Ryo benar-benar tidak menganggapku sebagai perempuan. Bagaimana bisa dia menyuruhku membawa sekardus air mineral dengan seenaknya, sedangkan dia sendiri menenteng Cavendish yang beratnya hanya satu kilogram. Ini semua pasti gara-gara aku meminta contekan terlalu banyak. Seandainya aku Scarlet Witch di film The Avengers, sudah pasti Ryo dapat kukendalikan dengan mudah.
Kulihat June dan delapan mahasiswi lain yang tergabung dalam tim basket jurusan tengah melakukan pemanasan. Setelah ini, mereka akan bertanding melawan tim basket jurusan sebelah, Jurusan Teknik Mesin. Latihannya sendiri sudah dilakukan sejak sebelum UAS. Karena jadwal Piala Rektor yang seharusnya dimulai ketika hari terakhir UAS, ternyata dimundurkan hingga awal semester genap.
“Jav!” sapa June sambil melambaikan tangan dari tengah lapangan. Senyumnya lebar, seolah dia senang karena kehadiranku di lapangan untuk memberinya semangat.
“Simingit, Kakak!” balasku dengan teriakan lebay tanpa melambaikan tangan. Ya, bagaimana bisa aku mengangkat tanganku ketika keduanya digunakan untuk mengangkat sekardus air mineral.
Tiba-tiba Mas Angga menghampiriku dan merebut kardus di tanganku untuk dibawa ke tribun. “Ryo! Kok malah Javitri yang lo suruh bawa air, sih? Lo, tuh, gentle dikit, kek!”
“Dia sendiri yang minta bawa, Mas!” ucap Ryo mengada-ada.
Aku hanya melengos. Kualihkan pandangan ke arah June yang melakukan lay-up bola ke ring dan selalu berakhir sempurna. Memang sehebat itu teman sekamarku. Aku boleh bangga, kan?
Ryo yang awalnya duduk di bangku tribun paling atas, tiba-tiba duduk di sampingku sambil mendekatkan bibirnya di telingaku. “June kalau lagi basket cakepnya nambah sepuluh kali lipat, ya,” bisiknya.
“Juuun, kata Ryo lo cak—“ Aku tidak bisa melanjutkan ucapanku karena tangan Ryo sudah membekap mulutku rapat.
“Anjir, enggak perlu jadi ember bocor juga!”
“Hppph, hppph!” Aku mendorong tangan Ryo dengan kuat. Gila, dia habis pegang apa, sih, tangannya bau banget!
“Heh, kalian berdua jangan bermesraan di sini! Tolong dijunjung tinggi perikejomloan-nya!” goda Mas Angga yang melihat tingkah bengek kami dari pinggir lapangan.
Ryo sontak melepas tangannya. “Mas, lo kalau bikin fitnah bagusan dikit, kek! Masa iya gue sama Jav bermesraan!”
Aku membuang ludah berkali-kali di pinggir tribun, gara-gara tangan Ryo yang bau. Aku tidak mengindahkan ucapan Mas Angga barusan, terserah dia mau bilang apa.
“Lha terus kalian lagi ngapain kalau enggak lagi bermesraan namanya?”
“Lagi berhubungan intim!” sahut Ryo makin menjadi-jadi.
Aku yang mendengarnya bergegas memukul lengan Ryo dengan sangat keras. “Sampah banget omongan lo!”
Mas Angga malah tertawa. “Kalian hati-hati aja, awalnya perang, lama-lama jadi lamaran.”
“Mas, lo kalau doain yang baik-baik aja kenapa, sih?” decakku sebal.
“Lah, lo kira kalau gue melamar cewek termasuk doa jelek? Gini-gini banyak yang antri kali.” Ryo menepuk dadanya jemawa.
“Iya pada antri buat geplak kepala lo!” sahutku sambil menjauh dari tempat duduk Ryo. Aku memilih duduk di bangku paling depan, di dekat Mas Angga yang auranya lebih adem dibanding Ryo.
Pertandingan basket putri antara Jurusan Teknik Elektro melawan Teknik Mesin ini menjadi opener Piala Rektor paling meriah. Tribun penuh, bahkan hingga di luar lapangan banyak yang rela berdiri karena area lapangan outdoor lebih kecil dibandingkan lapangan indoor. Beberapa kali aku mendengar suara mahasiswa meneriaki nama June untuk memberi semangat. Lalu permainan berakhir dengan kemenangan di tangan jurusanku dan June sebagai penyumbang angka terbanyak.
