Loading...
Logo TinLit
Read Story - Titip Salam
MENU
About Us  

               Sekretariat BEM tidak bisa menjadi tempat persembunyianku, aku memilih menuju McD, memesan es kopi walaupun aku masih menyimpan es kopi di tas. Aku kira Ogi akan mengejarku ketika meninggalkan sekretariat ternyata tidak. Sejak kemarin setelah bentrok terjadi, tidak ada informasi rapat evaluasi atau semacamnya, tapi mengapa mereka semuanya berkumpul siang ini? Apa yang sedang mereka bahas?

               Aku merenung di kursi pojokan yang terjauh dari jendela agar tidak terlihat dari luar. Sekarang aku bingung harus apa. Menghabiskan waktu di sini, lalu ke mana? Aku memilih bermain game ular yang bisa dimainkan tanpa menggunakan internet di ponsel.

               Menjelang malam, aku sudah terlalu bosan untuk duduk diam di tempat yang sama sejak tadi. Dua gelas es kopi dan dua kebab sudah masuk ke perutku. Tiba-tiba kulihat Ogi masuk ke store dengan jaket BEM dan rambut yang dibiarkan tergerai.

               “Untung aja lo beneran di sini,” ucap Ogi sambil menarik kursi di hadapanku.

               Aku terpaksa menghentikan ularku yang sedang asyik makan. “Ada apa, Gi?” tanyaku pura-pura bodoh.

               “Sorry, kalau tadi lo ngerasa diusir, Jav.”

               “Bukannya iya?”

               Ogi mengusap tengkuknya, dia tampak gugup. “Kami tadi lagi evaluasi aksi masa kemarin.”

               Ternyata benar rapat evaluasi. “Gue enggak terima info apapun, lho. Padahal gue salah satu panitia.”

               “Sebenernya Mas Pandu yang ngajak evaluasi tanpa lo, dia … cuma mau ingetin Bang Dito, next, cewek enggak perlu sampai naik podium dan orasi.”

               “Kenapa cuma cewek yang enggak boleh? Ini bukan era Kartini, Gi. Harusnya cewek juga bebas bicara.”

               “Karena birokrasi sudah kasih peringatan ke BEM, mereka enggak mau lagi ada cewek yang jadi korban aksi masa. Mas Pandu sama Bang Dito sengaja enggak kasih kabar ke lo karena takut lo tersinggung kayak barusan.”

               Aku diam karena merasa tersinggung dengan keduanya. Tidak diberi kabar tentang evaluasi serta secara terang-terangan dibatasi dan dilarang oleh lingkungan sekitar untuk bicara lagi.

               Kemudian kulihat Mama tergopoh masuk ke store dan menyapukan pandangannya ke sekeliling. “Javitri!” panggilnya begitu tatapan kami bertemu.

               “Kenapa enggak pamitan kalau keluar rumah, Jav? Dari tadi Mama bingung cari kamu.” Mama menghampiri bangkuku dengan langkah lebar.“Ogi, terima kasih, ya, sudah kasih kabar ke Tante.”

               Aku sontak mengalihkan pandangan ke Ogi dengan melotot. “Sialan lo, Gi!”

               “Mama lo telepon katanya lo kabur, sorry.”

               “Ayo pulang, Jav. Papa nunggu di luar.” Mama meraih pergelangan tanganku.

               Kedua mataku makin melebar. Kalau begini, akan panjang ini urusannya. “Aku enggak mau pulang, Ma.” Kutatap Mama, berusaha memohon belas kasihan.

               Ogi memandangku dan Mama bergantian, seperti mencoba mencerna situasi di antara kami. “Pulang aja, Jav.”

               “Lo enggak ngerti situasinya, Gi.”

               Ogi bergeser, memberikan kursinya pada Mama.

               “Pulang ke rumah, ya. Nanti Papa marah kalau kamu begini terus,” bujuk Mama cemas.

               Aku mengembuskan napas panjang. “Aku bawa motor ke sini. Nanti aku pulang pakai motor.” Itu hanya alasan. Tentu saja aku tidak ingin pulang ke rumah.

               “Biar Mama yangbawa pulang motormu. Kamu pulang sama Papa.”

               “Biar saya saja, Tante,” tawar Ogi yang sok jadi pahlawan sejak kemarin.

