Semester genap ini aku lebih sering terlihat bersama Ryo. Selain sekelas, kami juga sering mengerjakan tugas sama-sama—lebih tepatnya aku diseret paksa oleh Ryo untuk ikut—walau aku lebih sering mengomel atau tertidur ketika dia sedang membahas tugas.
“Ngapain gue kudu ikut, sih? Kan, tinggal nyontek lo, Yo,” ucapku sambil bersungut ketika selesai kuliah di jam lima sore dan Ryo menarik ranselku hingga aku terseret dengan posisi tubuh menghadap belakang, karena kalah tenaga.
“Nyontek, kan, juga nungguin gue selesai ngerjain tugas juga,” sahut Ryo tidak memedulikan protesku.
“Emangnya mau ngerjain di mana, sih?” Aku berusaha meraih tangan Ryo agar dia berhenti menarikku seperti kambing, karena beberapa orang mulai menatap kami aneh.
“Di perpus aja, sekalian ngadem.”
“Lepasin dulu! Gue enggak akan kabur, kok!”
Ryo melepas ranselku, aku pun bisa berjalan seperti orang normal lagi, menghadap depan. Namun, tangan Ryo beralih ke pergelangan tanganku. Harusnya ini menjadi momen yang disukai perempuan, apalagi Ryo yang tidak jelek-jelek amat, tapi masalahnya dia bukan menggandengku, melainkan mencengkeram erat.
“Biar lo enggak lari. Lo tuh susah banget diajak kuliah bener, ngerjain tugas juga masa nunggu dipaksa. Bukannya cewek biasanya rajin, ya?” kata Ryo dengan tatapan heran.
“Lah, kata lo, gue bukan cewek. Gimana, sih?”
“Wah, iya juga. Ngaku deh, Jav. Lo sebenernya transgender, kan?”
Sontak kuarahkan tanganku ke lengan Ryo. Kali ini tidak kupukul, tapi kucubit dengan kuku.
“Sakit woi!” Ryo mengusap-usap lengannya.
Kami berdua memilih tempat di lantai dua, ruangan yang memang biasa digunakan mahasiswa berkumpul untuk belajar dan masih diperbolehkan membawa makanan atau minuman, sedangkan jika ke lantai tiga hingga lantai lima, kami hanya boleh membawa buku dan alat tulis saja. Tas pun harus disimpan di loker di lantai satu.
“Gue beli camilan dulu, ya,” pamitku sembari menunjuk kantin perpustakaan sebelum kami naik.
“Jangan kabur!” Ryo lagi-lagi memperingatkanku.
“Ya ampun, enggak. Lo mau nitip apa?”
“Pizza beef barbeque.”
Sontak saja aku membelalakkan mata. “Mana ada! Yang bener aja!”
Ryo terkekeh. “Sabu aja, deh. Gue belum makan siang tadi.”
Aku mengangguk, kemudian melesat ke kantin membeli risol, pastel, donat, martabak manis yang sudah dipotong-potong, dan sabu pesanan Ryo. Sabu di sini bukan sejenis obat terlarang, melainkan bubur ayam yang dikemas dengan paper bowl dan terkenal enak di kalangan mahasiswa. Walau aku sendiri tidak yakin, satu mangkuk bisa mengenyangkan perut Ryo yang luasnya seperti plaza jurusan itu.
“Buset, banyak amat. Lo niat ngerjain tugas apa ngegiles, sih?” Ryo melotot melihat aneka jajan yang kutuang di atas meja. Dia memilih duduk lesehan di bean bag yang berada di sudut ruangan.
“Biar enggak ngantuk, panca indera harus bekerja semua.”
Ryo berdecak sambil membuka jurnal-jurnal yang tadi sempat dia print di bawah. “Jav, kali ini lo kudu dengerin penjelasan gue. Enggak bisa asal nyontek aja.”
Alisku menyatu. Karena sudah tiga kali aku mencontek tugas Ryo, dan aku tinggal menyalin saja. Aku tidak mau repot-repot berpikir, apalagi minta diterangkan, karena sudah pasti itu hanya akan menguras kesabaran Ryo. “Kok gitu?”
“Lo enggak denger tadi, kita disuruh menganalisis rangkaian digital dengan aljabar Boolean?”
“Terus?” tanyaku bingung. Lihat, aku benar-benar tidak paham.
“Ya, masalahnya rangkaian digital yang ditulis tiap mahasiswa enggak boleh sama. Lo bisa pakai rangkaian digital saklar lampu rumah, perangkat komputer, sensor tangki bensin, atau sistem indikator kendaraan listrik, atau bisa juga alat-alat lain yang ada mikrokontrolernya gitu.”
