Aku mondar-mandir dengan suasana hati yang bagus. Kemudian aku duduk di kamar menggunting lembaran-lembaran kertas menjadi empat bagian sambil bersenandung.
Akh, alangkah cerahnya hari ini !
Aku menuliskan satu-satu rencana apa saja yang akan aku persiapkan untuk mencoba membuka usaha online kue kecil-kecilan khususnya Brownies. Kuhabiskan dua puluh menit kedepan, membolak-balikan kertas yang sudah di gunting. Suasana hatiku yang bagus mulai menguap. Aku tidak bisa memikirkan ide apalagi dan memulai darimana.
Untunglah Rianti meneleponku. Aku menggeserkan ponsel kesayanganku.
''Hallo Lit, ketemuan di sturbuck Citraland yuk !"
Aku mengernyitkan dahiku.
"Jauh banget Ti," balasku. Aku menghela napas.
"Ya udah, gue kerumah lo aza yak!" seru Rianti.
Tut! Terdengar Rianti menutup telpon!
Aku meneguk segelas teh dingin yang sedikit pahit.
"Wow.. aku harus segera mandi dan cantik Rianti mau kesini huft!".
"Lita... Ya ampun, jalannya hati-hati.." Ibu memegang tangan Lita.
Aku berhenti sejenak tersenyum dan mengangguk. Setengah jam kemudian aku keluar dari kamar mandi.
Tampak Rianti sudah ada di depan kontrakan. Aku langsung bergegas masuk kamar. Ibuku buru-buru membuka pintu depan rumah. Rianti tersenyum ramah ia masuk rumah.
Wangi parfum Rianti begitu mencolok. Terdapat sebuah motor di depan kontrakan, aku mengintip Rianti dengan malu-malu di belakang pintu kamar. Angin bertiup kencang hingga aku harus menyingkirkan beberapa helai rambut yang menghalangi wajahku. Gaun ungu dengan motif bunga dan sepasang sepatu plat shoes ungu sudah aku pakai dengan rapih.
Ibuku nyengir kecil. "Mungkin hari ini ko Jakarta indah sekali ya. Tumben sekali Lita pakai gaun. Ehem," canda Ibuku."
"Bisa jadi," wajahku merah merona.
Berbeda dengan penampilan Rianti yang terbiasa anggun. Dia mengenakan jeans biru dan sepatu kets.
"Cantik banget Lit," Rianti menerobos masuk kamarku kemudian dia memotretku.
" Akh, Rianti gue malu kaliii..." Aku mengambil ponsel Rianti.
Rianti berlari kelaur kamar sambil tertawa lepas. Aku mengejarnya.
"Ayolah Lit, wajahmu cantik banget kok foto ini."
Aku memijat keningku. Ketakutanku pasti Rianti akan upload distatus WhatsApp. Rianti bersorak kegirangan begitu mendapat sinyal persetujuan dariku kalau fotonya tidak bisa dihapus.
Ya Tuhan, hal sesederhana ini saja bisa membuat Rianti bahagia. Dia itu manusia macam apa sih ternyata di balik pendiam ya dia sangat humoris. Aku menggelengkan kepala sambil melemparkan bantal kursi ke dada Rianti.
Rianti mendeket ke arahku, dia memotret kita berdua kemudian mengirimkannya foto itu ke WA ponselku.
"Foto macam apa ini, wajahku seperti orang culun di foto ini!" Jeritku.
"Hahahaha... Apa sih lucu kok! Wajahmu seperti putri Annabelle di foto itu." Rianti tertawa.
Aku mengernyitkan bibir.
Rianti... Rianti... Aku memasukan ponsel pada tas kesayanganku.
Hari ini Rianti mengajak pergi ke Hutan Mangrove Pantai Indah Kapuk dengan motor kesayangannya. Setelah izin dengan ibuku , Rinati menancap gas kemudian aku duduk di belakang.
Perjalanan menuju Hutan Mangrove memakan waktu satu jam lebih. Dan dimulailah petuangan kami!
Pohon-pohon menjulang tinggi tampak mulai berjejeran. Terdapat beberapa payung- payung cantik serta gazebo-gazebo yang indah. Aku dan Rianti bergantian saling memotret.