“Jav, pulang bareng gue aja,” ucap June sambil menyeka keringat dan duduk berselonjor di pinggir lapangan.
Aku mengangguk saja karena sudah tidak ada motor.
Mas Angga memanggil seluruh anggota tim basket putri yang terdiri dari berbagai angkatan untuk evaluasi permainan. Aku masih duduk di tempat yang sama, tribun paling depan sehingga ucapan Mas Angga juga terdengar jelas olehku.
Di tengah-tengah evaluasi, seorang laki-laki dengan ransel cokelat dengan kemeja garis vertikal serta kacamata berjalan mendekat. Tidak ada yang memerhatikannya karena mereka sedang sibuk membahas permainan barusan.
Lalu tiba-tiba menyerahkan paperbag pink dengan pita cantik ke arah June. “June, buat kamu. Kamu mainnya keren banget,” ucapnya tanpa terbata. Kalimatnya lancar dan mulus, seperti Pak Pres sedang memberi sambutan.
Tiga detik pertama kami semua hening, melongo menatap laki-laki itu. Namun, selanjutnya kami heboh bersorak-sorai. “Ciyeee … Juun …. Suwit, suwit.”
June cuma diam, tidak menolak ataupun berterimakasih sampai laki-laki itu pergi dari lapangan. “Anggota JFC bertambah satu pemirsa!” teriak Dion dari tribun atas sambil menabuh drum yang sengaja dibawa untuk memberi support ke pemain saat pertandingan berlangsung tadi.
“JFC apaan?” tanya Mas Angga.
“June Fans Club! Ikutan kagak lo, Mas? Biaya pendaftaran gratis! Ketua permanennya Ryo!” balas Dion masih sambil teriak.
Ah, iya Ryo di mana? Aku menoleh, menyapukan pandangan ke sekeliling. Tidak kutemukan sosok Ryo yang tadinya duduk di belakangku. Lari ke mana dia? Padahal aku sudah rela mengikutinya ke lapangan, tapi dia justru pergi dulu tanpa berpamitan.
Setelah tiga puluh menit menunggu June, aku sudah kembali ke indekos. Menyalakan pompa air sebelum naik ke kamar, mengisi bak mandi, lalu membersihkan diri dan barulah aku berencana tidur dengan nyenyak.
Akan tetapi, baru saja kakiku akan melangkah ke kamar mandi, ponselku berdering, ada telepon masuk dari Ogi.
“Ada apa?” tanyaku langsung. Kalau mengingat Ogi saat di McD waktu itu, aku jadi sebal. Gara-gara dia, Papa mengekangku lagi.
“Halo, Jav, udah balik ke kos belum?”
“Udah. Kenapa?”
“Besok pagi ketemu di kantin kampus bisa? Gue perlu ngomong sesuatu, nih.”
“Siang aja, gue males jalan kaki pagi-pagi. Anak kos enggak ada yang bisa gue tebengin.” Aku beralasan.
“Lo enggak bawa motor?”
“Bokap enggak ngebolehin gue bawa motor lagi,” jawabku ketus.
Ogi diam beberapa detik. “Gue jemput aja ke kosan kalau gitu.”
“Lo enggak bisa ngomong lewat telepon aja?”
“Lebih enak ngomong langsung, sih.”
“Ya, udah, terserah lo.”
“Oke. Btw, salam ya buat Wita.”
“Hmm ….” Ternyata ujungnya sama saja. Kemudian kuhentikan panggilan sebelum Ogi bertanya atau bicara lagi.
Esoknya, Ogi benar-benar sudah di depan indekos pukul delapan pagi. Sambil menggerutu, aku menuruni tangga.
“Enggak sekalian aja tadi habis Subuhan?” sindirku.
“Lo aja sering skip Subuhan, gimana bisa ngajak lo pas kelar Subuh,” jawab Ogi terkekeh.
Kupukul lengannya dengan keras. “Lagian lo ngapain, sih, ngajak ketemuan pagi-pagi pas libur begini?” tanyaku sambil duduk di jok motor Ogi.
“Pengin ngobrol aja, sih. Btw, Jav, kalau lo butuh tebengan ke kampus atau balik ke kosan, whatsapp gue aja.”
“Tumben lo baik. Lo bukan merasa bersalah, kan?”
Ogi mengusap hidungnya. “Ya, pokoknya kalau lo butuh tebengan, chat gue.”
