Titip Salam
MENU
About Us  

              Sampai Senin pagi, Papa belum juga pulang ke rumah. Kurasa suasana rumah jauh lebih damai ketika hari Minggu kemarin. Hampir seharian aku mengobrol dengan Mama, membicarakan apa saja, walau awalnya terasa canggung. Mama juga berkali-kali meyakinkanku bahwa dirinya tidak apa-apa jika sendirian di rumah dan aku terpaksa kembali ke kos karena ada jadwal kuliah siang.

               June tidak ada kamar, melainkan di kamar Wita hingga aku akan berangkat ke kampus. June juga tidak mengajakku bicara sama sekali. Ini tidak benar, bukankah seharusnya June segera minta maaf karena tiba-tiba kemarin tidak datang?

               “Kemarin Sabtu, gue telepon lo, kok enggak bisa, June? Kenapa enggak bilang kalau enggak bisa ikut ke Java Jazz?” tanyaku saat aku sudah bersiap ke kampus dengan menenteng ransel di bahu, dan berdiri di ambang pintu kamar Wita.

               Wita, Tiar, dan Aya yang kebetulan juga berada di dekat June, sontak memandang kami bergantian.

               “Kalian ke Java Jazz kok enggak ajak-ajak, sih, cuy?” Aya yang memang hobi menonton konser merasa ditinggalkan.

               “Iya, nih. Nonton rame-rame, kan, seru!” sahut Tiar yang ikutan cemberut.

               Wita yang tengah menyetrika hanya mendengarkan percakapan kami dan tidak ikut menimpali, toh dia juga tidak terlalu suka menonton acara live music.

               “Kenapa mesti bilang ke lo? Yang ngajak gue ke sana, kan, bukan lo, Jav.” Kali ini June berkata dengan nada sinis.

               Deg!

               Aku terkejut. Ternyata June tahu. “Jadi … lo udah tahu?”

               “Ini gimana, sih? Katanya Javitri ngajak June, tapi kata June bukan Javitri yang ngajak.” Tiar menginterupsi percakapanku dengan June.

               “Jadi, sebenarnya siapa ngajak siapa, sih?” Aya masih memandangi kami berdua bergantian.

               June beranjak dari kursi rias setelah selesai menyapukan lipgloss ke bibirnya, kemudian keluar kamar tanpa menghiraukanku.

               “Lo sebenernya dateng ke sana, kan, June? Kenapa enggak nyamperin dia?” berondongku tak sabar.

               “Dia siapa, sih?” Wita tidak dapat menyembunyikan rasa penasarannya yang sejak tadi hanya memerhatikan kami.

               “Gue enggak suka, ya, kalau lo pakai acara bohong-bohong ke gue!” seru June sembari menunjukku.

               “Kalau gue enggak bohong, mau sampai kapan masalah lo sama Ryo kelar?” Aku berusaha menahan intonasi bicaraku, sayangnya aku terpancing juga menggunakan nada tinggi.

               “Itu urusan gue, bukan urusan lo! Berhenti ikut campur sama urusan gue mulai sekarang!”

               “Tapi itu enggak adil buat Ryo, dia cuma butuh waktu buat ngomong dan selesaikan ini baik-baik sama lo, June! Jangan egois!”

               “Egois? Lo itu yang egois, Jav! Lo sengaja, kan, sok bantu dia padahal mau deket sama dia? Jangan-jangan lo juga yang nawarin cowok-cowok itu titip-titip salam ke kita, biar lo deket sama mereka?”

               Ucapan June terlalu menyakitkan buatku. “Lo kalau ngomong mending dipikir dulu, deh! Enggak asal bunyi aja! Iya, gue tahu lo paling cantik, tapi buat apa jadi yang tercantik kalau sikap lo minus, hah!” Aku kehabisan napas, kerongkonganku sakit karena berteriak dan menahan tangis. Ini pertengkaran terbesarku dengan June, dan amarahku rasanya meluap hingga ke kepala dan mata.

               “Lo enggak ngerti apa yang terjadi sama gue dengan Ryo waktu itu! Jadi jangan sok jadi pahlawan buat Ryo!” June ikut berteriak.

               “Udah, udah,” ucap Wita yang bergegas keluar kamar dan melerai kami.

               “Didengerin Bu Nur sama tetangga,” timpal Aya pelan.

               “Eeh, siapa itu yang teriak-teriak?” Benar saja, Bu Nur menegur dari lantai bawah.