Beberapa pejalan kaki langsung memotret burung-burung diatasnya kemudian mereka menyusuri jembatan-jembatan yang sangat dekat dengan pantai. Suasana disini tidak terlalu panas seperti didataran tinggi sangat segar dirasakan.
Pemandangan berikutnya muncul membuat aku nyaris kehabisan napas saking indahnya pohon-pohon Mangrove dekat dengan pantai menyejukan mata. Sudah lama sekali aku sudah tidak berwisata. Bayangkan saja, wilayah ini sudah rapih. Sangat cocok untuk warga Jakarta untuk meneduh dan cuci mata.
Seorang pemusik jalanan menyusuri, jembatan-jembatan. Mereka memainkan gitar kecil. Suaranya serak namun enak di dengar.
Oh Tuhan, kucinta dia kusayang dia Rindu dia inginkan dia.
Aku kaget ternyata Rianti menirukan suara pengamen itu di belakangku.
"Elo seneng nyanyi Ti," aku menoleh kebelakang.
"Iya donk, ayo cari kopi Lit." Rianti menarik tanganku. Ia cepat-cepat menyusuri jalan.
-!!-
Pelayan wanita berseragam pink mengantarkan dua cangkir kopi hangat ke depan meja bundar kami. Aku dan Rianti duduk di kursi yang terbuat dari rotan.
Kedai Kopi ini sangat aestetik sekali dengan nuansa kekinian namun masih tetap menampakan benda-benda bersejarah zaman dahulu. Sesekali kami melihat dinding-dinding yang penuh dengan lukisan-lukisan pahlawan-pahlawan di zaman kolonial Belanda. Tak lupa disamping lukisan tersebut terdapat pedang panjang melebar ke arah dinding kedai dan tidak ketinggalan lampu-lampu yang unik dibuat secantik mungkin dengan warna yang syahdu yang membuat kedai kopi ini terlihat semakin romantis. Sangat cocok untuk pasangan muda untuk menyatakan cintanya disini.
Aku dan Rianti mulai membuka ponsel kami kemudian kami memotret setiap sudut kedai yang aestetik untuk dijadikan kenangan persahabatan kami berdua.
Tampak cermin bulat memantulkan cahayanya di samping pintu keluar kedai kopi, Rianti mendekati cermin itu. Tak berhenti memotret dirinya di depan cermin itu. Dia mencoba menyisir rambutnya sesekali membilasnya dengan kondisioner yang ia bawa.
Beberapa remaja yang lewat di belakang cermin sesekali melirik kami berdua. Mereka hanya tersenyum tipis melihat kelakuan kami.
Aku hanya tertawa kecil sambil memperbaiki letak rambutku yang mulai berantakan. Rianti mengambil parfum nya dari tas kemudian ia menyemprotkan parfum-parfum itu ke tangan dan di belakang leher. Sungguh Rianti terlihat sempurna di mata lelaki. Tapi mengapa Rianti masih saja jomblo? Akh, sudahlah mungkin dia tipe orang yang pemilih.
Aku berbalik ke arah meja bundar tadi sambil memanggil pelayan wanita tadi untuk memesan beberapa cemilan dan makanan. Perut aku sudah semakin keroncongan. Pipiku bersemu kemerahan saat melihat wajahku di ponsel. Tanpa sadar aku tersenyum.
"Lo kenapa Lit, senyum sendirian?" gumam Rianti. Bisa kurasakan Rianti sudah duduk di depanku setelah dia mempercantik dirinya.
"Tidak apa-apa," balasku sambil meminum kopi yang masih sangat hangat.
"Buka," perintah Rianti. Dia menyodorkan buku kecil biru padaku.
Aku mengambil buku kecil itu dan membukanya dari halaman belakang.
"Gambar kue Brownies?" Aku tersenyum lebar kemudian keningku mengkerut seolah tak mengerti apa yang ditujukan Rianti.
Rianti mengiyakan ucapannya. " Iya."
"Iya ada apa dengan gambar brownies ini Rianti?" Tanyaku pelan. Aku tersipu malu. Rianti terpaku ditempatnya. Kedua mata cokelatnya menatapku dengan lembut.
"Ya sudah aku punya ide, kita berbisnis ini Lita, mau tidak?" Rianti memegang erat kedua tanganku.
