Ada hal-hal yang rumit dan ada hal-hal yang mudah dalam menghadapi hidup. Tetapi jika sudah menyangkut impian, semua orang akan berkhayal dengan mudah. Dan semua orang akan menerobos dunia impian dari berbagai pintu. Kau tahu ada saat-saat ketika kita diam sehingga kita menjadi melamun, menatap langit-langit indah bilik kamar. Seperti yang aku lakukan saat ini. Kita akan pergi ke suatu masa, dimana semua orang akan dengan mudah membeli sesuatu yang mereka inginkan.
Aku tetap terdiam. Tetap menatap indah langit-langit kamar dengan lampu kecil bergelantungan. Dunia khayalku menerobos langit. Aku menatap sebuah rumah. Rumah itu begitu besar. Ada hometeater di lantai dua. Belum lagi ada sofa panjang berukuran empat meter di dalamnya. Kutatap jendela yang penuh dengan tirai. Ada kolam renang di lantai dasar. Begitu mengagumkan Rumah mewah ini! Aku memutar badan, menari-nari dengan gaun merah menghiasi tubuh. Saat putaran kedua.
“Ssst…” Suara tikus kecil di bawah ranjang besi biru membuat lamunanku terhenti.
Perutku bergejolak, ini adalah panggilan alam.
“Arghhh…” Mata kananku sedikit melirik jam dinding kupu-kupu.
Sudah jam satu siang. Aku mengibas-ngibaskan mata dan sedikit menghembuskan napas yang keluar dari mulut.
Akh! Sungguh sangat bodoh! Aku ingin punya sebuah rumah indah untuk ibuku! Agar kita bisa hidup dengan layak. Ternyata ini hanya khayalan! Aku hanya mengkhayal!
-ii-
Namaku Putri Jelita. Nama yang menurut orang lain sangat indah. Seindah wajah ibuku. Mungkin maksud Ayah dan Ibu agar aku bisa menjadi seorang putri. Putri kerajaan yang bisa menguasai castle dan dunia. Tetapi aku tidak terlalu suka dengan nama lengkapku. Aku lebih suka dipanggil Lita. Karena Lita nama singkatan dari Ayah dan Ibu : Lina dan Taufiq. Menurut Ayahku, aku sangat cantik seperti orang Korea. Hanya mataku sipit dan tak punya kantong mata seperti orang Jepang. Menurut Ibuku, wajahku seperti keturunan Perancis berambut pirang dan ikal, seperti almarhum Nenek. Akh sudahlah, akupun tak mengerti yang pasti aku hanya tersenyum mengingat kenangan manis bersama Ayah dan Nenek.
Aku tidak bisa membayangkan, kejadian sepuluh tahun yang lalu. Saat itu aku sedang memainkan boneka kecil di kamar Ibu. Sambil tersenyum, aku bersandar pada dinding putih sebelah kasur busa.
Terdengar air mengalir deras di kamar mandi.
“Lita! Lita!” Terdengar Ibu berteriak memanggilku. Rupanya Ibu sedang mandi.
“Sebentar, Bu”. Ibu selalu lupa membawa handuk. Kebiasaan buruk Ibu yang tidak pernah berubah.
Lima belas menit kemudian, seperti biasa Ibu mengajak sarapan. Kulihat jam sudah menunjukan pukul tujuh. Ibu yang seorang Sekretaris di kantor masih tetap bekerja setengah hari di hari sabtu. Sebentar lagi Ayah berangkat. Beliau seorang Manager Property di daerah Mangga Dua, satu jam dari rumah kami di daerah Harmoni. Nenek yang selalu menyiapkan kami sarapan. Ibu selalu tidak sempat membersihkan rumah dan masak di pagi hari. Melihat pekerjaannya yang sibuk, aku tak heran. Ayah dan Ibu jarang ada waktu untuk kami sekeluarga. Hidup di Jakarta mungkin sangat keras. Sehingga mereka selalu giat bekerja.
