Read More >>"> Titip Salam (Chapter 14 - Popcorn dengan Lelehan Mentega) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Titip Salam
MENU
About Us  

              To : June

               [Mau nonton Java Jazz sama gue?]

               [Gue ada dua tiket, nih]

 

               Akhirnya pesan itu kukirim juga pada June. Dengan cemas, aku menanti balasannya. Mengapa aku tidak mengajaknya secara langsung? Jelas, aku tidak seberani itu, dan aku bukanlah pembohong kelas atas, karena orang yang mengenalku dekat akan mudah membacanya melalui raut wajah yang kutunjukkan saat bicara.

              

               From : June

               [Kapan?]

 

               To : June

               [Besok Sabtu malem di JI Expo]

               [Ketemuan di sana]

 

               From : June

               [Kenapa enggak berangkat bareng aja?]

 

               To : June

               [Gue berangkat dari rumah]

               [Please?]

 

               From : June

               [Oke]

               [Besok gue kabarin]

 

               June meng-oke ajakanku, artinya rencana Ryo berhasil. Sayangnya, aku tidak sesenang itu. Ya, mereka berdua akhirnya akan bertemu, berbicara, menyelesaikan masalah, dan mungkin saja keduanya jadi dekat lagi seperti dulu.

               Karena aku mengatakan akan berangkat dari rumah, mau tidak mau aku benar-benar harus pulang ke rumah malam ini. Aku berharap Papa tidak di rumah, seperti minggu-minggu sebelumnya yang hanya mengecek keberadaanku melalui Mama. Sejak aksi waktu itu, aku memang menjadi penurut, dan ke mana-mana di bawah pengawasan orang tuaku. Apalagi tanpa motor, membuat ruang gerakku makin terbatas jika tidak ingin uang jajan habis hanya untuk membayar ojek online berkali-kali.

               “Gimana kuliahnya?” tanya Papa yang tengah membaca koran di teras dengan suara berat begitu aku membuka pagar rumah. Sungguh penyambutan yang memukau.

               “Ya, gitu aja, Pa. Lancar.” Aku menjawab dengan malas.

               “Papa sudah terima pemberitahuan hasil semester tigamu kemarin. Apa-apaan itu, IPK 2.2! Kamu enggak malu sama teman-temanmu?” Intonasi bicara Papa meninggi.

               “Ya, makanya Papa izinin aku bawa motor lagi, ngekos tanpa harus pulang tiap minggu!” Akhirnya tersulut juga kemarahanku.

               “Itu lagi yang dibahas? Enggak ada manfaatnya bawa kendaraan pribadi atau mobil, sekali pun seperti kakakmu dulu, ujung-ujungnya apa? Kebut-kebutan di jalan, kecelakaan! Kamu juga mau berakhir kayak kakakmu, hah? Mati sia-sia?”

               Hatiku rasanya terbelah, lalu lukanya yang menganga lebar diberi tetesan jeruk masam. Perih. “Pa! Bisa berhenti ngomongin Mas Januar kayak gitu? Papa sama sekali enggak pantas disebut orang tua!” teriakku, lalu berjalan masuk, sekilas kulihat foto keluarga kami di ruang tamu. Berempat dengan senyum lebar seolah kami adalah keluarga yang saling menyayangi. Aku membuang napas kasar lalu menuju kamar dan membanting pintunya dengan keras.

               “Javitri! Berani-beraninya menghina Papa! Keluar kamu! Kamu itu mahasiswa, berpendidikan, tapi bicaramu malah kayak orang yang enggak pernah disekolahkan!” Papa menggedor pintu kamarku.

Sekian detik kemudian, kudengar langkah kaki Mama yang tergopoh mendekat, berusaha menenangkan Papa untuk kesekian kali.

               Aku duduk di lantai, di samping tempat tidur sembari menekuk lutut. Aku menangis dalam keheningan, tidak mau sampai suara tangisanku terdengar keluar. Tentu saja itu akan membuat Papa makin merasa bahwa dirinyalah yang paling berkuasa karena dikira aku menyesal. Aku tidak menyesal berkata seperti tadi, aku justru menyesal telah mendengarkan kalimat terburuk sepanjang sembilas belas tahun hidupku.