               “Enggak, kok, Bu,” sergah Tiar cepat dengan teriakan juga.

               Ini masih siang, dan indekos sudah penuh dengan teriakan. Aku menepis tangan Wita yang tengah memegang pergelangan tanganku, lalu menuruni tangga dengan cepat. Aku tidak sanggup lama-lama menatap June yang sikapnya makin arogan itu.

               “Jav, mau ke mana?” tanya Wita berusaha mencegahku keluar rumah indekos, tapi tidak kupedulikan dan aku juga tidak mau repot-repot menoleh.

               Akhir-akhir ini banyak sekali yang membuatku menangis. Membuat hidup serta hatiku terombang-ambing tidak menentu, dan aku hanya ingin lari dari semua masalah. Ryo, Papa—Mama, dan sekarang June.

               Karena suasana hatiku yang buruk, aku bolos kelas siang ini dan memilih duduk di bangku pojokan kantin kampus dengan segelas besar Americano dingin. Padahal, aku tidak suka pahit dan tidak pernah menenggak kopi tanpa freshmilk. Namun, aku ingin mengalihkan pikiranku sebentar.

               Baru tiga puluh menit duduk, seseorang mencolek bahuku. Aku menoleh.

               “Dor!” serunya sambil tertawa terpingkal-pingkal padahal tidak ada yang lucu.

               “Eh, lo, Ris,” sapaku setelah melihat siapa yang membuat sapaan annoying itu di tengah-tengah kemelut pikiranku.

               “Gitu doang? Enggak asyik banget, sih, Jav. Pura-pura kaget, kek,” ucap Haris seraya mengambil duduk di hadapanku.

               “Gue udah cukup kaget sama hidup gue sendiri,” gumamku pelan.

               “Apa?”

               “Apanya yang apa?”

               “Ya, lo tadi ngomong apa?”

               Aku menggeleng. “Enggak ngomong apa-apa.”

               Haris berdecak. “Gue udah lama enggak lihat lo, btw. Sejak awal semester ini kayaknya.”

               “Lah, ini lo lihat gue, kan,” jawabku sambil mengarahkan telunjuk ke diriku sendiri.

               “Terserah lo, deh, Jav. Terseraaah ….” Haris menghela napas kesal. “Kok lo sendirian?”

               “Soalnya enggak sama yang lain.”

               “Ya, gue ngerti, Jamilaah. Maksud gue, ke mana yang lain?”

               “Kuliah. Mungkin.”

               Haris mengernyit. “Kok mungkin?”

               “Ya, kali aja mereka ada yang izin ke toilet, atau lagi ngegosip, atau lagi tidur di kelas. Kan, gue enggak ngerti.” Aku mengedikkan bahu.

               “Lo ada masalah, ya?” tebak Haris.

               “Sok tahu.”

               “Kalau lo jawabnya mulai absurd begitu, lo beneran lagi ada masalah, sih.”

               “Sok tahu banget.” Aku berusaha bicara dengan datar agar Haris tidak bisa membaca raut wajahku yang memang terkadang mudah ditebak.

               “Nyampah aja ke gue, enggak apa-apa. Gue biasa jadi tempat pembuangan sementara, kok.”

               Haris masih keras kepala kalau aku punya masalah. Kuseruput Americano dinginku yang tersisa setengah. “Gue nanya aja, deh, ya.”

               “Boleh. Tanya apa aja, asal jangan rumus kalkulus.” Haris menganggukkan kepala seraya menggerakkan jarinya seolah memanggilku.

               “Kenapa lo sering titip salam ke Tiar lewat gue?”

               Haris mengetuk keningnya seakan-akan dia sedang berpikir keras. “Ini agak susah pertanyaannya. Kenapa ya? Ya, awalnya gue cuma kenal lo sama Tiar doang. Tiarnya cuek kalau gue ajak omong, jadi gue memutuskan melalui lo aja.”

               “Terus?” Aku mencondongkan tubuhku ke depan. Aku ingin tahu apa yang dikatakan June tadi benar atau tidak? Apa memang aku yang ingin dekat dengan cowok-cowok ini?

               “Apanya yang terus?” Haris akan mengambil cup Americano-ku, tapi segera kutepis tangannya dengan sekali pukulan. “Pelit amat, sih, Jav!” rutuknya.

               “Masa bodo.” Kusembunyikan minumanku. “Ayo kasih alasan lainnya!”