Aku meliriknya dengan gusar. Aku membenci Ogi hari ini, dia sudah terlalu banyak ikut campur di urusanku hari ini.

“Oh, boleh. Terima kasih, ya, Ogi.” Mama tersenyum lebar, lalu berdiri. “Ayo pulang dulu, Jav. Kita omongin di rumah.”

Apa yang mau dibicarakan kalau Papa saja melarangku bicara? Aku menghela napas lagi seperti orang kebanyakan beban hidup.

               “Yuk, keburu Papa nyusul ke sini,” ucap Mama lagi. “Kunci motor sama surat kasih ke Ogi.”

               Ini yang aku benci. Jangan sampai omelan Papa di kantor polisi kemarin terulang di sini. Mau tak mau aku ikut berdiri dan mengekor di belakang Mama setelah mengeluarkan kunci dan STNK.“Gara-gara lo, nih!” umpatku pelan sambil melotot ke Ogi.

               Sepanjang jalan pulang ke rumah, Papa hanya diam. Tumben. Entah apa yang disembunyikan atau mungkin sedang ditahan.

               “Javitri! Umurmu sudah mau dua puluh tahun, kenapa sulit sekali diatur!” seru Papa setelah masuk ke rumah. “Kamu cuma perlu nurut sama Papa! Kuliah, lulus, dapet kerja yang dihormati, kalau perlu lanjut S2 juga bisa, kenapa membangkang terus, hah?”

               Aku baru mau melangkah ke kamar, tapi lagi-lagi Papa mengucapkan perintah yang menurutnya benar. Mama juga sejak tadi diam saja, ini yang disebut ‘ngomong di rumah’?

               “Kamu jangan seperti kakakmu yang enggak tahu terima kasih, sekolah dan kebutuhan sudah dibiayai, tapi malah berontak dan hidup seenaknya!”

               Telingaku berdengung mendengar ucapan Papa barusan. “Papa!” teriakku kesal. Papa tidak tahu apa-apa tentang Mas Januar. Mungkin aku dan Mama juga sama tidak tahunya. Namun, Papa sangat keterlaluan, memaki orang yang sudah tidak ada di dunia ini membuatku marah. Sepertinya, Mama sudah tidak berani lagi melawan ucapan Papa seperti di kantor polisi kemarin. Kukira Mama akan berubah menjadi lebih berani, ternyata tidak.

               “Kamu berani bentak Papa? Lancang sekali ngomong dengan nada tinggi! Enggak ngerti sopan santun! Percuma disekolahkan sarjana!”

               Mama memegangi tanganku sambil mengelus lenganku. Aku benar-benar tidak bisa kembali ke rumah ini.

               “Bukan aku yang minta disekolahkan, Papa sendiri yang memaksa aku ambil jurusan ini.” Aku menurunkan intonasi.

               “Sudah berulang kali Papa bilang, jurusan ini menjamin masa depanmu! Lapangan kerja banyak membutuhkan lulusan ini! Papa mau kamu nurut biar hidup kamu enak nantinya!”

               “Jadi, Papa masih pengin aku lulus dari jurusan ini, kan?” tanyaku, “Oke, aku nurut. Tapi, aku mau balik ke kos.”

               “Itu lagi yang dibahas? Sebenernya apa yang kamu lakukan di luar rumah? Apa yang kamu sembunyikan sampai memaksa kos? Kamu tiap malam keluyuran? Mabuk-mabukan?”

               Gila, Papa sudah gila. Bisa-bisanya mengatakan itu ke aku.

               “Pa! Papa ini ngomong apa, sih?” sahut Mama baru membuka suara.

               Air mataku menetes saking kesalnya. “Aku kira, Papa sudah kenal aku sembilas tahun ini. Ternyata enggak.” Kucoba menghentikan tangisanku. “Aku enggak bisa kuliah kalau situasi rumah begini. Kalau Papa masih berharap aku kuliah di sana, aku cuma mau kos. Teman-teman kosku yang selama ini bantu aku belajar, Pa.” Itu bohong. Aku justru jarang belajar dengan empat penghuni indekos lainnya. Namun, lagi-lagi hanya itu alasan paling masuk akal bagi Papa agar mengizinkan aku tidak tinggal di rumah.