               Perlahan suara Papa hilang, sepertinya Mama berhasil menjauhkan Papa dari pintu kamarku. Rumah kembali sepi, dingin, tidak ada tanda-tanda kasih sayang yang menyelimuti keluarga. Tidak ada lagi kata keluarga. Hanya sebuah panggilan keharusan agar aku tidak lupa. Papa dan Mama, tanpa Mas Januar lagi.

               Sabtu sore, aku masih di dalam kamar. Sekali aku keluar, tadi siang hanya untuk mandi dan makan, itu pun menunggu Papa keluar rumah lebih dulu. Aku sudah menjalankan tugasku sebagai perantara Ryo. Tinggal menunggu keduanya bertemu atau June yang meneleponku sambil marah-marah.

               Ketika aku sedang asyik membaca buku sembari rebahan di tempat tidur, tiba-tiba Ryo meneleponku.

               “Ada apa?” tanyaku ketus. Jika cuma untuk mengatakan terima kasih, aku berencana menutup telepon Ryo begitu saja. Untuk apa ucapan terima kasih jika sebenarnya hatiku porak-poranda.

               “Lo udah whatsapp June, kan, Jav?”

               “Udah dari tadi siang! Enggak percaya banget sama gue!”

               “Bukan gitu, gue belum ketemu June sampai sekarang.”

               Aku menoleh ke jam dinding yang berada di atas meja belajar, sudah pukul tujuh malam. Padahal seharusnya mereka bertemu sejak jam empat sore tadi di tempat yang telah Ryo tentukan. “Bentar, coba gue telepon dia lagi, deh. Lo masih betah nunggu, kan?”

               “Gue enggak masalah, sih ….” Jawaban Ryo agak mengambang.

               “Oke, gue telepon June sekarang.” Kuhentikan sambungan telepon Ryo, lalu beralih menelepon June dengan cepat. Namun, malah tersambung pada operator provider. Aku mengirim pesan melalui whatsapp lagi juga tidak terkirim. Ponsel June pasti non-aktif.

               Ryo pasti masih menunggu di sana, entah sampai jam berapa karena June tiba-tiba tidak bisa dihubungi. Aku segera menyambar jaket dan dompet. Namun, begitu keluar kamar, aku berpapasan dengan Papa dan Mama yang baru pulang.

               “Mau ke mana?!” tanya Papa. Tidak. Lebih tepatnya menghardikku.

                “Keluar,” jawabku singkat. Lalu bergegas menuju pagar.

               “Javitri! Kamu mau ke mana, hah! Malam-malam bukannya belajar!”

               Mama dengan langkahnya yang tergesa sembari menahan Papa agar tidak mengejarku, berusaha menyusul keluar rumah.

               “Javitri, kamu mau ke mana, Nak?” tanya Mama lembut, tapi dengan suara keras agar aku mendengarnya jelas.

               Aku berbalik, lalu menghampiri Mama yang langkahya selalu tergopoh-gopoh jika itu menyangkut Papa atau aku. Kutundukkan kepala, Mama hanya menggunakan sandal rumah tipis karena terlalu terburu-buru mengejar. Aku merasa bersalah sekaligus kasihan padanya. “Aku mau ketemu temenku, Ma. Ini penting.”

               “Sampai malam?”

               “Kuusahakan enggak lebih dari jam dua belas.”

               “Javitri, Mama tahu kamu sudah dewasa. Kamu pasti sudah bisa memilah mana yang baik dan mana yang berdampak buruk, kan?”

               Aku mengangguk dengan seulas senyum. Setidaknya kalimat Mama tidak menghakimi, mengekang atau menyalahkan. Itu sudah cukup membuatku merasa diperhatikan lagi. “Iya, Ma. Mama percaya sama aku, kan? Aku enggak akan membuat Mama kehilangan lagi.” Kuraih tangan Mama karena aku mulai melupakan kebiasaan mencium tangannya sebelum dan sesudah pergi.

               “Hati-hati. Kalau ada apa-apa telepon Mama, ya.”