“Hah?” Aku menganga. Sial betul nasibku tersangkut di jurusan ini.
“Dari sensor itu, lo bisa tahu dia menerima berapa masukan dan mengeluarkan berapa keluaran. Lalu rangkaian digital yang lo pilih itu termasuk apa, misalnya ternyata dia sensor pendeteksi kondisi low fuel. Nah, dari data itu, lo bisa menggunakannya untuk menyusun tabel kebenaran,” Ryo mengambil kertas yang lain yang terdapat tabel dan menunjuknya dengan bolpoin, “Dari tabel kebenaran, lo bisa bikin Karnaugh map yang kemudian disederhanakan dengan Boolean. Baru setelah itu lo bikin simulasi rangkaian sensor low fuel itu.”
“Hah?” Aku menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal.
“Lo enggak tiba-tiba amnesia kosakata, kan? Dari tadi hah-hah melulu.” Ryo menatapku dengan dahi berkerut.
Aku yang sedang mengunyah risol jadi menghentikan gerakan mulutku. “Ya, gimana. Gue beneran enggak paham,” ucapku seraya menurunkan pandangan. Ditatap Ryo seperti itu, mentalku keder juga. Bukan merasa bersalah, tapi aku menyesali diriku yang sebego ini tentang kelistrikan. Mau berkali-kali diterangkan juga tidak akan membuatku cepat mengerti.
Ryo menghela napas. Lalu berpindah duduk di sampingku sembari membalik kertas jurnal yang memiliki halaman kosong. “Oke, gue jelasin dari awal dulu, ya. Begitu ada yang enggak paham langsung interupsi aja, enggak perlu nunggu nanti. Karena kalau sekali lo enggak paham, seterusnya bakal kesulitan,” ucapnya dengan intonasi datar, bahkan lebih lembut dibandingkan cara bicara yang sebelumnya.
Aku mengangguk, risol di tangan kananku kumasukkan ke plastiknya lagi dan kuletakkan di atas meja agar tidak mengganggu konsentrasiku.
Teman seangkatanku ini menjelaskannya dengan perlahan dan sabar. Tanpa menghakimi atau mengucapkan kata-kata yang sekiranya mengerdilkanku dan ternyata aku bisa memahaminya setelah diterangkan Ryo dua kali.
“Paham, kan?”
Kuanggukkan kepala dengan semangat. “iya,” jawabku sembari tersenyum.
“Sekarang lo coba bikin simulasi rangkaian digital sensor tangki bensin. Itu rangkaiannya persis kayak yang gue terangin tadi, pakai sensor pendeteksi kondisi low fuel.”
“Siap, Bos!” Baru kali ini aku bersemangat mengerjakan tugas. Akhirnya aku sedikit paham dengan tabel-tabel di depanku, dan kotak-kotak yang dirangkai dengan garis lurus sebagai gambaran rangkaian.
Ryo menyambar sisa risolku yang belum habis lalu memasukkannya ke mulut dengan santai. “Enak juga, nih, risol,” ucapnya entah pada siapa.
Aku yang sibuk menulis dan baru menyadarinya, sontak mendongak. “Ryo! Itu risol gue, mana tinggal satu!”
Laki-laki di depanku ini pura-pura terkejut. “Lo beli lagi, deh.”
“Enggak ada, udah habis, itu yang terakhir!” Kalau soal makanan, aku memang sensitif. Apalagi Ryo hobi menjarah makananku, aku bisa marah-marah atau kesal bukan main jika dia tiba-tiba melahap makananku tanpa bertanya seperti sekarang.
“Yah, sorry. Besok, ya, besok kita ke sini lagi beli risol, oke?” bujuknya.
“Enggak mau! Balikin risol gueee!” Aku menatapnya nyalang.
Ryo membekap mulutku. “Sst, jangan berisik. Masa iya risolnya gue muntahin, nih?”
Aku meronta, beberapa pasang mata memandang ke arah kami dengan heran. Mood-ku untuk mengerjakan tugas hancur sudah. Gara-gara risol aku tidak mau bicara dengan Ryo seharian.
Hari ini, aku harus ke sekretariat BEM sepulang kuliah. Antara mau dan tidak mau. Masalahnya, aku masih punya satu program kerja terakhir dan aku sebagai penanggung jawabnya. Jadilah aku tetap menuju sekretariat BEM, apalagi Bang Dito menekankan kata formasi lengkap yang artinya semua harus datang.