               “Kalau begitu, kamu kembali ke kos tanpa motor. Setiap Sabtu pagi sudah harus pulang ke rumah. Kalau Mama atau Papa telepon maupun video call, kamu harus jawab,” terang Papa yang tidak lagi dengan teriak. Suaranya merendah, tapi sangat tegas. Ini teknik negosiasi.           

               “Iya, akan aku ingat itu.”

               “Selama libur semester ini kamu di rumah, baru kembali saat mulai semester genap.”

               “Tapi, aku ada kegiatan di kampus, Pa.”

               Papa melenggang pergi menuju kamarnya. Tidak menghiraukan ucapanku.

               “Javitri, tolong mengerti kalau Papa dan Mama harus begini. Ini juga untuk kebaikan kamu. Jangan kabur-kaburan lagi, ya. Kalau pengin ke mana-mana pamit ke Mama.” Lalu Mama mencium kedua pipiku dan menyusul Papa ke kamar. Semuanya ingin dimengerti, termasuk aku, tentu saja. Sayangnya, tidak ada yang bersedia mengerti aku.

               Selama libur satu semester, aku hanya di rumah. Jarak terjauh yang aku jangkau hanya di ujung jalan untuk membeli snack di supermarket, selain itu aku di kamar. Ini demi membuktikan ke Papa bahwa aku menuruti perintahnya. Aku menahan diri selama satu bulan ini, agar Papa tidak lagi mengganggu kegiatanku saat aku sudah kembali ke kampus. Aku juga tidak terlalu banyak bicara dengan Mama karena Mama lebih sering menghabiskan waktu dengan mengurung diri dan diam sejak kepergian Mas Januar dua puluh dua bulan yang lalu.

               Seperti biasa sebelum memulai semester baru, kami harus ke kampus untuk memilih mata kuliah dan menghitung jumlah sks yang diperoleh. Jangan ditanya berapa IPK-ku karena tentu saja tidak menyentuh angka dua koma lima.

               “Ingat, Sabtu pagi sudah harus di rumah!” perintah Papa sebelum pergi, setelah menurunkan aku di depan gedung jurusan.

               “Iya,” jawabku singkat. Lalu berjalan melewati tempat parkir motor dan taman kampus. Baru dua ratus meter berjalan, aku merasa ada yang mencolek bahu kananku dari belakang. Aku menoleh, tapi tidak ada siapa-siapa. Namun, ketika kembali melempar pandangan ke depan aku terkejut bukan main. Sebuah wajah tersenyum—lebih tepatnya menyeringai—hanya berjarak tiga puluh sentimeter dariku.

               “What the—astaga! Ryo, kaget gue, gila! Bercandaan lo, tuh, kekanak-kanakan!” Aku memukuli lengannya.

               Ryo terbahak-bahak dengan puas. Namun, lima detik kemudian mencengkeram lenganku yang baru saja akan melenggang. “Jav, rahang lo luka? Jadi lo beneran ketangkep kemarin?” tanyanya sambil menyatukan alis. Tawanya pergi begitu saja.

               “Gitu, deh,” jawabku singkat lalu berjalan menuju gedung jurusan. Ryo berjalan di sampingku.

               Tiba-tiba Agus, Dion, dan yang lain berlarian dari tempat parkir menuju arah yang sama denganku.

               “Gusi, ngapain pada lari?” teriak Ryo yang bingung, sama sepertiku.

               “Lima menit lagi, web jurusan dibukaaa ….!” balas Agus sambil teriak juga.

               Aku dan Ryo sontak ikut berlari bersama yang lain. Walaupun aku terlihat tidak peduli dengan perkuliahan, aku juga masih memikirkan nasibku. Bagi kami—seperti aku dan Ryo—melakukan rencana studi tiap awal semester seperti penentuan hidup dan mati. Mata kuliah dengan dosen pengampu terbaik dan tersabar menjadi pilihan utama mahasiswa. Itu alasan pertama, sedangkan alasan kedua adalah menjauhi jam kuliah pagi.

               Bangku-bangku di area jurusan sudah ramai. Kulihat Wita dan Tiar duduk di depan ruang tata usaha, bersama yang lain. June sepertinya mengakses dari indekos, aku sendiri belum mendengar kabar darinya sejak liburan. Namun, bagi June memilih mata kuliah apa pun dan di jam kapan pun, bukanlah masalah. Dia bisa melakukannya sendiri.