               Aku mengangguk, lalu bergegas menuju jalan raya untuk memesan ojek online. Perjalanan dua puluh menit terasa seperti setahun. Berkali-kali aku melihat arloji, dan ketika jam setengah delapan malam aku baru sampai di gerbang depan Jakarta International Expo.

               Aku berlari menuju tempat Ryo menunggu June. Sayangnya, aku yang buta arah baru menemukan sosok Ryo yang tengah berdiri sambil menatap ponselnya itu, setelah berlarian selama sepuluh menit.

               “Ryo!” teriakku dengan napas terengah-engah.

               Laki-laki yang kini berjarak lima meter dariku membelalakkan mata begitu melihatku. “Jav? Lo ngapain?”

               Aku kehilangan napas. “Hhh, itu si June, hhh.”

               “Santai, tarik napas dulu. Pelan-pelan kalau ngomong.”

               Aku menelan ludah, kuanggap itu air mineral. “June … itu … enggak bisa dihubungi.”

               “Ya ampun, kenapa lo enggak telepon gue aja, sih? Kenapa nyamperin ke sini?”

               Napasku mulai teratur lagi. “Gue takut lo bakal keras kepala nungguin dia di sini.”

               Ryo menggelengkan kepala sambil tersenyum.

               Aku tiba-tiba merasa lelah. Kuempaskan diriku di sembarang tempat.

               “Ayo!” Ryo mengulurkan tangannya padaku.

               “Ke mana?”

               “Masuk, lah. Sayang tiketnya.” Tangan Ryo masih menggantung.

               “Emang boleh? Kita ketinggalan banyak banget.”

               “Dicoba aja dulu. Yuk, deh!” Ryo menggoyang tangannya agar aku bergegas bangun dari duduk dan meraih tangannya.

               “Gue keringetan abis lari, baju gue juga cuma begini.” Aku merentangkan sedikit kedua lenganku yang hanya dibungkus jaket fleece bulu berwarna latte untuk menutupi kaos bermotif stripe putih, serta celana pendek selutut berwarna cokelat dengan sneakers andalanku. Namanya juga buru-buru. Aku tidak sempat mengganti baju apalagi menabur bedak dan memulas lipgloss.

               “Ih, kayak ada yang liatin lo aja,” goda Ryo sambil cekikikan. “Udah, deh. Ayo, buruan! Sayang nih kalau tiketnya hangus.”

               Aku melenguh. Kuraih tangan Ryo yang dingin. Namun, hingga kami menuju pintu tempat pertunjukan, Ryo tidak melepas tanganku. Jemarinya mengisi sela-sela jariku. Detak jantungku sendiri sudah meletup-letup seperti jagung di atas panci panas, sebentar lagi akan menjadi popcorn dengan lelehan mentega. Kalau Ryo terus begini, lama-lama aku yang tidak akan kuat menanggungnya. Sebenarnya Ryo menganggapku apa? Apa aku hanya sebagai pengganti June saja? Pertanyaan itu berkecamuk di pikiranku. Di antara banyak orang yang sedang ikut bernyanyi, pikiranku tidak tenang.

               Selesai menonton Java Jazz, sudah hampir jam dua belas malam. Aku meminta Ryo menurunkanku sepuluh meter dari rumah, dengan alasan Papa yang galaknya minta ampun. Namun, itu bukan kebohongan, Papa pasti akan mengamuk jika tahu aku pulang hampir tengah malam bersama laki-laki. Bisa-bisa makin protektif dan mengekangku. Ryo setuju, tapi dia tetap berada di tempatnya hingga aku berbelok masuk ke rumah.

               Papa tidak terlihat di teras, mungkin di ruang tamu dan akan mengagetkanku dengan suara beratnya atau teriakan tiba-tiba. Aku sudah bersiap dengan bentakannya seperti biasa. Lama-lama aku menganggap ucapan Papa hanya sebagai angin lalu, karena terlalu seringnya bicara sesuatu yang sama, dan harus kudengarkan, tapi tidak untuk kuingat. Ya, makin lama aku akan terbiasa.