"Ini serius?" Ulangku, berusaha meyakinkan diriku bahwa Rianti tidak bercanda. Rianti mengangguk mantap. "Tentu saja"
Dia tersenyum manis.
"Ya Tuhan kau memang sahabatku Rianti." Aku bersorak riang sambil memegang kedua tangan Rianti.
"Tapi aku tak punya modal Ti." Aku mengerang frustasi.
"Kau ini kenapa sih? Kau takut dengan mimpi-mimpimu itu?" Rianti masih memegang erat kedua tanganku.
Aku tertunduk.
"Waktunya belum tepat Ti," bisikku. Rianti mengangkat daguku. " Hei jangan bodoh sekarang ada medsos. Hahaha...
"Sini handphonemu." Rianti mengambil ponselku. Kemudian ia mengetik sesuatu pada ponsel itu.
Aku terdiam dihadapan dua mie gacoan masih mengepul serta dua cangkir kopi hangat yang setengahnya sudah Aq seruput. Rianti sibuk dengan ponselku. Aku membiarkan keheningan Rianti untuk berpikir.
Rianti memang sangat baik. Dia adalah sahabat terbaikku. Dia menolong apa yang aku butuhkan. Aku pasti tidak bisa lagi membalas budinya. Ya Tuhan, dia malaikat penolongku.
Aku tidak bisa membiarkan hidupku dalam kegalauan tentang mimpi-mimpiku. Mimpi yang harus aku raih.
"Nih udah jadi, semangat ya." Rianti menyodorkan ponselku.
"Ini instagram?" kataku penasaran.
"Yah anggaplah ini semua awal dari sebuah proses mimpimu ya ti. Pasti akan berhasil kok, semangat ya." Rianti mengangguk
Jantungku seolah melesak hingga ke dasar. Bertalu-talu dengan semangat yang tinggi. Tak terasa bening di wajahku mengalir. Aku buru-buru mengusap air mataku dengan tangan bebas.
"Jangan nangis donk, kau tampak cantik sekali Lit." Rianti menjulurkan tisu.
"Dasar kamu Ti, lagi sedih begini masih saja tertawa," kataku sambil mengusap air mata dengan tisu.
"Lo harus melihat wajahmu saat menangis tadi. Lucu!Hahaha." Rianti menyodorkan cermin kecil di depan wajahku.
"Akh sudah akh malu." Aku mengusap lagi air mata.
"Ya sudah masukan saja foto-foto browniesmu itu ya di instagram lalu promosikan bikin video dan follow orang-orang ya ." Rianti mengelus pundak kiriku.
"Eh tapi judulnya apa nih instagramnya?"
"Mmmm... Lita cake" Rianti mengigit bibirnya.
"Makasih ya Ti." Aku menatap wajah Rianti.
Rianti mengangguk. Dia tetap mengusap pundakku.
"Hidup ini isinya bukan hal yang manis-manis saja Lit. Tetapi berusahalah. Pasti hidupmu akan semanis brownies. Ganbatte kudasai!" Rianti mengepal tangan kanannya.
"Akh Lo bisa ajah Ti." Ujarku sambil tersenyum.
"Kalau kamu sedih. Kamu bisa membaginya dengan aku Lit." Rianti memegang erat kedua tanganku.
Bening di wajahku tidak bisa di sembunyikan lagi. Jutaan air mata tumpah. Rianti mengusap kedua air mataku.
"Semangat..semangat.." bisik Rianti.
"Kau sangat baik Ti," aku mendekati tempat duduk Rianti. Aku memeluk tubuhnya.
Beberapa orang yang sedang meminum kopi dan makan di kedai memilih melirik sedikit-sedikit persahabatan kami di kedai. Kita berdua tidak peduli.
"Temperatur udara disini semakin dingin Lit. Ayo kita makan. Kita bisa mati beku disini. Perutku sudah miscall-misscall terus. Hahaha! Rianti tertawa.
"Akh, ada-ada saja kamu Ti." Aku mulai mengambil sendok makanku. Kemudian kami melahapnya satu persatu.
Akupun berusaha untuk tidak memperpanjang melankolisku dan kembali menikmati makanan dan suasana kedai. Life must go on Lita. Aku pasti bisa!
-!!-