Sepuluh menit kemudian kami sudah duduk berhadapan di depan kantin kampus yang tidak terlalu ramai. Sepertinya masih banyak mahasiswa yang kembali ke rumah masing-masing setelah KRS. Kantin kampus tetap buka, walau tidak banyak counter yang menyediakan makanan. Kuputuskan sarapan nasi pecel pagi ini.
“Udah lo salamin ke Wita?” tanya Ogi yang aku yakin itu hanya basa-basi sembari menyodorkan pesananku. Ayam gorengnya menjadi favoritku. Aroma kunyit yang dipadukan dengan rempah-rempah lainnya benar-benar menggugah selera makan.
“Kenapa lo enggak chat sendiri, sih, bilang ‘Wit, salam dari gue’.”
“Mana ada yang kayak begitu!”
“Ya, makanya. Justru karena belum ada yang begitu, lo bisa jadi yang pertama,” aku menyingkirkan daun kemangi dan timuh cacah dari nasi, “Udah, deh, jangan mengalihkan pembicaraan. Ngapain lo ngajak gue sarapan bareng begini?”
“Jav, gue … masukin berkas buat daftar Menteri Sospol,” kata Ogi ragu.
Gerakan menyendok nasiku terhenti, kemudian memandang Ogi sambil menimbang di dalam hati, raut wajah apa yang harus kugunakan sekarang ini. “Oh, ya?” Hanya itu yang keluar dari mulutku.
“Enggak apa-apa, kan? Gue udah denger semuanya tentang rencana lo jadi menteri dari Bang Dito.”
Bang Dito sialan! Kenapa harus ngomong ke Ogi, sih?umpatku dalam hati. “Lah, kok nanya ke gue. Itu hak lo lagi, Gi. Lo juga memenuhi semua persyaratan jadi menteri, kan? Ya, udah, gas aja.”
“Bukan maksud gue nikung lo dari belakang soal posisi ini.”
“Nyantai aja. Enggak ada masalah.” Padahal sebenarnya buatku itu masalah besar, karena Ogi sekarang jadi tahu kalau IPK-ku tidak mencapai angka dua koma delapan. Walaupun, aku sendiri memang tidak peduli dengan perkuliahan selama tiga semester ini, tapi tetap saja rasanya malu jika ada orang tahu hasil belajarku tidak sebagus itu.
“Kalau gue jadi menteri, lo bakal gue tarik jadi Dirjen Propaganda. Gimana?” tanya Ogi lagi.
Pagi ini, aku membenci intonasi bicara Ogi yang terkesan arogan dan terlalu banyak menanyakan sesuatu yang retoris. “Itu terserah lo aja, sih.”
“Sebenernya, gue juga setuju dan mendukung sepenuhnya kalau lo yang jadi Menteri Sospol, Jav. Tapi, kata Bang Dito, lo kehalang sama persyaratan akademik. Ditambah kabar kalau menteri untuk periode kali ini lebih baik dari anak sospol, gitu. Jadilah Bang Dito dorong gue buat daftar.”
Nasi pecel yang ditraktir Ogi pagi ini sudah tidak menggugah seleraku sedikit pun. Kukira, Bang Dito benar-benar mendukungku. Maksudku, mendukungku saja. Ternyata, tidak. Semua orang mendapat dukungannya dan aku jadi merasa tidak istimewa atau dianggap mampu. Ternyata kemampuanku tidak setinggi itu.
“Good luck, Gi. Semoga beneran lo yang jadi menteri sospol berikutnya.” Aku berusaha tersenyum walau mungkin terlihat aneh di mata Ogi.
“Thank you, Jav. Gue minta bantuannya, ya. Siapa tahu lo lebih banyak ngerti dibanding gue.”
Ucapan OgI terdengar skeptis, dia pintar juga merangkai kalimat ‘sok menyenangkan’ bagiku. Entah mengapa, Ogi terdengar sombong sekarang. Sejak aksi masa kemarin, Bang Dito juga tidak pernah menghubungiku atau sekadar chat menanyakan kabar. Sepertinya kehadiranku di BEM mulai dilupakan.
Perkuliahan semester genap sudah dimulai. Kelasku lebih banyak yang sama dengan Ryo dibandingkan empat teman kos lain. Aku tidak terlalu mempermasalahkan itu, toh Ryo sudah berjanji untuk memberiku contekan tugas hingga UAS. Namun, bagi teman kos, aku menjauhi mereka walaupun sudah berulang kali kukatakan bahwa ini kebetulan karena aku KRS bersama Ryo dan yang lain saja.