               “Hm … ya, lo baik, sih. Jadi gue seneng aja ada yang bantuin gue buat deketin calon gebetan. Kenapa, sih, nanya begituan?”

               Aku menggelengkan kepala. Tiba-tiba seseorang yang membuat detak jantungku tidak kondusif akhir-akhir ini terlihat melambaikan tangan ke arahku dari kejauhan. Dia berlari kecil ke kursiku tanpa membawa tas.

               “Kalian lagi pada ngapain berduaan di sini?” tanya Ryo dengan alis menyatu.

               “Minum kopi.”

               “Duduk.”

               Dahi Ryo makin kelihatan mengerut. “Jav, lo kok bolos kuliah, sih? Kan, lo udah janji enggak ada bolos semester ini.” Dengan cepat tangannya meraih kopiku dan menyedotnya. “Lo tumbenan minum kopi pahit?” tanya Ryo seolah dia yang paling mengenalku.

               “Lo kenapa, sih, Bro, dateng-dateng nyamber aja kayak bledek,” sahut Haris seraya memandang Ryo keheranan.

               “Ya dari pada dateng tak dijemput, pulang tak diantar.”

               Aku menggeleng-gelengkan kepala, makin absurd saja pembicaraan ini. “Lah, lo kenapa keluar kelas? Kan, masih jam kuliah.” Kulihat arlojiku yang masih menunjukkan pukul setengah dua siang. Kelas seharusnya selesai pukul setengah tiga.

               “Males. Ngantuk.” Ryo memberi isyarat dengan dagu agar aku bergeser sambil membawa minumanku seolah-olah itu miliknya.

               “Tadi, lo ngomelin, Jav. Sekarang lo sendiri bolos,” decak Haris bermaksud mengejek.

               “Terserah gue dong. Lagian kalian ngapain berduaan? Yang ketiganya setan!”

               “Lo setannya,” balasku cepat.

               Haris tertawa puas. “Javitri lagi sesi curhat ke gue. Udah, ah, lama-lama deket Setan, gue jadi kepanasan. Gue balik ke jurusan dulu, Jav,” pamitnya seraya beranjak dari duduk. “Bye, Setan.” Haris sengaja melambaikan tangannya di depan Ryo.

               Laki-laki di sampingku hanya mengangkat tangannya yang tengah memegang cup seperti akan melemparnya ke arah Haris. Namun, tentu saja tidak dilempar betulan, isinya masih ada seperempat, dan bagi Ryo itu terlalu sayang untuk dibuang.

               “Jadi, kenapa bolos?” tanya Ryo lagi setelah Haris pergi.

               Aku mengembuskan napas panjang.

               “June, ya?”

               Aku sontak menoleh dengan mata melebar.

               “Ah, bener tebakan gue.” Ryo meletakkan cup berembun itu di atas meja kembali. “June tahu kalau yang gue yang ngajak? Dia marah ke lo?”

               Aku hanya mengangguk dengan kepala menunduk, menatap tali sepatuku sambil berpikir warna apa yang cocok selain putih, karena aku bosan melihat warna putih di sana.

               “Entar gue bantu jelasin ke June.”

               “Enggak perlu, Yo. Biar gue selesaikan sendiri. Dan lo juga selesaikan sendiri masalah lo sama dia. Gue enggak mau dibilang ambil kesempatan.”

               “Hah? Kesempatan apa?” Kening Ryo membentuk lipatan tipis di atas alis.

               “Ya kesempatan deket sama lo, lah.”

               “Siapa yang bilang? June? Ya, bilang aja kita emang lagi deket.”

               Aku buru-buru menoleh. Kukira Ryo berkata dengan gayanya yang tidak acuh, ternyata dia serius, dia memandangku sejak tadi. Jarak kami duduk terlalu dekat, aku bisa melihat matanya yang jernih, hidungnya yang memiliki tulang tinggi, kumis tipis, serta bibir lebar yang diberi bonus lesung pipi oleh Tuhan. Namun, aku bergegas menundukkan kepala lagi. Dari jarak sedekat ini tentu saja Ryo bisa melihat seluruh wajahku termasuk jerawat-jerawat kecil di sekitar pipi. “Kalau memang lo masih berharap bisa balikan sama June, mending lo deketin dia sendiri, tanpa lewat gue.”

               “Balikan? Siapa yang mau balikan?” kilah Ryo.