Nenek yang selalu mengantarkan aku berangkat sekolah, menyiapkan sarapan dan mengajak aku bermain di hari sabtu dan minggu saat aku libur sekolah. Kami selalu bermain petak umpet, membuat brownies dan kue-kue kecil serta membaca buku cerita saat aku akan tidur.
Kami duduk di meja makan yang sudah dipersiapkan Nenek. Hari ini menunya nasi goreng dan capcay. Makanan kesukaanku. Aku sangat suka dengan sayuran. Kutatap wajah Ayah, dia sungguh sangat lahap menyantap sarapan pagi ini. Ibu hanya menyunggingkan bibirnya sedikit. Aku rasa dia sedang ada masalah. Nenek selalu tersenyum di depan wajahku, ia selalu menyuruhku menghabiskan makanan.
Akh! aku selalu merindukan senyum nenek dan Ayah yang selalu semangat untuk bekerja!
Ayah dan Ibu tidak pernah bertengkar. Tetapi kala itu ada wajah asing di wajah cantik Ibu. Aku tetap tenang, menyendokan wortel dengan pelan.
“Aku sudah menandatangani surat dari Pengadilan Agama,” kata Ibu sambil mengajakku berdiri dan pergi dari meja makan.
Saat itu aku memperhatikan wajah Nenek dan Ayah. Umurku masih sembilan tahun. Aku tidak mengerti dengan pembicaraan Ibu. Nenek dan Ayah saling bertatapan. Mendadak paras Nenek memucat. Wajah Ayah tampak cemas.
“Apa benar Lina?” Tangan kanan Nenek yang sedang menggenggam sendok bergetar.
“Ayo pergi Lita!” desak Ibu. Ibu mencengkram erat tangan kananku, mengajak pergi ke kamar.
Wajah Ayah merah membara. Belum pernah kulihat Ayah semarah itu. Ia menggebrak meja.
“Lina berhenti…!!!”
“Apa Mas? Sudah cukup!” isak Ibu
Baru saja dua langkah di depan kamar. Asma Nenek kambuh kemudian ia lemas dan terjatuh. Ibu tidak bisa berkata apa-apa, dia hanya lari ke kamar Nenek. Aku dan Ayah menopang Nenek untuk duduk di sofa merah yang berada di sudut ruang makan.
“Kau mau apa?” Ayah geram saat Ibu memberikan segelas air dan obat untuk Nenek.
Dengan napas sesak, nenek mengatakan sesuatu tapi tidak bisa. Nenek memejamkan matanya. Napasnya sedikit-sedikit menghilang. Ayah membelalak, memijat urat nadi Nenek. Ibu masih terisak pelan.
“Nenek meninggal….!!! Pergi kalian berdua…!!!” Teriak Ayah menggema hebat.
“Nenek….” Aku memegang erat tangan Nenek.
“Pergi…” Ayah tetap berteriak mengusir kami. Kupandang Ibu, siapa tahu dia masih bersikukuh tetap diam di rumah. Ibu tidak berkata apa-apa. Dia hanya menyeret koper dan menggendongku pergi dari rumah.
Oh, aku merasa sesak. Tiba-tiba rumah mewah itu begitu asing. Ini bertentangan dengan hati nuraniku meninggalkan Nenek yang sudah tiada. Ini sarapan terakhir dengan Ayah dan Nenek. Aku begitu membenci Ayah yang mengusir kami dan begitu merindukan Nenek yang selalu baik padaku.
Tapi begitu aku merasa asing dan terpukul di keluargaku sendiri. Sepuluh tahun yang selalu menghantui rasa kecewaku terhadap kehidupan. Sepuluh tahun keluargaku terpecah belah. Sepuluh tahun tiada Ayah dan Nenek. Sepuluh tahun aku merindukan rumah mewah itu.
-!!-