Aku masih bermain ponsel ketika empat penghuni kos sudah berangkat ke kampus sejak pagi. Jujur saja aku malas, biasanya hari pertama begini hanya pengenalan materi, jadi lebih baik aku tidur lagi. Tidak ada lagi tempat melarikan diri karena sekretariat BEM menjadi tempat paling enggan aku kunjungi sekarang.
Tiba-tiba ada telepon masuk dari Ryo.
“Lo masih di kos?” tanyanya tanpa menyapa.
“Kenapa?”
“Buruan turun, gue di bawah.”
Aku sontak bangun dengan mata terbelalak. “Ngapain? June udah berangkat ke kampus dari tadi!”
“Terus lo enggak kuliah gitu? Buruan turun!”
“Males, ah.” Punggungku menempel di kasur lagi. Hanya kasur yang paling menggoda sekarang.
“Kalau lo enggak kuliah, enggak bakal gue kasih contekan tugas sampai ujian!”
“Ih, kok gitu? Kan, lo udah janji. Gue nemenin lo ke lapangan sampai pertandingan terakhir June dan lo bantuin tugas gue!” Aku mencak-mencak. Laki-laki di sambungan telepon ini benar-benar tidak bisa dipegang ucapannya!
“Gue tunggu sepuluh menit! Cukup, kan? Kalau enggak ke kampus, jangan harapin contekan dari gue!” Ryo menutup telepon tanpa persetujuanku.
Sialan! rutukku dalam hati. Mau tidak mau aku beranjak juga menuju kamar mandi, mandi kilat lalu berpakaian dan menyambar tas yang paling mudah dijangkau.
Ketika membuka pagar aku menganga. Honda Civic hitam mengkilat berhenti di depan kos, membuat beberapa orang menoleh ke arah mobil yang kini berada di depanku karena terlalu mencolok.
“Masuk, Jav!” Ryo menyembulkan kepala dari kursi penumpang sembari melambaikan tangannya.
Hah? Ini mobil siapa? Siapa yang nyetir kalau Ryo duduk di belakang? Aku benar-benar bingung dengan situasi pagi ini yang serba mendadak. Kukira Ryo dengan motornya seperti biasa, ternyata tidak.
Pintu kaca depan diturunkan, seorang laki-laki berusia lima puluhan menyapaku ramah. “Masuk, Neng. Duduk sama Mas Ryo saja di belakang,” ucapnya diikuti senyum kebapakan.
“E-eh.” Aku seperti orang linglung.
Ryo yang kesabarannya setipis uang jajan di akhir bulan membuka pintu lalu menarikku paksa. “Buruan, jalan depan kos lo ini sempit! Bikin macet aja!”
Aku sudah duduk seperti perintah laki-laki yang membuatku keheranan sejak tadi. Bapak di belakang kemudi mulai menjalankan mobil.
“Ini mobil siapa?” bisikku sambil mencuri pandang ke kaca dashboard.
Ryo pura-pura berpikir sambil menggaruk kening. “Gue enggak tahu siapa yang beli. Pake duit nyokap atau bokap, surat juga atas nama siapa, gue enggak tahu. Yang pasti mobil ini dari rumah gue.”
“Hah?”
“Motor gue di bengkel, maunya naik ojek, tapi ada Pak Sardi di rumah. Ya, udah, Mama minta tolong Pak Sardi buat anter gue dulu. Dari pada duit gue berkurang, kan?” Ryo tampak tidak acuh menjawab pertanyaanku.
“Saya Sardi, Neng. Sopir keluarganya Mas Ryo,” sahut Pak Sardi sambil memandang kaca dashboard, masih dengan senyum ramah. Sepertinya Pak Sardi paham betul kelakuan Ryo yang agak aneh ini, jadi harus buru-buru menambahkan penjelasan.
“S-saya Javitri, Pak. Temen kuliah Ryo,” balasku sesopan mungkin.
“Tadi gue kira anak kosan belum berangkat, maunya gue kasih tebengan gitu. Ternyata tinggal lo doang.”
Aku mengangguk-anggukkan kepala. Lalu mendekatkan kepalaku ke telinga Ryo lagi. “Lo manja banget, sih. Berangkat kuliah aja pakai disopirin segala,” bisikku lagi. Tidak enak jika Pak Sardi mendengar ejekanku untuk anak majikannya ini.
“Maunya dipilotin, tapi gue baru sadar kalau belum punya pesawat,” kata Ryo diikuti tawa di akhir kalimat.
Aku mendelik. Sombong amat!
[]
kaya gue yg nunggu ngisi air sambil main game WKWKWK
Comment on chapter Chapter 1 - Aku Javitri