               “Lo selama ini ngejar-ngejar dia, kan, mau balikan sama dia, Yo.” Aku mulai gemas karena Ryo masih saja menutupi perasaannya yang sudah sejelas itu.

               Tiba-tiba Ryo tertawa. “Bukan. Gue cuma memang perlu ngomong berdua sama dia. Gue mau minta maaf dengan tulus, menyesali kebodohan yang gue lakukan dulu.”

               “Hah?” Sekarang, malah aku yang mengerutkan dahi hingga berlipat-lipat. “Sebenernya apa, sih, yang terjadi antara lo sama June waktu itu?”

               Ryo mendesah, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi kantin. Untung saja kantin sepi, sehingga aku bisa leluasa mengobrol dengan temanku ini tanpa terganggu. “June salah paham. Selesai acara makrab itu gue ngantuk parah. Hampir tiga hari enggak tidur gara-gara dikerjain senior, ditambah flu pula. Akhirnya si Gusi kasih obat flu ke gue, biar gue bisa tidur cepet. Saking pusing dan antara sadar—enggak sadar, sih, udah kayak orang tipsy pokoknya, gue tidur di kamar cewek, dan cuma ada June sendirian di sana. Ya, gue mana tahu, posisi kamar gelap dan June selimutan sampai kepala. Begonya lagi, gue enggak cek siapa yang tidur di sebelah gue. Tahu-tahu pas bangun pagi, beneran tidur sekamar berdua doang.”

               Dadaku terasa panas seolah ada sekumpulan anak pramuka yang sedang menyalakan api unggun. Pengakuan Ryo barusan membuatku bingung harus merespon bagaimana. “Mana lo enggak pake baju lagi!” Dari sekian banyak rangkaian kalimat di muka bumi, mengapa aku malah memilih kalimat itu?

               “Hei! Cuma enggak pake kaus doang, gue kebiasaan tidur begitu. Bukan semuanya!”

               “Tetep aja bikin cewek takut setengah mati! Makanya kalau lagi acara begitu, lo emang kudu dijagain!” sungutku.

               “June beneran takut, ya?” Wajah Ryo yang sok lugu itu rasanya ingin kulempari sepatu.

               “Menurut ngana? Mana banyak rumor lo udah ngapa-ngapain dia, apalagi kalian baru pacaran. Kan, kasihan June sebagai cewek yang lebih dirugikan.” Kok aku jadi terdengar membela June, ya. Padahal beberapa jam lalu aku benar-benar marah pada teman sekamarku itu.

               Ryo memicingkan mata. “Cowok juga merasa dirugikan, lho. Jangan diskriminasi gender.”

               “Coba, lo rugi apa? Kagak ada, sedangkan cewek? Jadi dianggep murahan, lah, gampangan, lah. Mana June enggak inget apa-apa waktu itu.”

               “Tapi sumpah, Jav. Gue enggak ngapa-ngapain si June kok. Lo percaya, kan?”

               “Hm ….” Aku mengalihkan perhatian ke ponsel, siapa tahu Mama mengirim pesan.

               “Kok gitu, sih? Please, percaya sama gue, Jav.”

               “Kenapa gue harus percaya sama lo?” Aku membalikkan pertanyaan.

                “Karena … gue suka sama lo, Jav,” jawab Ryo lirih. []