               Akan tetapi, dugaanku salah. Papa juga tidak terlihat di bagian rumah mana pun, hingga aku pura-pura ke dapur mengambil minum, tidak ada suara Papa sama sekali. Dengan perasaan sedikit lega, karena tidak harus bertengkar dengan Papa di tengah malam, aku kembali ke kamar.

               Minggu pagi, jam dinding baru saja mencapai angka tujuh, Mama sudah membangunkanku dengan menepuk bahuku pelan.

               “Sarapan sama Mama, yuk, Jav,” ucap Mama lembut.

               Rasanya seperti mimpi, ini pertama kalinya Mama membangunkanku untuk mengajak sarapan bersama sejak Mas Januar tidak ada. Kami bertiga lebih sering memilih makan di waktu yang terpisah, karena jika bertiga dalam semeja, tentu saja hanya akan mengundang permasalahan.

               Mama menarik tanganku pelan agar aku menjauh dari bantal. Lalu merapikan poni dan anak rambutku yang tidak beraturan. “Ayo, sarapan. Mama sudah masak pepes ikan pedes, tuh.”

               Sebenarnya aku malas, tapi demi menghargai ajakan Mama di Minggu pagi yang tidak seperti biasa, aku segera beranjak cuci muka sebelum menuju meja makan.

               Tidak ada Papa. Hanya aku dan Mama yang duduk berhadapan sambil menikmati sarapan hangat, dengan obrolan ringan seputar situasi kampus dan kuliahku.

               “Javitri ….” panggil Mama lembut ketika aku selesai membilas mulut dengan air putih sambil memegang perut yang kekenyangan. “Mama minta cerai ke Papa, semalam. Javitri mau hidup berdua dengan Mama?”

               Aku membelalakkan mata. Kutatap wajah Mama yang seolah menunjukkan kelelahan luar biasa. Aku baru menyadari matanya yang sembab dan kantung yang makin melebar ke bawah. Mama terlihat lebih tua dari usianya. “Ma-Mama yakin?” Lidahku kelu.

               “Mama enggak bisa hidup dengan Papa yang berubah makin temperamen,” ucap Mama dengan suara parau sembari meraih tanganku. Genggaman tangan Mama yang dingin, mengingatkanku pada Ryo. “Kalau kamu mau hidup dengan Mama saja, kamu boleh memilih jalan hidupmu, Nak.” Air mata terjun begitu saja dari kelopak mata Mama yang keriput.

               Aku meremas tangan Mama. Entah mengapa, hatiku sakit bercampur pilu. Kesempatan untuk memilih jalan hidupku sendiri, memang menjadi keinginanku sejak dulu. Sejak lulus SMA. Namun, perceraian orang tuaku, bukanlah salah satu yang kuinginkan, dan bahkan tidak pernah tebersit di pikiranku. []