Sekretariat ramai, ada Kementerian Dalam Negeri yang juga mengadakan rapat sore itu di bagian timur. Aku berharap tidak terlalu menarik perhatian yang lainnya atau menjadi pusat perhatian karena kasus aksi masa waktu itu. Aku membuka pintu dan kuedarkan pandangan ke seluruh penjuru sekretariat. Ada Ogi dan tiga staf lain sedang duduk di lantai sambil menatap laptop di tengah ruangan dan tidak menyadari kehadiranku.
“Hai, guys,” sapaku canggung.
Keempatnya menoleh dan mendongak, mereka memandangku dengan tatapan yang sulit kuartikan.
“Eh, Jav. Duduk sini,” Ogi menepuk tempat di samping kanannya yang kosong.
Aku menurut. “Belum ada yang datang, Gi? Bang Dito?” tanyaku basa-basi.
“Masih otw katanya,” jawab Ogi tanpa repot-repot memandangku lagi.
Kuanggukkan kepala lalu ikut melihat laptop yang sedang memutar film dokumenter tentang kerusuhan tahun sembilan delapan. Tidak ada yang bicara lagi, semua sibuk dengan aktivitas masing-masing. Tidak lama kemudian, Bang Dito datang bersama tiga staf dirjen propaganda.
“Formasi lengkap, kan?” Bang Dito memandangi kami berlima satu per satu. “Oke, kita mulai rapat terakhir kita sebelum laporan pertanggungjawaban,” ucapnya sembari mengambil tempat duduk di tengah.
Kami duduk dengan tenang. Bang Dito seolah membuat jarak denganku, biasanya dia menyapaku ramah, tapi kali ini tidak.
“Oke, kastrat terakhir di kepengurusan ini, Pak Pres setuju kita membawa isu tentang politik di lingkungan kampus. Peserta kastrat disepakati untuk seluruh mahasiswa, tapi tetap mengundang perwakilan HMJ dan BEM Fakultas.” Bang Dito membuka laptopnya dan mencari sesuatu di sana. “Ini, grand design kastrat dari Pak Pres, kita bahas satu per satu. Kalau ada pertimbangan lebih baik tidak dibahas di kajian, maka kita hapus materinya.”
Ogi mengangkat tangannya sebatas kepala. “Bang, ormek gimana?”
Bang Dito menghela napas. “Nah, ini. Pak Pres minta kastrat terakhir ini lebih panas dibandingkan yang lalu-lalu, makanya dibuat peserta untuk seluruh mahasiswa, dan sangat memungkinkan ada anggota ormek yang ikut hadir.”
“Jadi, ormek juga diberi memo kastrat, Bang?” Rini, mahasiswi teknik kimia yang seangkatan denganku mengangkat tangannya.
“Enggak, enggak. Jangan diberi memo kastrat. Ini tersirat aja, gitu. Kita seakan-akan enggak mengundang, tapi mancing mereka datang. Gimana, paham enggak?”
Rini mengangguk. “Oke, Bang Dit.”
“Ada pemateri dari dosen, Bang? Kalau ada, saranku, sih, dosen yang mantan aktivis aja, Bang. Kan beliau pasti tahu seluk-beluk politik di kalangan mahasiswa” ucapku memberanikan diri. Sejak tadi aku menimbang untuk bicara atau tidak.
“Gampanglah itu,” jawab Bang Dito singkat.
Aku membelalakkan mata karena Bang Dito tidak menggubris ucapanku. Semua staf kementerian sosial politik juga tidak ada yang menimpali pertanyaanku termasuk Ogi.
“Oke, gue lanjut, ya. Jadi poin-poin isu yang akan kita sampaikan adalah ….”
Aku sudah malas mendengarkan penuturan Bang Dito. Rasanya mereka menganggapku tidak kasatmata sekarang, atau aku yang terlalu terbawa perasaan? Dan sore itu aku memutuskan tidak bicara hingga rapat selesai, toh tidak ada yang menanyaiku atau meminta pendapatku juga.
Situasi ini benar-benar tidak seperti biasa, dan aku kecewa. Ternyata hanya sampai di sini batas kemampuanku yang dianggap oleh mereka. Inikah yang dulu aku bangga-banggakan karena aku merasa ‘terlihat’ di antara mereka? Kenyataannya, sekali lagi aku menjadi tidak terlihat dan terasing di tempat ini. []
kaya gue yg nunggu ngisi air sambil main game WKWKWK
Comment on chapter Chapter 1 - Aku Javitri