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • moonmaker

    kaya gue yg nunggu ngisi air sambil main game WKWKWK

    Comment on chapter Chapter 1 - Aku Javitri
Similar Tags
Memoreset (Segera Terbit)
3094      1198     2     
Romance
Memoreset adalah sebuah cara agar seluruh ingatan buruk manusia dihilangkan. Melalui Memoreset inilah seorang gadis 15 tahun bernama Nita memberanikan diri untuk kabur dari masa-masa kelamnya, hingga ia tidak sadar melupakan sosok laki-laki bernama Fathir yang menyayanginya. Lalu, setelah sepuluh tahun berlalu dan mereka dipertemukan lagi, apakah yang akan dilakukan keduanya? Akankah Fathir t...
Kembali Utuh
494      299     1     
Romance
“Sa, dari dulu sampai sekarang setiap aku sedih, kamu pasti selalu ada buatku dan setiap aku bahagia, aku selalu cari kamu. Begitu juga dengan sebaliknya. Apa kamu mau, jadi temanku untuk melewati suka dan duka selanjutnya?” ..... Irsalina terkejut saat salah satu teman lama yang baru ia temui kembali setelah bertahun-tahun menghilang, tiba-tiba menyatakan perasaan dan mengajaknya membi...
Salon & Me
2867      898     11     
Humor
Salon adalah rumah kedua bagi gue. Ya bukan berarti gue biasa ngemper depan salon yah. Tapi karena dari kecil jaman ingus naek turun kaya harga saham sampe sekarang ketika tau bedanya ngutang pinjol sama paylater, nyalon tuh udah kaya rutinitas dan mirip rukun iman buat gue. Yang mana kalo gue gak nyalon tiap minggu rasanya mirip kaya gue gak ikut salat jumat eh salat ied. Dalam buku ini, udah...
Di Semesta yang Lain, Aku mencintaimu
465      276     8     
Romance
Gaby Dunn menulis tulisan yang sangat indah, dia bilang: You just found me in the wrong universe, that’s all, this is, as they say, the darkest timeline. Dan itu yang kurasakan, kita hanya bertemu di semesta yang salah dari jutaan semesta yang ada.
TO DO LIST CALON MANTU
1051      448     2     
Romance
Hubungan Seno dan Diadjeng hampir diujung tanduk. Ketika Seno mengajak Diadjeng memasuki jenjang yang lebih serius, Ibu Diadjeng berusaha meminta Seno menuruti prasyarat sebagai calon mantunya. Dengan segala usaha yang Seno miliki, ia berusaha menenuhi prasyarat dari Ibu Diadjeng. Kecuali satu prasyarat yang tidak ia penuhi, melepaskan Diadjeng bersama pria lain.
When Magenta Write Their Destiny
3448      1128     0     
Romance
Magenta=Marina, Aini, Gabriella, Erika, dan Benita. 5 gadis cantik dengan kisah cintanya masing-masing. Mereka adalah lima sahabat yang memiliki kisah cinta tak biasa. Marina mencintai ayah angkatnya sendiri. Gabriella, anak sultan yang angkuh itu, nyatanya jatuh ke pelukan sopir bus yang juga kehilangan ketampanannya. Aini dengan sifat dingin dan tomboynya malah jatuh hati pada pria penyintas d...
Luka Dan Perkara Cinta Diam-Diam
4945      2046     22     
Romance
Kenangan pahit yang menimpanya sewaktu kecil membuat Daniel haus akan kasih sayang. Ia tumbuh rapuh dan terus mendambakan cinta dari orang-orang sekitar. Maka, ketika Mara—sahabat perempuannya—menyatakan perasaan cinta, tanpa pikir panjang Daniel pun menerima. Sampai suatu saat, perasaan yang "salah" hadir di antara Daniel dan Mentari, adik dari sahabatnya sendiri. Keduanya pun menjalani h...
Like a Dandelion
2399      823     2     
Romance
Berawal dari kotak kayu penuh kenangan. Adel yang tengah terlarut dengan kehidupannya saat ini harus kembali memutar ulang memori lamanya. Terdorong dalam imaji waktu yang berputar ke belakang. Membuatnya merasakan kembali memori indah SMA. Bertemu dengan seseorang dengan sikap yang berbanding terbalik dengannya. Dan merasakan peliknya sebuah hubungan. Tak pernah terbesit sebelumnya di piki...
River Flows in You
642      359     6     
Romance
Kean telah kehilangan orang tuanya di usia 10 tahun. Kemudian, keluarga Adrian-lah yang merawatnya dengan sepenuh hati. Hanya saja, kebersamaannya bersama Adrian selama lima belas tahun itu turut menumbuhkan perasaan lain dalam hati. Di satu sisi, dia menginginkan Adrian. Di sisi lain, dia juga tidak ingin menjadi manusia tidak tahu terima kasih atas seluruh kebaikan yang telah diterimanya dar...
Are We Friends?
2592      818     0     
Inspirational
Dinda hidup dengan tenang tanpa gangguan. Dia berjalan mengikuti ke mana pun arus menyeretnya. Tidak! Lebih tepatnya, dia mengikuti ke mana pun Ryo, sahabat karibnya, membawanya. Namun, ketenangan itu terusik ketika Levi, seseorang yang tidak dia kenal sama sekali hadir dan berkata akan membuat Dinda mengingat Levi sampai ke titik paling kecil. Bukan hanya Levi membuat Dinda bingung, cowok it...