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • moonmaker

    kaya gue yg nunggu ngisi air sambil main game WKWKWK

    Comment on chapter Chapter 1 - Aku Javitri
Similar Tags
Memoreset (Segera Terbit)
3094      1198     2     
Romance
Memoreset adalah sebuah cara agar seluruh ingatan buruk manusia dihilangkan. Melalui Memoreset inilah seorang gadis 15 tahun bernama Nita memberanikan diri untuk kabur dari masa-masa kelamnya, hingga ia tidak sadar melupakan sosok laki-laki bernama Fathir yang menyayanginya. Lalu, setelah sepuluh tahun berlalu dan mereka dipertemukan lagi, apakah yang akan dilakukan keduanya? Akankah Fathir t...
Kembali Utuh
491      296     1     
Romance
“Sa, dari dulu sampai sekarang setiap aku sedih, kamu pasti selalu ada buatku dan setiap aku bahagia, aku selalu cari kamu. Begitu juga dengan sebaliknya. Apa kamu mau, jadi temanku untuk melewati suka dan duka selanjutnya?” ..... Irsalina terkejut saat salah satu teman lama yang baru ia temui kembali setelah bertahun-tahun menghilang, tiba-tiba menyatakan perasaan dan mengajaknya membi...
Salon & Me
2867      898     11     
Humor
Salon adalah rumah kedua bagi gue. Ya bukan berarti gue biasa ngemper depan salon yah. Tapi karena dari kecil jaman ingus naek turun kaya harga saham sampe sekarang ketika tau bedanya ngutang pinjol sama paylater, nyalon tuh udah kaya rutinitas dan mirip rukun iman buat gue. Yang mana kalo gue gak nyalon tiap minggu rasanya mirip kaya gue gak ikut salat jumat eh salat ied. Dalam buku ini, udah...
Di Semesta yang Lain, Aku mencintaimu
464      275     8     
Romance
Gaby Dunn menulis tulisan yang sangat indah, dia bilang: You just found me in the wrong universe, that’s all, this is, as they say, the darkest timeline. Dan itu yang kurasakan, kita hanya bertemu di semesta yang salah dari jutaan semesta yang ada.
TO DO LIST CALON MANTU
1043      442     2     
Romance
Hubungan Seno dan Diadjeng hampir diujung tanduk. Ketika Seno mengajak Diadjeng memasuki jenjang yang lebih serius, Ibu Diadjeng berusaha meminta Seno menuruti prasyarat sebagai calon mantunya. Dengan segala usaha yang Seno miliki, ia berusaha menenuhi prasyarat dari Ibu Diadjeng. Kecuali satu prasyarat yang tidak ia penuhi, melepaskan Diadjeng bersama pria lain.
When Magenta Write Their Destiny
3448      1128     0     
Romance
Magenta=Marina, Aini, Gabriella, Erika, dan Benita. 5 gadis cantik dengan kisah cintanya masing-masing. Mereka adalah lima sahabat yang memiliki kisah cinta tak biasa. Marina mencintai ayah angkatnya sendiri. Gabriella, anak sultan yang angkuh itu, nyatanya jatuh ke pelukan sopir bus yang juga kehilangan ketampanannya. Aini dengan sifat dingin dan tomboynya malah jatuh hati pada pria penyintas d...
Luka Dan Perkara Cinta Diam-Diam
4944      2046     22     
Romance
Kenangan pahit yang menimpanya sewaktu kecil membuat Daniel haus akan kasih sayang. Ia tumbuh rapuh dan terus mendambakan cinta dari orang-orang sekitar. Maka, ketika Mara—sahabat perempuannya—menyatakan perasaan cinta, tanpa pikir panjang Daniel pun menerima. Sampai suatu saat, perasaan yang "salah" hadir di antara Daniel dan Mentari, adik dari sahabatnya sendiri. Keduanya pun menjalani h...
Like a Dandelion
2399      823     2     
Romance
Berawal dari kotak kayu penuh kenangan. Adel yang tengah terlarut dengan kehidupannya saat ini harus kembali memutar ulang memori lamanya. Terdorong dalam imaji waktu yang berputar ke belakang. Membuatnya merasakan kembali memori indah SMA. Bertemu dengan seseorang dengan sikap yang berbanding terbalik dengannya. Dan merasakan peliknya sebuah hubungan. Tak pernah terbesit sebelumnya di piki...
River Flows in You
642      359     6     
Romance
Kean telah kehilangan orang tuanya di usia 10 tahun. Kemudian, keluarga Adrian-lah yang merawatnya dengan sepenuh hati. Hanya saja, kebersamaannya bersama Adrian selama lima belas tahun itu turut menumbuhkan perasaan lain dalam hati. Di satu sisi, dia menginginkan Adrian. Di sisi lain, dia juga tidak ingin menjadi manusia tidak tahu terima kasih atas seluruh kebaikan yang telah diterimanya dar...
Are We Friends?
2590      818     0     
Inspirational
Dinda hidup dengan tenang tanpa gangguan. Dia berjalan mengikuti ke mana pun arus menyeretnya. Tidak! Lebih tepatnya, dia mengikuti ke mana pun Ryo, sahabat karibnya, membawanya. Namun, ketenangan itu terusik ketika Levi, seseorang yang tidak dia kenal sama sekali hadir dan berkata akan membuat Dinda mengingat Levi sampai ke titik paling kecil. Bukan hanya Levi membuat Dinda bingung, cowok it...