               Ruang HMJ juga sudah penuh. Ryo menarikku agar mengikutinya bersama Dion dan Agus yang mengambil duduk di pojokan gedung dekat laboratorium. Kemudian bergegas menyalakan laptop masing-masing.

               “Anjir, servernya down, Bro!” umpat Dion.

               “Refresh terus!” suruh Agus yang duduk di samping kananku dengan jari telunjuk memencet tombol F5 berkali-kali.

               “Bisa enggak, jav?” tanya Ryo sambil mengintip laptopku.

               “Belum, nih. Masih loading dari tadi.”

               “Coba pakai wifi lab, siapa tahu sinyalnya lebih cepet.” Agus menunjuk icon wifi di pojok kanan laptopku.

               “Gus, gue lupa belum ubahsetting-an proxy!” pekikku panik.

               “Anjir, nih anak ngerepotin aja! Siniin laptop lo!” Agus segera menarik laptopku, sedangkan aku disuruh menggunakan laptopnya. “Tinggal masukin NIM sama password lo doang itu, Jav.”

               “Iya, iya. Thanks.”

               “Udah bisa pilih matkul, nih, Bro! Buruan!” Dion membuatku makin panik.

               “Jav, pilih kelasnya Prof. Heru sama Prof. Rossy!” perintah Ryo.

               “Gue udah pilih dua-duanya!” sahut Dion.

               “Kalian jangan bikin gue makin panik, dong! Gus, laptop gue udah bisa belum?”

               “Udah, udah aman. Berempat pilih kelas wajib samaan aja, ya.”

               “Beres!” jawab Ryo dan Dion serempak.

               Aku panik lagi karena setelah klik registrasi mata kuliah, layar laptop Agus hanya menunjukkan warna putih. Kupencet tombol enter berkali-kali.

Ryo buru-buru menahan tangan kananku.“Enter-nya sekali aja, tungguin. Lo klik berkali-kali malah bikin lemot,” ucapnya.

               “Yes! Berhasil, Bro!” Dion kegirangan.

               “Gue juga uda. Lumayan, enggak ada kelas jam tujuh.” Agus menimpali.

               “Punya gue gimana, nih?” Aku tidak mengalihkan pandangan dari layar. “Laptop lo, nih, Gus, kayaknya ngambek gara-gara gue pegang!”

               “Makanya, pegangnya pakai hati, disayang-sayang kayak pacar baru.” Agus bukan menenangkan malah meledekku.

               “Tuh, udah bisa, tuh!” tunjuk Ryo. “Sekelas, kan, kita?”

               Aku mengangguk senang. Tiba-tiba Aya menghampiri kami dengan langkah terburu-buru. “Gue baru nyampe, Cuy. Gimana ini belum pilih mata kuliah. Dapet kelas seadanya dong, ini,” ucapnya sambil menyalakan laptop.

               “Eh, ada Neng Aya,” sambut Agus dengan senyum lebar.

               “Duduk di sebelah Abang, Ay.” Dion menepuk lantai di sebelahnya, tapi tidak dipedulikan Aya karena dia memilih duduk di hadapanku.

               “Kalian berdua berisik amat, sih!”

               “Mending kita berisik, daripada lo ketemu June malah cosplay jadi patung. Iya, kan, Gus?” ledek Dion, sedangkan Agus hanya menganggukkan kepala dengan semangat.

               “Dari rumah?” tanyaku tanpa menimpali pembicaraan para lelaki yang dicap buaya jurusan.

               “Iya, Cuy. Mana macet. Nyesel kenapa enggak naik kereta aja tadi, tapi malah sok bawa mobil,” keluh Aya. “Duh, kelas Prof. Heru sama Prof. Rossy udah penuh pula.”

               Aku menepuk bahu Aya pelan. “Yang tabah, ya,” ucapku prihatin dan hanya dibalas oleh Aya dengan raut wajah sedih.

               Setelah melakukan KRS, kami masih ada waktu lima hari untuk memulai semester baru. Biasanya, waktu seperti ini adalah waktu tersibuk untuk angkatan semester akhir untuk yudisium sebelum disahkan sebagai calon wisudawan.

               Untuk mahasiswa tahun pertama hingga tahun ketiga, disibukkan dengan kegiatan kampus seperti rektor cup atau kompetisi olahraga antarjurusan yang diselenggarakan oleh birokrasi kampus. Salah satunya, pertandingan basket yang akan diikuti June. Teman sekamarku itu termasuk pemain basket jurusan yang handal, dia memang menggeluti olahraga tersebut sejak SMA dan direkrut oleh tim basket kampus sejak mahasiswa baru.

               Di saat seperti inilah, Ryo menjadi sangat aktif bolak-balik lapangan. Entah beralasan menemani Mas Angga—senior semester sepuluh sekaligus pelatih basket jurusan—atau membuat alasan klise dengan membawa sekardus air mineral untuk tim basket dan dia akan betah berlama-lama di lapangan untuk menonton June latihan. Aku sudah hafal kebiasaan Ryo itu.

               Akan tetapi, siang ini Ryo justru menempel padaku sejak selesai KRS. Aku mencari Ogi di sekretariat BEM yang ternyata tak kutemukan siapa pun di sana, lalu membeli kebab di kantin kampus, hingga aku ke toilet di menunggu di luar.

               “Lo ngapain, sih, Yo?” tanyaku gusar.

               “Apanya yang ngapain? Gue jalan begini.” Ryo kembali bertanya dengan membulatkan mata.

               “Enggak, lo tuh dari tadi kayak lem tikus sama tikus yang nempel terus!”

               “Maksud lo, gue tikusnya?” Ryo mengarahkan telunjuknya ke dirinya sendiri.

               Aku mengedikkan bahu, tidak acuh. “Lo ngapain ngikutin gue dari tadi?”

               Ryo terkekeh sambil menggaruk kening.

               “Pasti ada maunya kalau begini,” ucapku sambil meninggalkannya. Aku berjalan menuju depan gedung dan memesan ojek online.

               “Lo mau cabut, Jav?” tanya Ryo sambil mengintip ponselku.

               “Iya, gue pengin tidur.”

               “Temenin gue ke lapangan dong, Jav. Kalau sendiri pasti diledekin anak-anak.”

               “Tuh, kaan … ada maunya!” sungutku. “Ogah, gue mau balik!”

               “Jav, please. Kalau sama lo, gue bisa alasan lo yang ngajak gue.”

               “Idih! Padahal kebalikannya.”

               “Ya, ya, ya.” Ryo menusuk-nusuk lenganku dengan telunjuknya.

               Aku menepisnya dengan malas. “Enggak mau!”

               “Jav, lo cakep, deh.”

               “Masa bodo!”

               “Jav, gue traktir makan nasi padang, sama kebab jumbo.”

               “Gue kenyang!” Aku tidak tertarik dengan iming-imingnya. Jariku bergerak cepat menulis alamat indekos.

               “Gue kasih contekan tugas selama satu semester ini! Gimana?”

“Plus lap-prak, kuis, UTS, UAS.” Aku mulai tertarik dengan penawarannya.

“Buset! Terus otak lo istirahat total selama satu semester dong?” balas Ryo sengit.

“Ya, udah, kalau enggak mau.” Aku akan memencet pilihan ‘pesan sekarang’ untuk memanggil ojek online, tapi Ryo buru-buru menyela.

“Oke, oke. Tapi temenin gue tiap ke lapangan sampai semua pertandingan June kelar!”

“Oke, deal! Let’s go! Kita ke lapangan sekarang!” Jariku menekan tombol keluar dari aplikasi ojek online dan kemudian berbalik menuju tempat motor Ryo diparkir. []

              

              

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • moonmaker

    kaya gue yg nunggu ngisi air sambil main game WKWKWK

    Comment on chapter Chapter 1 - Aku Javitri
Similar Tags
TO DO LIST CALON MANTU
1519      688     2     
Romance
Hubungan Seno dan Diadjeng hampir diujung tanduk. Ketika Seno mengajak Diadjeng memasuki jenjang yang lebih serius, Ibu Diadjeng berusaha meminta Seno menuruti prasyarat sebagai calon mantunya. Dengan segala usaha yang Seno miliki, ia berusaha menenuhi prasyarat dari Ibu Diadjeng. Kecuali satu prasyarat yang tidak ia penuhi, melepaskan Diadjeng bersama pria lain.
When I Met You
642      369     14     
Romance
Katanya, seorang penulis kualat dengan tokohnya ketika ia mengalami apa yang dituliskannya di dunia nyata. Dan kini kami bertemu. Aku dan "tokohku".
Antropolovegi
130      115     0     
Romance
"Ada satu hubungan yang lebih indah dari hubungan sepasang Kekasih Kak, Hubungan itu bernama Kerabat. Tapi kak, boleh aku tetap menaruh hati walau tau akhirnya akan sakit hati?" -Dahayu Jagat Raya. __________________________ Sebagai seseorang yang berada di dalam lingkup yang sama, tentu hal wajar jika terjadi yang namanya jatuh cinta. Kebiasaan selalu berada di sisi masing-masing sepanjang...
Di Semesta yang Lain, Aku mencintaimu
561      349     8     
Romance
Gaby Dunn menulis tulisan yang sangat indah, dia bilang: You just found me in the wrong universe, that’s all, this is, as they say, the darkest timeline. Dan itu yang kurasakan, kita hanya bertemu di semesta yang salah dari jutaan semesta yang ada.
After Feeling
5871      1888     1     
Romance
Kanaya stres berat. Kehidupannya kacau gara-gara utang mantan ayah tirinya dan pinjaman online. Suatu malam, dia memutuskan untuk bunuh diri. Uang yang baru saja ia pinjam malah lenyap karena sebuah aplikasi penipuan. Saat dia sibuk berkutat dengan pikirannya, seorang pemuda misterius, Vincent Agnito tiba-tiba muncul, terlebih dia menggenggam sebilah pisau di tangannya lalu berkata ingin membunuh...
Si 'Pemain' Basket
4981      1318     1     
Romance
Sejak pertama bertemu, Marvin sudah menyukai Dira yang ternyata adalah adik kelasnya. Perempuan mungil itu kemudian terus didekati oleh Marvin yang dia kenal sebagai 'playboy' di sekolahnya. Karena alasan itu, Dira mencoba untuk menjauhi Marvin. Namun sayang, kedua adik kembarnya malah membuat perempuan itu semakin dekat dengan Marvin. Apakah Marvin dapat memiliki Dira walau perempuan itu tau ...
Luka Dan Perkara Cinta Diam-Diam
7650      2529     22     
Romance
Kenangan pahit yang menimpanya sewaktu kecil membuat Daniel haus akan kasih sayang. Ia tumbuh rapuh dan terus mendambakan cinta dari orang-orang sekitar. Maka, ketika Mara—sahabat perempuannya—menyatakan perasaan cinta, tanpa pikir panjang Daniel pun menerima. Sampai suatu saat, perasaan yang "salah" hadir di antara Daniel dan Mentari, adik dari sahabatnya sendiri. Keduanya pun menjalani h...
Today, After Sunshine
1805      766     2     
Romance
Perjalanan ini terlalu sakit untuk dibagi Tidak aku, tidak kamu, tidak siapa pun, tidak akan bisa memahami Baiknya kusimpan saja sendiri Kamu cukup tahu, bahwa aku adalah sosok yang tangguh!
Gantung
785      499     0     
Romance
Tiga tahun yang lalu Rania dan Baskara hampir jadian. Well, paling tidak itulah yang Rania pikirkan akan terjadi sebelum Baskara tiba-tiba menjauhinya! Tanpa kata. Tanpa sebab. Baskara mendadak berubah menjadi sosok asing yang dingin dan tidak terjamah. Hanya kenangan-kenangan manis di bawah rintik hujan yang menjadi tali penggantung harapannya--yang digenggamnya erat sampai tangannya terasa saki...
Premium
Titik Kembali
6072      1954     16     
Romance
Demi membantu sebuah keluarga menutupi aib mereka, Bella Sita Hanivia merelakan dirinya menjadi pengantin dari seseorang lelaki yang tidak begitu dikenalnya. Sementara itu, Rama Permana mencoba menerima takdirnya menikahi gadis asing itu. Mereka berjanji akan saling berpisah sampai kekasih dari Rama ditemukan. Akankah mereka berpisah tanpa ada rasa? Apakah sebenarnya alasan Bella rela menghabi...